Daddy's Day Out

By renitanozaria

4.1M 569K 327K

(Completed) (Berlanjut ke Get on The Gouws) "The difference between a 'man' and a 'father' is that the forme... More

Meet The Daddy(s)
00
01
02
03
04
05
06
07
TRIVIA: THE GOUWS
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43

44

137K 12.6K 13K
By renitanozaria

"It wasn't a battle, it was just life. Cancer may have taken almost everything from me, but one thing for sure; it never took you. I consider that as a super big victory."

—Patricia Gunawan

***

(jangan sedi lagi sheyenk)

Queen Victoria Gardens.

Belasan tahun sebelumnya.

Dari semua musim yang ada, Jef paling menyukai awal musim gugur. Udara tidak lagi sepanas sebelumnya, namun masih cukup nyaman buatnya beraktivitas tanpa harus mengenakan pakaian berlapis-lapis. Hari itu, dia sengaja keluar dari flatnya di pagi hari, meninggalkan Jennie yang masih ngorok di kamarnya selepas menghabiskan hampir sepanjang malam untuk minum-minum di pub setelah kena semprot executive chef di restoran tempat mereka melakukan apprenticeship. Rencananya sih, Jef mau jalan bareng salah satu cewek Jepang yang seangkatan lebih muda darinya.

Mereka janjian bertemu di Queen Victoria Gardens.

Jef tiba di sana lebih dulu, langsung mengeluarkan Nokia N95 dari sakunya, bermaksud mengirim pesan teks. Tapi pesan teks itu belum lagi terketik tatkala tiba-tiba, Jef merasakan seseorang meraih salah satu jarinya, lalu menggenggamnya erat. Refleks, lelaki itu menoleh, mendapati sesosok bocah perempuan berambut sebahu yang sedang memegang jari telunjuknya dengan lima jari mungil. Bocah itu menengadah, menatap Jef dengan mata berkaca-kaca seakan dia hampir menangis.

"What the he—" Jef menghela napas, menahan kata kasar yang hampir terlontar dari mulutnya secara refleks. "What are you doing, little one?"

"Mamiku... mamiku... hilang..." anak itu merengek dalam bahasa Indonesia.

"Hah?"

"Om, cariin Mami aku..."

Oke, Jef sudah boleh panik sekarang?

Dia tidak punya pengalaman dengan anak kecil dan sejujurnya, paling benci anak kecil. Sebagian besar anak kecil yang berjumpa dengannya pasti lebih memilih menjauh, enggan menatap apalagi sampai digendong oleh seorang Jeffrey Gouw. Elmira, keponakan Jef yang pertama bahkan menangis kencang ketika Jef mendekatinya dengan maksud memberikan hadiah Natal. Selain itu, anak kecil juga berisik. Belum lagi kalau mereka mengompol, atau menginginkan sesuatu. Jef lebih suka dipaksa bekerja belasan jam di dapur tanpa istirahat daripada menjaga anak kecil selama lebih dari dua jam.

"Sorry, I don't understand what you're saying. Let's just go to information center or police station nearby, okay?"

"Pake bahasa Indonesia aja, Om!"

"Sorry, I—"

"Aku tau, Om itu pasti orang Indonesia! Soalnya rambutnya sama kayak aku! Kalau Om bukan orang Indonesia, rambutnya warna-warni, nggak hitam! Kayak Om-om yang punya anjing tadi, rambutnya kuning... merah... cokelat... biru—eh biru mah nggak ada ya. Permen Jagoan Neon doang yang biru..."

Jef langsung sadar kalau anak ini nggak bisa dikibulin.

"Terus kalau gue orang Indonesia, lo mau ngapain?" Jef jutek, bodo amat meski lawan bicaranya hanya anak kecil yang paling banter baru berusia lima tahun.

"Ih, ngomongnya gue-lo!"

"Kenapa? Suka-suka gue lah, mulut juga mulut gue!"

"Kata Mami sama Papi, itu omongan jelek. Nggak boleh gue-lo-gue-lo-an, tahu! Om coba ikutan aku ya!" bocah perempuan itu malah mengajari Jef. "A ka u ku. Aku. Ka em u mu. Kamu. Gitu. Nggak boleh pake gue-lo nanti dimarah Tuhan dan nggak didatengin Santa!"

"Ck."

"Coba ikutin dulu, Om!"

"Iye, elah, bawel!" Jef memutar bola matanya. Agak jengkel, walau di saat yang sama, dia juga tak paham kenapa dia mau saja mengikuti kemauan anak itu. "A ka u ku."

"Dibacanya apa?"

"Gue."

"Anak nakal kayak gini nih, kalau sama Bu Guru aku, udah di-setrap disuruh berdiri di depan kelas pake satu kaki sambil megang telinga!"

"Gue bukan anak-anak!"

"Oiya, lupa. Om-om, maksudnya." Anak itu nyengir. "Nama aku Acacia. Tapi biasanya dipanggil Sashi."

"Nggak nanya."

"Nama Om siapa?"

"Leonardo."

"Bohong!"

"Bohong apanya?!"

"Aku tau Om-om yang namanya Leonardo. Rambutnya kuning. Mukanya cakep. Jauh banget sama Om deh pokoknya."

"Gue juga cakep!"

Sashi memiringkan wajah, masih menengadah karena perbedaan tinggi antara dia dan Jef yang sangat jauh. "Mmm... cakep dikit doang. Kalau Om Leonardo yang di film kapal tenggelam itu, cakepnya banyak."

"Halah."

"Buktinya Mami aku aja naksir." Sashi menyahut. "Jangan bilang-bilang Papi aku tapi yah, takutnya cemburu ama Om Leonardo."

"Terus mau lo apa sekarang?"

"Mau Mami."

"Mana gue tahu nyokap lo ada di mana!"

"Nyokap itu apa?"

"Emak."

"Aku manggilnya Mami, bukan Emak!"

Jef mengalah. "Iye, maksud gue, mana gue tahu Mami lo ada di mana!"

"Cariin!"

"Gue nggak bisa, gue sibuk!" Jef bermaksud menarik tangannya lepas dari genggaman tangan Sashi, namun Sashi memperkuat cengkeraman jemarinya pada jari telunjuk Jef. Matanya melebar, berkaca-kaca. Mulutnya mengerucut. Itu yang Jef takuti. Anak kecil tuh kalau sudah begitu, pasti tengah mengumpulkan tenaga untuk mengeluarkan raungan sekeras-kerasnya. "Oke, oke. Jangan nangis. Masalahnya, gue nggak tahu Mami lo bentuknya kayak apa."

"Papi bilang, Mami aku cantik. Soalnya Mami aku mirip aku."

"... Papi lo bohong!" Jef membalas pedas.

"Kok bohong?! Papi nggak pernah bohong!"

"Lo yang mirip Mami lo, bukan Mami lo yang mirip lo! Kan dia lahir duluan, gimana sih?!"

"Oiya juga..."

