When I'm Gone (Completed) | L...

By RahmaAustin

15.1K 822 88

Selama 6 tahun, Alex Grey harus menahan rasa kecewa dan amarahnya. Menganggap bahwa dia akan kehilangan seora... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
When I'm Gone Cast and Character
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
Bagian 44
Bagian 45
Bagian 46
Bagian 47
Bagian 48
Bagian 49
Bagian 50
Bagian 51
Bagian 52
Bagian 53
Bagian 54
Bagian 55
Bagian 56
Bagian 57
Bagian 58
Bagian 59
Bagian 60
Bagian 61
Bagian 62
Bagian 63
Bagian 64
Bagian 65
Bagian 66
Bagian 67
Bagian 68
Bagian 69
Bagian 70
Bagian 71
Bagian 72
Bagian 73
Bagian 74
Bagian 75
Bagian 76
Bagian 77
Bagian 78
Bagian 79
My Thanks To You + Author's Note

Bagian 15

232 15 0
By RahmaAustin

"Pahit Dan Manisnya Reuni Kakak-Adik"

"Apakah di sini cocok? Atau aku perlu memindahkan lagi di belakang?"

"Di belakang saja Dan. Oh, dan pot bunga ini kau bisa letakkan di ujung. Kita bisa menjualnya lagi. Pasti banyak yang membutuhkannya nanti," Alaia membawa beberapa tangkai bunga mawar, sembari mengarahkan kepada Daniel untuk menempatkan beberapa koleksi bunga yang masih harus di simpan di belakang. Alaia sangat sibuk. Hampir setengah hari dia belum menyandarkan dirinya.

"Alaia, bisakah kau kemari? Aku membutuhkan tanda tanganmu," Sally menyeru dari balik tirai, ketika Alaia sedang meletakkan bunga mawar bermacam-macam warna. "Ya, tunggu sebentar," Alaia membalikkan badannya, segera menghampiri Sally yang sedang berada di depan pintu toko. Terlihat satu kurir berdiri di hadapan Sally. Menyodorkan beberapa nota untuk Alaia.

"Berapa semuanya?" bisik Sally mendekatkan tubuhnya di samping Alaia ketika wanita itu sedang menandatangi kertas nota berjumlah tiga lembar itu.

"Sudah, terima kasih," Alaia memberikan kertas nota ke hadapan kurir kembali. Mengembangkan senyumannya.

Alaia dan Sally masih berdiri di depan toko. Saling memandang satu sama lain, lalu memberikan senyuman. Sally kemudia memeluknya dengan gembira. Ia mengelus punggung Alaia. Keduanya di rundung rasa bahagia yang luar biasa. Alaia tidak menyangka dia benar-benar akan melakukannya. Sally dan Daniel sungguh baik padanya. Merelakan perpindahan demi dirinya, tidak akan mudah pastinya.

"Terima kasih telah mendampingiku di sini. Aku tidak tahu jika tidak ada kalian,"

"Oh, jangan begitu. Kami lah yang berterima kasih. Kalau kau tidak membawa kami. Apa jadinya aku dan Daniel. Dengar, aku tidak mau kembali ke kantor lama Richard. Aku tidak mau bertemu lagi dengan Gillan," bisik Sally. Alaia menarik senyuman di pojok bibirnya. Nada bicara Sally membuatnya tertawa.

Alaia tidak akan memisahkan pasangan itu. Sally dan Daniel akan merencanakan pertunangan mereka. Sally tidak akan mungkin kembali ke kantor lama Richard, karena dia tidak ingin bertemu dengan mantan kekasih super mengerikannya itu.

Alaia tahu, bagaimana Gillan memperlakukan Sally saat itu. Beruntung, seorang Daniel Henderson menyelamatkan hidup Sally Johson. Well-mungkin hanya sebatas itulah Alaia mengetahui kehidupan keduanya. Yang Alaia tahu adalah, mereka saling mencintainya, dan merasa berdosa bagi dirinya jika memisahkan dua sejoli itu.

"Kau tidak sungguh-sungguh tentang hal itu, kan?"

"Hal yang mana? Kembali ke kantor Richard atau kembali ke dalam pelukan Gillan?" Alaia mengangkat kedua alisnya, "Dua-duanya," jawab Sally, lalu membalikkan badannya, bersama dengan Alaia, mereka berjalan masuk ke dalam toko, melanjutkan perkataan mereka di depan tempat pembayaran.

