Let's Play and Finish, OK! ✓

By KitamenBro

134K 7.4K 769

Menciptakan sebuah ruang ketenangan untuk diri sendiri. Lari dari kekangan keluarga dan lebih memilih hidup s... More

I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XIII
EPILOG

XII

4.4K 381 32
By KitamenBro

Rasanya begitu berat kelopak mata miliknya terbuka. Pandangannya mulai berinteraksi dengan cahaya menyilaukan. Sedikit demi sedikit matanya mulai beradaptasi. Hingga kelereng amethyst itu terlihat dengan beberapa kedipan pelan.

Aneh saat tubuhnya terasa lemas. Hinata mencoba bangkit meski itu sia-sia. Ia pun hanya bisa bernafas panjang dengan ingatan kecil perihal alasan kenapa ia bisa di kamar serba putih yang ia ketahui cukup identik dengan rumah sakit.

Kali ini bola matanya kembali berair meski tidak sampai terjatuh. Hinata melengkungkan bibir dengan upaya menahan diri agar tidak menangis.

Sekarang ia sangat ingat. Pikirannya terlontar ke belakang saat di mana kesadarannya mulai menghilang. Hinata yakin, Toneri yang membawanya ke sini. Karena pria itulah yang membuatnya berontak kasar hingga berakhir suasana sekitar mulai berputar.

"Eh?"

Kelopak mata cantik itu mengerjab beberapa kali. Hendak menggerakkan tangan kanan namun aneh saat tangannya terasa berat.

Hingga ia menggerakkan kepala perlahan. Matanya terbelalak tak kuasa menahan keterkejutan di hati. Ia kenal betul siapa pemilik surai kuning yang kini tengah tertidur sambil menggenggam tangannya.

"Naruto-kun..."

Senyuman tercipta diiringi isakan lirih yang memecah kesunyian kamar. Air mata tak lagi dapat terbendung hingga terurai membasahi pipi.

"Maafkan aku..."

Saat ini hatinya sungguh bahagia sekaligus rasa sesal menjalari. Menggerakkan tubuh agar dapat menghadap sang terkasih yang masih lelap tertidur. Hinata tak ingin melepaskan genggaman hangat tersebut. salah satu tangannya pun tergerak hingga menyapa pipi Naruto yang sedikit memar akibat pukulan Toneri.

Pria itu yang membuatnya sesayang ini. Hatinya tak dapat menolak rasa sakit ketika Saara dan Toneri cukup licik hingga membuatnya percaya akan suatu kebohongan yang direncanakan.

"Aku mencintaimu, Naruto-kun..."

Kalimat cinta terucap diiringi usapan lembut seolah tak ingin ia membuat Naruto terganggu. Hatinya tersayat membayangkan sosok yang ia cintai harus mendapatkan bogem mentah dari Toneri. Bahkan perlakuan kasar juga sempat ia lakukan untuk berontak dari dekapan Naruto.

"Ku-kumohon Naruto-kun jangan pergi..." ia tak ingin menyakiti pipi Naruto yang memar bahkan sudut bibirnya membiru. Cukup membelainya dengan pelan dan penuh kelembutan. "Hiks... A-ku janji akan menjadi wanita yang sangat percaya padamu." jujur berat untuk berucap saat ia mulai sesegukan dengan derai air mata. "Hinata akan menjadi wanita yang lebih baik untuk bisa membuat Naruto-kun pulang dengan nyaman padaku. Bukankah aku ini calon istrimu?"

Ia tertawa kecil di sela tangisan tersebut. Hinata memeluk kepala Naruto meski, sedikit memaksakan diri di tengah kondisinya untuk bisa merasakan kehangatan ini.

Kali ini, Hinata menyadari ada beberapa orang yang melihatnya di balik kaca pintu ruangan ini. Namun ia tak acuh akan hal itu.

