IND/ENG - Unacceptable Love...

By Cyrena0819

34.3K 2.3K 665

Pairing : Phana/Singto Genre : Romance/Drama/Mpreg Singto is working at the property company, he fall in love... More

IND - Chapter One - First Sight Love
ENG - Chapter One - First Sight Love
IND - Chapter Two - Little Secret
ENG - Chapter Two - Little Secret
IND - Chapter Three - Sweet & Bitter
ENG - Chapter Three - Sweet & Bitter
IND - Chapter Four - Embarrassing Moment
ENG - Chapter Four - Embarrassing Moment
IND - Chapter Five - Coffee's Story
ENG - Chapter Five - Coffee's Story
IND - Chapter Six - Love is Hard
ENG - Chapter Six - Love is Hard
IND - Chapter Seven - Secret Unfold
ENG - Chapter Seven - Secret Unfold
IND - Chapter Eight - Card Revealed
ENG - Chapter Eight - Card Revealed
IND - Chapter Nine - The Stalker
ENG - Chapter Nine - The Stalker
IND - Chapter Ten - First Time
ENG - Chapter Ten - First Time
IND - Chapter Eleven - Taking a Break
ENG - Chapter Eleven - Taking a Break
IND - Chapter Twelve - Blossom Night
ENG - Chapter Twelve - Blossom Night
IND - Chapter Thirteen - Love Quadrangle
ENG - Chapter Thirteen - Love Quadrangle
IND - Chapter Fourteen - Unfaithful Facts
ENG - Chapter Fourteen - Unfaithful Facts
IND - Chapter Fifteen - Caught in Time
ENG - Chapter Fifteen - Caught in Time
IND - Chapter Sixteen - Rivalry War
ENG - Chapter Sixteen - Rivalry War
IND - Chapter Seventeen - Lose to Win
ENG - Chapter Seventeen - Lose to Win
IND - Chapter Eighteen - The Conclusion
ENG - Chapter Eighteen - The Conclusion
IND - Chapter Nineteen - Finding Love
ENG - Chapter Nineteen - Finding Love
IND - Chapter Twenty - Reunion
ENG - Chapter Twenty - Reunion
ENG - Chapter Twenty One - Wedding Plan
IND - Chapter Twenty Two - Tree of Love
ENG - Chapter Twenty Two - Tree of Love
IND - Chapter Twenty Three - Unexpected Thing in Life
ENG - Chapter Twenty Three - Unexpected Thing in Life
IND - Extra Chapter One
ENG - Extra Chapter One
IND - Extra Chapter Two
ENG - Extra Chapter Two

IND - Chapter Twenty One - Wedding Plan

703 61 23
By Cyrena0819

Pha bangun kesiangan karena kelelahan akibat menyetir seharian, saat membuka mata ia tidak bisa menemukan Singto dan panik seketika. Sejenak kemudian, ia melirik arloji dan menebak Singto sudah pergi bekerja. Pha duduk di kasur dan mengingat Singto bekerja di pabrik untuk membayar hutang membuat dadanya terasa di remas.

Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu berjalan keluar, ke ruang tamu dan bertemu ibu Singto. Wanita itu menatapnya dengan ekspresi terkejut dan gugup, lalu tersenyum kaku sambil menawarinya sarapan. Suasana di antara keduanya terasa canggung. Ibu Singto terus mengawasi dan menatapnya dengan tatapan curiga, tetapi Pha berusaha mengabaikannya dan menikmati makanannya.

Setelah makan, Pha tidak lupa menghubungi bagian proyek manager, memintanya mengirimkan tenaga ahli dan beberapa pekerja untuk memperbaiki atap rumah Singto yang bocor.

"Apa aku boleh tau dimana Singto bekerja?" Pha mengajukan pertanyaan, sambil mengunyah roti di mulutnya.

Wanita itu mengangguk dan memberikan alamat pabrik padanya, bertanya. "Sudah berapa lama kalian bersama?"

