𝓶𝓸𝓻𝓽𝓪𝓵𝓪。

By itz-vyy

7.3K 1.4K 204

「Kim Jennie ft. Jeon Wonwoo.」 ❝Sebuah kesalahan kecil bisa menjungkir hidupmu sampai seratus delapan puluh de... More

◑ Preface ◐
-OO-
-O1-
-O2-
-O4-
-O5-
-O6-
-O7-
-O8-
-O9-
-1O-
-11-
-12-
-13-
-14-
‐15-
-16-
-17-
-18-
-19-
-2O-
-21-
-22-
-23-
-24-
-25-
-26-
27.
-28-
-29-
-30-
-31-
-32-
-33-

-O3-

256 48 7
By itz-vyy



D-day 
      

         Waktu ponselnya menjerit-jerit keras cuma buat memberi tanda kalau Livy harus bangun, gadis itu langsung mematikannya. Livy bukan bangun pagi atau tepat waktu, ia semalaman tidak tidur karena tidak bisa. Dari semalam, pikirannya terus berjalan di seluruh penjuru otak, berputar-putar pada topik yang sama 'Livy harus apa supaya bisa bahagia seperti orang lain?'.

Matanya melirik ke arah pintu, lalu beralih ke jam dinding di kamarnya. Sudah pukul enam lebih lima belas, tapi mamanya tidak ke kamar buat membangunkan Livy seperti biasanya? Ada satu kesimpulan yang berhasil Livy dapat, mamanya mungkin malas bertemu anak yang menurutnya tidak bisa diandalkan seperti Livy.

Kedua tungkainya diturunkan ke bawah hingga menyentuh karpet di bawah ranjang. Livy meraih ikat rambut di atas nakasnya sebelum dipakai untuk mengikat surai panjangnya menjadi satu.

Livy memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar mandi. Kalau nanti mamanya datang, Livy tidak perlu susah-susah berakting baik-baik saja. Itu kalau mamanya memang datang ke kamarnya, sih. 

Sampai dua puluh menit Livy berada di kamar mandi, gadis itu akhirnya ke luar dengan penampilan yang sudah lebih segar. Ia kembali melihat pada pintu kamarnya, sepertinya mamanya memang tidak masuk ke kamar Livy sama sekali.

Selesai berpakaian dan berdandan, gadis itu ke luar kamar. Menuruni satu per satu anak tangga hingga sampai ke lantai dasar dan melanjutkan langkah hingga ke ruang makan. Sedari tadi, Livy tidak melihat presensi mamanya di mana-mana, papanya juga tidak ada. Rumah sepi sekali seperti cuma Livy yang berada di sana.

"Nona Livy." Seorang pelayan menghampirinya begitu Livy duduk di kursi meja makan. Ia langsung menata dan menyiapkan makanan yang akan disantap Livy.

"Mama dan Papa ke mana?" Gadis itu buka suara, menyalurkan kuriositasnya pada si pelayan.

"Nyonya dan Tuan masih di dalam kamarnya, Nona."

Livy mengernyit, melirik pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sudah jam tujuh kurang seperempat, mereka belum berangkat?" ia bergumam pelan.

Tidak lama setelah kalimat itu diluncurkan dari bibir Livy, suara gebrakan pintu terdengar, disusul dengan derap langkah cepat yang memasuki ruang makan. Livy mendongak, mendapati presensi papanya mendekat ke arah kursi yang berjejer di hadapannya.

Ah, mama papanya pasti habis bertengkar.

"Silahkan, Tuan." Pelayan yang tadi kembali menyiapkan makanan untuk Tuan Seo.

Livy melanjutkan kegiatan makannya, mengabaikan presensi sang papa yang berada tepat di hadapannya. Dalam sepuluh menit, Livy sudah menghabiskan isi piringnya, berganti meraih segelas air yang berada di sisinya untuk kemudian diminum sampai habis.

"Papa tidak akan menyalahkanmu untuk kejadian kemarin," papanya mendadak bersuara waktu Livy sudah bangkit dan hendak pergi dari sana.

Langkah Livy terhenti, ia menoleh ke arah papanya waktu pria itu kembali bersuara, "Kau juga berhak punya waktu sendiri. Jangan dengarkan Mamamu dan nikmati hari ini. Tidak perlu datang ke kantor kalau tidak mau."

Kedua alis Livy nyaris bertaut. "Kenapa begitu, Pa?"

