Wild Flowers

By eclairedelange

8.8K 887 232

[KV, Joseon Era - END] I wonder all of a sudden, are you also looking at me right now? Even my painful scars... More

One
Glosarium

Two

1.9K 329 138
By eclairedelange

Dinasti Joseon, 1894

Jungkook meletakkan alat bekerjanya di halaman, mengusap keringatnya yang lengket setelah seharian memanen kacang di ladang dengan ayah dan ibunya saat seseorang datang ke rumah mereka, menyerahkan secarik perkamen sobek pada ayahnya yang menerimanya dengan khidmat seolah benda itu adalah wahyu dari Tuhan atau apa.

Jungkook mengamati ayahnya yang membawanya masuk ke dalam rumah, mengabaikannya dan ibunya dengan mulus. Alisnya berkerut, memangnya sejak kapan ayahnya bisa membaca? Apakah perkumpulan yang diikutinya juga mengajari mereka membaca?

"Itu apa?" tanyanya pada ibunya yang mengendikkan bahu, sama sekali tidak peduli pada apa pun urusan ayahnya seraya menurunkan keranjang anyaman berat di bahunya.

Membantingnya ke tanah dan mengerang saat tulang punggungnya kembali normal setelah membungkuk sepanjang sore memikulnya. Hasil bertani mereka kali ini cukup banyak; setengahnya akan diberikan ke pemilik tanah yang mereka urus dan sisanya jadi milik mereka. Bisa dijual, bisa dimakan.

Jungkook tersenyum menatap hasil panen dan mendesah, dia harus mandi dan bergegas menghampiri Taehyung yang pasti sudah menantinya, apa pun yang dirahasiakan ayahnya dari mereka tidak lagi menarik perhatiannya.

Sudah beberapa bulan ini mereka dekat. Jungkook selalu menghabiskan petangnya di istana Taehyung yang sunyi dan menenangkan. Dan Jungkook tahu bahwa tiap jam makan—pagi, siang dan sore akan ada pelayan yang datang membawa nampan terisi makanan lengkap yang cukup banyak untuk memberi makan dua orang. Jungkook selalu ikut makan bersamanya tiap kali makanan petang datang.

Atau Taehyung biasanya menunggu hingga Jungkook datang sebelum mulai memakan makan malamnya yang lezat dan hangat—tidak seperti makanan yang dihidangkan ibu Jungkook di rumahnya.

Mereka berbagi cerita, bertukar rahasia—membicarakan hal-hal yang berlawanan dalam hidup mereka. Jungkook diizinkan mencoba gonryeongpo Taehyung yang ternyat terasa panas dan berat, diberikan beberapa perhiasan yang membuat Jungkook ngeri dan menolaknya. Dia berbaring di ranjang Taehyung yang lembut, harum dan nyaman. Mendesah berharap dia bisa tidur di ranjang itu selamanya tapi tidak, dia tidak bisa.

Dia mendengarkan permainan gayageum cerdas dan lincah Taehyung; bagaimana dia dengan otodidak berhasil melahirkan nada-nada indah itu dari jemarinya. Dia berlatih sendiri sejak usia remaja, hanya mendengarkan tiap senar dengan saksama lalu berusaha menggabungkan nada satu dan yang lainnya. Meraba-raba, terus mencob dan terus mengulangnya hingga dia bermain seindah para dewi.

Selebihnya, Jungkook semakin faham betapa sedih dan kesepiannya Taehyung selama ini hidup di istananya. Sendirian tanpa teman mengobrol, tanpa orang yang benar-benar memahami perasaannya dan berhenti sejenak untuk bertanya apakah dia sehat dan baik-baik saja.

Bahkan kedua orangtuanya pun tidak.

Hari ini Jungkook akan membawakannya dalgona yang dibuat ibunya tadi karena mendapat cukup banyak gula dari tuan tanah mereka. Permen-permen karamel itu sudah dibungkus Jungkook dalam kain bersih, siap diselundupkan ke istana walaupun dia yakin koki istana mungkin bisa membuat penganan yang lebih enak dari ini. Tapi dia tetap ingin memberikannya pada Tehyung.

Malam itu dia berangkat agak terlambat karena harus membantu ibunya menyiangi kacang yang mereka baru saja panen. Memasukkannya ke dalam karung goni besar untuk dibawa ke tuan tanah mereka besok pagi-pagi sekali dan itu tugas Jungkook sebagai satu-satunya pemilik tulang punggung terkuat di keluarga mereka.

Jungkook setengah berlari melewati jalanan yang becek dan beraroma tajam ikan dan daging di pasar, bersembunyi dari orang-orang Jepang sebelum memanjat dinding yang biasa dilewatinya dan mendarat di tanah dan langsung melihat Taehyung yang sekarang duduk di teras dengan alas duduk sedang memetik gayageum-nya dengan indah.

Suara permainannya begitu halus dan lembut. Jungkook belum pernah mendengarkan musik—hal itu terlalu mewah baginya. Dia hanya pernah mendengarkan daechwita yang dibawakan prajurit kekaisaran menyambut tamu istimewa atau upacara-upacara resmi. Dan itu pun jenis musik seremonial yang keras dan hingar-bingar, sangat berbeda dengan denting musik halus yang dimainkan Taehyung saat ini.

Suara permainan Taehyung menyusup ke dalam indranya, membuai Jungkook yang berhenti beberapa meter darinya, takut menganggu konsentrasinya memainkan dawai-dawai gayageum. Mata Taehyung terpejam, jemarinya sudah hafal nada-nada dawai alat musik di tangannya sehingga dia hanya perlu menggunakan nalar dan perasaannya untuk memainkannya.

Hidup Jungkook yang selama ini terisi pekerjaan kasar benar-benar asing dengan seluruh kasih lemah-lembut yang dimiliki Taehyung. Apakah seluruh keluarga kerajaan seperti ini? Ataukah hanya Taehyung?

Permainannya berhenti dan Taehyung membuka matanya, menoleh. Mata manik kelabunya bergerak perlahan dengan penasaran. "Jungkook? Kaukah itu?"

Jungkook terkekeh serak. "Ketahuan," katanya lalu merogoh saku baji-nya dan mengeluarkan bungkusan permen dalgona-nya. "Ibuku membuat permen, kau mau?"

Taehyung menengadahkan tangannya dan Jungkook menjatuhkan kainnya di atas telapak tangan Taehyung hingga benda itu berdenting dengan suara kecil. "Permen?" ulangnya dan Jungkook mengangguk. "Yap." Balasnya.