"Well-aku memang tidak ingin kembali ke kantor itu. Aku tidak lagi tertarik dengan dunia perkantoran. Membosankan,"

Mata Alaia melembar. "Tapi kau bertemu Daniel di sana, Sally." Pungkas Alaia sembari kembali memeriksa barang-barang yang akan mereka perlukan. Wanita berambut ikal itu tertawa kecil, sembarimenatap layar komputernya, ia mengangguk kepalanya, menyetujui perkataan Alaia. Alaia mendengus mendengar Sally tertawa.

Bukankah dia harusnya menjawab atau menanggapi pernyataannya itu? Sally terdiam sesaat dia tertawa. Lalu meringkus badannya, tidak memperlihatkan wajahnya di hadapan Alaia lagi.

"Aku bertemu dengan Daniel sebelum dia bekerja di kantor,"

"Tunggu, mengapa aku baru mengetahui hal ini? Aku pikir kalian sudah saling kenal sebelum-"

"Hey, kalian sedang membicarakanku, ya? Apakah ini tentang bagaimana aku bertemu dengan Sally pertama kali?" Alaia dan Sally hampir memberhentikan kesibukan mereka sesaat Daniel datang, tanpa memberikan pemberitahuan terlebih dahulu.

Baik Sally maupun Alaia hanya melemparkan pandangan satu sama lain. Menahan bibir mereka untuk tidak tertawa. Daniel menghampiri Sally, yang kini sudah berada di meja pembayaran. Meletakkan siku-siku lengannya di atas meja, sembari memandang Alaia dan Sally bergantian.

"Aku hanya tidak mengerti mengapa-" mata Alaia ingin tetap memperhatikan Daniel, namun tidak sampai seorang pria telah berdiri di ambang pintu. Memberikan keheningan dari Alaia, Sally maupun Daniel. Bersamaan mereka memandang pria yang perlahan membuka gagang pintu. Alis tebalnya menyerka, bibir merahnya mengembang keseluruh penjuru ruangan.

Mata redup dan wajah melankolis pria itu berhasil membuat Alaia bersorak dalam hati. Dengan masih membawa buku agendanya, Alaia bergerak untuk menghampiri pria itu. Sally dan Daniel saling melemparkan pandangan. Sally meninggikan pundaknya, ia tidak tahu siapa pria yang sedang berada di hadapan Alaia itu, bahkan sekarang Alaia tampak bahagia melihatnya.

Oh, tunggu-apakah itu kekasihnya? Atau suaminya? Seingat Sally, Alaia tidak pernah menceritakan tentang suaminya, atau bahkan keluarga secara pribadinya. Hanya Alexa lah yang ia ketahui, juga Judy dan Matthew yang sepertinya juga bagian dari keluarganya. Namun, pria itu-adalah sosok yang baru ia ketahui.

"William!" seru Alaia memeluk pria itu sangat erat, melingkarkan tangannya ke leher pria itu. Tangan pria itu telah melingkar di seluruh tubuh Alaia. Ia mengelus punggung Alaia. terdengar tawa juga memecah di bibirnya, ketika pria itu melepas pelukannya di hadapan Alaia.

Alaia tidak menyangka dengan pria itu benar-benar berada di hadapannya. William Dean-kembali tanpa memberitahu-memang sebuah kejutan. Alaia benar-benar bahagia melihat kehadirannya.

Ya, William adalah seseorang yang Alaia tunggu sejak ia datang di rumah. Kakaknya itu tidak akan pernah mendapatkan kesempatan penuh untuk bertemu dengan dirinya. William adalah sosok yang sibuk. Setengah hidupnya ia dedikasikan dengan lautan. Tidak heran jika kulit William akan tampak lebih pekat daripada kulit Alaia yang cenderung kuning langsat.

"Hey, adik kecilku!" sapa William, tidak peduli kalau kedua kawan Alaia yang di belakang punggungnya itu akan mendengar. Bagi William, sampai kapan pun Alaia akan menjadi adik kecilnya, yang selalu membuatnya ingin mengigit pipi Alaia. Kegemasan di masa kecil rupanya tidak akan pernah di lupakan oleh William.

"Apakah kau akan tetap diam saja, tanpa memperkenalkan diriku dengan kedua temanmu di belakang?" William mengekerutkan keningnya, memiringkan kepala untuk memberikan senyumannya kepada satu wanita dan satu pria yang sangat terlihat bertanya-tanya siapakah dirinya.

