Complicated Inside [END]

By alyahanunar

5.8K 1.6K 291

Janganlah terus mengeluh tentang kehidupanmu yang rumit, tetapi bersabarlah. Mungkin belum saatnya kamu bahag... More

Awal Kata
1. Sebuah Tragedi
2. Kisah Hidup
3. Percakapan Singkat
4. Dibayarin
5. Hanya Kebetulan
6. Tombak Es
7. Masih Sama
8. Hangat Yang Ditolak
9. Mendadak
10. Maaf Dan Bersemu
11. Dream Come True
12. Rumah Tanpa Kehangatan
13. Manusia Kutub
14. Kembali Indah
15. Sepenggal Masa Lampau
17. Kamu
18. One Person
19. With You
20. Sama-sama Terluka
21. Kesekian Kalinya
22. Difficult
23. After Gone
24. By Your Side
25. Waktu
26. Pengorbanan
27. Song
28. In The Moonlight
29. Unexpected
30. Stranger
31. Video Misterius
32. Painful
33. Kesalahpahaman
34. Whatever
35. Musibah
36. Broken
37. Alone
38. Different
39. Pupus
40. Berakhir
41. Titik Terendah
42. Self Harm
43. Terbiasa
44. Detektif
45. Bunuh Diri
46. Malaikat Pelindung
47. Titik Nadir
48. Terungkap
49. Sadar
50. Penyesalan
51. Kehilangan
52. Goodbye

16. Amarah Itu

115 36 2
By alyahanunar

HAPPY READING!

Jangan lupa klik bintang loh ya

***

Tak banyak yang dapat dilakukan saat semesta menghukum. Melawan, menjerit pun tidak akan didengar. –Alana

~~~

Setelah selesai mandi.

Arlyn duduk di tepi ranjang, mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Cowok itu memakai baju rumahan, kaus dan boxer.

Arlyn tak sengaja melihat ponselnya menyala, pasti ada sebuah pesan. Dia sengaja mode hening karena tidak suka berisik. Tangannya membuka kunci layar, mendapati pesan dari Alana. Seulas senyum tertarik begitu saja.

Alana:
Arlyn, udah pulang dari rumah Aldi?

Arlyn:
Udah. Cuma ngambil oleh-oleh doang.

Alana:
Isinya apa?

Arlyn:
Gak tau belum dibuka.

Alana:
Buka dong pengen lihat nih.

Selekas Arlyn bermain bersama Alana, cowok itu ke rumah Aldi. Mengambil oleh-oleh yang dibawakan ibunya Aldi dari Negeri Paman Sam. Arlyn tak keberatan untuk mengambilnya saat matahari sudah terbenam.

Ia bangkit mengambil hadiah berada di meja saat kembali sebuah panggilan video masuk dari Alana. Arlyn langsung menggeser tombol hijau.

"Halo, Arlyn!"

Suara ceria itu langsung menyapanya dna memintanya segera membuka kotak dari ibunya Aldi.

Berkat Alana cowok itu tidak terlalu memikirkannya perdebatan dengan Vano tadi. Alana mengisi kesepian malamnya.

~~~

Alana memasuki rumahnya yang sepi. Di luar langit sudah gelap. Menandakan malam. Firasatnya mengatakan bahwa Sisca sudah pulang. Menghela napas panjang, menaiki tangga, menyiapkan raga atas apa yang akan terjadi.

Baru ingin membuka pintu kamar, suara Sisca menginterupsinya. Terdengar jelas akan ada atmosfer kemarahan.

"Heh! Dari mana saja kamu?"

"Pulang jam tujuh!"

Alana berbalik badan, memandangi mamanya, dua meter di depannya. "Ta-tadi aku habis main." Kejujuran pasti akan mendatangkan sesuatu. Lagipula jujur atau tidak, Sisca tetap saja akan memarahinya.

"Apa kamu bilang? Ulangin sekali lagi!" Tatapan Sisca cukup membuat Alana takut.

"Aku habis main."

Sisca yang mendengar itu langsung tertawa sinis. "Main? Itu kamu bilang? Dasar emang gak tahu diri ya! Udah mending diurusin malah main seenaknya!"