"Hm." Jef mengernyit, memiringkan wajahnya sejenak dan menatap lekat-lekat anak perempuan yang masih berdiri di dekat kakinya. Wajah anak ini, entah bagaimana, terasa familiar. Jef seperti pernah melihatnya, namun dia tidak ingat di mana.

"Gini aja, Om. Kita cari aja. Kalau ketemu Mami, aku tau kok Mami aku yang mana!"

"Hellooooo, di tempat seluas ini?! Jelas nggak mungkin lah! Gue nggak ada waktu!" Jef berdecak. "Kita ke pusat informasi aja. Biar pusat informasi yang ngumumin. Nanti lo tunggu di sana sampe Mami lo itu dateng. Gimana?"

"Ditemenin Om ya tapinya?"

"Kenapa juga harus ditemenin gue?!" Jef nge-gas lagi.

"Soalnya aku nggak kenal orang-orang sini. Apa ya kalau kata Bu Guru... bahasa Inggrisnya... stronger?"

"Stranger." Jef mengoreksi sambil memutar bola mata. "Nggak ada bedanya sama gue! Gue juga nggak kenal sama lo!"

"Salah, Om udah kenal aku. Kan Om udah tahu nama aku siapa. Aku yang belum tahu nama Om."

"Gue nggak inget nama lo."

"Acacia. Acacia. Acacia. Acacia. Acacia. Acacia. Acacia." Sashi mengulang namanya. "Udah kuulang satu... dua... lima... yah... jarinya nggak cukup." Dia menghitung menggunakan kelima jarinya yang tidak memegang jari Jef untuk menghitung. "Tapi pokoknya udah aku ulang tujuh kali. Kalau Om nggak ingat, berarti Om bodoh. Makanya, jangan keseringan nakal, jadi dimarah Tuhan kan, jadinya bodoh."

Acacia.

Jef baru tersadar, lantas langsung dibikin terdiam tak lama setelahnya. Angannya melayang pada seseorang. Dia mengembuskan napas. Tentu tidak mungkin. Orang itu telah memaksa diri keluar dari hidupnya. Kini hadirnya hanya sebatas memori yang cuma indah dikenang.

"Om!"

Jef tersentak keluar dari lamunan. "Yaudah, ayo!"

"Let's go!!"

Beberapa menit berjalan, Sashi mendadak berhenti bergerak, membuat Jef mau tidak mau batal meneruskan langkah. "Kenapa lagi?"

Sashi melepaskan jemarinya dari jari telunjuk Jef, ganti mengulurkan kedua tangannya. "Aku capek, Om. Gendong."

"Hah?!"

"Gendong."

"Males!"

Sashi memberengut, matanya lagi-lagi berkaca-kaca serupa anak anjing yang tengah mencoba merajuk. Jef mengembuskan napas. Lagi-lagi, dia tak punya pilihan. Akhirnya, lelaki itu merunduk dan meraup tubuh mungil Sashi dalam rengkuhannya.

"Wow, Om tinggi banget! Aku bisa lihat pesawat dari sini!"

"Ngaco!" Jef mempererat dekapannya pada badan bocah dalam gendongannya. Sashi bergerak kelewat lincah, membuat Jef takut anak itu terlepas dari rangkulan kedua lengannya. "Jangan banyak gerak! Nanti jatuh!"

"Kalau jatuh kan ke bawah."

"Kalau lo jatuh, lo bisa benjol."

"Emangnya Om bakal biarin aku jatuh?"

"Nggak."

"Tuh kan."

"Gue takut dicakar nyokap lo kalau sampai gue jatuhin lo." Jef mendengus.

"Om."

"Apa?"

"Om wangi kayak Papi aku. Tapi wanginya beda."

"Oh."

"Om."

"Apa lagi?!"

"Mau es krim."

Jef berdoa pada Tuhan, memohon kekuatan setidaknya hingga dia berhasil membawa Sashi ke pusat informasi. Seraya berusaha menyabarkan diri, Jef berbelok ke mobil truk penjual es krim.

"Om, aku mau yang rasa cokelat!"

"Rasa cokelatnya abis. Adanya yang rasa vanilla sama stroberi doang."

"Maunya rasa cokelat!" Sashi ngotot.

"Nggak ada."

Sashi cemberut, lalu mulai menangis. Jef menghela napas panjang, tidak berusaha mendiamkan Sashi dan tetap membeli es krim rasa vanilla. Dia sengaja membeli dua. Satu buatnya dan satu untuk Sashi. Bocah itu masih menangis ketika Jef mengajaknya duduk di bangku terdekat.

"Berhenti nangis, dong!"

Sashi masih saja meraung.

"Acacia."

Sashi terus saja mengabaikan Jef.

Jef berdeham, mencolek ujung es krim dan melekatkannya ke kedua pipi Sashi. Sashi berhenti menangis. Dia melotot kesal, balas mencolek es krim yang lain dan melekatkannya ke wajah Jef, tepat di ujung hidung lelaki itu.

"Argh!"

"Itu namanya impas!"

"Nggak impas lah!" Jef membantah, berusaha terlihat galak tapi itu percuma karena noda putih es krim di ujung hidungnya. "Lo bikin gue pusing sama suara nangis lo. Gue nggak bikin lo pusing dengan suara nangis gue."

"Om kan udah gede, masa nangis?!"

"Emangnya kalau udah gede, nggak boleh nangis?"

"... bukannya nggak boleh?"

"Salah!" Jef membantah. "Mau gede atau nggak, orang tuh tetap aja ada saatnya nangis. Hanya karena lo masih kecil, bukan berarti lo doang yang boleh nangis. Lagian, Santa nggak suka anak yang nangis terus walau udah disuruh diem. Itu namanya anak nakal!"

"Masa?!"

"Iya."

"Mami nggak pernah bilang gitu..."

"Mami lo kurang peka berarti. Bilangin, jangan rajin belanja melulu."

"Mami nggak rajin belanja!"

"Terus?"

"Mami suka berkebun. Terus di rumah banyak kaktus."

"Oh."

"Warnanya hijau."

"Kalau kaktus warnanya merah, baru hebat."

"Bisa merah, kalau dicat."

Jef akhirnya tersenyum, membuat Sashi terperangah sejenak.

"Om,"

"Apa?"

"Kok pipinya bolong?"

"Dulu pas di surga, gue rada bandel. Terus jatuh. Terus pipinya ketojos paku."

"Emang di surga ada paku?"

"Ada. Coba lo senyum." Jef berujar dan saat Sashi melakukannya, dia menusukkan kelingkingnya di salah satu sisi wajah gadis kecil itu. "Nih, pipi lo juga bolong. Tapi nggak dalem. Cuma sebelah doang. Ini bukan ketojos, ini mah kegores."

"Oh..."

"Makan es krimnya." Jef berkata. "Gue kasih lo yang rasa vanilla. Jadi sekarang, berhenti nangis."

"Kenapa gitu?"

"Karena es krim vanilla lebih enak dari es krim lainnya."

"Kenapa?"

"Karena warnanya putih."

