Let's Play and Finish, OK! ✓

Bởi KitamenBro

134K 7.4K 769

Menciptakan sebuah ruang ketenangan untuk diri sendiri. Lari dari kekangan keluarga dan lebih memilih hidup s... Xem Thêm

I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
EPILOG

XIII

6.5K 382 61
Bởi KitamenBro


Beberapa hari telah berlalu. Untuk kesekian kalinya, Hinata di hadapkan hawa menegangkan kala tatapan sang ayah terkesan mengintimidasi.

"Ayah sudah memberimu cukup waktu untuk diam, Hinata. Tapi sekarang, tolong jelaskan pada ayah kenapa kau bisa senekad itu mengambil keputusan untuk pergi ke Osaka?"

Sejujurnya, Hinata cukup mengerti bila sang ayah pasti sudah tahu. Namun dirinya pun juga paham sikap ayahnya itu yang ingin mendengar secara langsung.

"Ayah dengan semudah itu menerima lamaran Toneri tanpa menunggu persetujuan dariku. Bagaimana bisa Ayah berpikir aku akan dengan mudah menerimanya? Andai Ayah tahu, sudah lama aku mencoba melupakannya. Dan bukan berarti aku akan senang saat dia datang secara tiba-tiba seperti waktu itu. Tanpa ada rasa bersalah, Toneri datang dan dengan lancang mengklaim aku adalah kekasihnya, dan yang lebih buruk, Ayah malah menyambutnya dengan senang hati. Lantas, tak ada jalan untukku membantah, detik itu aku nekad dan pergi dari pada masalah kian runyam karena sikap Ayah yang susah diajak negosiasi ketika keputusan sudah Ayah ambil..."

Hiashi terpejam damai meski dalam hati tersemat rasa bersalah hebat. Kalimat panjang yang putrinya jelaskan, sudah cukup menjawab semua yang ada.

Kelopak matanya pun kembali terbuka. Tatapannya lurus mengatensi sang putri yang kini tengah tertunduk dengan mata berkaca-kaca.

Entah kenapa, ia teringat mendiang istrinya. Hinata begitu mirip dengan Hikari dari segi fisik, meski karakter keduanya sedikit bertolak belakang.

"Maafkan ayah, Hinata..."

Detik demi detik hingga beberapa saat mulai membangunkan Hinata dari tundukan kepalanya.

Ia sedikit terkejut, bibirnya pun tersenyum haru kala mendengar kata maaf tulus dari sang ayah. Sungguh, jarang seorang Hyuga Hiashi merendahkan hati seperti itu.

Hinata berdiri dan langsung mendekati ayahnya. Dapat ia lihat, wajah sosok yang ia sayangi itu, terlihat memendam kerinduan.

"Ayah..."

Diusapnya lengan sang ayah lembut. Entah kenapa, sebersit perasaan bersalah mulai menjalar di hati. Hinata tahu, ayahnya sangat menyayangi anak-anaknya, tak terkecuali dirinya. Walau pun, pria paruh baya itu bersikap diam seolah tak peduli. Namun Hinata yakin, di dalam hati ayahnya, terdapat kasih sayang melimpah untuknya.

"Aku merindukanmu..." ujarnya membuat sang ayah tersenyum simpul. "Aku masih ingat, cara Ayah memperlakukanku saat masih kecil. Tapi sebaliknya, saat sudah sebesar ini, Hinata malah seperti kian jauh denganmu. Maafkan aku..."

Ini buruk untuk Hiashi. Salah satu yang mampu membuatnya terharu adalah nuansa kekeluargaan. Ia tak boleh luluh dengan perkataan Hinata. Sebagai seorang pemimpin keluarga sekaligus perusahaan yang dikenal cukup tegas, ia harus bisa menjaga image setinggi mungkin.

"Apa seperti ini cara Ayah bersikap di depanku?"

Keningnya mengkerut dengan aura pertanyaan yang tak dapat ia utarakan. Hiashi sedikit bingung.