"Emang kamu pikir saya gak capek gitu buka toko? Sedangkan kamu malah enak bermain-main sampai lupa tugas kamu di rumah!"

"Apa mau kamu? Dikira kamu bebas di rumah sendiri gitu!?"

Padahal hanya sepele Alana akan dimarahi. Dia juga bukan anak kecil yang selalu bermain di rumah, mengurung diri, jarang menghirup oksigen luar. Dia hanya menghibur dirinya sendiri terhadap kepenatan hidupnya.

"Maaf, Ma. Aku cuma mau ngehirup angin luar, aku butuh hiburan," jawabnya pelan penuh kejujuran.

Dapat Alana dengar, mamanya berdecak kesal dengan tingkahnya. Menatapnya tajam seperti elang. "Piring kotor, nyuci, beres-beres, lupa atau disengajain biar saya sama Avia yang ngerjain? Hiburan? Enak banget kamu bilang! "

"Jangan pikir kamu bisa melakukan segalanya yang kamu mau!"

Alana menunduk mendengar amarah Sisca. "Maaf-"

Plak!

"Maaf mulu. Saya bosan mendengar maaf itu!"

Alana memegangi pipinya yang panas. Air matanya mengalir deras. Ini untuk pertama kalinya mamanya menampar dirinya.

"Nangis?" tanya Sisca remeh.

Alana menatap mamanya sambil menangis. Sisca maju mendekati Alana, menatap lamat anaknya dengan tajam. "Ingat sama kamu! Mungkin ini tidak seberapa tapi kalau kamu ulangin lagi mungkin bakal lebih dari ini!"

"Dasar anak gak berguna!"

"Jangan semena-mena sama saya!"

Lalu Sisca pergi ke bawah.

Alana membuka pintu kamar tidak lupa menutup kembali. Dia luruh di lantai sesekali menyeka air matanya. Sesak menghantam dadanya. Perkataan Sisca tadi menusuk relung hatinya. Dia tidak bisa melawan apa-apa.

Kak Anna, ini untuk pertama kalinya Mama nampar aku. Apa aku salah main sama Arlyn dan baru pulang?

Alana tersenyum getir. "Mama benar aku yang salah. Aku yang gak tahu diri. Harusnya aku bersih-bersih rumah."

"Aku anak yang gak berguna."

Panas masih sangat terasa di pipinya. Berdiri perlahan, melepaskan tasnya lalu duduk di tepi tempat tidur, meluapkan rasa sakitnya.