Alaia mengerjap. Membalikkan badannya dengan cepat.

Senyum riangnya ia berikan pada Daniel dan Sally. "Teman-teman, perkenalkan ini William, dia adalah kakakku, William perkenalkan ini Daniel, dan-ini Sally," Alaia menunjukan satu persatu diri Daniel dan Sally.

Tangan keduanya mulai terangkat, untuk memberikan lambaian untuk William. Pria itu membalas seadanya, sikap wibawanya tidak dapat di pungkiri lagi. William begitu tenang, dan selalu memberikan senyuman damai.

"Apakah kau sedang sibuk? Aku datang di waktu yang salah, ya?" William memperhatikan ruangan yang penuh dengan kardus-kardus berserakan. Banyak daun-daun yang berceceran di lantai. Juga pot-pot yang hampir terdapat di pojok ruangan. William mematung, namun matanya yang tetap bergerak. Lalu berhenti ketika ia mendapati wajah Alaia kembali.

"Well-"

"Kami tidak sedang sibuk. Jika kau ingin mengajak Alaia untuk berbincang, silakan saja. Kami bisa menyelesaikannya,"

"Ya, kami akan menyelesaikannya," Sally melirik Alaia. Matanya menggambarkan bahwa dia harus membawa William untuk masuk ke dalam ruangannya. Membiarkan mereka untuk menyelesaikan sisa pekerjaan mereka. Alaia bisa berterima kasih kepada Daniel dan Sally nanti. Ia bergegas untuk membawa William masuk ke dalam ruangannya.

Lagi-lagi, pria itu tertegun. Ruangan ini lebih bersih daripada bagian depan. Ya, tentu saja, Alaia tidak akan membiarkan ruangan ini berantakan untuk pertama kalinya. Karena ini adalah ruangan kerjanya, jadi dia akan selalu memastikan kalau ruangan ini harus terlihat bersih.

William memperhatikan beberapa bingkai foto. Tiga bingkai foto bersejajar. Foto sebelah kanan, adalah foto Alaia dengan Alexa, di tengah adalah foto dirinya dan Alaia yang di ambil setelah mereka bermain basket bersama di halaman belakang ketika usia William 10 tahun dan usia Alaia 8 tahun, sebagai informasi-itu adalah foto terbaik bersama pada keduanya. Foto terakhir-tunggu-tangan Alaia merangkak, menutup bingkai foto itu dengan cepat, sedangkan William hanya mendapatkan sedikit gambaran.

"Apa kabar, tuan penguasa lautan?" wajah Alaia tersodor di depan William. Tersenyum memberikan semua gigi-giginya. Pria itu mendorong wajah Alaia, menutupi seluruh wajah Alaia dengan satu telapak tangan penuh.

"Aku baik-baik saja, putri penguasa kebun bunga," celetuk William sembari tersenyum kecut. Bola matanya menurun sembari ia menjauhkan tangannya dari wajah Alaia. Pria itu menengok ke samping kanannya. Terlihat kursi kayu sudah tersedia, ia menariknya dengan cepat, lalu memutuskan untuk duduk. Di sambung dengan Alaia yang duduk di kursinya. Yang kini memperlihatkan setengah badannya yang tertutup dengan meja.

"Alaia Dean,"

"William Dean," keduanya sama-sama memberikan tatapan sinis, namun mengejek. Satu, dua, tiga detik kemudian, tawa memecah dari bibir keduanya. Ini benar-benar gila. Alaia melihat kakaknya yang telah berubah. William terlihat-sangat seksi.

Ya, tentu berhak memuji kakaknya sendiri bukan? Bahkan mengaguminya pun adalah hal yang wajar. Sejak kecil memang William adalah panutan dalam hidupnya.

Mereka tidak pernah terpisahkan. Mereka melewati masa sulit bersama-sama. Mereka tidak pernah melewatkan hari penting tanpa adanya satu sama lain. Ya, mereka memang sempat melakukan hal-hal menyenangkan bersama. Sampai akhirnya, Alaia yang memutuskan untuk menikah, membuat kedekatan antara dirinya dan William menjadi berjarak.

Ia merindukan William-sangat merindukannya. Semenjak kecelakaan itu, William tidak pernah lagi meninggalkan Alaia.