Selepas makan es krim, Jef membawa Sashi ke pusat informasi. Dia menunggu sebentar, lalu usai petugas di pusat informasi membuat pengumuman, dia beranjak. Sashi yang sedang mengemut jarinya langsung bereaksi.

"Om, mau kemana?!"

"Ke toilet."

"Katanya tadi mau nemenin aku sampai Mami aku datang?!"

"Iya, tapi gue udah kebelet. Kalau gue nggak ke toilet, nanti gue ngompol!"

Sashi bergidik. "Emang Om nggak pake pampers gitu?"

"Lo pake?"

"Pake. Mau liat?" Sashi berancang-ancang seperti siap membuka celana.

Jef mendengus. "Nggak. Makasih."

Sashi cemberut, membuat Jef akhirnya tersenyum lagi sebelum menarik jari bocah itu keluar dari mulutnya. "Jangan ngemut jari. Nggak boleh."

"Om, ke toiletnya jangan lama-lama."

"Iya."

"Janji?"

"Janji."

"Cantelan dulu!"

Jef meraih kelingking mungil Sashi dengan kelingkingnya, saling menautkan jari untuk menyegel janji—yang tentu tidak dia tepati. Hari itu, kencan Jef batal. Juniornya marah karena Jef muncul terlambat. Hari itu bisa saja tergolong hari yang menyebalkan bagi seorang Jeffrey Gouw, namun tidak untuk Acacia. Setelahnya, setiap kali membeli es krim, Sashi hanya ingin rasa vanilla. Saat ditanya kenapa, jawabnya selalu.

"Es krim vanilla lebih enak dari es krim lainnya, soalnya warnanya putih."

*

Kolam Renang Apartemen.
Hari ini.

"Ayah, kesini tuh mau berenang apa mau bengong aja?"

Sashi mulai tidak mengerti apa maksud Jef sebenarnya ketika lima belas menit telah lewat, tapi Jef hanya berdiri diam di tepi kolam, menatap pada air seperti seekor anjing yang tengah dipaksa mandi. Jef tak kunjung menjawab. Malah menghela napas dalam-dalam, mengembuskannya dengan berat. Bukan apa-apa. Sashi sih terima-terima saja nongkrong sepanjang sore sambil duduk di kursi malas tepi kolam renang. Dari lantai sepuluh di mana kolam renang apartemen berada, dia bisa melihat pemandangan kota, juga langit yang pelan-pelan meredup.

Masalahnya, dia sebal sendiri melihat bagaimana cewek-cewek yang juga tengah berada di area kolam renang menatap pada ayahnya. Iya, Sashi tahu Jeffrey Gouw itu tampan. Iya, dia juga tahu, dengan celana pendek dan bertelanjang dada sekarang, guratan otot di dada dan perut Jef sangat mengundang untuk di-apresiasi. Tapi bisa tidak sih, mereka tidak memandang tubuh ayahnya seperti kucing garong melihat ikan asin?

"Ayah, kalau nggak mau berenang, mending dipake lagi bathrobenya!" Sashi beranjak sambil membawakan bathrobe yang semula Jef biarkan teronggok di atas kursi.

"Iya, ini gue mau berenang!"

"Bilangnya gitu terus tapi nggak nyemplung-nyemplung!" Sashi sudah siap memuntahkan serentetan omelan, namun kala dia menyadari gestur badan Jef yang tampak berbeda, dia batal bicara. Gadis itu meletakkan bathrobe kembali ke atas kursi, lantas berjalan mendekati tepi kolam, melewati Jef yang masih berdiri kaku. Dia duduk, membiarkan kakinya tercelup ke dalam air.

"Ayah?"

"Mm?"

"Sini."

Jef kelihatan ragu sejenak, walau akhirnya dia tetap melangkah mendekati Sashi dan mengambil tempat duduk di sebelahnya. Sashi menatapnya sebentar, lalu berujar. "Ayah... takut ya?"

Jef meneguk saliva, tak menyahut, hanya mengangguk. Dia tidak pernah punya masalah dengan air dan kolam renang, hingga peristiwa tempo hari terjadi.

"Terus kenapa kesini?"

"Waktu lebih kecil, gue pernah takut banget sama ketinggian. Setakut itu. Kalau gue berdiri di balkon gedung yang tinggi, gue merasa kaki gue bergoyang. Tapi kemudian, bokap gue—that's Eyang Kakung for you, bilang kalau rasa takut bukan sesuatu yang dihindari. Rasa takut itu harus dihadapi. Gue nggak seharusnya menakuti sesuatu selain rasa takut itu sendiri." Jef menjelaskan. "Gue benci merasa takut, karenanya, gue harus menghadapi rasa takut gue."

"You know, sometimes it's okay to be afraid."

"I can't. I have a daughter."

"Then, just take a small step, shall we?" Sashi tertawa kecil sebelum menjatuhkan dirinya ke dalam kolam. Sosoknya hilang ditelan air, sempat membuat Jef tersekat panik, tapi untungnya kepalanya kembali menyembul ke permukaan tidak lama kemudian. Rambutnya sudah basah kuyup. "Come on, Dad. You have me. I'll protect you."

Jef terdiam sejenak, lalu akhirnya nekat ikut menjatuhkan diri ke dalam air. Kolam itu tidak dalam, mungkin hanya sekitar 1,5 meter. Jef sempat gelagapan, sampai akhirnya dia merasakan tangan Sashi di kedua lengannya. Jantungnya yang semula berdebar kencang berangsur kembali berdetak di frekuensi normal ketika kakinya menyentuh lantai kolam.

"See? As long as you have me, you'll be okay." Sashi tersenyum seraya mengulurkan tangan untuk menyibak rambut Jef ke belakang. "You're safe here, Dad. You're safe with me."

Jef tersenyum, tiba-tiba terkenang pada bocah perempuan yang belasan tahun lalu mengulurkan kedua tangan padanya, meminta untuk digendong. "I know."

Mereka menghabiskan waktu beberapa lama di kolam renang, hingga Jef mengangkat jari-jari Sashi dari air. "Jari-jari lo udah keriput. Let's go back."

Sashi menurut, membiarkan Jef meraih kedua sisi pinggangnya, lantas mengangkatnya untuk mendudukkannya di tepi kolam renang. Dia meraih bathrobe miliknya, memakainya. Jef ikut menyusul naik dan memakai bathrobe.

"Yah, besok-besok kalau renang, pake baju dong!"

"Kenapa?"

"Ayah nggak lihat itu cewek-cewek di kolam ngelihatin Ayah udah kayak macan lapar?"

"Cemburu ya?"

"Aku nggak suka Ayah aku dilihatin kayak gitu! Emangnya Ayah makanan?! Kan bukan." Kata-kata Sashi membikin Jef terkekeh, malah merangkul leher Sashi, merasakan rambut yang basah di kulitnya.

