Istana waktu itu terbuka untuk umum. Beranda istana penuh dengan warga yang berdatangan ingin melihat sidang. Jalan menuju pintu masuk jadi macet. Sebab warga yang tak kebagian tempat di dalam istana harus rela mengular hingga ke pintu masuk.
Hari itu, Henri Kruger serta rombongan baru saja pulang dari negeri yang amat jauh, Negeri Holz. Mereka tidak diizinkan untuk istirahat. Begitu sampai, tangan mereka langsung diikat dan tubuh mereka dipaksa berjalan menuju ruang utama istana yaitu aula kerajaan.
Di aula yang harusnya menjadi tempat yang sangat luas berubah padat merayap. Henri dan rombongan jadi susah berjalan. Mereka dituntun menuju kursi pesakitan yang letaknya paling depan. Menghadap sang hakim, membelakangi warga yang menyaksikan.
Di sebelah kiri belakang kursi pesakitan adalah tempat duduk untuk keluarga pelaku. Sementara di sebelah kanan belakang kursi pesakitan menjadi tempat duduk keluarga korban.
Henri duduk dengan tenang. Tak terlihat sedikitpun raut kegentaran dengan hukum yang akan diterima. Walau, di belakang keadaan sudah berubah menjadi meriah berkat kedatangan Henri dan rombongan.
Teriakan warga yang sok berani mulai terdengar lantang.
Umumnya adalah kata penggal atau mati untuk Henri dan rombongan. Mereka yang berteriak adalah para warga yang berani namun diam ketika Henri menengok ke belakang.
Henri bukan bermaksud menakuti mereka dengan tatapan yang tenang walau warga sudah takut ditatap olehnya. Ia mencari keluarganya yang pasti akan ada di tempat ini. Benar saja, sang istri Liliana serta dua anak dan satu pengawal terlihat baru sampai dan duduk di kursi tengah.
Sementara pihak korban juga telah kedatangan keluarga inti yaitu Esno Jegar dan rombongan.
Henri menyempatkan diri untuk berkedip kepada dua anaknya yang hanya dibalas oleh salah satu anaknya saja, Leon.
Andre kecil terlihat cemberut. Ia duduk ditengah di samping Rizal yang sudah terasa seperti ayahnya sendiri selama seminggu ini. Henri memberi senyum simpul kepada Rizal yang dibalas acungan jempol oleh Rizal.
"Kenapa Paman memuji Ayah?"
"Apa maksud Nak Andre?"
"Ayah kan pembunuh kenapa Paman malah memberikan jempol ke ayah. Apa Paman juga senang kalau ayah jadi pembunuh?"
"Tidak-tidak, bukan begitu maksudnya Nak Andre. Paman hanya senang dan memberikan jempol paman karena ayahmu sudah sampai disini dengan selamat dan dia berani menghadapi kesalahannya di pengadilan. Suatu saat nanti Nak Andre harus begitu ya."
"Begitukah?" Andre yang polos jadi ikut bangga kepada sang ayah. Untuk sementara.
Lalu kemudian, beberapa orang berpakaian kumuh tampak masuk ke dalam aula. Terdengar suara bisik-bisik dari para warga yang tidak enak didengar.
Mereka adalah bukti pembelaan Wakil Jenderal Henri. Mereka adalah penyihir.
***
Kerajaan Oliver mempunyai cara tersendiri dalam mengadili seseorang. Para kelas bawah, rakyat jelata atau pekerja biasa yang bermasalah atau berbuat kriminal biasanya akan diadili oleh prajurit biasa saja yang memang ditugaskan menjadi pengadil. Umumnya mereka berasal dari G-1 dan tempat pengadilannya juga dilakukan di markas G-1.
Naik ke atas pengadilan khusus untuk penjahat kelas berat biasanya akan diadili lewat voting tiga jenderal besar. Umumnya penjahat kelas berat ini sudah pasti bersalah. Kasusnya tidak abu-abu. Jelas letaknya dimana dan biasanya hakim selalu dipimpin oleh Jenderal Pusat Stampfer. Dua Jenderal lain sebagai pajangan saja.