"Er...satu tahun..." jawab Pha gugup.

"Dia tidak pernah menceritakannya padaku soal ini..." wanita itu menghela nafas. "Mungkin karena ayahnya selalu menyuruhnya mencari teman wanita, kami tidak tau kalau dia..."

"Aku bisa mengerti perasaanmu..." komentar Pha.

"Mana mungkin kau mengerti?"

"Mungkin kau akan sulit menerima pada awalnya, namun jika kau ingin melihat lebih jauh dan menempatkan posisimu di antaranya, kau akan mengerti bahwa...cinta tumbuh seperti pohon tanpa memandang gender."

Ibu Singto tampak terkejut dengan ucapan Pha, mau tau mau mengakui calon menantunya ini sangat pintar bicara.

"Ceritakan bagaimana kalian bertemu..."

Pha tampak ragu – ragu dan berpikir apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya. "Er...Singto bekerja sebagai sekretarisku, dan lima bulan lalu kami berpisah karena ada beberapa kesalah pahaman, tetapi sekarang kami sudah menyelesaikannya dan memutuskan untuk memulai kembali..."

"Apakah kau sungguh mencintainya?"

"Ya, tentu saja..." jawab Pha tanpa berpikir. "Karena itu aku di sini..."

Ibu Singto ragu-ragu sejenak sambil melirik Pha, dan mengingat pemandangan tadi malam. Sekitar jam 2 pagi, dia pergi ke kamar Singto dan membuka pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Ia terkejut saat melihat Pha sedang tidur dengan memeluk putranya seperti guling, dan seluruh pakaian mereka berceceran di lantai.

"Bagaimana Singto bisa mengandung?" tanyanya tiba – tiba, dengan ekspresi keheranan.

Pha hampir tersedak makanan saat mendengar pertanyaan itu dan batuk seketika.

"Itu..." Pha membersihkan tenggorokannya dan menelan ludah, berpikir bagaimana ia harus menjelaskannya. "Haha..." ia tertawa dengan canggung sejenak dan menghembuskan nafas panjang.

"Er...aku mengeluarkan di dalamnya..." jawabnya cepat dan segera menghabiskan sarapan, lalu pamit ke kamar mandi.

------------------------------------------------------------------------

Pha menyetir ke lokasi pabrik pembuatan kain tradisional diaman Singto bekerja dan menyaksikan dari jauh melalui pagar pembatas, para pekerja yang sedang mencuci dan mengeringkan kain yang sudah di warnai di bawah sinar matahari. Mata Pha sibuk bergerak mencari sosok Singto di antaranya, namun ia tidak menemukannya.

Ia lalu melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10:49, Singto akan istirahat makan satu jam lagi, namun pria itu memberitahunya kalau ia tidak bisa meninggalkan pabrik sebelum jam pulang kerja. Ia berpikir sejenak dan mengirimkan pesan pada pria itu dan menanyakan berapa jumlah pekerja pabrik, sambil memikirkan ide di kepalanya.

Pha mentraktir seluruh pekerja pabrik demi bisa makan siang bersama Singto. Setelah makan, manager pabrik mengajak Pha berkeliling pabrik dan menjelaskan padanya proses pembuatan kain tradisional Thailand.

Para pekerja pabrik kebanyakan adalah wanita, termasuk manager pabrik. Beberapa gadis muda tampak terus tersenyum dan tidak melepaskan pandangannya sedetikpun dari Pha.

Selain itu, manager pabrik juga dengan jelas menunjukkan ketertarikannya pada Pha, ia terus mengajak pria itu berbicara sambil menatap ke dalam matanya, dan tersenyum menggoda.

Tiba – tiba saja ia berpura – pura mengeluh kepanasan sambil mengibaskan tangannya di sekitar leher, lalu membuka beberapa kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya, membuat Singto merasa tidak nyaman.