Sesampainya di unit apartemen mereka, Sashi masuk ke kamar tamu, sibuk membasuh badan dan mencuci rambut menggunakan shampoo. Ruang tengah masih sepi usai dia berganti pakaian. Dia memanggil Jef, tapi suaranya hanya dibalas oleh bunyi khas dari hairdryer yang baru dinyalakan. Sashi bergerak masuk ke kamar ayahnya, mendapati laki-laki itu sedang duduk di tepi ranjang dengan hairdryer di tangan kanan. Dia mengenakan kaus putih dengan celana pendek hitam. Dalam penampilannya yang seperti itu, kadang Sashi merasa Jef terlalu muda dan terlalu tampan untuk punya anak perempuan yang hampir lulus SMA.

"Sini, aku aja." Sashi mengambil alih hairdryer dan mulai menyisir rambut lembab Jef dengan jari. Jef berdendang samar, jelas menikmati perhatian yang diberikan padanya. Setelah selesai, Sashi mematikan hairdryer, merapikannya dan menyimpannya kembali ke laci.

"Come here." Jef yang telah duduk di atas kasur memanggil, menepuk tempat kosong di sebelahnya.

"Hm?"

"I wanna hug you." Jef berujar tanpa malu.

Sashi menurut, bergeser mendekat. Jef meraihnya dengan satu tangan, membiarkan salah satu pipinya melekat ke puncak kepala Sashi sementara Sashi balik memeluknya.

"Yah, udah berapa lama nggak cukuran? Mulai jenggotan." Sashi berkomentar kala melihat rahang Jef yang kini kehijauan serta ditumbuhi oleh jenggot.

"Cukup lama."

"Mau dicukurin nggak?"

"Acacia, you're my daughter, not my girlfriend." Jef tertawa geli.

"Ih, emangnya nggak boleh?! Mami aja pernah ngajak aku nyukurin jenggot Papi!"

"Emang kenapa sih kalau jenggotan? Kan tetap ganteng."

"Lebih rapi kalau nggak jenggotan."

Jef berdecak. "Speaking of it, keluarga kalian kelihatannya bahagia banget. You, Tris and Jo, I mean."

"Mau tahu kenapa waktu aku dengar soal Ayah dari Mami, aku susah percaya?" Sashi menengadah agar dia bisa menatap Jef. Jef balik menunduk, membuat iris mereka yang warnanya serupa saling beradu. "Itu karena Papi dan Mami selalu terlihat bahagia. Kayak... mereka memang diciptakan untuk satu sama lain. Kayak... mereka memang saling cinta. Di mana ada Patricia, di sana ada Joshua. Begitu pun sebaliknya. Jujur, sebelumnya aku nggak sedekat itu dengan Papi, tapi nggak pernah sekalipun ada saat-saat di mana aku mempertanyakan, aku ini anaknya Papi atau bukan."

"Mm-hm."

"Jangan cemburu." Sashi memperingatkan sebelum meneruskan. "Tapi di luar perasaan Mami untuk Ayah, aku rasa... Mami punya tempat sendiri untuk Papi di hatinya."

"Gue nggak cemburu. Gue tahu itu."

"Tahu?"

"Kalau nggak ada Jo di hatinya, dia nggak akan meninggalkan rekaman itu."

"Rekaman?"

"Your Mom left things for me. And for Jo." Jef mengedikkan bahu.

"APAAN?!" Sashi jadi kepo.

"Mau tau banget?"

"AYAH!"

Jef tertawa hingga Sashi merasakan dada lelaki itu bergetar. "Kebanyakan tentang lo. Foto-foto lo di masa kecil. Resep makanan yang lo suka. Gambar-gambar yang lo buat—dan harus gue bilang, gambarnya jelek banget. Kliping koran dan majalah yang memuat artikel tentang gue. Alergi apa aja yang lo punya. Dan sebuah video."

"Video apa?"

"Something about us."

"Aku mau lihat."

"Nanti."

"Nanti?"

"Saat gue udah nggak ada lagi di dunia ini, lo boleh melihatnya." Jef menyentuh helai rambut Sashi. "So you'll know, you're a living proof of your parents' love. That your existence is not a mistake."

"Apa ini alasannya Ayah nanyain soal gambar yang pernah kubuat?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Your childhood hero." Bayangan akan masa lalu itu tiba-tiba terlintas di pikiran Jef, membuatnya tersenyum getir. Seandainya saja ketika itu, dia memutuskan menunggu agak sedikit lebih lama di pusat informasi. Bisa jadi, segalanya akan berbeda. "was me."

"Jadi... yang waktu itu di taman... itu Ayah?"

"Yep." Jef mengakui. "I was so dumb. Lo menyebutkan nama lo tujuh kali dan gue masih merasa itu bukan pertanda. Acacia. Acacia. Acacia. Acacia. Acacia. Acacia. Acacia. I was so dumb, indeed."

"Sekarang juga masih dumb."

"Hei, gadis, bukan seperti itu caranya bicara dengan bapakmu!"

Sashi nyengir. "Terus terang, aku nggak terlalu ingat soal kejadian di taman itu. Aku cuma ingat, gara-gara itu aku jadi lebih suka es krim vanilla, juga susu vanilla. Aku cuma ingat, Om-om yang nolongin aku pake kemeja garis-garis pink."

"Lo hampir buka celana di depan gue."

Sashi nyaris tersedak. "HAH?!"

"Iya, mau nunjukkin kalau lo pake pampers soalnya." Jef mengedikkan bahu.

Sashi bergidik, merasa jengah pada kelakuannya sendiri di masa lalu. Tapi tiba-tiba, dia malah teringat pada sesuatu. "Waktu Ayah pergi, aku nemuin akun Instagram bodong."

Punggung Jef menegang. "Hng?"

"Itu akun Ayah kan?"

"Apaan?"

"Nggak usah pura-pura nggak tahu!" Sashi meninju dada Jef pelan, diteruskan oleh gelak tawa. "Jadi dari situ, Ayah tahu aku kepengen kue red velvet. Dari situ juga, Ayah mata-matain aku. Hadeh. Emang tsundere banget jadi orang. Kalau mau perhatian, perhatian aja kali!"

"NGGAK GITU."

"Terus gimana?"

"Ck."

"Tapi aku senang." Balasan Sashi selanjutnya membuat Jef kehilangan kata-kata. "Makasih karena nggak menyerah mencoba jadi Ayah aku meski aku sudah menolak, meski kata-kataku udah nyakitin Ayah, walau mungkin, aku pernah bikin Ayah nangis. Makasih udah sayang sama aku. Makasih udah pulang buat aku. Dan makasih... karena udah ngizinin aku jadi anak Ayah."

"Those words are mine to say," Jef membungkuk, mencium puncak kepala Sashi. "Makasih."

"Buat apa?"

"Sebab sudah terlahir sebagai anak Jeffrey Gouw."

*

Konon katanya, menurut reaksi kimia yang terjadi dalam otak, laki-laki memiliki daya toleransi yang lebih tinggi terhadap duka dan luka ketimbang perempuan. Ini yang kemudian dianggap menjadi penyebab kenapa laki-laki lebih mudah menahan dan menyembunyikan perasaannya di depan orang banyak. Maka, ketika seorang laki-laki menangis, itu berarti, dia tengah berada dalam situasi di mana dia tidak punya pilihan selain menangis.

