456

By Adonisstone

1.1M 140K 20.4K

Carita, seorang penyintas kekerasan seksual ingin terbebas dari luka masa lalunya setelah delapan tahun menco... More

TES TES!
456-I
456-II
456-III
456-IV
456-V
456-VII
456-VIII
456-IX
456-X
456-XI
456-XII
456-XIII
456-XIV
456-XV
456-XVI
456-XVII
456-XVIII
456-XIX
456-XX
456-XXI
⚠️ 456-XXII ⚠️
456-XXIII
456-XXIV
456-XXV
456-XXVI
456-XXVII
456-XXVIII
456-XXIX
456-XXX
456-XXXI
456-XXXII
456-XXXIII
456-XXXIV
456-XXXV
456-XXXVI
456-XXXVII
456-XXXVIII
456-XXXIX
456-XL
456-XLI
456-XLII
456-XLIII
456-XLIV
456-XLV
456-XLVI
456-XLVII
456-XLVIII
456-XLIX
EPILOG
AFTER 456 - I
AFTER 456 - II
AFTER 456 - III
AFTER 456 - IV

456-VI

33.8K 3.7K 431
By Adonisstone

Hari minggu yang biasa kunikmati dengan workout, hang out sendirian, atau sekedar rebahan ditemani cake-cake manis, kali ini harus tidak biasa karena gangguan dari Iza. Pagi buta, cowok itu sudah menghebohkan grup WA yang berisikan hanya aku, dia, dan Niken dengan kabar kalau ia baru saja diputuskan pacarnya. Dengan heboh juga ia memaksaku dan Niken datang ke apartment-nya pagi ini juga.

Untuk apa? Entah. Mendengarnya merengek mungkin.

Aku mengernyit saat tahu bukan Niken yang ada di dalam apartment Iza. Malah Fabi dan Oli yang ada di dalam, duduk santai menonton TV bak di tempat sendiri.

"Lo ngundang semua staf HR buat syukuran, Za?" tanyaku mengernyit pada Iza.

Cowok itu mencebik malas. Aku memutar bola mata lebih malas.

Kalau tahu bukan cuma aku dan Niken yang diundang, mending aku tidak datang. Iza butuh teman agar tidak berlarut-larut patah hati, iya, tapi kalau temannya kebanyakan malah kesannya dia mau bikin ekshibisi.

Fabi nyengir mendengar pertanyaanku sebelumnya, yang memang terdengar kurang berkenan dengan keberadaan mereka. "Gue sih ke sini emang mau kabur dari Mona, biar itu anak sekali-kali weekend sama bokapnya. Nggak tahu nih si Oily."

"Gue memang care sama kesehatan mental semua pegawai, apalagi staf HR," jawab supervisor industrial relations itu santai sambil mengerling mata padaku.

"Apaan itu, Bu?" Fabi menunjuk plastik yang kubawa.

"Pecel lele, Fab. Cuma tiga nih, gue nggak tahu kalian datang juga. Niken mana?" Kuberikan plastik ke Oli yang sudah menengadahkan tangan.

"Kamar mandi."

Aku duduk di sebelah Oli dengan jarak cukup lebar. Iza menyusul duduk di single sofa. "Gimana ceritanya? Bukannya semalam masih baik-baik aja?" tanyaku pada Iza.

"Emang iya, tapi dini hari tadi dia WA tiba-tiba minta break up. Baru pagi gue baca, Beb. Langsung amsyong gue!"

"Lah, dini hari banget?"

"Abis solat istikharah kali, terus dapat ilham buat mutusin Iza." Fabi si biang tega menyambar dengan kikikan nakal.

"Dia bilang kenapa?"

Iza menggeleng putus asa. "Nggak cocok lagi, katanya. Anjing kan?" Aku hanya mendecak. Variasi alasan putus tidak berkembang kah? Itu-itu saja?

"Dion kan emang tampang-tampang berengsek, padahal gue udah bilang dari dulu. Gue siar ulang nih, Za, cowok keker, cakep, bawa Pajero kayak Dion mah berengsek. Valid itu." Oli menceletuk santai sambil membuka satu bungkus pecel lele tanpa menyilakan yang lain.

"Lo jahat ya, Li."