Pha menyadari hal itu, alih – alih memperbaiki situasi, ia malah sengaja membuat Singto cemburu dengan meminta nomor telephone wanita itu. Singto mendengus kesal dan memandang ke arahnya dengan mata berapi – api dan tidak percaya.

Salah satu rekan kerja wanita memperhatikannya dan mengajaknya bicara. "Apakah semua pria tertarik dengan wanita yang sudah menikah?" tanyanya. "Kurasa, tidak lama lagi P'Min akan mengundurkan diri dan pindah ke Bangkok menjadi istri CEO..."

"Itu tidak akan terjadi..." komentar Singto tanpa sadar.

"Kenapa kau bilang begitu?" serunya dan seraya menoleh pada Singto. "Kau tidak akan menang melawannya, sekarang aja dia sudah sepuluh langkah di depanmu, kau harus memikirkan jurus untuk memukulnya mundur..."

"Oh ya?" Singto menyeringai. "Aku tidak memerlukan jurus untuk menang..."

Usai berkata demikian, Singto pura – pura lewat di depan keduanya sambil mengunci mata Pha dan tersenyum mencurigakan. Pha membersihkan tenggorokannya dan menelan ludah, mencoba menebak apa yang sedang direncanakan oleh Singto.

"Cuaca Thailand sangat panas, membuatku ingin membuka baju..." sindir Singto sambil mengibas – ngibaskan kaosnya, lalu meraih ujung kaos dan menariknya ke atas. Menyadari itu Pha dengan sigap melesat ke arahnya, menjulurkan tangan menarik ujung kaosnya ke bawah, lalu melototinya.

"Jangan menantangku!" Pha memperingatkannya dengan menggerakkan bibirnya tanpa suara sambil memberi isyarat bahwa banyak wanita disini.

Seluruh pandangan tertuju pada mereka dengan ekspresi tercengang.

Sejenak kemudian, manajer pabrik menghampiri Pha dan mengajaknya mengobrol di kantor.

"Di dalam kantor ada AC, kita bisa bersantai sambil minum kopi, bagaimana menurutmu?"

"Oh, sebagai informasi...CEO Konthanin tidak minum kopi..." Singto menyela.

"Aw, bagaimana kau tau?" tanya wanita itu curiga.

Singto memutar bola matanya dan berpikir, mencari alasan.

"Karena giginya sangat putih dan bersih, jika pecandu kopi, maka akan terlihat jelas perbedaannya..."

Wanita itu langung mengatup mulutnya dengan tangan dan membersihkan giginya menggunakan lidah.

Singto menambahkan. "Selain itu aku tidak mencium aroma kopi dari mulutnya..." ia membawa hidungnya mendekat ke mulut Pha sambil mengendus.

Pha yang sejak tadi menahan diri hendak tertawa, akhirnya menyerah, ia tersenyum lebar, lalu tiba – tiba saja menempelkan bibirnya dengan bibir Singto, menciumnya di depan semua pekerja.

Wajah semua orang tercengang seketika seakan terhipnotis menyaksikan pemandangan itu.

Begitu juga dengan Singto, ia membelalakkan matanya lebar dan syok hingga membeku di tempat dengan wajah merah seperti tomat.

Sesaat kemudian, Singto seraya menarik wajahnya dan melangkah mundur, namun karena gugup kakinya seakan di paku di tanah, menyebabkannya terhuyung ke belakang. Menyadari hal itu, Pha dengan sigap menangkapnya, memeluk pinggangnya dan mendekapnya erat.

Keduanya mematung dalam posisi berpelukan dan saling beradu pandang. Semuanya kembali membeku dan tercengang, seakan sedang menyaksikan adegan romance layar lebar.

Pha akhirnya buka mulut dan mengumumkan, tanpa mengubah posisi mereka. "Hari ini aku mentraktir semuanya yang ada disini sebagai ucapan terima kasih telah menjaga Singto dengan baik selama ia bekerja disini, sekaligus kami ingin mengumumkan bahwa kami akan segera menikah..." Pha tersenyum lebar setelah menyelesaikan pidato singkatnya dan menutupnya dengan kecupan ringan di kening Singto.