Sepanjang hidupnya, Jo hanya pernah menangis tiga kali karena Tris. Pertama, adalah ketika mereka saling mengikat satu sama lain dalam janji suci pernikahan. Kedua, tak lama setelah Tris melahirkan Acacia. Dan terakhir, terjadi hampir dua tahun lalu, waktu Jo mendengar vonis dokter tentang penyakit tak tersembuhkan yang diidap oleh perempuan itu.

Dia ingat bagaimana di tengah malam, sesaat sebelum mereka memberitahu Acacia, dia melamun sendirian di balkon kamar hingga seseorang meraihnya dalam sebuah pelukan dari belakang.

"It's okay, Honey. It's super okay." Tris berbisik, membuat tenggorokan Jo justru serasa disumbat oleh gumpalan yang menahan jalur pernapasannya, membuat dadanya sesak seketika. "I promise, I'll be alright."

Kata-kata itu membuat Jo tak bisa menahan diri untuk tidak berbalik. Tris masih menatapnya dengan tenang, malah terkesan menyemangati. Sesuatu yang mengherankan. Seharusnya Jo yang menatapnya seperti itu. Orang yang terancam berhadapan dengan maut bukan Jo, melainkan Tris. Bagaimana bisa Tris justru bersikap jika yang siang tadi menerima diagnosis adalah Jo?

Ada banyak kata yang ingin Jo ungkapkan, namun dia justru tertunduk dan mulai terisak. Tris menghla napas dalam-dalam, memeluknya, membiarkan Jo merunduk dan menangis di bahunya. Jo masih ingat bagaimana telapak tangan perempuan itu mengusap punggungnya dengan lembut.

"Don't worry, Jo. Things will be okay. We'll be okay."

You're dying, how can I be okay?

Namun kata-kata itu tak pernah betul-betul Jo suarakan.

Jo tahu, mereka telah hampir dua puluh tahun bersama. Itu bukan waktu yang sebentar. Sebelumnya, Jo tidak pernah memimpikan dia akan memiliki Tris selama itu. Di sisinya. Buatnya. Orang-orang yang tahu bisa saja bertanya-tanya—bagaimana bisa dia berjiwa besar seperti itu? Bagaimana bisa dia mampu mencintai perempuan yang memberinya anak dari laki-laki lain—yang seolah belum cukup hanya sampai di sana, hatinya juga masih berada pada laki-laki tersebut?

1 Corinthians 13.

If I speak in the tongues of men and of angels, but have not love, I am only a resounding gong or a clanging cymbal. If I have the gift of prophecy and can fathom all mysteries and all knowledge, and if I have a faith that can move mountains, but have not love, I am nothing. If I give all I possess to the poor and surrender my body to the flames, but not love, I gain nothing.

Jo mencintai Tris, dan itu yang penting buatnya. Perasaannya adalah miliknya. Perasaan Tris untuknya adalah milik perempuan itu. Jo tidak bisa mengontrol hati Tris, namun dia tahu, dia bisa mengontrol hatinya.

Love is patient, love is kind. It does not envy, it does not boast, it is not proud. It is not rude, it is not self-seeking, it is not easily angered, it keeps no record of wrongs. Love does not delight in evil but rejoices with the truth.

"Sweetheart, I'm really sorry." Tris berujar suatu kali, tidak lama setelah mereka keluar dari ruangan dokter bertahun-tahun silam, saat Sashi baru saja memulai hari-hari awalnya di sekolah dasar.

Mereka telah berdiskusi soal kemungkinan memberi Sashi adik—yang sayangnya tidak bisa terealisasikan. Kehamilan pertama Tris berlangsung saat dia masih terlalu muda. Dia tidak cukup sehat untuk memiliki anak lagi. Perempuan itu jelas merasa bersalah pada Jo, namun Jo tersenyum seakan itu bukan masalah besar untuknya, masih memeluknya seerat biasanya.

"It's okay. We have Acacia, right?"

Sebulan selepas itu, mereka pergi liburan untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang kedelapan. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Lagi-lagi, Jo bertanya-tanya, bagaimana bisa dia diberi kesempatan memiliki seorang Patricia di sisinya selama itu?

Anggap saja dia pria hopeless romantic saat dia memberikan kejutan makan malam di sebuah cruise yang berlayar di Sungai Seine. Tris duduk di depannya, tersenyum sambil mengangkat gelas berisi wine. Mereka bertukar tawa, menikmati hidangan yang berada di atas meja ditingkahi oleh suara biola yang dimainkan secara lambat. Lalu setelahnya, Jo akan meraih tangan Tris, menyematkan cincin ke jari manisnya. Semula, Tris terlihat terkejut, tapi perlahan senyum lebarnya tertarik.

Layaknya di negeri dongeng, mereka menghabiskan malam itu bersama. Tris dalam pelukannya. Bisikan perempuan itu di telinganya. Untuk sejenak, dunia menjauh. Hanya ada mereka berdua, dalam ruang hampa di mana masa tak lagi punya kuasa. Ujung-ujung jemari Tris melekat di kulitnya. Napas perempuan itu menerpa leher Jo. Kemudian dia menengadah, menatap Jo sembari membisikkan kata-kata yang bikin hatinya serasa meledak jadi kepingan.

"Jo,"

"Yes, Wifey?"

"I love you."

Jo tidak menjawab, justru merunduk dan menghujani wajah perempuan itu dengan kecupan.

It always protects, always trusts, always hopes, always preserves. Love never fails. But where there are prophecies; they will cease; where there are tongues, they will be stilled; where there is knowledge, it will pas away.

Terkadang, Jo merasa dia tidak bisa lebih bahagia dari sekarang. Hidupnya tidak sempurna, dia tahu itu. Namun hidup siapa juga yang tanpa cela? Jawabnya adalah tidak ada. Jo tidak peduli, meski dia tahu Tris masih mengingat Jef. Tris ada untuknya. Tris berada di sisinya. Perempuan itu punya pilihan untuk menemui Jef jika dia mau. Berterus terang tentang segalanya. Namun tidak. Tris tetap memilih bersamanya, lebih mempercayainya, menyerahkan seluruh sisi hidupnya bukan pada Jef, tapi padanya.

Setelah diagnosis dokter, Tris masih bersikap seakan-akan tidak ada yang berubah. Seperti dia masih baik-baik saja. Seolah malaikat maut tidak sedang mengintainya, diam-diam telah memasukkannya ke dalam daftar nama mereka yang nyawanya mesti dijemput. Tapi kenyataan selalu enggan dikalahkan. Seiring dengan hari yang berganti, penyakit itu menggerogoti kesehatan satu-satunya perempuan yang pernah Jo cintai.

Di depan Acacia, Tris bersikap seperti dia baik-baik saja—tidak merasakan sakit, tidak kehilangan napsu makan, masih mampu tidur seperti biasa, saat yang terjadi justru adalah sebaliknya.