Taehyung meraba bungkusan itu dengan kedua tangannya, merasakan teksturnya dan mencoba mengenali benda itu dengan saraf-saraf perabanya lalu tersenyum. "Terima kasih." Katanya dengan tulus lalu membuka bungkusannya, membawa sekeping permen ke bibirnya lalu mematahkannya dengan giginya.

Dia menyesapnya dan tersenyum. "Rasanya enak."

Jungkook balas tersenyum walaupun pangeran itu tidak bisa melihatnya. "Syukurlah."

Taehyung menurunkan tangannya kembali ke pangkuannya. Hari ini rambutnya digerai, jatuh dengan halus ke balik bahunya dan meriap saat terkena udara malam yang berhembus. Ini bukan pertama kalinya Jungkook melihat rambut Taehyung digerai bebas, namun tiap kali melihatnya Jungkook selalu harus menahan dirinya sendiri agar tidak menjulurkan tangan dan membelainya dengan lembut—merasakan teksturnya di tangannya sendiri.

Seberapa halusnya rambut itu?

"Aku punya permintaan," kata Taehyung kemudian lamat-lamat setelah menghabiskan permen di mulutnya.

"Akan kuberikan." Balas Jungkook seketika itu juga dan Taehyung tersenyum ceria.

"Kau bahkan belum mendengar permintaanku. Bagaimana jika aku ingin kau melempar diri ke kandang buaya dan membiarkan mereka mengoyakmu hingga mati?"

"Memangnya itu yang akan kauminta?"

"Tentu saja tidak."

"Ya sudah."

Taehyung tertawa. "Kau pintar sekali bersilat lidah," katanya meletakkan permennya kembali ke bungkusannya lalu mengelap tangannya di pakaiannya yang lembut. "Sudah lama kita berteman tapi aku tidak tahu wajahmu,"

Jungkook mengerjap. "Dan...?" tanyanya hati-hati; dia sama sekali tidak tahu bagaimana cara orang buta 'melihat'. Bagaimana caranya Taehyung 'melihat' wajahnya?

"Bolehkah aku meraba wajahmu?"

Oh.

Jungkook seharusnya tahu.

Itulah yang selalu dilakukan Taehyung tiap kali dia mendapatkan benda baru, seperti yang dilakukannya pada permen karamel tadi—meraba permukaannya dengan kedua tangannya, merasakan tekstur benda itu, merasakan lekukannya, dengan ujung jemarinya dia merasakan benda itu. Membuat seluruh indra perabanya bekerja dan membantu otaknya untuk mengidentifikasi bentuk benda itu.

Lalu terkadang membawanya ke hidungnya, mencium aromanya.

Jungkook berdebar. Apakah Taehyung juga akan menyondongkan tubuhnya ke Jungkook dan menghirup aromanya?

Sejenak ragu, Jungkook kemudian meraih kedua tangan lembut pangeran muda itu dan membawanya ke wajahnya. Menempelkan kedua telapak tangannya ke pipi Jungkook yang kasar karena dia belum sempat menyukur kumis dan jenggotnya. Taehyung terkesirap kecil saat tangannya menyentuh wajah Jungkook dan nyaris seperti mesin otomatis, jemarinya langsung menyentuh wajah Jungkook dengan lembut.

"Silakan," bisik Jungkook di bawah napasnya yang berat. "Rasakanlah wajahku."

Taehyung merona tipis di bawah cahaya lilin yang digunakannya untuk bermain kecapi. Tangannya bergerak dengan lembut di wajah Jungkook yang memejamkan matanya; jantung mereka bertalu-talu.

Inilah pertama kalinya mereka berada dalam momen seintim ini—tangan Taehyung di wajah Jungkook dan merasakannya dengan seluruh indera perasanya.

Jemari Taehyung bergerak di pipi Jungkook, merasakan bekas luka di pipi Jungkook dengan ujung jemarinya yang kapalan lalu bergerak ke dagunya yang kasar dan Taehyung tersenyum merasakan rambut tipis Jungkook yang tajam. Lalu bergerak naik ke bibir Jungkook yang terkuak—deru napasnya mengenai jemari Taehyung dan itu membuat keduanya merona.

Terlalu dekat?

Terlalu intim?

Jungkook merasa dia bisa saja pingsan oleh sentuhan Taehyung yang lembut dan malu-malu. Tergagap seperti bagaimana dia selalu bergerak. Kikuk dan pemalu. Menjadi buta sejak lahir tidak pernah membuat Taehyung piawai—begitu akunya. Dia selalu merasa kikuk, takut salah melangkah dan tergagap-gagap. Sudah tidak terhitung berapa kali dia terantuk kakinya sendiri dan terjerembab. Terlalu sering hingga dia tidak benar-benar merasakan sakitnya lagi.

Jemari itu kini bergerak ke hidung Jungkook yang bangir. Membelainya dengan lembut, merasakan teksturnya dan bentuknya. Taehyung nampak sangat berkonsetrasi saat berusaha membayangkan bentuk wajah Jungkook melalui sentuhan tangannya. Jungkook memejamkan mata saat tangannya bergerak ke kedua matanya; membelai kelopak matanya dengan lembut, menyisir bulu matanya yang panjang dan mengusap alisnya.

Terus bergerak ke keningnya yang tinggi dan halus, membelainya dengan lembut sebelum menggelincir ke telinganya. Jungkook menahan desahannya akibat sentuhan itu, menahan reaksi tubuhnya karena sentuhan di telinganya membiarkan Taehyung bergerak tanpa takut dan kiku. Menjelajahi wajahnya dengan kedua 'matanya' yang bergerak selembut beledu di wajahnya.

Lalu hanya untuk membuat Jungkook nyaris meninggal, Taehyung menyondongkan wajahnya ke wajah Jungkook dan menghirup napas dalam-dalam. Jungkook mengerjap. Wajah Taehyung hanya lima senti jauhnya dari wajahnya; nampak secantik malaikat, seindah boneka. Mata manik kelabunya berkilau seperti mutiara, bergerak perlahan—tidak fokus.

Melawan kendali dirinya sendiri, Jungkook menjulurkan tangannya. Menyentuh rahang bawah Taehyung yang terkesirap kecil oleh sentuhan itu. Merasakan kasarnya tangan Jungkook di wajahnya yang halus, merasakan sisa pekerjaannya dan kastanya dalam tiap guratan di telapak tangannya. Taehyung membeku di posisinya, memejamkan mata menikmati sentuhan Jungkook pada wajahnya yang telanjang. Tangan Jungkook yang kasar membelai setiap ceruk dan lekuk wajahnya—persis seperti yang dilakukan Taehyung tadi.