Dirasa sudah tenang ia segera bergegas membersihkan diri. Sehabis ini, nanti ia akan menghubungi Arlyn. Apakah cowok itu sudah sampai rumah.

~~~

Bel pulang sudah berbunyi. Seluruh siswa-siswi SMA TS berhamburan keluar kelas.

Alana sendiri sempat berpapasan dengan Arlyn, menyapa cowok itu singkat.

"Arlyn, dah, sampai jumpa lagi besok!" seru Alana tersenyum dan melambaikan tangan.

Arlyn ikut tersenyum kecil dan mengangguk menuju parkiran.

Ponsel Alana berdering. Cewek itu berhenti melangkah. Dia mengangkat panggilan dari Sisca.

"Halo."

"Kamu jemput Avia, tungguin sampai selesai bimbingan. Saya tidak bisa menjemputnya."

"Iya, Ma."

"Awas saja sampai kamu tinggal pulang! Pulanglah dengan selamat. Jika sesuatu terjadi dengan Avia, kamu akan menanggung resikonya!"

Tut tut tut!

Belum sempat Alana menjawab panggilan itu sudah terputus. Dia memutar balik langkahnya. Menyusuri koridor yang cukup sepi.

Berjalan menuju kelas Avia. Saat sudah sampai, kosong tidak ada orang. Dia tahu di mana Avia, perpustakaan. Mungkin Avia dan tim-nya belajar di sana.

Pintu perpustakaan setengah terbuka. Alana mengintip ke dalam. Ada Avia dan dua orang lainnya. Dia tidak tahu siapa itu. Mereka didampingi guru pembimbing.

Alana asik melongok ke dalam namun Avia menyadarinya. Alana tersenyum ke arah Avia. Sedangkan cewek itu hanya menatapnya malas dan fokus kembali.

Ternyata menunggu orang yang sedang mempersiapkan untuk lomba tidaklah cepat. Alana sudah menunggu kurang lebih dua jam lamanya. Dia sangat bosan, duduk di bangku lapangan, memainkan ponsel. Sesekali melirik ke pintu perpustakaan berharap Avia dan tim-nya selesai belajar.

Langit berubah menjadi mendung padahal tadi siang cerah-cerah saja. Alana bangkit, mengirimkan pesan kepada Avia untuk menunggunya di pos satpam.

Setelah lama menunggu akhirnya Avia telah selesai belajar. Tidak ada yang lainnya. Alana menyuruh Avia menaiki motornya.

Selama di perjalanan keduanya sama-sama diam. Langit sudah gelap, bukan pertanda malam tapi akan bersiap menurunkan hujan.

Tak lama rintik-rintik kecil berjatuhan hingga deras berserta angin. Keduanya sama-sama kehujanan.

"Kita nepi dulu ya," ujar Alana.

"Gak. Gue mau cepet pulang," jawab Avia sambil mengusap air yang berjatuhan di wajahnya.

Alana tidak memedulikan Avia yang berdecak kesal. Motornya menepi di bawah pohon besar. Alana menarik tangan Avia untuk ikut menepi.

Alana mengeluarkan hoodie dari tasnya lalu menyodorkan kepada Avia.

"Gak perlu."

"Lo kedinginan, gue gak mau lo sakit." Alana menaruh di tangan Avia. Cewek itu memandangi Alana malas.

"Atau mau gue pakein?" tanya Alana.

Avia akhirnya memakai hoodie Alana. Tubuhnya juga sedikit kedinginan. "Udah sedikit reda. Gue mau pulang."

"Gak itu masih hujan."

"Gue mau pulang, sekarang!"

Setelah perdebatan kecil keduanya, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Menerobos hujan yang kembali deras. Semesta tahu Alana begitu merindukan momen seperti ini, bersama Avia, hujan-hujanan bersama.

~~~

"Obatnya udah diminum kan? Lo tidur yang nyenyak, nanti panasnya cepet turun." Alana mengambil kain di kening Avia sehabis mengompres. Kemudian meletakkan di wadah berisi air.

"Gue ke bawah, mau beres-beres. Butuh sesuatu panggil gue." Setelah mengucapkan itu Alana keluar dari kamar Avia.

Avia hanya diam, merasakan tubuhnya yang menggigil kepanasan. Sehabis hujan-hujanan tadi, tubuhnya langsung kedinginan dan jadilah dia seperti ini. Perlahan memejamkan mata, mencoba untuk tertidur.

Alana sibuk mengepel lantai, terkadang dibawa oleh pikirannya sendiri. Jika tadi dirinya tidak mengiyakan permintaan Avia menerobos hujan segera pulang, tidak akan sakit seperti sekarang. Tapi dia juga tidak bisa menolak, Avia mungkin lelah setelah belajar seharian. Apalagi persiapan Olimpiade tidaklah mudah.

Pasti reaksi Frendi dan Sisca akan sangat mengejutkan melihat Avia--anak kesayangan mereka sakit, karena dirinya.

Tenang, tenang. Pasti semuanya bisa dia lewati dengan baik.

Alana menatap jendela yang terbuka gordennya. Hujan masih berjatuhan di luar sana, dari sore hingga sekarang belum mereda.

Pintu utama terbuka, Alana terlonjak melihat kedatangan Sisca sehabis pulang dari toko. "Eh, Mama," ucap Alana melanjutkan aktivitasnya.

"A-Avia, sakit. Dia demam." Lanjutnya.

Sisca yang berjalan santai tidak peduli dengan Alana, mendadak berhenti. "Avia, demam? Kamu apain dia!?" Terlihat jelas raut khawatir dan kemarahan untuk Alana. Kemudian wanita itu berlari memastikan keadaan 'putrinya'.