Pelukan sayang sudah cukup membuatnya sebahagia ini. Naruto sangatlah berharga. Pria yang sempat memalsukan identitas padanya itu, membuatnya gemas ketika dengkuran kecil terdengar. Meski hatinya masih gelisah tentang seperti apa sikap Naruto setelah ini. Paling tidak, ia masih bisa mendekap sang terkasih untuk saat ini.

• • •

Wajah tan tersebut terlihat sangat berkeringat. Kala pancarannya menyendu, tertuju pada sang gadis tercinta yang kini tampak sengat terpukul, manik mata miliknya serasa berat bahkan berair.

"Asal kau tahu, Hinata..." entah kenapa hanya sebatas itu volume suara yang dapat ia keluarkan. Lirih hingga samar-samar kalimatnya dapat terdengar. "Aku memiliki kisah yang mungkin lebih menyakitkan dari pada kisahmu bersama Toneri. Kita adalah pihak yang sama-sama pernah terluka. Apa tanpa penjelasan dan fakta dariku kau akan percaya begitu saja dengan semua ini?"

Hinata diam membatu walau ada yang menariknya untuk berhambur memeluk sang terkasih. Tak dapat dipungkiri, hatinya mulai sedikit terbuka dengan apa yang Naruto katakan.

"Naruto-kun, sudahlah aku ada di sini..."

Tidak... Naruto tak ingin mendengar suara wanita iblis itu. Sudah cukup masa lalu mengantarkannya pada rasa sakit mendalam. Ia tak mau Saara kembali berulah hingga membuat Hinata termakan dengan hal ini.

"Kau dulu wanita baik dan sangat pengertian padaku. Harus kuakui, peranmu begitu penting dalam hidupku..." ia menunduk dalam. Hidungnya terus saja mengucurkan darah akibat pukulan telak Toneri yang memanfaatkan situasi seperti sekarang ini. "Tapi 2 tahun bukanlah waktu yang singkat untukku bisa melupakanmu. Apa yang kau bayangkan ketika aku sebagai lelaki, melihat orang yang kusayangi dihamili pria lain?"

Pancaran shapire itu beralih. Ia tatap si manis yang sangat dicintainya itu dengan seulas senyum tulus. Hinata terlihat kacau dengan keraguan yang terpancar dari manik lavendernya.

Di sisi lain, Saara mulai kehilangan akal untuk melanjutkan rencana. Bibirnya bergetar meski hanya untuk menguntai kalimat.

"Naruto-kun aku ha-hanya,"

"Tidak ada toleransi untuk wanita sepertimu, Saara..."

Bibir Saara terkatup dengan ingatan masa lalu yang mulai melintas. Sejujurnya ia tak mengerti, kenapa harus menjadi sejahat ini hanya demi pria. Bahkan tanpa ia sadari, Naruto kembali menjadi korban akan kebodohannya.

Di sisi lain, Toneri cukup tahu kondisi tidak memungkinkan untuknya berkilah. Ia harus sesegera mungkin membawa Hinata sebelum semuanya sia-sia.

Ia menatap Saara yang nampak tidak dapat diajak kerja sama dengan baik. wanita itu seolah melupakan perannya di sini. Entah kenapa otaknya buntu tidak satu pun cara agar membuat rencana ini kembali berjalan.

"Apa kau akan terus di sini?" tak ragu ia belai pipi gembul Hinata yang kini sembab memerah. Tatapannya cukup memuja melihat betapa Hinata terlihat sangat cantik. "Jika kau terus melihat, hanya akan ada luka yang datang. Biarkan Naruto dan wanita itu menyelesaikan masalah mereka. Aku ingin kau tenang, dan mulailah membuka hati untukku lagi..."

Dari arah dekat, Naruto mendengus geli mendengar pernyataan Toneri. Ia mulai paham, di sini Toneri terlibat. Ada beberapa hal mencurigakan yang mulai dipahaminya. Ia bersumpah akan membuat Hinata percaya akan sebuah kebenaran.

"Toneri..."