Jungkook meraih rambutnya, menjawab rasa penasarannya sendiri dan menyisirnya dengan jemarinya. Membiarkan helaian rambutnya luruh dari sela-sela jemarinya dan Taehyung merespon sentuhan itu dengan menyandarkan kepalanya ke tangan Jungkook yang berhenti di telinganya. Dia nampak seperti seekor kucing liar yang mendengkur saat telinganya digaruk.

Jungkook tercekat oleh salivanya sendiri saat menatap betapa indahnya Yi Taehyung dalam sepuhan cahaya lilin yang menerangi mereka. Dia mendekatkan wajahnya ke Taehyung yang meresponnya dengan bibir terbuka dan aroma karamel menghambur ke indera penciuman Jungkook—dia menarik napas sebagai responnya dan merasa pening oleh rasa mabuk.

Lalu tanpa benar-benar menyadari apa pun, Jungkook menutup jarak mereka dan mencium Putra Mahkota Dinasti Joseon tepat di bibirnya.

Mungkin tidak masalah siapa yang memulai dan siapa yang mengkhiri, namun ciuman mereka terasa begitu lembut dan memabukkan. Jungkook yang asing pada perasaan lembut dan Taehyung yang asing pada perasaan kasarnya hidup—keduanya masing-masing mencari dengan gelisah. Menjelajahi setiap celah yang mereka bisa, menyentuh tiap permukaan yang mereka bisa raih—mencoba memahami hidup dari dua sisi yang berlawanan.

Bagaimana menjadi miskin dan bagaimana menjadi terasing.

Bagaimana rasanya memiliki keluarga dan bagaimana rasanya sendirian.

Bagaimana rasanya diandalkan dan bagaimana rasanya dilupakan.

Jungkook membelai rambut Taehyung yang terasa halus di telapak tangannya, menjalinnya melingkar di jemarinya sementara pemuda di pelukanya berdeguk oleh ciumannya. Bibir mereka bergerak dan berpelukan dalam irama yang sinkron. Halus dan lembut—perasaan aneh yang membuat Jungkook terbuai.

Jika hidupnya diisi oleh kelembutan ini, dia tidak akan pernah merasa lelah. Dia tidak akan pernah berpikir hidup ini kejam padanya, dia akan selalu bahagia dan siap menghadapi ujian-ujian hidup lain keesokan harinya.

Hanya jika dia bisa memiliki Taehyung, menunggunya di rumah dan membelainya dengan lembut sebelum tidur—mengobati tiap lelah dan lukanya dengan sentuhan dan senyumannya. Dengan ketulusannya, dengan kebaikan hatinya.

Jungkook tidak akan membutuhkan apa pun lagi.

Namun sayangnya, hidup itu adil dengan caranya sendiri.

Jungkook menarik bibirnya lepas dan Taehyung mengerjap; matanya bergerak dan dia nampak sangat malu.

"Maaf," bisiknya. "Maaf..."

Jungkook merasakan tikaman rasa nyeri di jantungnya saat mendengar nada permintaan maaf Taehyung. Padahal itu bukan salah Taehyung, kenapa harus selalu dia yang meminta maaf bahkan atas kesalahan orang lain?

"Jangan minta maaf," bisik Jungkook, dia meraih Taehyung dalam pelukannya. Pangeran itu bergertar—terlalu banyak emosi baru yang dirasakannya hari ini. Terlalu banyak interaksi asing yang anyar hingga seluruh tubuhnya kebingungan oleh sensasinya.

"Kau akan selalu dimaafkan. Aku akan selalu memaafkanmu, bahkan saat kau tidak meminta maaf."

Tangan Taehyung bergerak gugup di punggung Jungkook sebelum akhirnya mengaitkan keduanya di sana, mengeratkan pelukan mereka dan keduanya mendesah oleh betapa nyaman dan benarnya hal itu terasa. Tubuh Taehyung terasa begitu ringkih dalam pelukannya—begitu kecil dan lemah. Mungkin karen Jungkook terbiasa bekerja kasar, seluruh tubuhnya memaksimalkan diri hingga terasa besar dan kokoh namun Taehyung yang menghabiskan seluruh waktunya sendirian di dalam istananya, bermain gayageum mungkin tidak pernah benar-benar menggerakkan tubuhnya hingga dia nampak serapuh kelopak bunga.

Jungkook harus memperlakukannya dengan penuh kehati-hatian agar tidak remuk dalam genggamannya yang selama ini sibuk mengurus tanah keras dan ember air. Dia merasa malu akan keadaan telapak tangannya yang tidak sehalus Taehyung—benda seindah Taehyung seharusnya disentuh oleh tangan yang sederajat; sama halusnya, sama lembutnya. Bukan tangan pekerja kasar seperti Jungkook.

"Wajahmu oke."

Jungkook terkekeh. "Hanya oke?"

Taehyung mengendikkan bahu. "Hanya dua wajah yang pernah kuraba selama ini, jadi aku tidak punya perbandingan."

"Oh, ya? Wajah siapa saja?"

"Wajahku,"

"Dan?"

"Wajah... mu."

Jungkook menatap mata kelabu Taehyung dalam-dalam dan mendesah; semakin ditatap, matanya semakin terasa seperti manik mata boneka yang mati dan terlalu indah untuk jadi kenyataan.

"Menurutmu, bagaimana wajahmu?"

Taehyung mengerjap, kebingungan. "Hm... oke, kurasa?"

Jungkook mengulurkan tangannya yang kasar, menyentuh pipinya yang selembut kelopak mawar dan Taehyung memejamkan matanya. "Wajahmu indah sekali," bisiknya selembut angin malam. "Bentuknya, ekspresinya, bibirmu, hidungmu... Kau tidak sekadar oke, kau indah sekali." Jungkook menjalankan dua jemarinya di wajah Taehyung perlahan.

"Kau tahu tidak, ada tahi lalat mungil di ujung hidungmu?"

"Benarkah?"

"Di sini,"

Jungkook menyentuh tahi lalat di bagian ujung bawah hidung Taehyung dan merasakan napasnya menerpa ujung jemarinya lalu dia membelai hidung Taehyung dengan ujung jemarinya. "Tanganku pasti menyakiti kulitmu, benda ini sekasar amplas." Katanya lalu menarik tangannya tapi tangan Taehyung menangkapnya.