Kondisinya makin mengkhawatirkan sampai Jo akhirnya berujar. "Kamu mau aku hubungi dia?"

"Siapa?"

"Jeffrey Gouw."

"Kenapa juga harus menghubungi dia?" Dahi Tris berlipat dan Jo tidak lanjut bertanya.

Sampai pada suatu malam, dengan tubuh gemetar di bawah selimut, dampak dari rentetan kemoterapi yang menyiksa, Jo kembali menanyakan sesuatu yang sama. "Masih nggak mau aku hubungi dia?"

"Siapa?" Tris bertanya dengan suara yang bergetar, hampir tidak kedengaran. Dia meringkuk kian dekat dengan Jo, membiarkan lengan lelaki itu memeluknya, membuatnya merasa aman.

"Jeffrey Gouw."

"Dia bukan lagi siapa-siapa buatku, Jo." Tris menghela napas dalam-dalam di dada Jo. "Please, stop talking about him."

"Just in case you need him."

"Why would I? I have you. Now hug me, Husband. I'm freezing."

For we know in part and we prophesy in part, but when perfection comes, the imperfect disappears.

Tris baru berubah pikiran setelah bulan demi bulan berlalu dan upaya pengobatan yang dilakukan tidak menunjukkan kemajuan. Bandara dan rumah sakit jadi tempat dimana dia lebih sering berada daripada di rumahnya sendiri. Lama-lama, Tris lelah. Akhirnya dia menyerah.

"Call him."

"Siapa?" Jo bertanya sambil menyisiri rambut Tris, berusaha menyembunyikan helai rambut rontok yang kian membanyak.

"Jeffrey Gouw."

"Ah, really? Okay I will."

"Bukan untuk aku, tapi untuk Acacia."

Tangan Jo berhenti. "Maksud kamu?"

"Don't you think both of them deserve the truth?"

"Apa kita harus bawa-bawa Acacia dalam persoalan ini?"

"Jo." Tris berkata lembut. Suaranya masih tidak berubah, meski kini penyakit itu telah merampas seluruh kekuatannya. "Kenyataan nggak akan bisa diubah. Mereka berhak tahu. Gimana reaksi mereka setelah itu, itu hak mereka. Aku akan menghargai kalau Sashi nggak bisa menerima Jeffrey, juga sebaliknya. Tapi aku mau mereka tahu."

"I'm afraid it will hurt Acacia."

"Acacia is a strong girl. She'll understand."

"..."

"Jo?"

"Okay." Jo mengalah, menunduk dan mencium dahi Tris. "Aku akan hubungi dia seperti yang kamu mau."

When I was a child, I talked like a child, I thought like a child, I reasoned like a child. When I became a man, I put childish ways behind me. Now we see but a poor reflection as in a mirror; then we shall see face to face. Now I know in part; then I shall know fully, even as I am fully known.

"Love, thankyou." Jo baru saja memasuki ruangan setelah Jef pergi dengan terburu-buru saat dia mendengar Tris bicara begitu.

"Kamu nggak perlu bilang terimakasih." Jo mengambil tepat di samping ranjang Tris, meraih tangannya. "So, how was it?"

"Dia kaget. Bisa dimaklumi. Tapi sepertinya, dia cukup bisa menerima. Aku nggak tahu. Semuanya terserah dia, apakah dia mau mengenal Acacia atau nggak. Itu juga berlaku buat Acacia. Promise me you'll tell her?"

"You tell it yourself."

"Mauku begitu." Tris tersenyum getir. "Sayangnya, aku nggak yakin aku punya cukup waktu untuk melakukannya."

"Patricia—"

Tris membungkam kata-kata Jo dengan membungkukkan badan, mencium pipi lelaki itu beberapa lama.

"That's not fair." Jo menggerutu.

Tris tersenyum. "1 Corinthians 13:13. And now these three remain; faith, hope and love. But the greatest of these is love."

"..."

"No matter what will happen, Love, please remember that I love you and Acacia so much. A lot, more than I love my life."

Ah ya, sepertinya Jo salah hitung.

Hari itu, dia menangis untuk yang keempat kalinya karena Tris.

Perempuan itu akhirnya pergi meninggalkannya. Bukan untuk cinta yang lain. Bukan pula jenis kepergian yang bisa dia kejar, apalagi cegah.

Sebab, Tuhan yang memintanya.

*


Ragu-ragu, Jo menatap flashdisk yang diberikan Jef. Dia berpikir sebentar, lalu akhirnya memilih untuk jadi berani. Lelaki itu membuka laptop, mencolokkan flashdisk pada port yang tersedia dan membuka file yang tersimpan di sana. Hanya ada satu file video tanpa thumbnail. Jo mengklik file itu dua kali, langsung disambut oleh wajah tersenyum Tris.

Dia tampak baik-baik saja. Rambutnya masih tergerai indah. Wajahnya masih bercahaya. Dan senyum itu... senyum yang membuat dada Jo sakit disengat rindu.

"Hello, Husband. Aku harap, saat ini kamu sedang baik-baik aja. Kalau kamu menonton ini, aku lega. Berarti kalian... bisa cukup rukun dan get along dengan baik. Semoga aja begitu. Karena mau nggak mau, harus diakui, kalian berdua punya peran penting masing-masing. Entah itu untuk Acacia... atau bahkan untuk aku." Tris tersenyum lebar ke kamera, bikin Jo otomatis ikut tersenyum. "I wanna say everything in person, but... I don't trust Jeffrey that much. He is a mischievous person. Aku nggak yakin dia bakal menyerahkan ini tanpa mengintip isinya sebelumnya, jadi—Jo, sweetheart, I put your message in the pocket of your jacket. Our favorite jacket."

Jo tahu jaket mana yang dimaksud oleh Tris. Itu jaket yang telah dimilikinya selama bertahun-tahun. Jaket pertama yang digunakannya untuk melindungi Tris dari terpaan air hujan. Jaket yang paling sering Tris kenakan, bahkan ketika perempuan itu telah memiliki jaketnya sendiri.

Jo beranjak dari duduk, berniat melangkah menuju kloset di mana baju-bajunya tersimpan saat suara pintu yang dikuak membuatnya menoleh.

"Acacia—"

Sashi tersenyum tipis. Senyum yang amat serupa dengan senyum milik seseorang yang kini memenuhi layar laptop yang terbuka. "She left message for Ayah. She left message for Papi. But nothing for me? Geez."

Jo tertawa. "Kamu udah pulang?"

"Iyap. Tenang aja, Ayah nggak ikut kok. Katanya masih ada yang harus didiskusiin sama Tante Jennie soal rencana J's Pantry."

"Kamu udah lama—"

"I'll get it for you. Okay?" Sashi melangkah masuk ke kamar, berjalan melewati Jo menuju kloset yang dimaksud. Dia membuka salah satu pintu, telah tahu jaket mana yang ingin diambil oleh Jo. Tangannya merogoh saku salah satu jaket dan mendapati ada amplop terlipat di sana. Bau parfum Tris masih melekat pada kertasnya, membuat Sashi ingin menangis. Betapa dia merindukan perempuan itu.

