M A R R I E D ? ? ?

By candlelightme

116K 19.7K 1.9K

Atsna yang mendambakan pernikahan indah bersama laki-laki pilihan orangtuanya. Irshad yang memutuskan untuk m... More

Cast
Prolog
1. Mau ya, nduk?
2. Serpihan Kisah
3. Pasfoto 3x3
4. First Meet
5. Berlanjutkah?
6. Failed First Impression
7. First Chat
8. Harga Diri atau Gengsi?
9. Tanggung Jawab
10. Parfum
11. One Step Closer
12. Hubungan yang Seperti Apa?
13. Move On
14. Wanita Gampangan?
15. Siap Nikah?
16. Kejelasan
17. Jangan Terlalu Lama
18. Rindu Sendirian
19 Jadi Lamaran?
20. Ya, aku terima.
21. Intan
22. Kenapa?

23. Aku Takut

2.3K 337 61
By candlelightme

Untuk pertama kalinya aku terlibat pertengkaran secara langsung dengan Mas Irshad. Biasanya kami hanya berdebat lewat chat dan kesalku pun langsung hilang ketika kami sudah bertemu. Rasanya sakit sekali walaupun ia sama sekali tidak menggunakan nada tinggi. Bahkan aku hampir menangis ketika menatap matanya.

"Tadi aku nggak bisa jemput kamu. Aku nggak enak dong sama orangtua kamu kalau aku biarin kamu pulang sendiri."

"Dek, ayolah aku nggak mau berantem sama kamu oke?!"

Kata-katanya masih terus terngiang di kepalaku. Dan itu sangat membuatku sedih. Sebenarnya dia menganggap ku apa? Apakah wajar sikap seorang laki-laki kepada calon istrinya seperti itu? Ditambah lagi dia seperti sama sekali tidak ada usaha untuk membuatku dekat dengan keluarganya.

Apakah pikiranku ini terlalu berlebihan?

Sepertinya aku perlu shalat istikharah lagi untuk memastikan semuanya. Namun aku juga takut jika ternyata Mas Irshad bukan jawaban dari istikharahku. Kami sudah berjalan sejauh ini. Aku takut membuat kecewa banyak pihak.

Sejujurnya sejak pulang dari takziah minggu lalu aku sama sekali tidak menghubunginya. Ia pun juga sama, tidak menghubungiku kembali. Semakin aku dibuat gundah gulana olehnya. Ketika ia mengantarku pulang pun kami tidak saling bicara. Setelah sampai rumah aku langsung ke kamar ganti baju dan shalat isya. Sengaja aku berlama-lama di tempat shalat sampai akhirnya Mas Irshad pulang baru aku keluar dari tempat shalat.

Aku dan Mas Irshad tidak saling menghubungi sudah satu minggu. Padahal minggu depan harusnya gantian dari pihak keluargaku yang ke rumahnya, kalau orang Jawa istilahnya singsetan. Sengaja aku biarkan karena aku berharap dia duluan yang menghubungiku.

Tapi sepertinya harapanku itu harus sirna. Tetap harus aku dulu yang menghubungi karena hari ini sebenarnya aku ada janji ke pernikahan teman SMA ku bersamanya, sekalian aku kenalkan dia ke teman-temanku. Kami sudah membahas ini sejak sebelum aku ke rumahnya untuk takziah. Ia bilang belum pasti juga sebenarnya, karena dia harus ke Surabaya dari hari Kamis dan dia tidak yakin Minggu sudah di Lumajang.

Aku sudah menghubunginya tadi pagi untuk memastikan apakah dia jadi bisa menemaniku atau tidak. Teman-temanku seperti Audy, Vio, dan Evita katanya penasaran ingin bertemu langsung dengan calon suamiku itu. Ketika aku membuka ponselku berharap sudah ada balasan darinya ternyata masih centang satu. Membuatku semakin gelisah karena ini sudah pukul 2 dan acaranya pukul 3 sore.

Akhirnya aku pergi ke acara pernikahan itu seorang diri. Dan tentu saja itu membuat teman-temanku bertanya-tanya.

"Lhoh kok kamu sendiri Na?" Tanya Audy sembari menengok belakangku sembari memastikan apakah aku benar-benar sendiri.

Aku tersenyum lalu membalas, "Iya, dia ada acara perusahaan di Surabaya belum pulang."

"Oalaa.. tau gitu tadi aku jemput sekalian biar kita bareng berempat. Aku tadi bawa mobil soalnya," sahut Vio.

Aku sengaja tidak mengabari temanku karena aku masih berharap Mas Irshad tiba-tiba menghubungiku dan bisa menemaniku. Namun nyatanya itu hanya harapanku belaka karena sampai sekarang chatku masih centang satu.

"Rumahku kan nggak searah. Kasian kan kalau kamu nanti bolak-balik Vi," kilahku. Karena tidak mungkin juga aku menceritakan kalau aku tidak bisa menghubungi calon suamiku sejak pagi.

"Oalaa.. padahal nggak apa-apa Na.."

"Evita mana kok nggak keliatan?" Tanyaku mencoba mengganti topik.

"Ambil es podeng katanya. Dari tadi dia udah ngincer soalnya kan udah jarang ada es podeng gitu," jawab Audy.

"Ah iya juga sih.. sekarang orang-orang sukanya yang simpel."

Evita pun akhirnya kembali dengan senyuman lebarnya ketika melihatku. Ia langsung menghambur ke arahku dan memelukku dengan gemas.

"Aduh calon mantenku makin cakep aja ini," ujarnya sembari memelukku. Lalu ia melepaskan pelukannya dan terlihat seperti mencari sesuatu. "Lho calon suami mana? Katanya kamu mau kenalin kita?"