Lalu untuk tingkat tertinggi dimana kasusnya abu-abu, yang berkasus juga antara dua orang penting di kerajaan dan memiliki pengaruh besar. Hakim untuk kasus ini biasanya dipimpin oleh sang Raja sendiri, khusus di aula istana.
Pukul delapan pas Raja Praatek turun dari lantai atas, lengkap dengan pakaian kebesaran. Ia datang tepat dengan waktu yang telah dijanjikan. Sebagai seorang hakim ia bisa memilih pendamping untuk setiap sidang yang berfungsi sebagai peringan tugas.
Kali ini orang tersial yang mendapat tugas tersebut adalah Jenderal Pusat Stampfer: Max Pierro(saat itu). Pria itu sudah botak sejak dua belas tahun yang lalu.
Ia datang memakai baju hakim berwarna hitam. Ia duduk mendampingi sang raja untuk mengentaskan kericuhan.
"Harap tenang semua! Sidang akan dimulai!" Seru Max Pierro
Mereka diam. Para warga yang hanya datang kemari untuk membuat kegaduhan tenang karena ketakutan. Tekanan yang diberikan Pierro jauh berbeda dari biasanya. Siapa saja bisa merasakan kalau orang ini berusaha mengintimidasi semua orang dari berbagai pihak. Termasuk para petinggi.
"Itu tidak berguna," ejek Esno di dalam hati. Tapi tumben ia tidak melontarkan langsung kata-kata pahitnya kepada Max Pierro. Ia terlihat tenang.
"Baik, kalau sudah tenang maka Yang Mulia boleh berdiri menyampaikan tradisi pengadilan kita."
"Terima kasih Max. Pertama seperti biasa, mari kita dengarkan ucapan mereka yang diduga bersalah. Satu orang saja."
Tentu Henri yang mengacungkan tangan lalu berdiri membelakangi hakim untuk membelakangi hakim untuk memberi penjelasan. Sebelumnya ia telah meminta maaf terlebih dulu karena tidak sopan membelakangi pengadil.
"Maaf sebelumnya yang mulia. Dunia tidak seharusnya dikuasai kebencian."
"Apa-apaan kau!" Esno menyambar langsung ucapan pembuka mereka yang diduga bersalah tanpa diminta. Ini melanggar adab pengadilan tapi sang Raja tampak membiarkan.
"Omonganmu seperti orang mabuk! Apa kau tidak menyesal telah membunuh Jenderalmu sendiri?" Urat di kening tampak mengeras seakan mau keluar. Nada bicaranya sudah tidak rendah lagi melainkan tinggi menyentuh bulan. Dari nanar mata tampak kebencian yang sangat mendalam ketika melihat pembunuh sang adik tepat di depan mata. Bahkan mereka sekarang saling beradu argumen.
Tensi darah semakin tak terkendali ketika Henri Kruger dengan santai menjawab, "aku tidak menyesal."
Sontak jawaban bernada santai dari Henri membuat masyarakat yang menyaksikan jadi dongkol. Keluarga Henri, anak dan istri serta sahabat ikut tercengang, Andre tak menyangka kalau ayahnya akan berkata seperti itu. Terlebih lagi, Esno langsung naik darah.
"Hei bajingan, apa yang kau katakan?" Tanya Esno sangat geram.
"Sudah langsung saja eksekusi orang ini, Yang Mulia!" Ujar istri mendiang yang tentu saja marah bukan main kepada Henri. Terlebih lagi dia juga adalah Wakil Jenderal Sacred Forced sama seperti Henri.
Pahlevi anak sulung dari mendiang tentu saja palak bukan main kepada Henri. Namun saat itu ia masih seorang prajurit Stampfer culun.
Sementara Jimy Dozen hanya bisa memendam kebencian di dalam hati melihat pembunuh ayahnya berkata demikian. Saat itu dia masih berumur belasan tahun.
"Hei Komandan. Kau membuat mereka semakin marah!" Bisik Streusen sebagai sesama pesakitan di ruang sidang. Ia mengingatkan agar atasannya tidak terlalu berapi-api mengobarkan isi hatinya. Sebab, nyawa anak buahnya bisa terancam bahaya.