"Aku tahu, Ayah hanya diam agar terlihat keren, bukan?" dapat ia lihat pria itu menggeleng tanpa bersuara sedikit pun. "Bagiku, Ayah lebih keren ketika tersenyum dan terbuka. Jika seperti ini, Ayah malah terlihat seperti Toneri, dan aku sangat membenci pria itu."

Akhirnya pandangan Hyuga Hiashi melembut. Ia pun tersenyum meski tidak bisa dikatakan senyum lebar. Ditepuknya puncuk kepala putrinya itu pelan. Hinata benar, dirinya mungkin sudah tua dan tak perlu bersikap keren.

"Ayah akan pergi. Kau tetaplah di rumah dan jangan lupa untuk mengingatkan Hanabi agar makan. Dia susah diatur belakangan ini."

Hinata menggembungkan pipinya. Lagi-lagi ayahnya tak mau bertindak walau kata-katanya cukup menjelaskan betapa Hiashi sangat memikirkan pola hidup Hanabi.

"Tidak!" tolaknya. "Hanabi harus minta maaf dulu padaku, baru aku mau bicara dengannya. Dan, Ayahlah yang harusnya menengahi kami. Lagi pula, anak kecil itu harus diberi pelajaran. Ternyata dia yang selama ini didekati Toneri untuk memantauku dalam diam. Meski pun kesannya Hanabi tidak mengerti puncak permasalahanku dan Toneri, tetap saja dia cukup lancang."

Ia pun membuang muka. Tak mau menatap sang ayah yang berwajah malas mendengar ucapannya.

"Ayah akan bicara pada adikmu." ucapnya sembari membelai surai lurus Hinata. Sungguh kalau boleh jujur ia teringat Hinata kecil yang sangat lucu menggemaskan.

"Kalian sudah besar, ayah harap kalian bisa akur dan tidak bertengkar terus. Kau sebagai kakanya juga harus sedikit mengalah. Ayahmu ini sudah tidak muda lagi, jadi pasti menyenangkan melihat kalian berdua akur..."

Respon Hinata malah sedikit kesal. Lagi, lagi dan lagi dirinya disuruh mengalah. Mungkin itu tidak salah, tapi tetap saja menyabalkan.

"Baiklah." berdiri tegak lantas bibirnya kembali berucap. "Aku menunggunya di kamar. Aku harap melihat Hanabi kecil yang manja. Bukan Hanabi menyebalkan yang sekarang menjadi pembangkang."

• • •

"Apa?" kata pertama yang Hanabi ucapkan.

Dengan kasar Hanabi merebahkan diri di kasur empuk sang kakak. Ia memejamkan mata tanpa peduli ekspresi Hinata yang ingin marah padanya.

"Jika kau bukan adikku, sudah dari dulu aku membuatkanmu racun!"

Hanabi tertawa geli. Ia hanya diam kala Hinata menarik-narik tangannya. Kakak perempuannya itu sungguh cerewet dan menjengkelkan secara bersamaan.

"Ayolah, Hinata. Bisa kau perlakukan aku selayaknya adikmu?" dapat ia lihat, Hinata mendecih sebagai respon. "Nee-chan... Kau tahu, kau itu cantik. Meski pun tidak lebih menarik dariku."

Sontak Hinata menimpuk wajah adiknya dengan bantal. Sepasang tangannya terlipat dengan tatapan tajam. Kali ini ada pertanyaan serius.

"Sekarang, jelaskan padaku kenapa kau mau disuruh-suruh Toneri? Asal kau tahu, tindakanmu itu sangat bodoh dan kau malah memberi akses untuknya lebih dekat dengan ayah!"

Anak bungsu Hyuga Hiashi ini ikut duduk. Ia menghadap sang kakak dan mengikuti cara Hinata, yaitu melipatkan tangan dengan tatapan tajam.

"Aku tak tahu apa pun! Dia bertanya, aku menjawab. Dia menginginkan sesuatu, aku pun sedikit memberinya celah asalkan masih wajar." hingga, dengan asal ia tengkurap memenuhi ranjang Hinata. "Aku kira kalian masih saling mencintai. Jadi aku berpikir, bisa membantumu agar tidak berdikap dingin terus..."