"Nggak bisa dia Vit. Ada kerjaan di Surabaya."

"Yah padahal aku pengen banget ketemu langsung. Mau tak marahin dia biar nggak cuek-cuek amat sama temenku."

Aku hanya tertawa menanggapi celotehan Evita.

"Es podengmu mana Vit? Kok kamu kembali dengan tangan hampa?" Tanya Audy.

"Aku nggak jadi ambil. Antri pol. Aku males."

Kami bertiga kompak menertawakan Evita yang memasang wajah melas karena es podeng.

"Entar lah pas nikahan Atsna aku makan es podeng sepuasnya. Kalau di nikahan Atsna yang kejawen banget pasti ada es podeng kan?"

Aku hanya tersenyum sembari mengangkat bahu.

Pernikahan? Setiap mendengar itu kepalaku seperti kosong. Rasanya seperti yakin dan tidak yakin. Bertanya-tanya dalam diri benarkah aku akan segera menikah. Aku akan hidup bersama Mas Irshad. Bisakah kami bekerja sama dalam menjalani hari-hari selalu terngiang dalam kepalaku, karena entah mengapa kadang aku merasa sulit berkomunikasi dengannya. Bukankah kunci dari suatu hubungan adalah komunikasi?

Aku membuka ponselku lagi. Berharap sudah ada balasan dari calon suamiku, tapi nihil. Kami adalah calon suami istri tapi aku merasa calon suamiku ini masih seperti orang lain.

"Na, cincinmu mana?" Tanya Vio tiba-tiba ketika ia melihatku memegang ponsel dengan dua tangan.

"Cincin?"

"Iya. Kan kamu udah tunangan masa nggak pake cincin?"

Ah iya, benar juga. Logika teman-temanku pasti tidak bisa menerima kalau di acara lamaran kemarin tidak ada acara tukar cincin. Waktu itu murni hanya silaturahmi.

"Nggak ada cincin. Nggak ada tradisi seperti itu.. mungkin nanti kalau sudah akad?" Jawabku sebisanya, karena hanya itu yang keluar di kepalaku.

Teman-temanku hanya ber'oh' ria sembari mengangguk-angguk.

Cincin? Bahkan aku dan Mas Irshad tidak pernah membahas cincin. Sejujurnya aku sendiri juga merasa sedikit aneh jika tidak ada cincin, tapi aku juga tidak enak kalau harus minta ke Mas Irshad.

Ah kenapa tiba-tiba mataku memanas. Aku ingin menangis.

"Na, are you ok?" Tanya Audy lembut, sepertinya ia melihat air mukaku yg tampak tidak terlihat baik-baik saja.

Aku mencoba tersenyum, mengangkat wajahku dan menatap tiga sahabatku.

"Aku nggak apa-apa kok." Sayangnya apa yang aku ucapkan bertolak belakang dengan satu tetes air mataku yang tiba-tiba lolos begitu saja.

"Kita cari tempat yuk," Audy menggandengku, membawaku dan temanku yang lain menepi ke tempat yang tidak begitu ramai. Karena tidak mungkin juga kalau kami langsung pulang karena pengantinnya masih belum keluar.

"Na, demi apa pun ini nggak bener. Kalian udah mau nikah loh. Ah aku nggak suka sama sikap calon suamimu itu!"

Evita langsung berapi-api setelah aku menceritakan semuanya.

"Aku jadi nggak ikhlas kamu nikah sama dia Na.." timpal Vio.

"Kayaknya kamu perlu istiqarah lagi deh Na.."

"Bukannya semua udah terlambat Mbak Au? Aku udah melangkah sejauh ini."

"Belum Na.. Itu akan jadi sangat terlambat kalau kamu sampai nikah sama dia dan sikap dia tetep kayak gini."

Aku takut sekali. Aku takut membuat banyak pihak kecewa, terlebih orangtuaku.

Mungkin ini sedikit terdengar memaksa, tapi aku berharap Allah membuatku benar-benar berjodoh dengannya. Dan aku berharap ia bisa berubah menjadi sosok yang lebih perhatian dan mengayomi.

"Kamu udah coba SMS biasa? Siapa tau paketannya habis?"

"Udah Mbak Au, tapi belum terkirim."

"Bisa jadi pas di Surabaya hp nya rusak atau hilang kan Na?"

"Iya bener juga sih kata Vio. Sekaku-kakunya dan senyebelin-nyebelinnya Irshad dia udah milih kamu sebagai calon istrinya. Gak mungkin kan dia ngilang gitu aja di saat kalian udah lamaran?"

Perkataan Evita dan Vio memang ada benarnya. Tapi perasaan takut masih tetap menyelimutiku karena...

"Itu kan dulu sempet mau serius, tapi nggak jadi. Irshadnya tiba-tiba nggak mau."

Aku teringat perkataan Mbak Erna. Bagaimana kalau itu juga terjadi kepadaku? Orangtuaku pasti akan sangat kecewa kalau itu benar-benar terjadi. Aku takut sekali.

.

.

.

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

974K 73.8K 55
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
244K 38.1K 50
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh be...
123K 10K 83
Complete Story ada di Karya Karsa Buku cetaknya, bisa dicari di tokopedia dan shopee (@bebekz_hijau) Hai, Kenalan dulu... namaku Sandra Bayu Hutama...
696K 1.8K 5
Siapa tak kenal Yola, siswi yang selalu menggunakan pakaian ketat dan pendek, hanya untuk memperlihatkan betapa besar payudara nya. Terlibat hubunga...