Suara Naruto menginstrupsi, namanya menjadi objek di sini. Toneri hanya merespon dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Gedung ini cukup tertutup untuk orang tanpa kepentingan bisa masuk. Aku tak yakin kau bisa semudah itu masuk lalu mengikutiku dan Hinata secepat itu. Penjaga-penjaga di sini cukup teliti dan disiplin. Pasti ada beberapa waktu hambatan untukmu bisa mengetahui apartemenku, apalagi ini di lantai tiga. Tapi kenyataannya, kau datang di saat yang sangat krusial seolah semuanya sudah dalam kendalimu..."

Ada seringai kecil nampak di sudut bibir itu. Naruto ingin tertawa walau hatinya gelisah akan kepercayaan Hinata. Jujur saja gedung ini terlihat sepi meski kegaduhan sedikit mereka lakukan.

Hinata mengangkat kepala. Ia menatap rahang tegas Toneri yang diam tak bergerak. Matanya masih berair, ia yakin wajahnya kacau dari mana pun sisi. Lebih dari itu, apa yang sebenarnya terjadi ia sama sekali tak mengerti.

"Dan," kali ini Naruto bangkit. Ia menekan salah satu pundaknya yang mungkin sedikit cidera. Tendangan Hinata di situ cukup menyakitkan walau ia tahu saat itu Hinata hanya berontak ingin terlepas darinya. "Aku tak ingin bertanya kenapa Saara bisa masuk ke apartemenku. Hanya saja,"

Kembali terpotong ucapan itu. Toneri yang panik ingin sekali menarik Hinata keluar dan meninggalkan tempat ini. Tapi percuma, genggaman kuat tangan Hinata sudah cukup membuatnya diam terpaku.

"Kalian berdua lupa, alasan kenapa pintu dikunci dari luar adalah karena si pemilik tidak ada di dalam. Tapi faktanya Saara tadi ada di dalam. Aneh ketika kau tahu pintu itu terkunci dari luar, sedangkan Saara yang ada di dalam seolah tidak tahu apa pun."

Naruto menatap Saara. Ia tersenyum simpul dengan tatap mata yang cukup bermakna. Ia tak akan mudah dikelabuhi.

"Saara... Berapa banyak dana yang dikeluarkan Toneri untuk membayar orang sini hingga bisa mendapatkan kunci apartemen ini? Dan aku yakin, kau pun bertanggung jawab kenapa Toneri bisa tahu apartemenku."

Deg!

"Dan, apa kau sedang dikurung di dalamnya? Sampai-sampai kau harus dikunci dari luar? Terlebih lagi jika membicarakan hal ini, aku hanya berasumsi jika kalian sudah lama di sini dan memperhitungkannya dengan sangat akurat. Di Osaka aku sempat berkata akan mengajak Hinata ke apartemen meski Hinata sendiri tidak mendengar. Aku harap Hinata ingat ada orang mencurigakan yang seolah menguping kami..."

Tubuh Hinata menegang di tempat. Ia dapat dengan jelas mencerna semua ungkapan Naruto yang entah kenapa begitu logis untuknya yang sedang susah berpikir ini.

Naruto berjalan agak tertatih menutup pintu apartemen lantas menguncinya. Hingga sebuah jaket ia lepas, menyisakan kaos yang terlihat ketat di tubuhnya. Pundaknya menjadi tempat bertenggernya jaket tersebut.

"Jika ada yang bertanya kenapa aku tidak ingin menjelaskan lebih detail, alasannya karena ada wanita yang menungguku di rumah. Ibuku adalah orang yang terlalu sering cemas meski sifatnya garang. Dia orang pertama yang akan aku sebutkan jika itu menyangkut kepercayaannya padaku. Dan aku harap, ada satu lagi wanita yang bisa mempercayaiku sepenuh hati..."

Ia melangkah tanpa sedikit pun melirik Hinata yang mulai terisak memanggil namanya. Naruto tahu ini kejam, tapi ia sudah cukup menjelaskan kenyataan yang ada.

