Cerita Bianglala dalam Semesta

By ciratyeha

1.1K 248 238

Kelabu Nubiana di masa kecil amat menyukai bianglala. Tiada akhir pekan pun perayaan ulang tahun terlewati ta... More

2. Tentang Rasa dan Takut
3. Perpustakaan Kota
4. Satu Realitas
5. Apakah Teman?
6. Keindahan itu Hanya Tersimpan
7. Kamuflase Tawa
8. Langit Biru atau Awan Abu-Abu
9. Menemani Iva
10. Tempat Reparasi Kunci
11. Obat Lara, Benarkah?
12. Istana Baca
13. Kejanggalan
14. Ada yang Berbeda
15. Wabah Budak Cinta
16. Pertanyaan Tanpa Jawaban
17. Pesan dari Baga
18. Hari Patah Hati
19. Rumah Lintang

1. Sebelum Lara

307 58 87
By ciratyeha

Satu poin paling menyakitkan dalam hal kehilangan adalah di saat sosok yang disayangi pergi tanpa menyisakan jejak sama sekali. Hanya rasa bingung dan pertanyaan mengapa harus ditinggalkan.

***

Dua sudut bibir Kelabu tertarik ke atas, membentuk sebuah lengkung senyum yang manis dipandang. Gadis kecil itu kembali melihat pantulan tubuh mungilnya yang mengenakan gaun abu-abu selutut di cermin besar yang ada di kamar tidur. Begitu cantik dengan pita melingkar di bagian pinggang serta butiran-butiran mutiara putih di sekililing leher gaun. Surai hitam Kelabu digerai lurus dengan dua penjepit terpasang di sisi kanannya.

Hari ini adalah hari spesial Kelabu. Tak lain dan tak bukan hari ulang tahun yang kesepuluh. Sesuai dengan permintaannya tatkala ditanya oleh ayahnya ia menginginkan apa sebagai hadiah ulang tahun, Kelabu mengatakan ia hendak menghabiskan sisa hari di pasar malam. Begitu sederhana, tetapi itulah kesukaannya. Di sana ada sesuatu yang dengan mudah menciptakan bahagia.

"Kak Unggun, Kelabu udah cantik, 'kan?" Kelabu berpaling menatap menggemaskan ke arah kakak perempuan yang dengan piawai mengubahnya bak tuan putri di dunia dongeng.

Unggun tanpa ragu mengangguk cepat. "Adeknya Kak Unggun udah cantik dan akan selalu cantik." Gadis remaja itu mengusap lembut puncak kepala Kelabu.

Kelabu tersenyum makin lebar. Seperti anak kecil pada umumnya, ia senang ketika dipuji oleh orang lain. Apalagi itu berdasarkan dengan kebenaran.

Obrolan ringan antara dua kakak beradik itu terpotong sesaat suara klakson mobil terekam oleh gendang telinga mereka. Kelabu antusias beringsut dari tempatnya, berlari kecil ke luar rumah untuk menghampiri sosok yang paling ia tunggu sedari tadi. Tiada lain adalah ayahnya. Gumawan yang baru saja pulang bekerja.

"Ayah!" pekik Kelabu. Gadis kecil itu merentangkan kedua tangan, meminta sebuah pelukan hangat dari Gumawan.

"Ayah, Kelabu udah siap, tahu! Pokoknya, habis ini Ayah langsung mandi, ganti baju, dan enggak boleh lama. Terus, kita langsung berangkat, deh."

Pria paruh baya itu tertawa sejenak, gemas menangkap semangat anak bungsunya yang begitu berapi-api. "Iya, Nak, siap," balas Gumawan tegas dan tentu busur senyumnya enggan terlepas.

Kelabu menggelengkan kepala, berupaya mengeratkan pelukannya yang semula merenggang. "Enggak mau, Kelabu penginnya digendong Ayah."

Gumawan menghela napas pelan. Pria itu mengiakan saja kendati beberapa bagian tubuhnya, terutama bahu dan punggung terasa pegal, akibat usia yang makin tua dan pekerjaan di kantor yang kian membeludak. Membuatnya harus duduk di depan komputer selama berjam-jam dan memimpin beberapa pertemuan yang diadakan dengan klien perusahaan.

Kelabu kecil tampaknya tidak memedulikan hal itu. Bahkan, ia membuang wajah ketika kakak tertuanya, Asap, mengeluarkan ejekan. "Manja banget, sih, kamu, Dek. Anak manja nanti enggak diajakin naik bianglala, lho."