Walaupun Alaia sendirilah yang memutuskan untuk meninggalkan William. William tentu tidak akan memprotesnya, apa pun untuk kebaikan Alaia, dia tidak akan menolak.

Tatapan keduanya masih lekat satu sama lain. Menggelengkan kepala bersama-sama. Alaia-masih tidak menyangka William berada di hadapannya sekarang.

"Kau merindukanku, ha?" ucap Alaia percaya diri. William mendengus.

"Sangat!" desisnya, memejamkan matanya untuk menghayati perkataannya. Ia menarik kursinya, mengubah posisinya untuk dapat duduk di hadapan Alaia, tepat di depan matanya.

"Jadi, apa yang membuatmu kembali?" sontak, Alaia harus memutar otaknya. Kejutan! William pasti akan mempertanyakan hal yang tidak akan ia lewatkan. Dengan seadanya, yang muncul di otaknya, Alaia menjawab.

"Aku merindukan kalian, dan aku memutuskan untuk pulang. Membangun bisnisku di sini,"

Alis William terangkat setengah. Tidak menyangka itu adalah jawaban yang terlontak dari mulut Alaia. Ia tidak mengharapkan Alaia untuk berbohong, pria itu tahu ketika adiknya akan berbohong dengannya. Begitupun juga Alaia, melihat raut William yang seperti itu-bisa diartikan bahwa pria itu sedang menaruh curiga padanya.

"Kau tidak bisa membohongiku, Alaia," jemari William mendarat diatas bingai yang tengkurap, membuat Alaia memekik dalam batin. William menatapnya tajam. Alaia tidak dapat bergerak. Mata itu memang sangat teduh dan damai, namun di sisi lain, warna mata yang mirip seperti mata harimau itu juga dapat mematikan.

"Apakah ini karena pria yang berada di balik bingkai ini?" William membalikkan foto itu, menghadapkan untuk dirinya sendiri. Pria itu memperhatikan Alaia yang tampak menengang. William tahu, kembalinya Alaia bukan tanpa sebab. Hanya merindukan keluarga? Jika memang begitu-dia bisa melakukannya sedari dulu, setelah kecelakaan yang hampir menghilangkan nyawanya itu.

"Kau sungguh ingin melakukannya? Setelah bertahun-tahun?" Alaia bisa mendengar suara William yang rendah, masih bersabar untuk berbicara. Telapak tangan William mendarat di atas kedua tangan Alaia yang sedang ia kaitkan.

Alaia menghela napasnya dengan berat. Menundukkan wajah untuk memperhatikan tangan William. Alaia belum memberikan jawaban untuk William. Suasana menjadi menegang, rasa dingin melanda di sekujur tubuh Alaia. Wanita itu tidak menyangka pertemuannya dengan William akan membuat dirinya hampir sesak napas.

"Alaia, tolong katakan yang sebenarnya,"

. "Aku tidak tahu, Will. Aku kembali karena Richard memintaku untuk membangun toko bunga di sini, Aku tidak bisa begitu saja kehilangan pekerjaanku. Aku mempunyai putri yang harus aku urus. Lagipula, aku juga tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini," William menggelengkan kepalanya.

"Kau terpaksa melakukan ini, bukan begitu?"

Dada Alaia sontak seakan terpanting. Ia memundurkan badannya. Lalu membuang pandangannya. Matanya tersorot kearah dinding putih, polos, tanpa memberikan sesuatu yang berkesan bagi Alaia.

"Apakah kau sudah lelah bersembunyi? Kau ingin menunjukkan dirimu di hadapannya? Kau benar-benar sudah siap?" Alaia menggeleng sekuat tenaga, air mata mulai mengalir di pipinya. Dua detik adalah waktu yang cepat untuk nya menciptakan air mata. Ia kembali memandang William dengan parau.

"Sungguh, Will? Kau akan melakukan ini padaku? Kita baru saja bertemu, kita tertawa lima belas menit yang lalu, dan sekarang kau membuatku menangis? Kau memang tidak dapat di percaya!" decak Alaia, sembari beranjak dari tempat duduknya.

"Aku hanya tidak mengerti, mengapa kau berbohong padaku? Kau tahu kan, aku benci ketika seorang berbohong padaku, apalagi kau-aku tidak pernah mengajarimu..."

"Hai, William Dean. Sadarkah dirimu kalau kau juga sedang berbohong. Membuat semua orang berbohong hanya karena..."