"That's the truth. Mungkin dia dapat botty baru. Atau tiba-tiba straight, bisa aja 'kan?"

Sebenarnya agak lucu mengurusi hubungan gay ini, tapi aku tidak berani tertawa sama sekali. Takut menyinggung Iza. Berbeda dengan Oli dan Fabi yang memang raja dan ratu tega.

"Apa pun alasan Dion si gay itu nggak penting lagi. Lupain aja bencong itu. Badan titit doang digedein, nyalinya seupil. Mutusin kok lewat WA, mana sepele banget ngasih alasan. Nggak usah dipikirin lagi tuh orang, lo move on deh, cari ganti," sela Fabi penuh petuah.

"Kalau perlu cari yang cewek," timpal Oli.

"OLI!" Itu aku yang berteriak.

Tidak peduli Iza sudah bertanduk ingin menyeruduknya, Oli tetap tertawa.

"Sama Kak Caca aja," Niken yang sudah bergabung menimpali dengan gurauan.

"Oh, nggak bisa dong. Caca udah sama gue," sela Oli cepat. "Nih, duduknya aja udah sebelahan gini kayak di pelaminan."

Kutatap Oli yang dengan santainya menyuap pecel lele ke mulut, sementara yang lain menanggapi dengan kekehan biasa. Oliver terlalu sering menggodaku begitu sampai hal itu menjadi seperti nasi bagi orang-orang yang mendengar—seperti makanan sehari-hari. Sementara aku yang memiliki pengalaman pribadi dengannya jelas tidak.

Oli selalu menggodaku begitu bukan murni sebuah candaan. Dia memang mempunyai ketertarikan padaku. Dia pernah mengakui perasaannya padaku dan mengajakku berkencan enam bulan lalu, tapi aku menolaknya.

Ada hubungan profesionalitas di antara kami yang tidak ingin kucampuri dengan afeksi lain. Sejak awal memasuki dunia kerja, aku memiliki prinsip tidak akan menjalin hubungan non-profesional yang terlalu jauh dengan rekan kerjaku. Selain itu, aku juga belum tertarik dengan hubungan seperti itu meski usiaku sudah di pangkal dua puluhan.

Dan hal yang paling menyebalkan dari itu semua, Oli tidak berhenti sampai di sana.

"Iya, ya, kenapa lo nggak sama Oli aja sih, Bu?" Fabi menimpali.

"Nah, kan." Oli berseru semangat. "Mending sama gue daripada sama gay."

Mending? Aku hanya mendesah malas mendengar kata itu. Mending adalah kata yang terlalu politis untuk urusan memilih pasangan. Mending A daripada B seolah pilihan sangat terbatas. Hanya A atau B seolah dalam rentang waktu ini hanya dua pilihan itu yang ada di depan mata. Tapi bagaimana kalau ternyata keduanya bukan yang kucari? Dan bagaimana kalau ternyata saat ini aku memang tidak mencari?

Memilih pasangan jelas tidak bisa dipadankan dengan memilih calon Presiden dalam Pemilu. Pemilihan Umum selalu ditentukan waktunya dan waktu yang disediakan untuk memilih dibatasi. Aku harus memutuskan untuk memilih di antara pilihan capres-cawapres atau legislatif yang ada saat itu. Konsep mending sangat relevan di sini.

Berbeda dengan memilih pasangan. Tidak ada waktu tenggat untuk memilih pasangan, dalam kamusku. Aku boleh memilih hari ini atau tiga tahun lagi atau lima tahun lagi. Pilihanku tidak terbatas pada saat ini. Aku bisa mencari yang benar-benar kucari. Sampai benak dan pikiranku terisi penuh dengan keyakinan kalau aku sudah mendapatkan apa yang kucari itu. Aku akan memilihnya karena dia yang kucari, bukan hanya karena dia mending daripada yang lain saat ini.

Setidaknya itu yang jadi prinsipku selama ini. Pada realitanya aku memang belum mencari—atau memang tidak.

"Bayangin lo jadi Iza. Parah kan? Orang Iza lihat lo pakai make up bukannya muji cantik, malah dia iri dengki." Oli masih melanjutkan banyolannya yang sekarang membuatku benar-benar tertawa.

Iza mendelik tak terima. "Gue doain lo lepas lebaran haji jadi gay! Dapet botty gue!"

