USIA 34 /OPEN PO/Versi EBOOK...

By masdaraimunda

643K 58.2K 9.4K

Gayatri : Sudah resign dari pekerjaan, seminggu lagi akan menikah. Saat pulang dari farewell party. Ia dikej... More

A
B
C
D
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
USIA 34 HADIR DI IBUK
OPEN PO

E

19.9K 4.1K 684
By masdaraimunda

Ternyata ada  pembaca saya yang tinggal di luar Indonesia ya? Bahkan eropa. Selain arab dan Malaysia yang menempati urutan teratas... Salam kenal buat kalian semua..

***

Andien berteriak kegirangan saat kuberitahu bahwa Bang Sadha akan bergabung. 

"Gimana caranya lo ngerayu dia?" Tanyanya tak percaya.

"Nggak dirayu, dia menawarkan diri."

"Ya ampun Aya, gue aja selama ini ngajakin, dia nggak pernah mau. Nah elo, sebentar aja udah, diajak."

Aku memilih untuk tidak menjawab. Kalau dibiarkan Andien akan berkomentar terus sampai tengah malam tentang Sadha. Aku sudah bosan mendengarnya.

***

Malam ini kami bertiga turun ke Bandung, menggunakan mobil Bang Sadha. Setelah sebelumnya menikmati makan malam masakan Tante biring dengan menu daun singkong tumbuk plus ikan teri sambal.

Baru kali ini aku makan menu itu. Dan rasanya cukup aneh dilidah. Entah karena makanan baru. Sementara Bang Sadha bahkan sampai menambah nasi dua kali. Terlihat ia sangat menikmati hasil masakan ibunya.

Kami memasuki sebuah klub ternama dikawasan Setia Budi.  Suasana hingar bingar, segera terasa. Jujur ini sebenarnya bukan tempatku favoritku. Tapi berhubung  sedang butuh suasana lain aku menurut.  Meski sebenarnya adalah pelarian, karena sudah enggan menangis.

Apalagi membayangkan pesta pernikahan yang seharusnya menjadi milikku. Tapi inilah kenyataannya, aku terdampar ditempat ini bersama Andien dan pria yang baru kukenal. Entah apa yang terjadi dalam pesta itu. Aku lelah memikirkan semua.

Bang Sadha  segera meminta ruangan VIP, karena dia bilang agak malas dengan suara berisik. Andien sudah  mulai menggoyangkan tubuhnya dan  segera menuju lantai dansa. Sementara, Aku memilih mengikuti pria itu.

"Kamu mau  minum apa, Ay?"

"Yang bersoda saja, Bang."

Ia memesan segelas vodka dan minuman pesananku. 

Kami kemudian duduk di sofa yang terasa empuk.

"Kok bengong?" Tanya pria itu lagi.

Aku menggeleng sambil menimang ponsel yang sudah beberapa hari kumatikan. Bang Sadha tampaknya memperhatikanku.

"Kenapa ponselnya?"

"Mau diaktifin tapi takut." jawabku jujur.

"Takut kenapa?"

"Ada yang menautkan pesta pernikahan dan memberi informasi. Rasanya aku belum siap." Jelasku.

"Tapi kamu tetap harus menggunakannya. Bagaimana nanti cari kerja kalau nggak punya nomor ponsel?"

"Aku nggak siap." Jawabku putus asa.

Pria itu menatapku lembut.

"Aku juga dulu begitu saat baru cerai. Nggak punya pekerjaan,  dan masih harus menjawab pertanyaan orang tentang perceraian,  karena selama ini kami terlihat harmonis. Kadang aku mau marah, tapi akhinya sadar itu nggak berguna. Semua sudah terjadi, dan aku merasa sudah melakukan yang terbaik.

Berbulan aku menstalker akunnya, karena tidak sanggup kehilangan. Sampai akhirnya sadar, kalau semua sia-sia. Terlalu sakit, saat melihat dia bisa melanjutkan hidup tanpaku, dan bersikap biasa aja seolah nggak ada masalah."

"Sakit banget ya, Bang."

"Banget, Aya. Saat itu aku tidak tahu apa salahku. Aku bukan pemabuk, bukan penjudi, nggak pernah selingkuh. Tapi sepertinya tekanan keluarganya agar berpisah denganku terlalu kuat. Dan akhirnya setelah kami punya dua anak,  dia menyerah.

Kalau kupikir, mending dari awal saja kan? Jadi korbannya cuma kami berdua. Sekarang korbannya malah sudah jadi empat."

Aku hanya mengangguk.

"Sebenarnya aku penasaran juga, Bang. Tapi karena belum siap, aku abaikan."

"Ya sudah, jangan diaktifkan dulu. Tapi buat targetnya. Kamu kan nggak mungkin begini terus."

Cukup lama kami terdiam  sampai kemudian Andien muncul dengan tubuh penuh keringat.

"Abang udah pesan?"