"Alex?" sanggah William, tidak memberikan kesempatan Alaia untuk menyelesaikan perkataannya. William berdecak, mengangkat kedua tangan, lalu melipatkannya di belakang kepala belakang. "Kau harus bisa membedakan antara berbohong demi kebaikan dan berbohong untuk keegoisanmu sendiri,"

"Wow! Egois? Luar biasa!" Alaia melemparkan pandangannya. Tambah gila saja, perbincangannya menjadi hal yang serius sekarang.

"Hey, dengar. Jika memang ini karena dia, aku juga tidak akan keberatan. Aku tahu alasanmu, itu jelas. Kau harus mengerti apa pula yang membuatku kembali. Aku tahu kau merindukannya, bahkan melebihi rasa rindumu padamu. Aku juga merindukannya, percayalah. Aku masih tidak ingin membuat amarah ini kembali terukir-"

"Kau tidak mengerti apa pun! Kau tidak tahu bagaimana rasanya jadi diriku. Aku bertahan hidup, hanya untuk dapat melanjutkan hidupku. Kau pikir aku bahagia hidup tanpanya, Tidak, Will. Aku tidak bahagia. Aku sengsara. Aku tidak berdaya, seakan tubuh ini mati rasa. Aku menghargaimu, karena telah melindungiku selama ini- terima kasih atas hal itu-tapi, ingatlah bahwa aku ini wanita, aku mempunyai rasa rapuh, dan aku tidak bisa selamanya harus merasa kuat dalam keadaan apa pun," dada Alaia terasa sesak. akhirnya, ia mampu melontarkan apa yang selama ia rasakan,

Entah, apakah William tidak harusnya dia salahkan, atau bahkan William lah yang selama ini membuatnya tertekan.

Dia mencintai kakaknya itu, menghargai atas apa pun yang telah ia berikan pada Alaia selama ini, namun di sisi lain, ia juga merasakan penyesalan yang mendalam. Ia memang sakit sedalam-dalamnya. Di usir dari kehidupan seseorang tanpa dia menjelaskan terlebih dahulu, adalah yang menyedihkan di sepanjang hidup Alaia.

Perkataanya memang berbeda jauh dengan apa yang ia utarakan dengan Alaric beberapa hari yang lalu. Hari itu, dia memantapkan dirinya untuk tidak lagi berurusan dengan keluarga suaminya. Namun, sekarang-ia merasa hampa tanpa adanya sang suami di sampingnya. Ini lah ia takutkan-kejadian-kejadian tidak terduga akan mengubah suasana hatinya, menjadi seorang yang tidak mempunyai pendirian.

Kemarin dia menolak, hari ini dia merasa dia harusnya tidak melakukan hal itu, lalu esok, bagaimana jika dia benar-benar menginginkan pria itu kembali dalam hidupnya? Memperbaiki semua, hanya demi Alexa? Jelas, Alaia tidak dapat menggambarkan suasana hatinya sekarang.

William hanya terdiam. Memandang Alaia tidak berdaya, di tangkupnya badan Alaia, seraya dia beranjak untuk memeluknya. Terkejut mendengar semua perkataan Alaia. Jika memang itu semua yang di rasakan selama ini, mengapa adiknya itu harus menyembunyikannya? Jika memang kenyataannya harus membuat Alaia sengsara, dia tidak akan pernah melakukan hal sekeji itu. Kalau bukan ulah keluarga suami Alaia dia bahkan tidak pernah mau melakukannya.

"Maafkan aku," bisik William. "Jika aku tahu keadaannya akan seperti ini, aku tidak akan mampu melakukan hal ini padamu, walaupun aku tahu kenyataannya mereka tidak bisa menerimamu lagi," sambungnya, sembari mengelus rambut Alaia.

"Ak-aku pikir memang begitu. Hari ini aku bisa merasa aku harus kembali padanya, namun, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan besok. Aku tidak dapat melangkahkan kakiku lebih jauh, Will. Aku masih takut,"

"Ssstt..." desis William, meminta Alaia untuk melirihkan tangisannya.

"Semuanya akan baik-baik saja. Aku tahu semua ini tidak mudah untukmu, untukku, juga untuknya. Aku tahu, dia memang sangat membutuhkanmu.Aku merasa berdosa jika aku terus melakukan hal ini-harusnya saat itu, aku tidak terlalu gegabah. Aku harusnya tidak memalsukan kematianmu. Harusnya aku bisa mengatakan yang sesungguhnya, tanpa harus menjadikanmu beban selama hidupku, seperti ini,"

"Tidak, William. Aku mengerti...maafkan aku," Ujar Alaia sembari memandangnya, parau. Willaim mengehela nafasnya dengan berat. kini, sudah saatnya ia memperbaiki kesalahannya untuk Alaia.