Setelah kegiatannya selesai. Alana pergi ke kamar Avia, menyusul Sisca. "Badan kamu panas banget. Kita ke dokter aja yuk. Kamu pasti hujan-hujanan ya tadi?" tanya Sisca khawatir pada Avia.

Avia menggeleng. "Gak usah, nanti juga sembuh."

"Ayo lah, pasti Papa kamu khawatir ngelihat putrinya sakit. Nanti Mama yang dimarahi."

Alana memandang nanar keduanya dari ambang pintu, betapa hangatnya Sisca kepada Avia. "Aku udah kompres dia tadi. Terus dia udah minum obat."

Sisca menoleh cepat ke arah Alana. "Kamu? Pasti kamu 'kan yang bikin dia sakit kayak gini. Kamu yang ajak dia hujan-hujanan?"

"Punya otak gak sih? Jelas-jelas dia sensitif kalo kehujanan, pasti langsung sakit! Apalagi lima hari lagi dia mau Olimpiade-nya, masa di mana dia harus lebih memantapkan segalanya!"

"Kamu selalu saja bikin masalah! Lalu bagaimana nanti, bahkan kamu saja tidak bisa seperti dia!"

Alana menunduk, mendengar makian mamanya. Sisca mendekati Alana, memegang dagunya untuk menatap wanita itu. "Heh jawab! Saya lagi ngomong sama kamu!" sentaknya tepat depan muka cewek itu.

"M-Ma, sa-sakit," lirih Alana menahan sakit cengkraman di dagunya.

Sisca memberikan kehangatan untuk Avia sedangkan kepada Alana. Sisca akan berubah menjadi 'monster' bila sesuatu terjadi kepada Avia.

Sisca menurunkan tangannya, melihat dagu Alana sudah memerah.

"Maaf, Ma."

"Tadi dia sendiri yang minta cepet-cepet pulang. Aku udah nolak tapi dia maksa, aku juga tahu Avia mungkin lelah belajar seharian. Dan akhirnya kita hujan-hujanan."

Sisca menggeleng tidak percaya. "Jadi kamu nyalahin Avia? Jelas-jelas kamu yang bawa motor, kamu yang salah! Harusnya kamu mikir dulu!"

"Ada apa, kok berisik?" tanya Frendi yang baru saja pulang kerja.

"Ini Avia sakit, gara-gara anak ini." Tunjuk Sisca pada Alana.

"Kamu demam? Kita ke dokter aja," ucap Frendi memegang kening Avia.

"Enggak, Pa. Gak usah, ini udah mendingan. Besok paling sembuh." Avia tersenyum singkat, menatap Frendi.

"Kamu selalu saja mengacau! Apa yang kamu perbuat?" Frendi beralih menatap Alana meminta penjelasan.

"Aku sama Avia pulang hujan-hujanan, Avia maksa dia gak mau neduh dulu pengen cepet pulang." Alana menatap papanya yang menyiratkan kemarahan.

Mau menjelaskan apapun tetap saja mereka tidak percaya.

"Dia sakit gara-gara kamu, kamu nyalahin dia?"

"Dasar anak gak tahu untung! Selalu saja bikin masalah di rumah!"

Avia hanya mendengarkan amarah kedua orang tuanya kepada Alana tanpa sedikitpun niat untuk membela cewek itu. Lama-lama kepalanya berdenyut mendengar semua itu. "Ma, Pa, marahnya di luar aja. Aku pusing mau tidur."

"Eh, maaf Sayang. Ya udah kamu tidur aja." Sisca mengusap rambut Avia lalu menaikkan selimut.

"Sini kamu!" Frendi menyeret Alana menuruni tangga.

Cengkraman Frendi sungguh kuat membuat Alana menahan perih. Cewek itu digiring melewati ruang tamu kemudian ke pintu utama.

Frendi membuka pintu, melepaskan kasar Alana di luar rumah. "Papa, kenapa aku dibawa keluar? Di sini dingin." Alana memeluk tubuhnya sendiri, melihat hujan deras masih mengguyur bumi.