Mengenggamnya erat dan mendongak, matanya yang kelabu menatap menerawang jauh namun Jungkook tetap menatap langsung ke matanya.

"Tidak," katanya. "Tanganmu indah." Dia tersenyum. "Tanganmu adalah tangan seorang pekerja. Kau pasti sangat membantu keluargamu, membantu ayahmu. Menjadi tulang punggung keluarga, dibutuhkan dan selalu berguna. Kau pasti... sangat disayang." Dia menunduk ke tangan Jungkook dan tersenyum.

"Bagaimana rasanya dibutuhkan?" tanyanya kemudian dengan lirih hingga hati Jungkook terasa nyeri.

"Tahukah kau bahwa sekarang kau sedang dibutuhkan seseorang?"

".... Siapa?"

"Aku," Jungkook tersenyum dan Taehyung membalas senyumannya. "Aku membutuhkanmu. Seperti membutuhkan napas dan detak jantungku—melihatmu tersenyum, melihatmu duduk di teras tiap kali aku mendarat dari dinding membuat perasaan lelahku setelah seharian bekerja lenyap.

"Kau membuat hidupku lebih indah," Jungkook tersenyum menatap mata Taehyung yang steril, mati tanpa ekspresi. "Jauh lebih indah."

Taehyung tersenyum. "Kau pintar bicara," katanya lalu mengerjap, merona sejenak sebelum membuka mulut lalu kembali menutupnya.

"Apa?" tanya Jungkook. "Katakan saja."

Taehyung mengerjap. Matanya berkilauan. "Bolehkah..." matanya bergerak liar dan dia menunduk.

"Bolehkah... kau..."

"Ya?"

"Menciumku lagi sebelum pulang?"

Maka itulah yang dilakukan Jungkook setelahnya, meraih Taehyung sekali lagi dalam pelukannya dan menciumnya—begitu dalam hingga Taehyung mabuk dan terlena. Begitu dalam hingga Jungkook merasa seluruh tulangnya meleleh dan otaknya macet.

Begitu dalam hingga Jungkook yakin dia tidak akan bisa melepaskan Taehyung lagi.

Namun hidup harus terus berlanjut.

Maka Jungkook menguraikan ciuman mereka dan mengecup ujung hidung Taehyung sebelum berpamitan dan bergegas pergi dari sana sebelum para tentara Jepang mulai bergeriliya dan menangkapnya karena kedapatan kelur malam. Dia memanjat dinding dengan jauh lebih cepat hari ini dan menoleh, menemukan Taehyung menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah Jungkook.

Dia melambai kikuk.

"Aku di sini," kata Jungkook lembut, "Aku melihatmu dan aku balas melambai."

Taehyung terkekeh. "Selamat tidur, Jungkook."

"Selamat tidur, Taehyung. Jangan khawatir, aku akan kembali besok."

Taehyung tersenyum, "Dan aku akan berada di sini, menunggumu. Seperti biasa."

.

.

Jungkook mendorong pintunya terbuka dan dihadapkan pada ayahnya yang masih duduk di ruang tamu, menunduk menatap kertas di tangannya ditemani sebatang lilin yang menyala dengan menyedihkan di hadapannya.

"Ayah belum tidur?" tanya Jungkook melepas kkotsin dan beoseon-nya dan meletakannya di sudut ruangan.

Bibirnya dan seluruh dirinya terasa mengawang akibat ekstasi dari ciumannya dengan Taehyung. Dia masih belum bisa mengenyahkan bayangan betapa indahnya pangeran muda itu dalam sinar lilin; mata maniknya yang berkilauan, rambut hitamnya yang meriap di punggungnya, senyumannya, rona tipis di bawah matanya....

"Aku ingin minta tolong padamu," katanya lalu melambaikan surat di tangannya. Benda rahasia yang akhirnya tentu akan ditanyakannya pada Jungkook; jadi ayahnya tetap belum bisa membaca. "Kau pernah belajar membaca, kan?"

Jungkook mengerjap. "Sekali dan sudah lama," katanya. "Aku tidak yakin." Dia menerima surat di tangan ayahnya yang ditulis di atas secarik perkamen rusak yang basah dan bernoda. Ada tulisan lain di bawahnya dan tintanya meleleh akibat air dan menyulitkan Jungkook untuk membacanya. Kalimatnya bercampur aduk dengan huruf-huruf yang tidak Jungkook kenali.

Menjadi bodoh ternyata semenyiksa ini.

Dia mendesah. "Maaf, Ayah." Katanya mengembalikan kertas itu setelah tidak berhasil melakukannya. "Memangnya itu dari siapa?" tanyanya melepas jeogori-nya yang terasa menyesakkan dan menyangkutkannya di lekukan lengannya.

Ayahnya menatap kertas di tangannya lalu mendesah, "Sudahlah," katanya lalu bangkit dan berlalu, mengabaikan Jungkook yang masih menatapnya heran. "Matikan lilinnya sebelum tidur,"

Jungkook mengamati punggung ayahnya yang lenyap ke dalam kamarnya bersama ibunya lalu menatap lilin yang apinya menari dengan lembut oleh desir angin. Jungkook menatap ke luar, ke halaman yang terbuka dan hening. Memikirkan seluruh hidupnya. Mereka sudah tinggal di Hanseong sepanjang hidup mereka, tidak pernah melihat hal di luar Hanseong sama sekali. Bahkan ragu apakah ada kehidupan lain di luar Hanseong walaupun salah satu adik ayahnya tinggal di Gobu dan mereka tidak pernah bertemu selain pada perayaan tahun baru yang hanya sekejap saja. Tidak bisa bertukar kabar karena kendala pada kebutaan aksara dan ketidakmampuan mereka mengakses sarana surat-menyurat yang hanya milik kast atas.

Jungkook menatap tangannya yang kasar dan kapalan; mengingat bagaimana lembut kulit Taehyung terasa di permukaan tangannya, rambutnya, senyumannya dan juga bibirnya. Dia mengepalkan tangannya dan mendesah, merasa jauh lebih bodoh dari sekadar tuna aksara yang tidak bisa membacakan surat untuk ayahnya.

Yi Taehyung mungkin saja buta, tapi dia tetap seorang putra mahkota—yang walaupun haknya atas tahta sudah direbut adiknya sendiri. Tapi, mungkinkah?