Tuan Seo meletakkan alat makannya, menatap ke arah putri semata wayangnya. "Besok kau akan sibuk. Jadi hari ini kau bisa manfaatkan waktumu untuk mengganti hari esok."

Setelah diam beberapa sekon sambil mencerna kalimat yang dikeluarkan papanya, Livy kemudian tersenyum tipis. Pelan-pelan, hatinya merasa hangat lagi. Ternyata ada keluarganya yang ingat besok itu hari apa.

Kalau mau ditanya seberapa senang Livy hari ini, jawabannya adalah gadis itu sangat senang hingga hampir lupa kalau harus pulang ke rumah. Maka setelah telapak kaki yang terbalut heels miliknya memasuki ruang utama di rumah itu, Livy langsung disambut oleh presensi mamanya—bersedekap di atas sofa sambil melayangkan tatapan tajam.

Wanita itu berdiri, menghampiri Livy yang mematung di depannya. "Sudah selesai main-mainnya?" Nada bicara dan tatapan mamanya begitu mengintimidasi.

Livy mengangkat pandangannya, tapi masih tidak berniat menjawab tanya yang dilantingkan. Hingga mamanya kembali buka suara, "Apa kau ini anak kecil, Seo Livy?" Ia lipat tangan di depan dada dengan tatapan dan nada suara yang masih konstan. "Apa kerjaanmu hanya bisa bermain-main? Mama pikir kau sadar diri dengan kesalahanmu kemarin, tapi apa ini? Seharian kau tidak datang ke kantor?"

Livy geram. Papanya yang memberi ijin langsung sebagai pemilik perusahaan itu, tapi kenapa mamanya yang bukan siapa-siapa di sana jadi ikut campur? "Papa yang menyuruhku mengambil libur, Ma."

"Lalu kenapa? Apa kalau begitu artinya kau bisa melepas tanggung jawabmu? Kau ini niat menjadi penerus Papamu tidak, sih?"

Livy meraup oksigen dalam-dalam, lalu dihembuskan kasar-kasar. "Apa Mama tidak salah? Harusnya aku yang bertanya, apa Mama anak kecil? Kenapa Mama selalu menyuruhku ini dan itu untuk kepentingan Mama sendiri? Mama sadar tidak, Mama bukan siapa-siapa di keluarga ini." Ada jeda dalam kalimat Livy. Gadis itu tersenyum mengejek pada mamanya. "Bukankah Papa tidak pernah mencintai Mama, makannya Mama berusaha memasukanku sebagai penerus Papa supaya bisa tetap bersama Papa? Karena aku juga anak Papa? Mama menjadikanku sebagai ancaman untuk Papa 'kan? Tapi sayang sekali, Ma. Papa memang sayang padaku sebagai anaknya, tapi tidak pada Mama sebagai istrinya."

Tungkai sebelah kanan Livy baru mau melangkah meninggalkan ruang tamu, mamanya justru menyerukan namanya keras-keras dengan gurat marah pada nadanya. "Seo Livy!"

Livy menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang, membiarkan sang mama melanjutkan kalimat. "Anak tidak tahu diuntung! Apa Mama pernah mengajarimu untuk bersikap seperti ini?!" Mamanya berjalan hingga sampai pada hadapan Livy, menuding tepat ke wajah Livy dengan telunjuknya.

Si gadis Seo menatap tajam mamanya, meraih telunjuk sang mama dan menurunkannya. "Mama mengajariku untuk bersikap kasar, tidak punya empati, dan memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi. Bukankah begitu, Nyonya Seo?"

Livy kembali berniat pergi dari hadapan mamanya, tapi lagi-lagi ucapan mamanya berhasil menghentikan langkah kaki Livy. "Kau pikir siapa yang melahirkanmu?!"

Livy tersenyum kecut. Tanpa berbalik, gadis itu membalas perkataan mamanya, "Lalu apa Mama ingat kapan aku dilahirkan?"

Kali ini Livy memutuskan untuk memantapkan langkah meninggalkan tempat itu, menuju kamarnya. Lagipula mamanya sudah tidak bersuara lagi. Entah tertohok dengan kalimat Livy atau bagaimana, Livy tidak peduli juga.

Gadis itu menutup pintu kamarnya dengan sedikit kasar. Livy suka bertengkar dengan orang-orang, tapi Livy tidak pernah suka bertengkar dengan keluarganya. Sebab, pertengkaran itu justru akan membuat luka di hatinya semakin menganga.