"Ma, ambil air!" teriak Frendi. Tak lama Sisca datang menghampiri keduanya sambil membawa se-ember air.

"Ja-jangan bilang kalau Papa mau nyiram aku." Alana menggeleng melihat se-ember air sudah di tangan Frendi.

"Pa, Pa, jangan-"

Byurrr!

Alana terlonjak saat air itu mengguyur tubuhnya dalam sekejap. Badannya sungguh kedinginan ditambah dengan hawa hujan.

"Papa kenapa nyiram aku?"

Pasutri itu menatap tajam putri kandungannya sendiri. "Itu pantes untuk kamu," jawab Frendi.

"Ini dingin. Aku mau ganti baju." Alana berjalan masuk ke dalam rumah namun dihalangi.

"Gak, kamu tidur di sini malam ini!" tegas Frendi penuh penekanan.

Alana menggeleng cepat. "Aku mau masuk Pa, Ma. Di sini dingin, badan aku basah semua." Cewek itu berusaha menerobos masuk tapi tetap saja tidak bisa.

"Kamu punya telinga gak? Disuruh tidur di sini gak denger atau mau dikasarin?"

Alana masih berusaha masuk.

Sisca marah, anak itu tidak mendengar perintahnya. Wanita itu menyeret Alana kemudian mendorong anaknya sendiri hingga tersungkur tanpa perasaan.

Alana terduduk, tangannya membentur omblok yang basah. Dorongan Sisca cukup kencang. Cewek itu merasakan perih di telapak tangannya, tangisnya sudah sedari tadi bahkan dirinya kini diguyur hujan karena posisinya bukan di teras.

"Itu hukuman kamu!"

Cewek itu segera bangkit melihat pintu segera ditutup. Menggedor-gedor pintu yang sudah terkunci dari dalam.

"Papa, Mama di sini dingin! Aku mau masuk!"

"Papa, Mama, Avia bukain pintunya!"

"Aku gak mau di sini! Aku pengen tidur di kamar, di luar dingin!"

"Papa, Mama, Avia!"

Tidak ada jawaban dari dalam dan tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Alana sungguh tidak bisa ke dalam, jendela pun pasti dikunci. Naik ke balkon kamarnya? Itu sangat tidak memungkinkan.

Alana memeluk dirinya sendiri, duduk bersandar pada pintu, menunggu pintu terbuka. Menatap kosong air yang berjatuhan. Air matanya belum berhenti menetes, punggungnya bergetar, terisak yang teramat dalam dan tidak ada yang mendengar. Sesak menghantam dadanya.

"Kak Anna, tolong... aku kedinginan," lirihnya.

Hawa dingin ini tidak seberapa dengan rasa sakit yang Alana alami. Sungguh teramat sakit, saat kita berusaha membela tapi tidak di dengar. Melawan, menjerit tidak ada artinya. Hanya bisa berdiam diri, menangis, mentabahkan diri, berharap pada semesta semua ini akan cepat usai.

Semakin hari hidupnya semakin sakit, perlakuan kasar kedua orang tuanya masih saja terus terjadi. Luka yang dia terima pun tiada henti.

Entah kapan semua ini berakhir.

Alana sungguh lelah dengan hidupnya tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

TBC!

Semakin lama, ceritanya makin berat dan lebih jelas.

Kasihan sama Alana, dia terlihat tegar tapi sangatlah rapuh dan tidak ada seorangpun yang tahu :(

Ch. 17 beneran sweet sih dari Double A (Alana-Arlyn) nulisnya gemes sendiri, spoiler wkwk. Penasaran?

Jangan lupa vomen n share ke teman-teman. Papay~

27-11-20

Continue Reading

You'll Also Like

373 205 5
"Hal paling berani yang pernah aku lakukan adalah melanjutkan hidup ketika aku ingin mati" -nio Nio, pemilik wajah tampan berbola mata hijau yang tel...
820K 58.3K 34
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
2.5M 144K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
388 121 3
Nothing Special. Terima kasih sudah singgah 🌷 ........................................................................... Senja di ujung barat warn...