Jungkook menatap seluruh ruangan rumahnya; tidak bisa membayangkan Taehyung yang sehalus dan selembut kelopak bunga akan benar-benar tinggal di sini bersama mereka. Apa yang akan ayahnya katakan?

Kisah cinta Jungkook terasa begitu absurd, mustahil dan tidak masuk akal. Bagaimana bisa dia punya pikiran dia akan membawa pangeran itu pulang ke rumahnya? Dia sudah gila. Dia hanya akan berakhir dihukum penggal, mempermalukan kelurganya hingga bergeneras-generasi. Dia mendesah panjang lalu menatap lilin yang bergoyang; nampaknya sudah cukup isi kepalanya untuk satu hari ini.

Besok dia akan bertemu Taehyung kembali.

Selama dia masih bisa menikmati kebersamaan mereka, maka dia akan menikmatinya. Menolak memikirkan arah hubungan mereka yang sama sekali buntu. Jungkook hanya akan menikmati tiap detik dan menit yang dimilikinya bersama Taehyung—sepenuhnya, seutuhnya.

Hingga tidak akan ada yang disesalinya nanti.

Dia meniup lilin mati.

.

.

Dia merasa tubuhnya melayang dalam tidurnya yang tidak nyaman akibat nyeri di seluruh tubuhnya setelah bekerja seharian. Rasanya dia baru saja memejamkan mata saat seseorang mengguncangkan tubuhnya dengan kuat hingga dia terbangun dan mengerang; dalam gelap dia menatap mata ayahnya yang berkilat. Wajahnya kaku dan nampak penuh amarah.

Ayahnya memang selalu marah, tapi ini kali pertama dia nampak begitu penuh tekad. Dan di luar sana, sayup-sayup terdengar suara ribut-ribut. Jungkook langsung awas; apa yang terjadi?

"Ada apa, Ayah?" tanyanya, mulai gelisah melihat ekspresi ayahnya.

"Pamanmu sudah di sini." Hanya itu yang dikatakannya dengan gigi terkatup dan setengah menggeram.

Jungkook mengerjap dan ayahnya bergegas keluar dari kamarnya dengan pakaian lengkap. Mengangkat tubuhnya tegak di kasur, dia menatap kepergian ayahnya lalu mengerutkan alis. Paman? Paman siapa? Apakah itu paman Jeon Bongju dari Gobu? Apa yang terjadi? Kenapa dia datang jauh-jauh ke Hanseong?

Dia baru saja akan kembali berbaring, memilih mengabaikan ayahnya yang bersikap aneh seharian saat suara ledakan terdengar.

Dia langsung melompat bangun, menghambur keluar dari kamarnya dan melihat seluruh jalanan di depan rumahnya sudah menyala oleh api-api obor yang dibawa seluruh petani di lingkungannya. Barulah Jungkook menyadari ada yang terjadi. Seluruh sangmin tumpah-ruah ke jalanan dengan obor dan garu, berwajah masam dan marah berarak-arak ke istana. Menyerukan tuntutan mereka untuk lepas dari tekanan Jepang dan kebijakan pemerintahan yang rusak dan berat sebelah serta memaksa Ratu untuk turun tahta karena selama masa pemerintahannya, Korea semakin merosot.*

Dia langsung meraih pakaiannya, mengenakannya dengan asal-asalan dan berlari keluar. Dia berhenti di depan kekacauan, menoleh ke sana-kemari, mencoba mencari wajah yang familiar namun tidak ada.

Dari mana semua orang ini datang?

Jungkook mengamati wajah-wajah marah itu dan tidak mengenali mereka semua; apakah pamannya membawa massa ini dari Gobu? Apakah mereka sangmin Gobu yang juga menuntut kebebasan dari cengkraman Jepang selama ini? Memprotes kebijakan Ratu yang selalu berat sebelah dan korup?

Mereka berjalan sejauh itu hingga tiba di Hanseong adalah fakta yang membuat Jungkook merinding.

Jungkook bergegas berlari, menembus kerumunan yang panjang. Mereka berseru marah dan mengacung-acungkan api mereka ke udara. Aroma jerami yang dibakar menyesakkan dada Jungkook dan matanya terasa pedas oleh rasa kantuk yang berusaha dilawannya seraya berlari menembus kerumunan yang berarak ke istana dengan otak yang masih terasa selamban sapi karena kurang tidur.

Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi di sekitarnya.

Orang-orang berseru marah, seluruh tentara Jepang dipukul mundur oleh begitu banyaknya massa yang tumpah ruah ke jalanan dengan obor dan garu di tangan mereka. Meneriakkan protes-protes yang di telinga Jungkook terdengar seperti dengungan lebah yang marah dan protes keras. Dia berhenti berusaha mendengarkan apa yang mereka proteskan pada pemerintah saat berusaha menembus dinding manusia, mencari ayahnya.

Ada apa? ADA APA?!

Jungkook tidak faham, tapi dia tetap merangsek dan bergerak maju. Mengabaikan sumpah-serapah para sangmin yang ditabraknya selama mencoba mencari jalan untuk menemukan ayahnya yang akhirnya ditemukannya di barian paling depan bersama pamannya yang sudah lama tidak dilihatnya, sedang berseru marah tentang cacatnya masa pemerintahan Ratu semenjak Kaisar turun dari tahta dan bagaimana Jepang sudah menindas budaya asli Korea, membuat mereka marah.

"Ayah!" serunya mengalahkan suara teriakan. Kekacauan berpusar di sekitarnya; para petani yang marah sedang berusaha membuat diri mereka didengar dan Jungkook merasa pusing dengan begitu banyak suara-suara dan informasi yang harus dicernanya. "Apa yang terjadi?!"

Ayahnya mengabaikannya, terus berteriak marah memimpin rombongan merangsek maju ke istana. Di depan istana, selegiun tentara Jepang sudah menanti mereka dengan persenjataan lengkap namun mereka tidak juga gentar. Jungkook terdorong mundur dan limbung, menyingkir dari kehebohan dan menjulurkan lehernya; sejauh mata memandang dia hanya bisa melihat lautan manusia.

Inikah yang selama ini direncanakan ayahnya? Sebuah pemberontakan? Dan apa maksudnya pamannya datang jauh dari Gobu ke Hangseon? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Jungkook tidak tahu apa pun?