"Aamiin!"

"Anjing, ogah, amit-amit!"

"Tapi Oli emang gay-able, nggak sih, Za? Tampangnya, badannya, karismanya." Fabi kembali menimpali dengan tawa.

"Idaman, Cyn."

"ANJING!"

Setelah itu Iza dan Fabi makin semangat merundung lelaki itu. Oli meskipun bukan homophobic, tapi terlihat sekali dia sebenarnya kurang nyaman dengan hal-hal yang berkaitan dengan LGBT. Apalagi kalau Iza sudah menggodanya dengan hal-hal yang menyerempet topik LGBT dan menjadikan Oli objek, dia bisa sangat marah. Serius, sangat marah.

Kupikir itu wajar sekali. Meski dia juga tahu Iza pasti hanya bercanda, tapi bercanda pun ada ukuran, ruang, dan sentimen masing-masing orang yang tidak bisa dipaksakan antara orang satu dan yang lain.

Tidak harus menerima atau menolak konsep LGBT itu, kamu tetap boleh marah kalau merasa tersudut atau tidak suka dijadikan objek bercandaan LGBT. Marah karena diperlakukan seperti itu, bukan marah karena anti dengan LGBT-nya, itu pendapatku.

Mengabaikan mereka, aku memilih menyalakan ponselku yang sedari tadi mati. Beberapa pesan masuk dan khususnya dari Rian langsung menarik perhatianku begitu layar menyala. Setelah pesannya pagi tadi tidak kubalas, kali ini Rian menawariku pertemanan.

Aku menimbang sesaat tawaran aneh itu. Dia sedang bercanda kah?

Oke. Ini memang agak komedi, apalagi aku membalasnya.

Saya bisa pertimbangkan kalau bapak kasih tahu nama asli.

***

35, pegawai.

Oke, coret Opie Kumis dan Haji bolot.

Pegawai OJK

Visual lelaki di kepalaku langsung bertransformasi dari Haji Bolot menjadi Tian dengan tungkai panjang terbungkus celana bahan, dada tegap dan kemeja slimfit, bahu lebar yang pas, dan berdasi. Itu lebih adil kan?

Aduh, kenapa harus Tian? Aku tertawa dalam hati.

Tapi penggambaran Tian itu sama sekali tidak berlebihan. Dia memang enak dipandang sampai dia mulai bicara.

"Bu, sibuk sama HP mulu. Chatting sama Pak Tian, ya, hayoooo?" Fabi tahu-tahu berbisik di sebelahku.

Aku mendongak kaget. Kenapa harus ada yang menyebut nama Tian saat aku baru saja, tak sengaja, memikirkannya? "Ya kali. Tiap weekend nomornya gue block, masa lo lupa, Fab?" kelakarku.

Bunyi bel apartment membuat kami berempat diam dan serempak mengernyit.

"Lo undang siapa lagi sih, Za? Setia?"

"Enggak lah." Iza berdiri dan melangkah ke pintu.

"Pak Tian kali."

"FUCK YOU, DION!"

Aku, Fabi, dan Oli serentak berdiri mendengar teriakan Iza. Kami berpandangan penasaran beberapa saat. Lalu aku mengambil langkah menyusul Iza saat lelaki itu kembali berteriak.

"MAU APA LO KE SINI?"

***

"Iza tolol!" Oli kembali tertawa.

Kami sudah di tempat parkir gedung apartemen Iza. Oli menebengku karena dia tidak membawa kendaraan. Dia sedang jogging saat Iza menelepon dan menyuruhnya ke apartment lelaki lebay itu tadi.

"Kalau besok nggak harus screening dua ratus CV, tuh anak udah kujotos kali."

Jadi, yang sebenarnya terjadi adalah Dion cuma nge-prank Iza. Hari ini, hari jadi mereka ke satu tahun dan Dion si macho nan tampan rupawan itu entah mendapat ide lebay dari mana ngeprank putus pacarnya. Nggak mau kalah banget dari pasangan hetero.

Aku memakai helmku, Oli memakai helm milik Iza. Ia meminta kunci motorku kemudian naik ke jok motor. Aku menahan tawa. Badan Oli tinggi, ini motorku jadi kelihatan seperti sepeda roda tiganya bocah umur lima tahun.