Akhirnya Hinata tahu, ternyata Hanabi juga ingin dirinya tak lagi terpuruk. Meski tindakannya cukup asal tanpa berpikir atau setidaknya bertanya, namun di sisi lain Hanabi juga memperhatikannya.

"Maafkan aku, Nee-chan." lirih, bahkan posisinya tetap tengkurap tidak elite. "Hanya karena sakit hati, kau berubah. Dan tanpa sadar kau mengabaikan adikmu ini. Jadi, jangan salahkan aku kalau terus mengganggumu. Kalau boleh jujur, aku ingin lebih dekat denganmu karena Kakak adalah satu-satunya perempuan selain aku yang tersisa di keluarga kita. Kak Neji dan ayah sangat sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Meski pun apa pun kemauanku pasti dikabulkan, tapi lambat laun aku bosan. Dan Kakak yang dulu sering bermain denganku, tiba-tiba jauh karena seorang pria. Tidak ada lagi yang memperhatikan Hanabi secara terang-terangan. Intinya aku merindukan kalian semua..."

Hinata menangis dalam diam mendengar semua ungkapan hati sang adik. Ia ingin terisak namun ada yang tertahan untuk tetap kuat.

Lantas ia terkejut kala Hanabi duduk memunggunginya. Gadis itu tampak kesal tanpa tahu matanya yang sembab.

"Sudah, itu saja bukan yang harus kujelaskan? Lagi pula sebentar lagi kau akan menikah. Aku harap Kak Naruto bisa membahagiakanmu. Jangan lupa untuk memberikanku keponakan yang banyak dan lucu. Aku akan kesepian setelah kau pergi."

Lantas ia pun berdiri. Namun tubuhnya terasa berat ketika hendak melangkah.

"Hinata?"

Ceruk lehernya mendadak basah. Ia diam mematung kala sang kakak mulai terisak lirih sembari memberinya dekapan hangat dari belakang.

"Gomenne, Hanabi..."

Entah kenapa Hanabi yang dikenal kolot seperti Neji, kini mulai melunak bahkan dapat ia rasakan hatinya bergemuruh. Ada kerinduan yang kini terbalas dan memenuhi ruang kosong di hati.

"Tetaplah menjadi adikku yang manis. Kakak akan sering mengunjungimu, aku janji. Kau baik-baiklah di rumah. Perhatikan ayah, dia sangat mencintaimu. Aku sebentar lagi menjadi istri orang, waktuku pasti terbatas untuk kalian. Jadi kumohon kau mengerti, juga kumohon jangan buat ayah terus cemas. Dan,"

Kata-katanya terpotong. Ia balikkan tubuh adiknya yang kini menghadapnya. Ia pun tersenyum, lalu tangannya terangkat hingga jemari itu membasuh mata adiknya yang terlihat berair.

"Aku menyayangimu..."

Rengkuhan hangat menyambar tubuh mungil Hanabi. Sangat erat bahkan Hinata dapat merasakan adiknya itu mengangguk membalas dekapannya.

"Maafkan aku..."

Hanabi ingin berontak, tapi hatinya berkata lain. "Ini memalukan. Tapi aku memaafkanmu..."

"Sama sepertimu, Hanabi. Aku pun ingin lebih dekat dengan kakakku. Meski pun mustahil membuat Kak Neji menjadi lembut, tapi aku yakin dia menyayangi kita. Lebih dari itu, kau jangan nakal, yah..."

Tawa kecil terdengar di sela-sela nuansa haru yang keduanya rasakan. Hanabi melepas pelukan tersebut. Ia menatap Hinata, lantas aneh ketika lidahnya menjulur keluar.

"Aku sudah besar meski pun Kak Hinata dan Kak Neji masih menganggapku adik kecil. Dan, aku ada kencan malam ini. Jangan harap kau bisa melarangku lagi." matanya mengerling membuat Hinata bergidik ngeri. "Ah! Aku pasti akan dicium lagi olehnya. Sepertinya aku memang terlahir memiliki bibir menggoda..."