Jungkook kemudian merasakan tengkuknya meremang dan dia langsung teringat Taehyung. Dia sendirian, di istananya dengan kekacauan sebesar ini, apakah dia akan aman? Apakah ada pengawal yang dijagakan untuknya di saat kericuhan seperti ini? Apakah pihak kerajaan tetap tidak memedulikannya sama sekali?

Apakah dia akan sekali lagi bertanggung jawab atas kesalahan yang sama sekali bukan salahnya?

Mual, dia langsung berlari menembus kerumunan yang berteriak marah ke seluruh penjuru kota. Tersesat dalam pusaran manusia saat berusaha menemukan jalan yang biasa dilaluinya untuk bertemu Taehyung. Dia merasa frustasi saat melepaskan diri dari pusaran manusia dan tidak menemukan jalannya. Mengapa dia begitu bodoh? Mengapa semua orang ini begitu menyebalkan?

Mengapa Jungkook meninggalkan Taehyung?

Kenapa dia tidak diam saja di sana? Menjaga pangeran itu hingga aman sampai keesokan pagi?

Jungkook kemudian memilih untuk berjalan di pinggir, memutar lebih jauh daripada biasanya untuk menemukan gang yang sudah familiar dengan seluruh tubuhnya. Dia sudah akan tiba ke sana, sudah akan berlari menembus kerumunan manusia saat seluruh petani itu bersorak dengan marah. Mereka sudah menutup jalan ke arah istana, memenuhi dinding istana Taehyung yang terpencil. Tidak ada yang tahu bahwa istana itu terisi manusia; bahkan tidak ada yang tahu bahwa Taehyung itu hidup.

Suara sorakannya membuat Jungkook mual oleh rasa takut dan gelisah.

Tidak, mereka tidak akan.... Tidak, tidak, tidak!

Dengan ngeri, Jungkook menyaksikan sendiri saat seseorang melempar obornya ke dalam istana Taehyung; diikuti oleh orang lain, dua orang lagi dan kemudian begitu banyak orang hingga perut Jungkook terasa dipelintir saat matanya menatap nanar tiap obor yang terlempar melewati dinding masuk ke dalam istana Taehyung.

"TIDAK!" raungnya dikalahkan suara teriakan para petani yang puas sudah merusak properti kerajaan. Api dari jerami yang mereka bakar langsung membesar saat mendarat di pohon yang mengering saat musim panas yang panjang di tahun ini.

Jungkook berusaha menerobos kerumunan orang, mencoba semampunya untuk membuat dirinya berguna sementara seluruh dirinya merinding oleh ketakutan. Perutnya mual saat dia berusaha dengan kuat menerobos orang-orang yang malah membentaknya tapi Jungkook tidak peduli. Matanya menatap nanar ke api yang semakin membesar dan meninggi—asap membumbung ke langit malam yang tidak berbintang.

Taehyung.

Taehyung-nya.

Bagaimana mungkin dia bisa membiarkan pemuda itu sendirian saat seluruh keluarganya sudah meninggalkannya sendiri? Dia sudah berjanji pada Taehyung dia akan selalu menemaninya, dia akan selalu menjaga Taehyung; dari seluruh orang, Jungkook yang meninggalkannya di saat-saat seperti ini.

Jungkook tersandung kakinya sendiri dan terjatuh, menghantam jalanan dengan dagunya. Nyeri menyerang tulang dagunya yang ngilu dan aroma tajam karat garam darah tercium, tapi dia mengabaikannya. Matanya menatap asap yang semakin meninggi, sorakan yang semakin liar dan aroma api yang melalap habis istana Taehyung.

Melalap habis seluruh kebahagiaan Jungkook.

"Menyingkirlah, Babi!" seru seseorang saat Jungkook tetap berbaring di tanah, seluruh tubuhnya mati rasa.

Jungkook bahkan sudah tidak merasakan sakit saat seseorang menendang bagian sisi tubuhnya menyingkir dari jalannya, alih-alih dia menyerah. Berguling ke punggungnya di pinggir jalanan yang penuh oleh massa yang sedang mengamuk. Kepalanya terdongak, menatap api yang membumbung ke udara. Setiap lemparan obor lain menambah sayatan di dadanya, membuat hatinya mati rasa—kebas oleh rasa sakit yang melumpuhkan.

Taehyung...

Taehyung....

"Bolehkah... kau..."

"Ya?"

"Menciumku lagi sebelum pulang?"

Jungkook mulai terisak, sakit yang dirasakannya di dagunya tidak ada apa-apanya dibanding sakit yang dirasakannya di dadanya. Nyeri dan panas yang dirasakannya tiap kali menarik napas. Melawan kelumpuhannya sendiri, Jungkook bangkit. Tertatih-tatih dengan seluruh tubuhnya yang mati rasa untuk beranjak ke istana Taehyung yang sekarang menyala oleh api. Dia terhuyung, darah menetes dari dagunya; mengalir turun ke lehernya dan ke dadanya. Mengotori pakaiannya yang diberikan Taehyung padanya.

Dia sudah tidak peduli pada apa pun lagi.

Dia menyandarkan diri di dindingnya, di atas akar tanaman rambat yang selalu digunakannya untuk memanjat. Dia tidak bisa membawa dirinya sendiri untuk memanjat bahkan untuk terakhir kalinya—dia tidak bisa menatap rumah Taehyung rata dengan tanah dalam lalapan api. Air mata mengalir dari matanya; Taehyung pasti ketakutan sekali.

Kebingungan. Sesak napas oleh asap dan Jungkook tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya.

Jungkook mencengkram dadanya sendiri yang terasa nyeri, bernapas dari mulutnya yang terbuka dan merasa pusing. Dia tidak bisa melakukan apa pun sama sekali? Benarkah?

Dengan buta dan hilang arah, dia kemudian berbalik dengan penuh tekad. Memukul mundur seluruh rasa sakitnya dan meraih akar tanaman, memanjat naik ke dinding yang sudah terasa familiar dengan seluruh dirinya seperti orang kesurupan. Dia berdiri di dinding dan menatap nanar ke dalam istana yang sekarang sudah terbakar habis; seluruh sudut istana sudah dikuasari api jingga yang menari seolah mengejek Jungkook. Atapnya sudah berwarna jingga manyala, tidak ada celah untuk Jungkook masuk ke dalamnya dan menarik Taehyung keluar tanpa membuat mereka berdua mati terbakar hidup-hidup. Jalan masuk sudah terbungkus api, gayageum yang senja tadi dimainkan Taehyung sudah hangus dilalap api.