"Ini."

Jo menatap sebentar amplop yang Sashi ulurkan. "Can you... read it for me?"

"Boleh?"

Jo tersenyum, menarik lengan Sashi dan mengajaknya duduk bersebelahan di tepi ranjang. "Read it for me, baby girl."

Penuh hati-hati, Sashi membukanya. Surat itu ditulis tangan. Jelas tulisan Tris. Sashi menghela napas dalam-dalam, berupaya keras agar suaranya tetap stabil saat dia mengawali kalimat pertama.

Well, Dear Jo...

So... I have some good news and some bad news. The bad news is, I'm dead. Good news, if you're reading this, is that you're most definitely not.

Kematian selalu dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan untuk dihadapi, tapi hari ini, berpikir bagaimana aku bisa pergi kapan saja, aku tersadar kalau aku telah meninggali hidup sebagai Patricia Tirtasana dengan baik. I lived a life so full of love and joy. Nggak ada satupun yang kusesali.

Kalaupun aku harus pergi lebih dulu, tolong jangan beranggapan bahwa 'oh, sekarang dia sudah lebih bahagia' 'dia udah berada di surga' seakan-akan aku memilih meninggalkan kamu dan Acacia, ketika kenyataannya, aku akan melakukan apa pun untuk terus bersama kamu dan Acacia. Nggak ada tempat yang ingin kutinggali, kalau itu tanpa kalian, meski tempat itu surga sekalipun. Heaven is where my heart stays, and my heart stays with you and Acacia. Always.

Fisikku mungkin nggak bisa kalian lihat lagi, tapi dengan caraku sendiri, semua tentangku, energiku, rasa cintaku, kenangan-kenangan berharga itu, semuanya akan terus bersama dengan kalian sampai kapan pun.

Tolong jaga Acacia buat aku. Kalian berdua sering sama-sama malu menunjukkan perhatian pada satu sama lain, tapi aku yakin, kalian sebetulnya saling peduli dan saling menyayangi. It's okay to tell her a bedtime story. Acacia mungkin sudah remaja, sebentar lagi dewasa, namun selamanya, buat seorang Ayah, dia akan tetap anak kecil. Kasih tahu dia, bahwa aku menyayanginya lebih dari apa pun di dunia ini. Bahwa menjadi ibunya adalah kebanggaan sekaligus pencapaian terbesar yang pernah kudapat. Setiap momen yang kulewati bersamanya adalah kebahagiaan. Tanpanya, aku nggak bisa membayangkan bentuk hidupku akan seperti apa.

And please, don't say that I lost to cancer. It wasn't a battle, it was just life. Cancer may have taken almost everything from me, but one thing for sure; it never took you. I consider that as a super big victory.

Most importantly, I think I was so lucky to spend nearly two decades with you, Joshua Tirtasana. The light of my life, my bestest friend. You're the best husband in the universe. Thru all the hard time, you never wavered when so many people would want to run. Even on the worst days, you could imagine, we found a way to laugh together.

Jo, I love you more than I love the life itself. Katanya, waktu adalah sesuatu yang paling berharga di dunia ini dan memiliki orang seperti kamu untuk berbagi banyak kebahagiaan dalam hidupku adalah sesuatu yang akan kusyukuri selamanya. Pada titik ini, berpisah dengan kamu adalah sesuatu yang nggak pernah bisa aku bayangkan. It breaks my heart over again, because the last thing I ever want to do is to make you sad.

Aku berharap, setiap kamu memainkan lagu itu, setiap kamu mencium kening Acacia sebelum dia pergi tidur, ketika kamu merapikan dasimu di pagi hari sebelum kamu pergi ke kantor, waktu kamu menonton sakura jatuh dan kala kamu melihat pemandangan Sungai Seine, kamu akan mengingatku sambil tersenyum.

We had a breathtaking life, Jo.

You're my world and I loved every second we had together more than words.

Aku tahu mungkin sulit bagi kamu untuk mempercayai ini. Tapi saat kubilang aku mencintai kamu, aku tulus mengatakan itu.

Jika aku bisa mengulang hidupku lagi, aku akan mencintai kamu lebih dulu. Jadi rasa ini bisa utuh, terberi dengan adil, bukannya hanya separuh, seperti yang aku lakukan pada kalian berdua. Ini nggak adil buat kamu. Juga nggak adil buat Jeffrey. Karenanya, aku minta maaf.

Aku berharap, kamu menemukan caramu untuk bahagia setelah aku nggak bisa lagi ada di sisi kamu. Bahagia, Jo, bahkan meski itu bukan denganku. Meski itu berarti menemukan cinta yang baru. Kamu dan Jeffrey, kalian berdua sama-sama pantas mendapatkan yang lebih baik dari aku—yang mungkin lebih banyak meninggalkan kenangan yang sesak dikenang, daripada manis diingat ulang.

Bahagia, Jo. I'll haunt you if you don't.

Penuh cinta,
Patricia.

Jo menunduk, berbisik dalam hati; kalau bahagia berarti harus menemukan yang lain, then haunt me for the rest of my life, Patricia.

Sashi menekan bibirnya ke dalam satu garis lurus, membiarkan air mata berjatuhan di pipinya. Dia meletakkan surat yang Tris tinggalkan di atas kasur, lantas mengulurkan tangan, menghapus kedua air mata di pipi Jo dengan jari-jarinya. Jo mengangkat wajah, memandang anak perempuannya dengan mata yang basah. Senyumnya perlahan tertarik, bersamaan dengan tangannya yang ikut terangkat, balas menyeka air mata di wajah Sashi.

Sashi terisak dan detik berikutnya, yang dia tahu, dia telah merengkuh Jo ke dalam dekapan erat.

*

Tadinya, Sashi tuh berniat ngajakin Jef maskeran sekalian mengoreksi informasi soal di mana kiranya rekaman CCTV rumah—eh tapi Jo malah ikut-ikutan kepengen maskeran. Maka jadilah sekarang Sashi sibuk mengoleskan clay mask ke muka kedua bapaknya secara bergantian. Dia sengaja menyuruh dua-duanya berbaring bersebelahan di atas ranjang, sementara Sashi duduk diantara mereka. Tumbenan, semuanya pada menurut. Mereka berbaring rapi dengan mata tertutup dan tangan bersedekap di dada.

"Tangannya nggak usah gitu juga kali!" Sashi sewot. "Aku berasa maskerin mayat jadinya."

"Tadi katanya disuruh baringan yang rapi!" Jef membela diri.

Sashi memutar bola mata, lanjut mengoleskan masker ke wajah Jo dan Jef.

"Oiya, Acacia," Jo teringat sesuatu, berujar dengan mata masih terpejam. "Soal kuliah nanti gimana? Already have something in mind?"

"Depok aja udeh!" Jef menyambar. "Deket, biar bisa gue samper tiap hari."

"Depok macet. Bikin stress. Nanti Acacia tua di jalan!" Jo menentang.