Wajah Hinata memerah padam. Auranya sudah tak bersahabat bahkan, gigi-giginya bergesekan kasar mendengar ucapan adiknya.

"HANABI!!!"

Dan, adiknya berlari keluar dengan wajah mengejek meninggalkannya.

"KALAU KAU MACAM-MACAM DAN MELEBIHI BATAS WAJAR, AKU AKAN MEMBUNUH PACARMU!! AKU HARAP KAU MEREKAM KATA-KATAKU INI DAN BERIKAN PADA LAKI-LAKI YANG KAU MAKSUD ITU!!!"

BRAK!!

Hinata membanting pintu kasar dan menyusul Hanabi yang sepertinya tidak bercanda. Ia tak mau adiknya melewati batas, meski dirinya pun lebih parah bahkan pernah mandi dengan Naruto.

"BUKA PINTUNYA, ADIK BODOH! AKU INGIN MENDENGAR PENJELASAN DARIMU SOAL ITU!! BUKA!!!"

jika diteruskan, bisa-bisa pintu kamar Hanabi rusak akan gedoran dan tendangan kasar dari Hinata.

Di sisi lain, ada pria yang kini duduk sembari bermain ponsel. Neji mendengar semua teriakan Hinata yang pasti mengarah pada Hanabi. Ia pun juga melihat betapa marah Hinata sekarang.

Kepalanya menggeleng bosan. Lagi dan lagi dua adiknya bertengkar yang pasti dipicu oleh Hanabi.

"Sore yang damai..."

Sembari menyeruput kopi kesukaannya, ia pun berkata sendiri seolah tak peduli apa pun.


• • •

Malam terasa sangat bersahabat. Hawanya begitu sejuk dengan nuansa cinta melengkapi.

Bibirnya terasa keluh seolah tak dapat merangkai kata. Hinata hanya bisa diam dengan pipi lucu setelah lama tersipu malu.

Sesekali, dapat ia rasakan kecupan-kecupan sayang menjamah puncuk surai biru gelapnya. Jika boleh jujur, Hinata tak mau ini berakhir. Posisinya yang dipangku Naruto, entah kenapa menimbulkan gejolak kuat di hati.

"Sayang..."

Ia pun bergumam lirih untuk menyambut panggilan itu. Pun dengan senyum malu-malu kala Naruto berhasil mencuri kecupan singkat di bibirnya.

"Kau berubah derastis." ujar Naruto yang mendapat respon kedipan tanda tanya dari kekasihnya. "Sebelum ini, kau itu Hinata yang garang dan sangat anti ketika didekati laki-laki, bahkan termasuk aku..."

Sang empu tertawa kecil mendengar hal tersebut. Ia bergumam dengan kata maaf disela kikikannya. Juga dapat ia rasakan, Naruto tak henti membelai rambutnya.

"Dan, kau ternyata tidak bohong. Kau itu sangat penurut jika sudah mencintai. Lebih dari itu, kau terlihat sangat manis jika seperti ini. Entah kenapa aku ingin memakanmu."

Bibir Hinata mengerucut dengan pipi menggembung. Dipukulnya pelan dada sang kekasih dengan tatapan kesal terpancar.

"Tahanlah sedikit, Naruto-kun. Kurang dari 2 bulan kita akan resmi menikah. Masa kau mau minta jatah sekarang? Itu namanya menyalahi aturan..."

Anak tunggal pasangan Uzumaki Minato dan Kushina ini pun tertawa. Ia berusaha mencari celah agar dapat mencium Hinata, tapi gadis itu cukup pintar menutupi wajah dengan kedua tangan.

Dipeluknya tubuh Hinata yang tergolong mungil itu, meski juga bisa dikatakan montok. Dapat ia rasakan, aroma lavender berbaur manis dengan indera penciumannya.

"Hime, kau tahu? Aku tidak menyangka waktu itu kau sampai menendang pundakku sampai terjungkal. Lalu, seolah aku dihujam ketika kau berhambur memeluk Toneri. Aku sulit melupakannya, jujur beberapa hari ini bayang-bayang kejadian itu terus menggangguku..."