Namun dia tetap meluncur turun, merasa pusing saat dia menghampiri istana yang terbakar dengan terhuyung-huyung seperti orang mabuk; merasakan terpaan panas api di wajahnya yang telanjang saat dia merangsek maju dengan kakinya yang terasa kebas.

Dia berdiri di sana, menatap nanar bangunan yang mulai habis dilalap api. Merasakan panasnya di wajahnya yang basah oleh keringat dan darah. Tidak bisa merasakan apa pun karena hatinya terasa kebas.

"Taehyung?" panggilnya dengan suara pecah oleh kesedihan dan duka dikalahkan oleh suara keretak api.

"Jungkook? JUNGKOOK?! KAUKAH ITU?"

Jungkook terkesirap, bergegas memacu kedua kakinya yang ngilu ke depan istana yang terbakar. "TAEHYUNG!?" serunya mengalahkan suara api. "KAU BISA MENDENGARKU? KAU BISA KELUAR?!"

"Aku tidak bisa melihat apa pun, Jungkook, aku tidak bisa keluar!" balas Taehyung dengan suara gemetarannya yang kikuk. Jungkook bisa membayangkan betapa kebingungannya ia. Dia mungkin sedang tidur lelap saat tiba-tiba kericuhan dimulai dan bum! Seseorang melempar api ke rumahnya.

Pikiran itu membuat Jungkook gemetar oleh rasa murka.

"Aku tidak bisa menyentuh apa pun, panas sekali. Aku sesak." Taehyung berbatuk keras. "Tolong, tolong aku. Aku janji aku tidak akan menyusahkanmu lagi, tolong. Tolong..."

Jungkook melangkah maju, akan melempar dirinya ke api; tidak peduli lagi apakah dia bisa menarik Taehyung keluar dari api atau tidak, dia hanya merasa dia harus di sana, di dalam sana; menggenggam tangan Taehyung dan memastikan dia baik-baik saja.

Jika mereka harus mati, maka mereka harus mati bersama.

Kemudian terdengar suara krak! keras yang mengalahkan suara sorakan di jalanan lalu langit-langit istana Taehyung runtuh begitu saja, ambruk ke atas bangunannya hingga rata dengan tanah. Memutus teriakan kaget Taehyung dan menenggelamkannya dalam suara keretak api yang dahsyat. Benturan itu mengirimkan percik bunga api dan uap panas yang bergulung-gulung menerpa Jungkook yang masih berdiri beberapa meter terlalu dekat dengan istana.

Bergeming.

Jungkook merasa ulu hatinya baru saja ditonjok; habis sudah. Taehyung tidak mungkin bisa selamat dari api sebesar itu. Dia terbatuk, menurunkan tangannya dan mentap istana yang rata dengan tanah.

"Taehyung...?" ulangnya serak, walaupun dia tahu jelas dengan teriakan terputus Taehyung tadi, dia sudah tidak punya harapan lagi.

Habis.

Bagaimana pemuda itu saat menyadari istananya sedang terbakar? Apakah dia ketakutan? Apakah dia kebingungan? Dia pasti sangat ketakutan dan kebingungan.

Apakah hingga akhir hayatnya tidak ada seorang pun yang ingat bahwa dia ada di sini? Hidup dalam kesendiriannya, mengenakan pakaian putra mahkotanya bahkan saat dia tidak lagi berhak atas tahta? Tidak adakah yang ingat untuk menyelamatkannya di tengah kekacauan pemberontakan ini?

Tidakkah?

Bahkan Jungkook pun tidak.

Jungkook melemah, dia menjatuhkan diri di halaman yang panas oleh api yang berkobar di hadapannya. Di luar sana, suara kekacauan terdengar semakin riuh dan liar. Suara tembakan, suara teriakan; semua suara berpusar menjadi angin topan aneh yang tidak menyentuh Jungkook sama sekali.

Telinganya mati.

Seluruh dirinya mati.

Dia menatap istana di hadapannya, membayangkan wajah Taehyung yang indah dan mata manik kelabunya yang berkilau oleh cahaya jingga lilin yang mereka gunakan untuk mengobrol. Ciuman mereka, sentuhan tangan lembut Taehyung di wajahnya, tubuhnya yang lentur dan harum...

Mengapa Jungkook masih hidup? Mengapa dia masih bisa bernapas bahkan setelah dia menyaksikan separo hidupnya lenyap dalam amukan api yang murka? Amarah dari para sangmin yang dilampiaskan lagi-lagi pada seseorang yang tidak tahu salahnya apa.

Dengan nyeri dia membayangkan bagaimana Taehyung mungkin akan meminta maaf atas pemberontakan petani yang sekarang terjadi. Sekali lagi disalahkan atas hal yang sama sekali bukan salahnya, sekali lagi bertanggung jawab atas hal yang sama sekali tidak difahaminya.

Jungkook jatuh berbaring di tanah, meringkuk seperti bola mencoba menekan sakit yang menyeruak di dadanya dengan tangannya. Dia membuka mulutnya, berusaha bernapas dari mulutnya yang terbuka dan memaksa paru-parunya yang mengerut untuk bekerja.

"Kau pasti sangat membantu keluargamu, membantu ayahmu. Menjadi tulang punggung keluarga, dibutuhkan dan selalu berguna. Kau pasti... sangat disayang."

Tidak, Jungkook ingin berteriak dengan paru-parunya yang mengerut. Dia tidak berguna, dia tidak bisa menyelamatkan Taehyung. Dia tidak berguna, dia tidak berguna!

Maka saat obor lain dilemparkan ke dalam istana dan meluncur persis ke arahnya, Jungkook memejamkan mata; siap menerimanya. Benda itu mendarat di kakinya, langsung membakar celananya yang kering dan Jungkook sama sekali tidak berjengit.

Jika Taehyung mati, maka tidak ada alasan lagi untuk Jungkook hidup kembali. Maka dia akan menyusulnya; kemana pun Taehyung pergi untuk menemaninya. Menjadi matanya agar Taehyung tidak pernah merasa kesepian dan ketakutan dalam kebutaanya.

"Tunggu aku," bisik Jungkook saat api menjalar ke pinggangnya. "Aku akan segera menemanimu. Kau tidak akan pernah sendirian lagi, aku janji."

Dia bangkit, mengabaikan rasa panas dan nyeri di tubuh bagian bawahnya dan melakukan hal paling tidak masuk akal yang pernah dilakukannya, dia berlari ke arah istana yang terbakar lalu melompat ke dalam api tanpa ragu sama sekali.