Para pekerja pun mulai bertepuk tangan dan bersorak gembira, mengucapkan selamat pada keduanya.

Sementara manager pabrik langsung terhuyung ke belakang dan tidak percaya mendengar pernyataan tersebut, padahal ia baru saja bermimpi dan mengira menemukan calon suami kedua.

----------------------------------------------------------------------------------

Ibunya meminta Singto pulang lebih awal pada hari itu, ia pun meminta ijin pada pemiliki kedai mie.

Sesampainya di rumah, ia menemukan Pha sedang duduk di meja makan menunggunya, sedangkan ibunya tampak sibuk keluar masuk ke dapur, mengeluarkan nasi dan lauk pauk.

"Apakah hari ini ada yang special?" tanya Singto bingung dan mengambil tempat duduk di samping Pha. "Bagaimana platformnya? Sudah di perbaiki?" ia mengganti topik.

Pha mengangkat bahunya mengatakan bahwa ia tidak ada ide dan menjawab pertanyaan Singto yang kedua. "Sudah, para pekerja baru saja pulang..."

"Aku tidak ingin kau bekerja terlalu lelah..." ibunya menimpali sambil meletakkan sayur di meja. "Kau harus menjaga tubuhmu dengan baik dan lebih berhati – hati saat melakukan sesuatu..." lalu kembali ke dapur.

"Aku ingat kau mengatakan itu ketika aku masih kecil..." jawab Singto dengan berteriak, tetapi ibunya tidak menanggapi.

"Apa yang kau lakukan di rumah sejak sore?" Singto membuka percakapan dengan Pha.

Pria itu menunjukkan tablet padanya untuk memberi tahu bahwa ia bekerja. "Bagaimana pekerjaanmu?" ia membalas pertanyaan pria itu.

"Seperti biasa..." jawab Singto, lalu berpikir sejenak. "Dengar, kau bisa kembali ke Bangkok dan datang seminggu sekali..." usulnya.

"Aku tidak akan kemana - mana, sampai ibumu menyetujui pernikahan kita..."

"Seingatku, pekerjaan berada di urutan pertama dalam listmu..." Singto mengeryitkan alis.

"Er...aku sudah menggeser posisinya untukmu..." Pha mengerdipkan mata menggodanya.

"Oh..." komentar Singto singkat dan menyeringai.

Ia lalu mengulurkan tangan hendak mengambil sayur di meja, namun tiba - tiba saja ibunya muncul dan menepuk tangannya, menyuruhnya mencuci tangan sebelum makan.

Singto pun berjalan menuju kamar mandi dengan ekspresi cemberut, sementara Pha berusaha menahan tawa sambil memandang punggungnya.

Setelah semua lauk keluar, ibu Singto juga duduk di depan keduanya dan mengambil nasi untuk semuanya. Pha segera mengulurkan tangan membantunya.

Pandangan mata Singto tertuju pada sebuah mangkok keramik yang tertutup rapat di depannya, lalu melirik ibunya dan bertanya penasaran.

"Ini apa?"

Ibunya tersenyum dan membuka penutup mangkok, di dalamnya terdapat seekor ayam di rendam di dalam sup berwarna hitam, diolah dengan campuran herba Chinese menggunakan metode direbus pelan – pelan di atas api kecil.

Wajah Pha dan Singto melongo seketika melihat isi mangkok tersebut. Mereka spontan menutup hidung saat mencium aroma aneh darinya sambil mengerutkan dahi menunjukkan ketidaksukaan.

"Ini untukmu..." sahut ibunya.

"Ma, kau jelas – jelas tau aku vegetarian..." tukas Singto. "Dan baunya...membuatku ingin muntah." Singto seraya menekan hidung dan mulutnya sambil menelan ludah.