"Na-Naruto-kun... Hiks..."

Kakinya terhenti. Hanya sebagian wajah ia perlihatkan. Tak ada alasan untuknya menunjukkan seluruh wajahnya yang sebagian dari itu memar, bahkan darah segar masih belum kering di sekitar hidungnya.

"Aku menunggumu di depan. Di sini terlalu memalukan jika kita membuat keributan malam-malam seperti ini."

Ia kembali menatap depan. Posisinya memunggungi Hinata, Toneri dan Saara. Ia tak ingin ini semua menjadi runyam. Yang ia inginkan hanya kepercayaan Hinata dan kesungguhan hati wanita itu menerimanya.

"Jika aku masih melihatmu keluar dalam dekapan Toneri, aku pastikan kau adalah wanita kedua yang bisa membuatku terpuruk setelah Saara. Selain itu, tendanganmu cukup menyakitkan di hati. Meski rasanya tidak sesakit pukulan Toneri, tapi entah kenapa kalian berdua kompak untuk bisa membuatku tak berdaya hingga rasanya memalukan jika aku mengingat betapa lemah diriku tadi..."

Hingga ia benar-benar berbelok dengan langkah pelan mengarungi anak tangga. Keputusannya sudah bulat. Naruto tak ingin memaksa walau rasanya ada yang mendesaknya untuk menghajar Toneri detik ini pula.

• • •

Hinata menggeleng lemah kala sang kakak menanyakan perasaannya tentang Toneri. Pria itu bukan lagi sosok pengisi hatinya.

Sesekali melirik Naruto yang kini memperhatikannya dalam diam. Sungguh ia takut. Ia takut pria tercintanya merubah sikap.

"Mendengar cerita dari Naruto, lalu darimu, aku mulai mengerti situasi yang kalian hadapi." ujar Neji menatap datar sang adik yang seolah ingin menangis. "Sebenarnya kau ini ingin bersama siapa, Hinata?"

Hinata sedikit terpekik mendengar hal tersebut. Ia menatap Neji meski rasa takut menjalari.

Kepalanya kembali menunduk sedalam mungkin. "Aku ingin menjadi istri Naruto-kun..."

Sungguh jantungnya berdentung sangat nyaring setelah kata-kata tersebut terucap. Pipinya bersemu merah namun hatinya sedikit tercubit.

Ia menciptakan lirikan ke arah Naruto. Pria itu tak merespon apa pun selain menatap tenang ke arah luar jendela. Dapat ia pastikan pandangan shapire tersebut kosong.

"Naru..."

Panggilnya lirih dengan segala keberanian yang cukup kuat. Lagi-lagi tak ada tanggapan. Hingga ia melihat, kakaknya beranjak keluar seolah sadar akan situasi.

Tinggalah Naruto dan Hinata dalam kesunyian. Ruangan yang cukup tertutup dengan aroma rumah sakit yang cukup kental. Tempat di mana Hinata menanti sang pria mulai melunak dan mau menatapnya.

"Kurang lebih dua tahun lalu, ada kejadian besar dalam hidupku..."

Suara baritone mulai mengetuk indera pendengarannya. Hinata diam masih menatap Naruto yang sepertinya akan menceritakan sesuatu.

"Saat itu aku pulang dari Jerman, tepatnya setelah melihat langsung produk-produk yang akan aku beli dan kupasarkan di Jepang. Hanya dalam beberapa bulan aku di sana untuk belajar dunia bisnis di jenjang luar. Saat itu, Saara adalah calon tunanganku."

Naruto beranjak. Ia menuju Hinata yang berkaca-kaca entah kenapa. Lantas ia pun mendaratkan diri untuk duduk di tepi ranjang gadisnya itu.

"Aku berniat mempercepat tunanganku dengannya. Dia tidak setuju dan anehnya, Saara ingin secepat mungkin menikah denganku."

Dapat Naruto lihat, Hinata yang menundukkan kepala dengan tubuh bergetar. Mungkin cerita itu membuat Putri Hyuga manis tersebut sedikit tak rela.