Dia harus bertemu Taehyung.

Dia harus menemaninya.

.

.

.

.

"... alo? Halo? Kau tidak apa-apa? Kau masih hidup??"

Tubuhnya diguncangkan dengan lembut dan Jungkook terkesirap.

Langsung terduduk dari tidurnya, orang yang sejak tadi berusaha membangunkannya berteriak tertahan karena kaget dan Jungkook sejenak terserang vertigo ringan akibat gerakannya yang mendadak dan dia memejamkan mata. Napasnya terengah-engah dan seluruh tubuhnya terasa lengket oleh keringat. Dia berbaring di atas lantai yang dingin dan mengigit, tapi seluruh tubuhnya terasa nyeri dan panas.

Apa yang terjadi?

Dia membuka matanya; menatap ke seluruh ruangan yang remang-remang. Sangat kontras dengan pemandangan terakhir yang dilihatnya. Seluruh ruangan terasa sejuk tapi tubuhnya lengket dan bau oleh keringat, darah dan aroma gosong.

Ruangan ini terasa asing dan aneh. Dia sedang berada di mana? Ini bukan istana Taehyung, ini juga bukan rumahnya. Dindingnya putih bersih dan lantai di tangannya terasa dingin dan tidak kasar. Banyak benda-benda asing yang tidak dikenali Jungkook di ruangan ini. Seluruh ruangan ini meneriakkan rasa nyaman asing yang membuatnya kebingungan.

Dia merasa seperti seekor binatang yang baru saja dipindahkan dari habitat aslinya ke tempat lain yang sama sekali tidak familiar.

Ini di mana?

Ke mana perginya orang-orang yang sibuk berteriak marah tadi?

Bukankah dia tadi melompat ke dalam api?

Kenapa dia tidak mati?

Apakah ini surga?

Lalu dimana Taehyung? Dia kemari untuk Taehyung.

Dia mengamati ruangan dengan kebingungan lalu menemukan wajah di sisinya; menatap langsung ke wajah yang sangat familiar dengan seluruh inderanya hanya saja dengan raut yang sangat berbeda; rambutnya dipangkas pendek dengan ikal-ikal manis membingkai wajah dan keningnya. Nampak cemas dan setengah mengantuk.

Matanya berwarna gelap dan berkilau oleh emosi khawatir yang terasa aneh oleh dirinya sendiri. Matanya tidak lagi kelabu seperti mutiara mati; matanya berkilau oleh emosi, matanya mengerjap dan menatap langsung ke mata Jungkook.

Dia khawatir.

"Halo? Kau baik-baik saja?" ulang pemuda itu sopan. Suaranya masih sehalus yang diingat Jungkook, aromanya seperti bunga yang harum dan manis. Begitu memabukkan. "Kau.... baru saja muncul begitu saja di balkon kamarku dengan.... pakaian gosong dan dagu yang nampaknya retak.

"Kau... oke?" Pemuda itu menatapnya dengan wajah berkerut kebingungan; matanya bergerak liar—selalu begitu setiap kali dia merasa gelisah dan gugup. Jungkook ingin sekali menciumnya, meyakinkan seluruh inderanya bahwa Taehyung selamat.

"Kenapa kau... mengenakan hanbok gosong? Apakah kau diserang preman??"

Jungkook tidak mendengarkan apa pun yang dikatakan pemuda di hadapannya. Dia begitu lega menatap langsung ke matanya yang berkilauan; tidak buta dan tidak ringkih. Dia sehat. Dia sempurna—sesempurna apa pun yang kata sempurna itu janjikan untuknya.

"Taehyung?" bisiknya gemetar.

Pemuda itu mengerjap, kebingungan. "Kau... tahu namaku?" Dia menelan ludah. "Siapa sebenarnya dirimu? Kau datang darimana??"

Jungkook gemetar menatapnya.

Dan terpenting, tidak ada bekas luka di wajahnya. Dia nampak mulus, sehalus porselen dan secantik boneka. Dia nampak sehat, nampak kuat dan nampak jauh lebih segar dari hari terakhir Jungkook meraihnya ke dalam ciumannya.

Pemuda itu baik-baik saja.

Jungkook gemetar oleh rasa lega yang membuat seluruh tubuhnya terasa meleleh. Sakit di seluruh tubuhnya diabaikan, dia merasa begitu lega hingga dia mulai menangis.

"Kau... sudah cukup kuat untuk berdiri?" tanya pemuda itu lagi; masih dengan rasa cemas yang menetes-netes dari bibirnya dan Jungkook merinding olehnya.

"Ayo kuantarkan ke UGD. Kita harus melakukan sesuatu dengan dagumu yang berdarah. Kita bisa bicara lagi setelah lukamu dibebat." tambahnya lagi dengan kekhawatiran tulus selembut beledu yang sudah akrab dengan Jungkook.

Kekasihnya selamat; kekasihnya masih hidup.

"Taehyung!" serunya dengan suara gemetar, menjulurkan tangan ke arah pemuda di hadapannya. Sangat lega hingga hatinya terasa seperti akan meledak. "Oh, Taehyung!"

.

FIN.

.

From Ire:

Otakku langsung kram. HAHAHAH. Niatnya di ending aku tambahin scene yg memperbaiki ini semua, tapi editorku bilang gak usah karena ngerusak keseluruhan ceritanya yang udah bagus banget. Jadi yaudah, I rest my case here :")

Anyway, selamat idulfitri bagi kalian yang merayakan! Sudah makan opor ayam berapa kali hari ini? hahah I hope you guys enjoy the fiction as much as I did during the writing.

Jangan lupa vote sbg sebuah bentuk apresiasi utk tulisanku, xoxo

Continue Reading

You'll Also Like

4.9K 708 16
baca aja ya guys maaf kalo gabagus.
376K 31.3K 155
Title: Death Is the Only Ending for the Villainess BACA INFO!! Novel Terjemahan Indonesia. Hasil translate tidak 100% benar. Korean » Indo (90% by M...
8.3K 513 10
Pelacur, wanita penghibur, murahan, atau apapun yang orang lain sematkan padanya tak membuat gadis itu menyesali keputusannya. Menolak lamaran dari p...
BITTER TRUTH [END] By Angel

Historical Fiction

8.6M 1.1M 91
"Buktikan bahwa bukan kau yang meracuninya dengan pedang ini" ucap Duke Hevadal dengan wajah yang sedingin dinginnya pada putri kandungnya sendiri El...