Ibunya mendesah panjang dan memaksanya makan. "Kau harus membuat pengecualian untuk hari ini, dan kau harus menghabiskannya!"

"Aku tidak mau!" Singto mendorong mangkok ke arah Pha. "Kau saja yang makan!"

Ibunya tampak terkejut dan menarik mangkok kembali. "Ini kubuatkan khusus untukmu, jangan seperti anak kecil! Sebentar lagi kau akan jadi ibu!"

Singto membelalakkan matanya lebar mendengar kalimat terakhir ibunya. "K-kau bilang apa?" serunya.

Sementara Pha berusaha menahan tawa di sampingnya dan akhirnya mengetahui fungsi sup ayam obat tersebut.

"Sop ayam ini untuk menguatkan janinmu, kau harus memakannya!"

Jiwa Singto seakan melayang keluar dari tubuhnya, ia membeku tanpa ekspresi mendengar hal itu.

"A-aku tidak..."

Pada saat yang sama, Pha dengan cepat memotong sebuah paha ayam dari sup dan menyumpal mulutnya, sebelum Singto sempat menyelesaikan kalimatnya. Singto memutar wajahnya perlahan menatap Pha dengan ekspresi kesal sambil menggigit paha ayam dimulutnya.

"Kau harus mendengarkan kata ibumu! Habiskan supnya demi bayi kita!" ujar Pha sambil menepuk perutnya ringan dan tersenyum lebar.

Singto memejamkan matanya sejenak, menarik nafas panjang dan menghembuskannya, setelah itu meraih paha ayam dan memaksakan diri mengunyahnya.

Pha membantunya memisahkan ayam dari tulangnya, agar Singto tidak kesulitan saat memakannya. Singto menahan nafas saat meminum kuahnya, dan rasanya ia ingin menangis.

Ibunya menggelengkan kepala melihat tingkah keduanya dan tersenyum tanpa sadar, lalu berkata pada Pha.

"Aku sudah memikirkannya, dan aku setuju menyerahkan putraku padamu..." ia tampak terisak. "Aku merestui pernikahan kalian..."

Pha dan Singto saling bertukar pandang sejenak sebelum menoleh pada ibunya dengan ekspresi tercengang, sejenak kemudian seulas senyuman terukir di wajah keduanya. Pha membawa tangannya menggenggam tangan Singto di ayas meja dan mengecupnya lembut.

Ia lalu bangun, menggeser kursi, mengeluarkan cincin dari sakunya, berlutut dengan sebelah lututnya di lantai dan melamar pria di depannya dengan ekspresi terharu.

"Menikahlah denganku..."

Singto mematung sambil menoleh ke samping, memandangnya Pha lurus dengan ekspresi bengong dan sebelah tangannya berhenti di udara sambil memegang sendok.

Tiga puluh detik berlalu....

Namun Singto masih tidak bergeming, melihat itu, ibunya tampak gusar dan menghela nafas kuat.

"Kenapa kau berpikir terlalu lama? Toh kau sudah mengandung anaknya!" ujarnya.

Ia lalu bangun, merebut cincin dari Pha dan memasangkannya di jari putranya dengan tidak sabaran, lalu duduk kembali dan melanjutkan makan.

"Bangunlah!" pinta pada calon menantunya. "Duduk dan lanjutkan makan!"

Singto memandangi cincin di jarinya sejenak lalu menatap ibunya dengan mata melotot, seakan bertanya apa yang ia katakan.

Sementara Pha bangun perlahan, menepuk debu di lututnya, dan duduk kembali di kursinya dengan wajah cemberut.

"Kenapa kau diam saja?" protes Pha dengan berbisik pada Singto.

"Kupikir kau tidak akan bertanya..." sahut Singto dengan berbisik.

"Kupikir kau ingin aku melamar..." balas Pha tak mau kalah.

"Apakah kau sudah memberitahu oraang tuamu soal ini?" tanya ibu pada Pha, menginterupsi argumen keduanya.