Raja Praatek juga ikut geleng-geleng kepala. Ia lalu bertanya kepada Henri, "Tolong tenanglah semua. Henri, apa maksudmu kau tidak menyesal? Kau tahu bukan kalau tindakanmu ini fatal dan bisa diganjar hukuman mati."
"Yang Mulia. Terserah Anda ingin menghukum kami dengan hukuman seperti apa."
"Jangan bawa-bawa kami," seluruh anak buah Henri hanya bisa dongkol di dalam hati. Suara mereka bahkan tidak terdengar.
"Yang jelas kami tidak menyesal karena kami telah berhasil mencegah kebencian yang terjadi di sana. Yang Mulia tahu apa yang dilakukan Jenderal Hernas di sana?"
Henri mengambil nafas sebentar.
"Dia membantai penduduk yang tak berdosa hanya karena mengira kalau mereka ikut terlibat dalam pembunuhan Wakil Jenderla Chrom. Aku menemukan fakta kalau Chrom dibunuh oleh dua orang bandit dari organisasi berbahaya yang mengambil manfaat atas keributan yang terjadi di Kerajaan Holz. Saat aku ingin memberi tahu Jenderal Hernas dia malah tak mendengarkan ku dan memilih membantai penduduk desa. Tentu saja alasan dari perbuatannya itu tidak lain dan tidak bukan adalah diskriminasi yang mendarah daging di masyarakat kepada penyihir. Mereka penyihir, tidak ada kebaikan yang dilihat Jenderal Hernas di sana. Mereka iblis mereka pasti bersalah, dan mereka harus dibunuh. Itu yang dipikirkan Jenderal Hernas saat itu."
"Jangan mengada-ngada, kau tidak bisa membaca pikiran orang apalagi memasukkan itu dalam fakta persidangan," bantah Esno tidak terima.
"Tidak usah munafik. Tidak kalian semua pasti berpikiran sama seperti yang kukatakan. Apa Tuan Esno ingin mengatakan kalau orang paling berpengaruh di Kerajaan, Keluarga yang menyebabkan semua diskriminasi ini dimulai mau mengatakan kalau dia tidak rasis?"
Esno terdiam, tidak ada bantahan. Kebohongannya terbongkar di depan publik. Dia tidak mungkin berubah menjadi manusia paling cinta keragaman kepada masyarakat hanya untuk membantah argumen Henri. Semua orang tahu siapa Esno. Pemimpin keluarga Morkesna yang sangat membenci penyihir dan menyebarkan kebencian itu ke semua penduduk kerajaan selama puluhan tahun.
"Boleh saya melanjutkan pembelaan saya Yang Mulia?"
"Silahkan."
"Aku tidak bisa melihat orang tidak bersalah dibunuh begitu saja. Itu melawan prinsip moralku. Saat itu seseorang harus menghentikan kegilaan yang dilakukan Jenderal Hernas. Aku juga bukan manusia barbar yang langsung main bunuh seseorang yang berlawanan prinsip. Aku telah berusaha menghentikan aksi Jenderal Hernas dengan perkataan namun ia tidak mendengar. Malah dia menjadi berang dan ingin membunuhku. Jika aku yang mati, Hernas bisa saja mengatakan pada Yang Mulia kalau aku membelot atau apalah. Dia pasti tidak diadili. Dia keluarga kerajaan. Tidak ada hukum yang bisa menyentuh mereka. Keadilan disini sangat menyedihkan Raja Praatek!"
"Keberatan Yang Mulia. Dari tadi argumennya mengatakan kalau apa yang dia lakukan seolah membela diri dan melindungi warga dari kegilaan abangku. Pandai sekali kebohonganmu pembunuh!"
"Apa kau punya bukti?" Tanya Esno
"Tunggu dulu," cegah Hakim, "kau terlalu terburu-buru. Itu akan dilakukan di fase berikutnya."
"Baiklah, Henri Kruger. Apa kau ingin melanjutkan argumen pembelaan?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Baiklah kita lanjut ke fase berikutnya. Bukti pembelaan."
Bersambung