Kuhela napas panjang beberapa kali sebelum naik memboncengnya.

"Cari makan dulu yuk!" usahanya.

"Lo udah makan pecel lele dua bungkus, ingat?"

"Gue minum aja, lo yang makan."

"Gue diet."

Oli terkekeh mengalah tahu aku benar-benar menolaknya, lalu melajukan motor.

Dibonceng Oli, aku melanjutkan chatting dengan Rian lagi. Ah, bagaimana, ya, aku seperti di antara ingin mengabaikannya, tapi juga ingin meladeninya karena ternyata asyik chatting seperti ini.

Biarlah. Untuk mengisi waktu apa salahnya?

Yap. Aku hanya cari pembenaran.

But I'm a good friend, can be pretty sweet too.

Narsis banget, huh.

Berusaha membangun personal branding, Pak?

Aku sendiri agak takjub. Biasanya aku sangat selektif dan waspada pada lelaki asing. Kini dengan Rian sepertinya aku banyak mengendorkan kewaspadaanku meski hanya dalam komunikasi teks.

Itu dia. Mungkin karena ini hanya 'komunikasi teks' jadi aku lebih berani berinteraksi dengannya. Pun kami tidak saling mengenal sebelumnya, tidak ada rasa sungkan seperti jika dengan orang lain yang pernah kukenal. Ini seperti ketika orang-orang berinteraksi di media sosial. Mereka selalu punya keberanian lebih untuk mengomentari orang-orang yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya. Ya, seperti itu.

***

"Nggak mau naik? Main ke unit Tian gitu?" Kami sudah sampai di depan gedung apartemen Oli dan baru saja pria itu menawariku dengan sedikit gurauan.

Aku menggeleng cepat. Unit apartment Oli memang satu lantai dengan unit milik Tian. Hal yang membuat mereka berteman cukup akrab di luar kantor, selain karena memang sudah saling mengenal sejak remaja. Sementara aku tidak sedekat itu dengan Tian dan Oli. Walau sudah bekerja dengan mereka lebih dari empat tahun, kami tidak dekat secara personal. Berinteraksi juga hanya di kantor, jarang bertemu di luar. "Mau langsung balik aja."

"Tunggu bentar aja. Bentar lagi Tian turun, nih."

"Sotoy Oli."

"Liat aja! Gue tahu jadwal weekend-nya kali."

Aku hanya geleng kepala dan memikirkan cara mengusir Oli dari motorku.

"Tuh!"

Aku mengikuti objek yang Oli tunjuk. Tian berjalan keluar dari gedung apartemen dan menghampiri kami dengan kernyitan di keningnya. Kembali kutatap Oli dengan tampang terbengong. Timingnya bisa pas begitu?

"Dari mana ini?" Tian langsung mengajukan pertanyaan begitu sampai di depan kami.

"Weekend, biasa dong, Yan," jawab Oli santai. Aku bukan tidak tahu dia sengaja memilih jawaban ambigu begitu. "Udah mau belanja?"

"Iya. Lo nggak bareng?"

"Nanti aja."

Akrab sekali kan? "Sendirian dong, Pak?" selaku berniat bercanda.

"Kamu mau menemani? Nggak usah lah."

Aku terbengong. Oli mengernyit. Sementara Tian menutup dengan mengulas senyum jelek sebelum kemudian pamit.

"Rese banget tuh godain lo, nggak tahu pacarnya di sini?"

"Heh!" Aku makin melotot. Ia tertawa tak peduli. Aku akan memintanya turun dari motor, tapi denting ponselku lebih dulu meminta perhatian.

Enggak. Barusan saya flirting.

Continue Reading

You'll Also Like

1M 112K 43
May contain some mature scenes Daphne Kenandra tidak sengaja terjebak dalam lingkaran high society karena tips dari website Woman's World tentang gol...
7.8K 483 18
Siapa sangka, dari sebuah training di luar negeri kelima wanita dengan profesi mulia dan bekerja di tempat yang sama membentuk gank dan menjadi sahab...
505K 35.6K 34
Cincin warisan membawa Gayatri dan Niko kepada dua kemungkinan; menyambung janji masa lalu atau malah berakhir tragis seperti kisah ratusan tahun sil...
1.6M 14.1K 24
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...