Pha terenyak seketika, dan seraya menoleh padanya. "Ibuku sudah tidak ada sejak 7 tahun yang lalu, sedangkan ayahku...tidak pernah kembali lagi setelah bercerai dengan ibuku saat aku masih kecil, ia menyerahkan seluruh perusahaan pada ibuku dan menjadi Bikkhu..."

"Lalu apakah kau sudah punya rencana bagaimana akan melangsungkan pernikahanmu dengan Singto?"

Pha berpikir sejenak dan mengangguk. "Aku tau, kau masih mengikuti adat istiadat Chinese..." Pha menunjuk altar di sudut ruangan.

"Kami bisa melakukan ritual penghormatan leluhur terlebih dahulu, hari berikutnya baru berangkat ke Bangkok untuk melaksanakan upacara pemberkatan pernikahan di lokasi event..."

"A-apakah kita bisa melewatkan event?" tanya Singto menyela.

"Aw, kenapa?"

Singto terlihat gelisah, ia ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin semua orang menertawakannya dan menudingnya merebut suami wanita lain saat di event, terutama ia tidak ingin ibunya mengetahui perbuatannya tersebut.

Pha bisa membaca pikirannya, ia menggenggam tangan pria itu dan berkata. "Aku tidak pernah memiliki pengalaman ini sebelumnya, dan aku ingin memilikinya bersamamu, apakah kau bisa mengerti?"

Pha ingin memberitahusnya bahwa saat menikah dengan Vee, mereka melakukan perjamuan keluarga dan ditutup dengan penandatanganan dokumen pernikahan, tanpa mengadakan event ataupun pemberketaan di gereja.

Namun Singo tampak khawatir, ia merasa enggan menyetujuinya.

"Kita bisa mengadakan pesta kecil di restoran..." usul ibunya.

Pha berpikir sejenak dam bertanya pada ibunya. "Apakah kita bisa menyewa lapangan besar untuk mengadakan event di kota ini?"

"Ya, aku bisa menanyakan itu pada walikota..." sahut ibunya.

"Kita akan mengadakan event disini dan hanya mengundang beberapa teman dekat sebagai saksi, bagaimana menurutmu?" tanya Pha pada Singto.

Singto hendak mengatakan tidak, namun ia bisa melihat keseriusan di wajah Pha yang memohon padanya dengan penuh harap, ia akhirnya mengangguk pelan menandakan setuju.

Ibunya menghembuskan nafas lega dan melanjutkan makan. "Aku sudah mencari hari baik untuk pernikahan kalian, yaitu tanggal 20 bulan depan..." ujar ibunya sambil mengunyah makanan.

"Aw, itu terlalu lama..." komentar Pha. "Apakah tidak bisa dipercepat?"

"Kau punya usul?"

"Minggu depan..."

Singto dan ibunya seraya menoleh padanya dengan mata melotot dan tidak percaya mendengar usulnya.

"Kau serius?" tanya kedua ibu dan anak bersamaan.

"Tentu saja, lebih cepat lebih baik..." jawabnya santai sambil makan, karena ia harus kembali ke kantor, pikir Pha.

"Apakah kau pernah menikah?" tanya ibunya yang sontak membuat Singto dan Pha menyemburkan nasi bersamaan dan terbatuk.

"Ada apa dengan kalian?" tanya ibunya, memandangi keduanya bergantian dengan ekspresi curiga.

Pha segera meneguk air dan menghembuskan nafas, sementara Singto menepuk dadanya.

"Tidak apa – apa..." sahut Pha lalu menelan ludah sambil melirik Singto.

"Maksudku apakah kau tau apa yang dibutuhkan dan harus disiapkan untuk pernikahan?" ralat ibunya. "Itu tidak sama dengan merayakan pesta ulang tahun..."

"Kita bisa menggunakan jasa wedding planner dan wedding organizer untuk mengurus segalanya..."