"Bang Asap, jangan dijahilin adeknya," tegur Gumawan usai mendapati raut wajah Kelabu menjelma seperti benang kusut.

Asap terkekeh meminta maaf. "Abang enggak iseng lagi, deh."

"Mbak Hani sudah pulang, Bang?" Gumawan melempar tanya di saat kedua netranya tidak menemukan eksistensi wanita yang menjadi pembantu paruh waktu di kediaman mereka. Hani juga ditugaskan untuk menjaga Kelabu selama ia berada di tempat kerja, sesaat Kelabu yang masih sekolah dasar pulang lebih dulu daripada kedua kakaknya.

Asap mengangguk beberapa kali. "Setelah azan magrib, seperti biasanya, Yah."

"Ayah, kok, jadi ngobrol sama bang Asap? Ayo cepetan! Tadi katanya Ayah mau siap-siap. Kelabu enggak mau, ya, kalau sampai pasar malamnya tutup." Suara serta muka masam yang sarat akan kekesalan itu berhasil menarik perhatian Asap dan Gumawan.

"Iya, iya, baik, Kesayangan Ayah."

Gumawan mengalah, pria itu kembali melanjutkan langkah. Sedangkan Kelabu masih melayangkan tatapan sebalnya pada Asap. Tidak menghiraukan apa pun, sebab bagi Kelabu hari ini merupakan hari miliknya. Mungkin pula, saking tidak acuhnya seorang Kelabu kala itu, ia sama sekali tidak menyadari adanya raut kesedihan di antara gurat-gurat kelelahan pada roman muka Gumawan.

***

Mobil sedan hitam yang dikemudikan oleh Gumawan melaju di keramaian jalan raya. Tatapan Kelabu mengarah pada jendela mobil yang ia buka dengan lebar. Angin malam berdesir membuatnya merasakan kesejukan. Gadis kecil itu tampak begitu menikmati perjalanan menuju pasar malam, di saat sang ayah tak henti mengkhawatirkan dirinya sejak tadi.

"Kelabu, pakai jaketnya, ya, Sayang. Nanti kamu masuk angin," ucap Gumawan sembari melirik anak keduanya, Unggun, yang memegangi jaket milik Kelabu di kursi belakang. Pasalnya, gadis kecil itu hanya mengenakan gaun abu-abu tanpa lengan. Gumawan juga sudah memprotes hal ini. Kedua kakak Kelabu bahkan menjadi sasaran omelan Gumawan ketika mereka masih di rumah.

"Pakai jaketnya, Dek, atau kita enggak jadi ke pasar malam," tegas Asap seolah keisengannya beberapa saat lalu raib ditelan waktu.

Kelabu tetap menolak. "Pokoknya, Kelabu enggak mau. Lagian Kelabu, 'kan, udah biasa pakai ini di setiap ulang tahun. Kelabu enggak kenapa-kenapa, tuh. Bang Asap juga enggak boleh ngatur-ngatur. Di sini ayah yang nyetir mobil dan Kelabu yang ulang tahun."

Memang tak ada kesalahan dari ucapan yang dilontarkan oleh Kelabu barusan. Tiap perayaan ulang tahun, ia selalu mengenakan gaun tanpa lengan. Tampil bak tuan putri satu hari. Akan tetapi, kali ini berbeda. Mereka pergi ke perkumpulan wahana itu di malam hari. Tidak di waktu siang atau sore seperti biasanya. Ini pula karena kesibukan Gumawan belakangan.

"Kelabu enggak bakalan sakit, Ayah, Kak Unggun, dan Bang Asap, Kelabu janji," kata Kelabu kukuh pada pendiriannya.

Setelahnya tidak ada yang membahas tentang perjaketan dan Kelabu lagi. Meski tak begitu yakin Kelabu tidak akan apa-apa, tiga orang yang disebutkan oleh Kelabu tadi memilih mengalah. Mobil sedan hitam itu mulai memasuki wilayah tanah lapang yang menjadi tempat pasar malam. Lampu-lampu beragam warna yang berpendar di sana sini membuat Kelabu tak sabar untuk membebaskan diri dari mobil.

Satu wahana favoritnya berdiri tinggi, seakan memanggil Kelabu untuk lekas dihampiri. Bianglala, wahana yang menjadi pusat kebahagiaannya. Di mana tiada pekan yang berakhir tanpa wahana tersebut. Bahkan, di saat bertambah usia pun, Kelabu memilih bianglala sebagai hadiahnya.