Suasana taman mendadak menjadi sunyi. Beberapa daun pohon mulai jatuh kala udara malam berhembus cukup kencang.

Hinata tak berani menengadah. Ada yang mendesak untuk menetes meski masih terbendung. Ingatan kecil akan kata-kata Naruto, juga dapat ia rekam dengan jelas.

"Gomenne, Naruto-kun..." sepasang tangannya tergerak. Melingkar mesra pada leher sang kekasih. Ia pun menyamankan diri pada ceruk leher Naruto yang menguarkan aroma maskulin segar. "Aku tahu itu keterlaluan dan menyakitimu. Tapi Naruto-kun jangan pergi..."

Gadis itu memeluknya sangat erat. Kata-kata Hinata yang parau menahan tangis, bermakna seolah tak ingin kehilangan dirinya.

Dapat ia lihat, Hinata meringkuk di dadanya tak lagi memeluk lehernya. Hingga ia sedikit kaget kala gadis itu terisak kecil bahkan tak henti meminta maaf.

"Hikss..."

"Sudah, jangan menangis lagi, hm..."

Hanya rengkuhan hangat yang mungkin bisa membuat gadis tercintanya kembali tenang. Tubuhnya berdesir, pun dengan dadanya yang kini menjadi tempat untuk Hinata mengusapkan wajah.

"Ya sudah, sini aku cium agar kau tidak menangis lagi."

Kepala indigo itu menggeleng lemah. Hinata masih nyaman diperlakukan semanis ini. Tangisnya sudah mereda walau penyesalan masih tak henti membanjiri hati.

"Hinata tidak mau dicium," lalu, tangannya menjulur guna memeluk tubuh Naruto. "Hinata mau dipeluk. Ciumnya nanti saja..." lanjutnya dengan nada lirih.

Ini begitu hangat. Tak ada alasan untuk Hinata terus menangis. Cinta yang ia dapatkan dari Naruto, rasanya begitu berharga seolah kata-kata apa pun tak akan sanggup untuk sekedar menggambarkannya. Mungkin kesannya berlebihan, tapi itulah yang ia percayai.

"Naru...."

Pemilik surai kuning cerah ini pun, pelan bergumam, "Hm?"

"Tadi setelah berbicara lama dengan ibu Naruto-kun, aku ragu."

Kedua alisnya terangkat. "Ragu?" dapat ia rasakan Hinata mengangguk untuk menjawab. "Apa itu?"

Tubuh mungilnya kian meringkuk. Bibirnya melengkung turun tanpa bisa Naruto lihat.

"Hinata takut tidak bisa menjadi istri yang sempurna untukmu. Aku juga takut tidak pandai merawatmu. Maksudku, melayani keperluan Naruto-kun nanti kalau kita sudah berumah tangga..."

Sejujurnya, Hinata tipe wanita yang ideal, ini bukan membicarakan fisik. Dia memliki keahlian dapur yang begitu mumpuni. Mencuci pakaian bahkan menjadi aktifitasnya sejak kabur ke Osaka. Walau terlahir di tengah keluarga kaya dengan fasilitas yang seolah tak ada kurangnya, ia malah tumbuh dengan karakter yang sangat mandiri. Citranya sebagai perempuan begitu terlihat dengan caranya menjalani hidup. Namun tetap saja, ia ragu apa jenjang berikutnya ketika sudah menjadi istri Naruto, semua itu bisa berjalan lancar? Entahlah, ia takut Naruto tak nyaman dengannya.

"I need you. So please, continue to believe that you can, and I am sure I will be happy with you, as I will give you happiness, my Hinata..."

Hinata terdiam, bola matanya bergetar mendengar untaian kalimat indah sang kekasih. Hingga ia pun melepas rengkuhan tersebut.

Menatap sang kekasih dengan pandangan haru. Bukan, bukan itu maksudnya. Sebenarnya ia tidak terlalu mengerti apa maksud Naruto.