"Meskipun begitu, kau tidak mungkin bisa menyiapkan pernikahan dalam satu minggu! Banyak yang harus rencanakan dan dipersiapkan baik – baik, ini adalah event sekali seumur hidup, jika terburu – buru dan terjadi kesalahan, tidak bisa lagi diulang!"

Pha berpikir sejenak dan mau tidak mau mengakui ucapan calon mertuanya masuk akal, dan akhirnya menyetujui usul wanita itu, mengundur pernikahan hingga bulan depan.

Itu artinya, ia harus kembali ke Bangkok untuk mengurus pekerjaannya dan menunggu hingga bulan depan.

"Ada yang ingin kudiskusikan denganmu..." ujar ibunya pada Singto dan tampak gelisah. "Setelah menikah, kau akan ikut dengan suamimu dan anak – anakmu menggunakan marganya..." ia berhenti sejenak dan menarik nafas dalam.

"Dalam hal ini, bisa dikatakan kau adalah pengantin wanita, jadi selain upacara persembahan teh, kita tidak perlu menghias kamar pengantin dan tidak perlu melakukan ritual perghormatan kepada leluhur, aku akan mewakili ayahmu untuk memberikan restu dan menyerahkanmu pada keluarga barumu... "Ibunya menambahkan.

Wajah Singto berubah sedih mendengar hal tesebut, itu seperti menikahkan anak perempuan dalam adat istiadat Chinese, artinya ia tidak bisa menjadi penerus silsilah keluarga, membuatnya merasa malu pada leluhur dan orang tuanya.

Menyadari hal itu, Pha segera menggenggam jarinya dan menginterupsi. "Jika kau khawatir, kita tidak perlu mengikuti adat istiadat tersebut, tidak ada seorangpun yang bisa merubah fakta bahwa kau adalah putra keluarga Ruangroj..." hibur Pha sambil meremas jarinya. 

"Jika kita punya anak kembar, salah satunya bisa menggunakan marga Ruangroj...aku tidak akan mempermasalahkan hal itu..."

Mendengar itu seulas senyuman muncul di wajah Singto, ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu melirik ibunya.

"Jika calon suamimu sudah berkata seperti itu, aku tidak ingin berkomentar, kalian atur saja semuanya...aku akan mengikutinya..." ujar ibunya.

"Baiklah, aku akan segera menghubungi wedding planer dan mengurus semuanya secepat mungkin." ujar Pha lalu menoleh pada Singto.

"Dan aku ingin kau ikut denganku ke Bangkok untuk mengambil foto pre-wedding..." ia berhenti sejenak dan tatapannya menjadi lembut.

"Yang paling penting adalah...kau harus menjaga dirimu dengan baik untuk hadir pada hari pernikahan..."

Mendengar itu hati Singto langsung luluh dan wajahnya memerah seketika karena terharu.

to be continue....

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 114K 42
✫ 𝐁𝐨𝐨𝐀 𝐎𝐧𝐞 𝐈𝐧 π‘πšπ­π‘π¨π«πž π†πžπ§'𝐬 π‹π¨π―πž π’πšπ πš π’πžπ«π’πžπ¬ ⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎ She is shy He is outspoken She is clumsy He is graceful...
80.9K 1.6K 7
❝ You're my Bonnie and I'm your Clyde. ❞ Portuguese translation: @aglopc ━━ TOKYO DRIFT πŸ•ŠοΈ 𝗁𝖺𝗇 π—…π—Žπ–Ύ! 𝗑 𝖿𝖾𝗆!π—ˆπ–Ό π–Όπ—ˆπ—†π—‰π—…π–Ύπ—π–Ύπ–½! edited...
1.1M 86.6K 39
"Why the fuck you let him touch you!!!"he growled while punching the wall behind me 'I am so scared right now what if he hit me like my father did to...
884 88 11
Patrick isn't one to give up easily, and Daniel seems like someone worth fighting for.