"Mau main yang mana dulu, nih?" tanya Gumawan seiring langkah mereka berempat memasuki pasar malam.

"Bianglala, Ayah. Kelabu pengin naik bianglala!" sahut Kelabu cepat. Jari mungilnya menunjuk-nunjuk wahana yang tengah berputar-putar itu.

Kelabu sudah hendak berlari dari tempatnya jika saja Unggun tidak menahan tangan gadis kecil itu. "Nanti dulu, deh, bianglalanya. Kak Unggun pengin isi perut dulu, ya."

Asap yang mendengar penuturan Unggun mengangguk setuju.

"Yah ... Kak Unggun sama Bang Asap mah perut karet. Kan, tadi udah makan di rumah. Jajannya entar aja habis main," sungut Kelabu mengeluarkan jurus andalannya.

Sebuah tangan berurat milik Gumawan merengkuh tangan Kelabu yang bebas dari genggaman Unggun. Pria itu berujar mengambil jalan tengah, "Bang Asap sama Kak Unggun cari jajan dulu. Setelah itu terserah kalian mau main apa asalkan tetap hati-hati. Asap jagain Unggun, ya. Biar Ayah sama Kelabu. Nanti kalau sudah selesai, kita ketemu di sini lagi atau telepon Ayah kalian ada di mana."

Ketiga anaknya menyetujui tanda sepakat. Asap dan Unggun berlalu dari sana setelah melambaikan tangan. Dua remaja dengan selisih umur dua tahun itu menyusuri beraneka jajanan yang diperjualbelikan. Sementara Kelabu dengan antusiasmenya menarik lengan Gumawan menuju wahana bianglala.

"Pelan-pelan, Nak. Bianglalanya enggak bakal lari, kok."

Kelabu terkekeh ringan mendengar candaan yang dikeluarkan ayahnya. Akan tetapi, ibarat kata angin lalu, Kelabu tetap menarik tangan Gumawan, gadis kecil itu terlampau sukar untuk bersabar.

Usai membeli tiket dan dipersilakan memasuki kabin penumpang atau yang biasa disebut gondola—yang menggantung di struktur berbentuk roda raksasa—Kelabu dan Gumawan beranjak duduk bersebelahan.

"Ayah mau tanya, kenapa, sih, Kelabu suka sekali dengan bianglala?" Gumawan mengawali topik pembicaraan.

"Yaa, karena Kelabu suka aja. Di sini Kelabu bisa lihat semuanya. Enggak kayak di bawah, ketutupan pohon rimbun, bangunan tinggi. Kelabu pengin banget bisa naik bianglala paling tinggi sedunia, Yah."

Pria paruh baya itu mengangguk mengerti. "Jika ada waktu, Ayah ajak Kelabu ke sana, ya. Sebelum itu, Ayah berpesan, lain kali kalau kamu menyukai sesuatu buat alasan yang lebih dari sekadar suka saja. Sebab, di balik itu pasti ada sebuah hal berkesan yang kamu lupakan."

Bersilih ganti, kali ini Kelabu yang menganggukkan kepalanya. "Iya, nanti Kelabu pikirin lagi. Sekarang, 'kan, Kelabu masih kecil, Ayah."

Mendadak, bianglala berhenti berotasi. Hal biasa tentunya, tetapi bagi orang yang mudah terkejut atau baru memainkan wahana ini pasti akan bertindak panik.

"Kelabu enggak takut seperti mereka? Padahal gondola kita berada di posisi paling atas." Gumawan kembali mengajukan pertanyaan ketika melihat Kelabu bersikap biasa-biasa saja.

"Kelabu suka bianglala. Udah biasa juga naik begini. Udah sering ngerasain berhenti tiba-tiba. Jadi, Kelabu enggak bakalan cemas atau benci sama bianglala."

Dengan kondisi bianglala yang masih berhenti, atensi gadis kecil itu teralihkan. Di dekapan hangat sang ayah, Kelabu melemparkan sorot mata bulatnya ke hamparan cakrawala, di antara bangunan-bangunan tinggi khas kota metropolitan yang berlomba saling menyaingi. Terlihat cerah dengan bias cahaya rembulan yang menduduki fase purnama. Ribuan gemintang bagaikan titik-titik ajaib yang menguarkan sinar warna-warni dari kejauhan. Tidak butuh waktu lama, senyum sendu tercipta di wajah ovalnya.