"Sudah, tapi punya kamu belum. Mau abang pesankan?"

Andien menolak, akhirnya sahabatku itu kembali ke luar.

"Setelah ini, Aya rencana kemana?" tanyanya lagi.

"Belum tahu, Bang. Entah disini aja atau ke kota besar lain."

"Kalau Jakarta?"

"Tergantung kerjanya nanti."

Kembali Bang Sadha mengangguk kecil.

Akhirnya kulihat pria itu merebahkan kepalanya ke sofa.

"Abang ngantuk?" tanyaku.

"Tunggu Andien aja." Jawabnya.

Aku mencoba tersenyum. Ia menatapku penuh arti, tapi aku tidak tahu apa artinya.

***

Dalam perjalanan pulang, aku duduk di  depan. Sementara Andien masih disana dan akan pulang bersama teman-teman lamanya yang kebetulan baru bertemu. Sudah hampir jam satu pagi. Namun jalanan di kota bandung masih cukup ramai. Aku mengiyakan saat Bang Sadha menawarkan untuk jalan-jalan.

Kembali, kutimang ponselku. Sampai akhirnya pria itu menghentikan mobil di depan sebuah gerobak penjual nasi goreng.

"Abang makan dulu ya, kamu mau ikutan?"

"Nggak ah bang, tadi kan udah sama tante."

Pria itu mengangguk kemudian buru-buru turun. Tak lama kembali masuk.

"Udah pesan, sebentar lagi diantar."

Aku hanya tersenyum.

"Masih galau dengan ponsel kamu?"

"Iya."

"Boleh abang bilang sesuatu?"

Kembali aku mengagguk.

"Bukalah, karena sedari tadi kamu hanya memikirkan itu, maka sebenarnya kamu harus melakukan hal tersebut."

"Aku takut nangis lagi."

"Tapi kamu sedang kepingin tahu, kan? Sebelah jiwa kamu memilih itu. Semakin kamu melarang diri sendiri akan semakin sulit  keluar dari kesedihan. Buka lah sebentar, kalaupun nangis kan ada Abang, minimal kamu nggak nangis sendirian."

Kuhembuskan nafas kasar, akhirnya kutekan tombol disamping kanan. Ponselku segera aktif, tak lama dentingan terdengar tak berhenti. Segera ku ubah menjadi silent mode. Bersamaan dengan itu nasi goreng pesanan datang.

Pertama kubuka pesan di WA. Ada banyak sekali nama muncul disana. Namun belum sempat membuka salah satunya, sebuah panggilan segera muncul. Ayah! Kutatap Bang Sadha.

Mataku kembali berkaca, tidak kuangkat. Kembali nama ayah muncul disana, kutatap fotonya yang tengah memelukku dari belakang. Tampaknya ayah tidak menyerah. Aku sedang tidak ingin berbicara dengannya. Seketika aku menangis kembali. Bang Sadha segera menyerahkan selembar tisyu.

Pria itu meletakkan piring di Dashboard lalu meraihku ke dalam pelukannya. Mengelus rambutku, sama seperti yang selalu dilakukan ayah saat aku bersedih.

Sampai kemudian aku sadar, bahwa kami adalah orang asing yang kebetulan bertemu.

"Maaf, Bang."

"Nggak apa-apa."

Ponselku sudah berhenti berdering, namun pesan dari ayah, segera menempati urutan teratas. Kubuka,

[Aya dimana? Ayah jemput ya?] kalimat itu menohokku. 

"Kenapa?"

"Ayah, memintaku pulang. Dan aku tidak ingin pulang."

"Sampaikan padanya keputusanmu."

"Malas, nanti jadinya bersahut-sahutan."

"Abang tidak tahu masalah kalian, tapi posisi abang sekarang adalah orangtua. Dan akan sangat khawatir kalau anaknya tidak pulang ke rumah."

"Semua terlalu complicated, Bang."

Aku menimbang sejenak, apakah harus memberitahu Bang Sadha.

"Adikku merebut tunanganku, sehingga mereka harus menikah, Adikku sudah hamil, semua berada diluar pengetahuanku." Kalimat tersebut akhirnya keluar dari mulutku.

Bang Sadha menghembus nafas kasar, kulihat piringnya sudah kosong. Aku kembali membuka pesan lain. Dari salah seorang mantan atasanku.

[Saya dengar kamu batal menikah dari grup kantor. Apa masih mau bekerja? Salah seorang teman saya sedang mencari karyawan, yang menurut saya, kualifikasi kamu cocok bekerja disana. Kalau berminat silahkan hubungi saya.]

Aku tersenyum tipis, ini adalah kabar yang paling menyenangkan. Sementara itu, Bang Sadha kembali turun untuk mengembalikan piringnya. Akhirnya mobil kami kembali berjalan.

"Gimana? Lega sekarang?"

Aku menoleh dan mengangguk.