"Ano, Naruto-kun..." jemari ia mainkan guna membantunya melampiaskan rasa gugup. "Jangan bahasa inggris. Hinata sedikit susah mengartikannya..." dengan pipi menggembung lucu karena malu.

Wajar Naruto pandai, ia sudah sering ke luar negeri karena tuntutan bisnis. Dan untuk Hinata? Sebenarnya bisa, hanya saja kurang menguasai.

Naruto pun tersenyum dengan kikikan kecil. Ia tangkup kedua pipi gembul sang gadis. Memberinya kecupan di masing-masing kelopak mata indah calon istrinya. Beberapa kali, hidung mancung itu menjadi targetnya juga. Hingga, dapat ia rasakan betapa manis bibir Putri Hyuga itu dengan sebuah ciuman.

"Intinya, aku sangat membutuhkan kehadiranmu. Aku yakin Hinataku ini bisa, dan aku pun juga harus yakin, kalau aku pasti bisa membuatmu bahagia... Jika suatu saat ada kejadian yang mungkin membuat kita berdua retak, di antara kita harus ada yang mengalah atau melunakkan hati. Aku mencintaimu, dan kau harus percaya, sebagaimana aku percaya kau juga sangat mencintaiku..."

Setetes jatuh diikuti beberapa liquid bening menyusul. Hinata mengangguk lalu ia pun berhambur memeluk erat sang terkasih yang begitu ia cintai.

Hatinya begitu berbunga-bunga. Tak ada alasan untuknya ragu setelah dirasa cinta menyentuh hati. Ia yakin, ia percaya bisa melakukannya.

Hingga, Hinata tiba-tiba melepas pelukan tersebut, bahkan berdiri tak lagi di atas pangkuan Naruto.

Tatapan keduanya bertemu. Ada yang membuatnya ingat kenapa dirinya dan Naruto bisa seperti ini. Berawal dari permainan Naruto, memalsukan identitas dan mencoba peruntungan di masa lajang. Hingga pria itu yakin akan dirinya, pun dengannya. Dan, sekarang semua permainan itu berakhir. Menyisakan kisah baru yang akan mereka lalui.

Hinata mendekat. Ia kembali duduk di atas paha Naruto yang terheran-heran. Hawa keberadaannya, entah kenapa terasa sensual. Bahkan, Hinata menampilkan wajah seksi dengan caranya mengalungkan tangan di leher sang pria. Keduanya bertatap mata cukup lama hingga belaian manja Hinata berikan pada pipi kesukaannya.

"Kiss me, my Naruto-kun..."

Naruto tersenyum penuh arti. Wajahnya mendekat dengan seringai nakal menghiasi. Ia merapatkan jarak tubuh hingga kenyalnya dada Hinata menubruknya.

"Let's play and finish, OK!"

"YEAH!!"

SELESAI

(23 - 06 - 2020)

Let's Play and Finish, OK!

Ada epilognya tapi tidak cepat saya bisa update, karena masih konsep dan belum separuh selesai. Bagi yang tidak suka mature, tolong tidak melanjutkan chapter bonusnya.

Akhirnya tamat! Terima kasih sudah menunggu meski pun ada chapter yang hampir 2 tahun saya gantungkan hingga akhirnya kembali update.

Saya ucapkan banyak terima kasih untuk pembaca dan suara serta komentar dari kalian. Tolong berikan kesan untuk chapter ini dan keseluruhannya menurut pandangan kalian (saya tidak memaksa)

Salam hangat KitamenBro

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

152K 15.3K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
8K 4.3K 28
LOVE IN SILENCE Kita adalah dua orang yang saling mencinta tanpa harus berucap. Sepasang hati yang saling memeluk luka satu sama lain. Writer ARRA...
40.4K 3.2K 14
[COMPLETED] Bae Irene tidak mau mengenal dan berurusan dengan cinta. Baginya cinta hanya akan berujung pada penghianatan. Apakah seorang Kim Suho dap...
2.7K 228 13
Berisi kumpulan one shot, two shot, cerbung zoro × nami (zonami).