"Ibu, hari ini Kelabu udah berumur sepuluh tahun. Kelabu senang, meskipun Ibu enggak pernah menemani Kelabu di sini. Tapi karena kekuatan Ibu saat itu, Kelabu masih bisa merasakan kebersamaan dengan Ayah, bang Asap, dan kak Unggun. Yang tenang di sana, ya, Bu. Kelabu akan selalu doain Ibu."

Gumawan mengungkap lengkungan di bibir tatkala menemukan anak bungsunya seakan berdialog dengan sosok yang memang tak ada lagi wujudnya. Mendiang istrinya pergi dari dunia ini ketika melahirkan Kelabu. Namun, ada yang berbeda dari senyuman Gumawan. Sesuatu yang dirahasiakan. Sebuah hal yang lagi-lagi lepas dari perhatian Kelabu.

Menetralkan ekspresinya sesaat, Gumawan berucap, "Oh, iya, Ayah punya hadiah untuk Kelabu."

Kedua mata bulat Kelabu seketika bertukar binar. Rasa sedihnya dalam waktu singkat lenyap. Sementara itu, bianglala kembali berputar.

"Wah! Ini apa, Yah?" Netra Kelabu berbinar setelah mendapati kotak kecil dengan corak bianglala abu-abu yang dikeluarkan dari tote bag—yang rupanya sedari tadi dijinjing oleh ayahnya. Kelabu baru menyadari hal itu.

Tepat di saat Gumawan hendak menjawab pertanyaan Kelabu, ponselnya bergetar dua kali. Sebuah pesan dari nomor yang kontaknya tidak ia simpan hadir kembali. Ada yang lain dengan Gumawan ketika membaca pesan tersebut. Dan dengan lihai, Pemilik Semesta seolah enggan Kelabu menjadi salah satu saksi, sehingga gadis kecil itu dibuat lebih asyik dengan hadiah barunya.

Bianglala berhenti bergerak. Kelabu menepuk lengan ayahnya, memberi tahu kepada Gumawan bahwa sudah saatnya mereka beranjak dari sana.

"Nak, kamu balik ke tempat awal kita tadi, ya. Di sana sudah ada bang Asap dan kak Unggun. Kalian pulang duluan saja. Ayah sudah pesankan taksi untuk kalian. Maaf, Kelabu. Ayah ada urusan sebentar."

Belum sempat Kelabu bertanya lebih lanjut. Sosok ayahnya pergi begitu saja. Perlahan lenyap di antara keramaian. Jauh dan tidak terlihat dengan pandangan. Kelabu menganggukkan kepala, gadis kecil itu berlalu dari sana menuju tempat semula dengan kotak kecil di dekapannya. Asap juga Unggun memang ada dan seperti titah Gumawan, mereka pulang ke rumah lebih dulu.

Akan tetapi, bagai disuguhkan hadiah selanjutnya oleh Pengatur Ketentuan. Keesokannya, tepat ketika bangun tidur, Kelabu tidak menemukan Gumawan. Di saat ia jatuh sakit karena masuk angin—sebab bengal memaksakan untuk tidak mengenakan jaket malam hari itu—ayahnya juga tidak kunjung pulang. Bahkan, hingga hari ini. Tatkala kejadian di pasar malam telah berlalu tujuh tahun lamanya, Gumawan belum jua menunjukkan kehadiran. Menghilang, pergi, tanpa jejak yang tersisa.

Hanya hadiah kotak kecil bercorak bianglala abu-abu yang diberikan Gumawan kala itu. Sebuah hadiah tidak dengan penjelasan. Kotak kecil yang baru Kelabu sadari, diberikan dalam kondisi tergembok. Tidak ada kunci yang berhasil ia temukan. Sehingga ia tidak bisa atau mungkin tak akan pernah bisa membukanya.

Semenjak malam hari itu, untuk pertama kali, bianglala menjadi bianglara dalam semestanya. Kelabu berubah sebagai pembenci bianglala. Setiap kali melihatnya, seolah ada pengingat bahwa satu sosok pergi usai pertemuan mereka di sana. Seakan menjelma sebuah kecaman, bahwa Kelabu yang menentang ketinggian berakhir ditinggalkan.

Continue Reading

You'll Also Like

ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 111K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
539K 20.1K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
5.4M 231K 54
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
3.1M 258K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...