"Well- kita akan mencari jalan keluar bersama-sama, Oke? Maafkan aku juga." William memperhatikan wajah Alaia yang basah dan penuh air mata.

"Oh, tolong. Jangan menangis dihadapanku. Terakhir kali kau menangis, adalah hal yang mengerikan bagiku," Eram William, sembari menyunggingkan senyuman.

"Ya, aku tau. Sangat mengerikan," Ujar Alaia sembari tertawa kecil.

"Di mana Alexa?" William beranjak dari pijakannya, berjalan menuju lemari pendingin.

"Masih ada kelas balet dengan Judy."

"Judy?" saut William, dengan membawa botol air mineral yang sudah berada di genggamannya.

"Ya, Judy. Kau mengenalnya bukan?" Ujar Alaia duduk kembali.

"Ya, tentu aku mengenalnya. Satu-satunya yang menyelamatkan nyawamu, dan aku harus berterima kasih banyak dengannya."

Alaia hanya terkikik mendengar perkataan William itu. Alaia kembali mengurus barang-barangnya yang berantakan di atas meja. Melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 5 sore.

"Lee, kau yakin akan di sini sampai malam? Kau perlu istirahat, Alexa membutuhkanmu. Aku rasa, dua temanmu itu akan bisa melakukannya untukmu,"

William membalikkan badannya, bola matanya melebar. Melihat Alaia yang sudah rapi. Bersama dengan meja yang tidak lagi berantakan. Alaia mengembangkan senyumannya pada William, berjalan melaluinya.

"Kau mau pulang, atau aku akan memintamu untuk membantu Daniel dan Sally," Alaia membuka pintu perlahan. Dilihatnya Daniel dan Sally yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saatnya dia memakai kaca mata bacanya untuk mengurangi perubahan matanya, sebelum Sally dan Daniel mendapati keadaannya secara gamblang.

"Hey, Dan. Bisakah kau melengkapi semua kekurangan bunga? Buku catatannya ada di meja kerjaku."

"Yes, ma'am!"

"Terima kasih, Daniel. kau terbaik."

"Sally-"

"Yap, aku akan mengerjakannya. Kau hati-hati di jalan, ya. Sampaikan salamku untuk semua orang." Sally mengembangkan senyumannya di hadapan Alaia, melambaikan tangannya sedikit ada gerakan mengusir. Alaia memberikan seyuman pada Sally. Memeluknya sebelum ia benar-benar pergi.

"Sampai jumpa!" William melambaikan tangannya sembari berjalan mengekori Alaia. sedangkan Sally dan Daniel hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Kakak-adik itu sudah berada di dalam mobil.

"Hey, kau ingin aku menjemput Judy dan Alexa di kelas balet?" ujar William sembari menyalakan mesin mobil. Alaia menoleh dengan cepat. Rasanya akan merepotkan William juga pria itu harus menjemput Judy dan Alexa, sedangkan Alaia mengerti bahwa William pasti sangat lelah setelah menempuh perjalanan jauh.

"Alaia? Kau mendengarku, atau tidak?"

"Ya, ya. Tentu aku mendengarmu. Well, terserah kau saja. Kalau kau memang tidak keberatan, kau bisa menjemput mereka,"

"Kau yakin Judy masih mengingatmu?" ujar Alaia, melemparkan pandangannya. William meninggikan alisnya.

"Ya, jelas dia masih mengingatku, kau bisa mengirim Judy pesan, kalau aku yang akan menjemputnya. Beritahu mobil yang akan aku pakai. Bukankah dia mengenali mobil ini?" Dengan wajah terpaksa, Alaia tidak dapat lagi menolak tawaran William. Dengan kata lain-dia mengizinkan William untuk menjemput Judy dan Alexa. []

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 27.3K 44
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.2M 59.8K 68
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
960K 74.9K 64
》Love Makes Series 4《 • • • Hari itu merupakan hari tersial bagi sosok Auristela Darakutni. Ia mengalami kecelakaan hingga mengalami patah tulang di...
785K 2.8K 14
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...