"Aku bingung. Tapi melihatnya seperti itu, tak ada alasanku untuk menolak. Tapi tidak lama setelah itu, ada sosok pria datang di tengah-tengah kencanku dengan Saara. Andai kau tahu, ada fakta yang tiba-tiba membuatku ingin mati saat itu juga. Bahkan aku sempat mencekik Saara dan hampir ada insiden andai saja pria itu tidak menengahi..."

Hinata menengadah. Rasanya hangat kala Naruto memberinya rengkuhan. Ia tak mengerti kenapa Uzumaki muda ini tidak marah setelah kejadian beberapa jam lalu.

"Saara sempat mengandung benih dari pria itu."

Bola mata Hinata melebar sempurna. Ia bahkan kaku dengan nafas berhembus begitu deras.

"Na-Naruto-kun?" gumaman lirih akan keterkejutan. Sungguh dapat ia lihat betapa Naruto mengingat luka tersebut.

"Pria itu membawa bukti-buktinya. Bahkan yang lebih kejam, Saara melakukan aborsi untuk menutupi hal tersebut. Sekarang, bisa kau tebak seperti apa diriku waktu itu? Di mana, wanita yang bahkan akan aku nikahi, disentuh bahkan akhirnya Saara pun mengakui bila itu bukan pemerkosaan, itu murni keduanya lakukan selama aku di Jerman... Rasanya waktu itu aku ingin membunuh keduanya. Hingga waktu berlalu dan aku sadar jika tengah terpuruk sampai membuatku menghabiskan waktu hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Lalu entah kenapa ketika di Osaka,"

Ia tak ingin suasana menjadi kelam. Naruto mendekatkan wajah dengan senyum tulus merekah

"Aku malah jatuh cinta dengan Hinata sayangku ini..." satu kecupan ia daratkan pada bibir ranum gadisnya. Dapat ia lihat Hinata menangis tanpa suara. "Dan setelah kejadian tadi, aku tidak ingin ambil pusing selama kau percaya padaku. Tapi, kau harus di hukum, sayang..."

Mendadak tubuh Hinata menegang. Ia menggeleng dengan wajah takut-takut tapi begitu lucu.

"Na-Naruto-kun mau a-apa?"

Naruto menyeringai, "Menikmatimu di ranjang."

"Ja-jangan!" entah kenapa Hinata gemetar. "Ki-kita menikah dulu. Baru Na-Naruto-kun boleh menyentuh Hinata..."

"Jika aku memaksa, bagaimana?"

"Naruto-kun jangan b-begitu... Hiks... Hi-Hinata takut... Hikss!" dengan terisak kecil, ia pun sempat memukul dada pria itu.

"Kalau begitu, cium aku sampai aku puas. Baru kau diampuni..."

Sampai Naruto dapat merasakan kecupan-kecupan dari Hinata yang seolah memberinya semangat untuk kembali ceria. Bahkan, ia terpekik kala merasakan bibirnya menjadi sasaran terakhir. Ia pun tersenyum dan menyambut ciuman cinta tersebut.

• • •

... To Be Continue ...

(19 - 06 - 2020)

Let's Play and Finish, OK!

Tinggalkan jejak hehe

Continue Reading

You'll Also Like

29.4K 4K 32
Follow dulu 💛 18+ ♨️ Oh Sehun-Kim Sejeong-Park Chanyeol Sehun adalah seorang pria berusia 30 tahun yang kehilangan segalanya, isteri nya mati terbu...
8K 4.3K 28
LOVE IN SILENCE Kita adalah dua orang yang saling mencinta tanpa harus berucap. Sepasang hati yang saling memeluk luka satu sama lain. Writer ARRA...
101K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
1M 27.4K 173
hallo guys ini hanya kumpulan doujin naruhina yg udh aku translate mungkin msh ada translate yg g bener karena mentranslet bahasa itu susah:-)O_o t...