"Mantan atasanku menawari bekerja di perusahaan milik temannya. Untung dibuka sekarang, karena pesannya baru dikirim jam delapan malam tadi. "

"Tuh kan, akhirnya ada hikmah kamu buka ponsel."

"Iya, Bang. Makasih ya sarannya tadi. Aku kira aku nggak akan sanggup."

"Hidup harus terus berjalan Aya. Sama dengan hidupmu. Nggak berencana pulang ke rumah?"

Aku menatapnya tak mengerti.

"Maksud abang, ke rumah orangtuamu, bukankah tempat anak gadis yang belum menikah adalah di rumah orangtuanya?"

Kutatap keluar jendela. Kami tepat berada didepan sebuah pasar yang sudah menunjukkan geliatnya. Para pedagang dan pembeli saling berinteraksi, sebuah pemandangan menarik. Sudah berapa lama aku tidak berinteraksi dengan orang luar? Rasanya lama sekali.

Entah kenapa, kegiatan mereka memberiku energi baru. Meski masih sedih, aku harus berusaha berhenti menangis.

"Aku belum bisa, Bang." Jawabku pada akhirnya.

Kulirik Bang Sadha yang hanya mengangguk. Aku tengah mempertimbangkan apakah kalimatku selanjutnya akan berguna baginya atau tidak. Tapi akhirnya kuputuskan untuk mengatakan.

"AKu nggak tahu dimana mereka akan tinggal. Masih malas ketemu mereka. Aku yakin mereka akan sering pulang ke rumah." Kalimat itu kuucapkan dengan rasa lega.

Ia hanya mengangguk, mobil terus berjalan.

"Abang nggak ngantuk?" tanyaku.

"Jam tubuh abang masih ikut jam sana."

"Apa kata tante nanti, kalau abang pulang pagi?"

"Nggak apa-apa. Lagian dia tahu kalau kita pergi bersama. Mami sangat khawatir dengan keadaan kamu."

"Aku jadi nggak enak sama Tante Biring."

"Nyantai aja, mami memang begitu. Kadang terlalu sensitif malah, mungkin karena aku anak tunggal."

"Abang tunggal?"

"Ya, tapi aku punya beberapa kakak angkat. Yang semua sudah seperti keluarga sendiri. Lumayanlah, mami jadi nggak kesepian karena anaknya jarang di rumah."

"Tapi Tante Biring hebat Lho Bang, Sanggup berpisah sama anak satu-satunya."

"Papiku juga dulu Pelaut, nurun ke aku, jadi mami sudah biasa ditinggal."

Pembicaraan kami semakin menarik, kali ini aku merasa benar-benar seperti menemukan seorang kakak laki-laki. Tidak salah kalau Andien suka padanya, tipe pria yang suka ngemong.

Akhirnya kami kembali ke Cihanjuang, setelah lelah berputar-putar tanpa arah mengelilingi kota Bandung di malam hari. Sudah hampir pagi saat aku sampai di rumah. Bi Elis tengah membuka jendela.

"Andien sudah sampai, Bi?" tanyaku.

"Belum, Neng."

Aku hanya mengangguk, meski sedikit khawatir. Sahabatku itu kadang tidak bisa menahan diri terhadap pergaulannya. Kuletakkan sebungkus bubur ayam yang kubeli dalam perjalanan pulang tadi.

"Bi, ini ada bubur ayam, dimakan ya?"

"Nuhun atuh Neng, jadi ngerepotin."

"Nggak lah, sekalian lewat tadi." Balasku sambil menuju lantai dua.

Kubuka pintu kamar udara terasa pengap. Kulangkahkan kaki menuju jendela dan membukanya. Terasa segar dan dingin. Kutatap kearah jendela Bang Sadha yang sudah lebih dulu terbuka. Tidak ada siapapun disana. Mungkin pria itu sudah tidur.

Enggan mandi, aku hanya membersihkan wajah dan berganti pakaian. Lalu merebahkan tubuh di kasur. Rasanya nyaman sekali. Kubiarkan ponsel aktif karena siang ini berencana memulai hidupku. Biarlah semua berlalu, satu minggu sudah lebih dari cukup untuk menangis.

Aku tidak pernah mengira bisa melewati hari minggu kemarin. Sebelumnya aku membayangkan kalau akan dihabiskan dengan hujan airmata dan kesedihan. Ternyata aku salah, Tuhan sudah menyiapkan orang lain untuk menghiburku.

Aku tidak tahu kapan kekecewaan dan kesedihan ini akan berlalu. Tapi saat ini rasanya aku siap untuk kembali melangkah menjalani hari-hariku.

***

Happy reading

Maaf untuk Typo

11720

Continue Reading

You'll Also Like

411K 29.8K 31
"Tanggung jawab lo cowok miskin !!" - Kalka "B-baik, kamu tenang ya ? Saya bakal tanggung jawab" - Aksa
759K 147K 48
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...
5.4M 290K 56
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
402K 2.4K 18
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...