Livy menatap jam di dinding yang jarumnya berotasi secara konstan. Sudah pukul dua belas malam kurang sepuluh menit. Memang pantas kalau mamanya marah. Mama di mana pun akan marah kalau anaknya pulang kelewat malam, apalagi Livy itu perempuan. Namun, alasan kemarahan mamanya beda dengan mama orang lain di luar sana. Itu yang membuat Livy jadi tidak suka.

Livy harap mamanya menghilang saja supaya Livy bebas menjalani hidupnya.

Waktu gadis itu sudah berniat merebahkan diri pada ranjang, rungunya menangkap samar-samar pertengkaran di antara mama dan papanya. Livy pikir itu wajar. Mama papanya jarang berinteraksi kecuali waktu bertengkar. Namun, waktu gadis itu mendengar suara ribut di bawah makin keras bersamaan dengan jeritan mamanya dan bunyi barang-barang yang dibanting hingga pecah, Livy tidak bisa lagi menahan dirinya.

Gadis itu bangkit dari ranjang, menapaki lantai kamarnya hingga ke luar dari pintu dan cepat-cepat menuju tangga. Bagaimana pun juga, Livy tidak mau orang tuanya bertengkar terlalu ekstrim.

Langkah Livy mendadak terhenti ketika sampai di depan anak tangga pertama. Netranya mengedar pada presensi mama papanya di bawah sana yang kelihatan aneh. Entah kenapa, tapi gadis itu secara refleks menunduk dan bersembunyi di balik pembatas tangga.

Matanya kembali menatap pada eksistensi mama dan papanya di ruang tengah. Ada yang aneh, mamanya seperti mencekik diri sendiri, sementara papanya sudah tergeletak lemah di bawah. Livy membekap mulutnya sendiri waktu mamanya meraih-raih udara kosong. Mulutnya terbuka lebar seperti orang sekarat dan matanya melotot seperti menatap sesuatu. Sepersekian sekon kemudian, tubuh mamanya limbung menumbruk guci keramik hingga benda itu pecah berkeping.

Badan Livy melemas. Hingga beberapa sekon setelahnya, gadis itu baru berani menuruni anak tangga dengan langkah gontai. Livy menghampiri tubuh kedua orang tuanya yang sama-sama tergeletak lemah di ubin dingin rumah mereka.

"P-papa," Livy memanggil nama papanya dengan suara bergetar. Tangannya gemetaran waktu menyentuh epidermis papanya yang dingin. Telapak tangan Livy diletakkan pada leher papanya, tepat di mana nadi sang papa terletak. Harusnya, benda itu juga masih berdenyut di sana, tetapi Livy tidak mendapati adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Livy tidak menemukan denyut nadi pada leher mau pun pergelangan tangan papanya. 

Gadis itu beralih pada tubuh mamanya yang sama-sama dingin. Begitu Livy menyentuh bagian belakang kepala mamanya untuk diletakkan pada pahanya, gadis itu justru merasakan benda cair membasahi tangannya. Livy refleks menjauh dari tubuh sang mama begitu melihat tangannya dipenuhi darah. Mungkin pecahan guci keramik itu menancap pada kepala mamanya atau entah bagaimana. Intinya, waktu Livy memeriksa denyut nadi milik mamanya, gadis itu juga tidak menemukan tanda-tanda kehidupan.

Air mata Livy turun tanpa instruksi, membasahi pipi kanan dan kirinya. Satu yang gadis itu sesali, ia menyesal atas harapannya yang meminta sang mama menghilang saja. 

[]

Hmm, kira-kira kenapa mama papa Livy meninggal? Apakah mereka keracunan, atau apa ya?

Tunggu di part selanjutnya ya hyung~

Continue Reading

You'll Also Like

485K 22.6K 93
Ratih berusia 30 tahun yang telah memiliki seorang anak lelaki bernama Dani dari suaminya yaitu Yadi. Ratih diganggu mahluk misterius yang menjelma s...
523K 30.2K 39
[WARNING⚠⚠ Ada banyak adegan kekerasan dan Kata² Kasar, mohon bijak dalam membaca] ••• Achasa seorang gadis cantik keturunan mafia rusia yang tidak s...
204K 5.8K 50
[Budayakan VOTE Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertin...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.6M 551K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...