"Beliin helikopter lah, nggak usah kaya orang susah!"

"Yah, kalau ngasih solusi tuh bisa yang waras aja nggak?" Sashi sengaja meperin masker ke dahi Jef dengan kasar. "Hm, kalau di luar negeri gimana?"

"WHAT?!" Jo bereaksi, refleks beranjak tapi terpaksa tiduran lagi karena Sashi mendorong dadanya.

"Papi, jangan bangun dulu! Nanti maskernya berceceran!!"

"Oiya. Sorry."

"Tau nih bandot kampung, lo nggak pernah maskeran ya?" Jef mengambil kesempatan untuk mencerca.

"Ayah, mulutnya ya!"

"Mulutnya emang di sini dari tadi!"

"Ayah kalau nggak diem, nanti mulutnya aku maskerin juga!" Sashi mengancam. "Aku udah diskusi sama Badrol sih. Kalau pun di luar negeri, kayaknya sama dia."

"WHAT?!" Kini ganti Jef yang beranjak, melotot pada Sashi.

"BUSET KAYA POCONG BANGET! Udah muka item, melotot lagi!" Sashi mendorong dada Jef hingga tubuhnya kembali rebah. "Dibilangin jangan bangun dulu!! Nanti maskernya berceceran ke seprei! Lagian itu masih rencana!"

"Yaudah ke luar negeri. Tapi paling jauh Singapore aja. Lumayan, deket dan nggak ribet kalau gue mau cabut."

"DEH ITU MAH PALING DEKET LAH BUKAN PALING JAUH."

Jef berdecak. "Pokoknya kuliahnya nggak boleh jauh-jauh! Ntar gue mati kangen gimana?"

"Ya mati kangen."

"Papi setuju. Jangan jauh-jauh."

"Hadeh, belom juga kuliah, udah ribet aja ni para bokap-bokap." Sashi menyentakkan kepala. "Terus soal prom—"

"Oiya soal prom!" Jef berseru cepat. "Kita udah sepakat."

"Siapa yang sepakat?!"

"Papi sama Ayah kamu." Jo berkata.

"Sepakat soal apa?!" Sashi mulai panik bercampur curiga.

"Saat beli baju, harus bareng gue dan Papi lo!"

"INI MAH ALAMAT AKU PAKE GAMIS!"

"Nggak apa-apa, bagus. Syariah."

"Yah, Pi, aku Kristen."

"Emangnya ada aturannya kalau gamis nggak boleh dipake orang Kristen?"

Jo manggut-manggut. "Bener."

"KOK KALIAN KOMPAK SIH?!!"

"Terus—"

"Terus apa lagi?!" Sashi memotong.

"Saat di sana—"

"Iya?"

"Harus sama kita." Jo menyambung ucapan Jef.

"Betul." Jef menimpali. "No prom's date."

"We will be your dates."

"HAH?!!!!!!!" 

Memang, punya dua ayah itu bukan sesuatu yang mudah. 






Daddy's Day Out – SELESAI





(tapi boong) 




(because the end of something is just an opening of another thing)

***

Catatan dari Renita: 

yak tanpa terasa akhirnya kita tiba di sini. 

sungguh sulit dipercaya yorobun tapi kayaknya dari semua cerita anak ensiti gue, ini adalah yang paling panjang (so far) wkwkkw

hm apa ya, awalnya menulis ini karena ada readers yang merasa cerita gue hanya emak-sentris alias nggak ada yang menyoroti bapak, jadi sekalian gue kasih dah nih dua bapak wkwkwk 

gue tau, kalian mungkin masih menyimpan tanda tanya, gimana dengan jef seterusnya gimana dengan jef sama jennie, gimana dengan jo, tedra kaya karena apa ini (ini masih menjadi mystery abad ini sih), ojun anak ibun raisa akhirnya gimana. 

tapi fokus DDO ini memang sejak awal hanya tentang gimana seorang anak menerima bapaknya yang mungkin nggak seperti bapak kebanyakan, juga gimana bapak yang nggak berniat jadi bapak tau-tau menjadi bapak (omg bapakception) dan belajar bagaimana menjadi bapak dengan semua ketidaksempurnaannya. 

tapi keluarga kan memang begitu. 

it doesnt suppose to be perfect, they love you in their own ways. sometimes you understand. sometimes you don't. tapi sebagai seorang anak, kita hanya bisa menerima cara orang tua menyayangi kita, meski kadang kita merasa itu bukan cara yang benar. we can't control the way people love. we only can appreciate that love. 

anzai jadi kaya dalem banget. 

jadi, sepanjang perjalanan DDO, siapa tokoh yang bakal kalian kangenin? 

apakah kalian mau badrol sukses total atau masihkah dia harus menjadi sobat ambyar? 

jef ama jo harus dikasih jodoh nggak sih? 

gimana dengan jennie dan leni? 

terus apa lagi ya??? 

apakah tedra harus bikin seminar tentang gimana caranya from zero to ndoro alias gimana mengumpulkan harta sampe tujuh turunan? 

wkwkwkwk 

but as i said, the adventure is not over yet. 

kelanjutan cctv juga belom kan. 

you can find it in Get on The Gouws ya. 

terus apalagi ya, makasih buat semua yang udah ngikutin, udah setia komen dari awal sampai akhir. makasih banget sudah selalu mendukung, ngasih semangat. kalian juga, bahagia terus ya. semangat selalu. hope from now on, things will get better. 

and happy 1 million seller for NCT127! 

and to jaehyun, even tho gue lebih sering salty sama lo (LO JAIM BANGET SIH HERMAN SAYA COBA JANGAN JAIM-JAIM DONG AKU SUKA LELAKI YANG LUCUNYA KACAU) but deep down inside, i love you, like i love the rest of nct and wayv. 

sehat terus chingu-ya (bikos we're the same age hehe) semoga bahagia selalu. jangan ganteng-ganteng, bahaya buat hati aku yang mau setia ke johnny. 

dah sekian. 

semoga sehat selalu dan sampe ketemu di GoTG maupun kisah per-ensitian lainnya!!! 

member yang kalian pengen banget dibikinin ceritanya siapa ni????? 




papa-papa undur diri 

Jaehyun's Heart, May 21st 2020

23.10

Continue Reading

You'll Also Like

2K 334 18
[COMPLETED] Did you really believe in first love? ------- Aska, Jika memang harus memilih, aku lebih baik melawan takdir. Takdir itu omong kosong. A...
53K 12.7K 20
Karena sejatinya, baik Adam maupun Salwa tidak sempat menduga jika pertemuan mereka akan berlanjut lebih dari sekali. written on: Feb 14, 2021 - Jun...
96.6K 16.1K 29
Bukan serial Netflix! Ini tentang hilangnya buku harian Irene yang menyebabkan seluruh murid SMA Chandrawaka punya rahasia publik bersama: "Irene Val...
18.1K 2.3K 10
Ini cuma sedikit peristiwa cukup penting dalam hidup Romeo Adnan dan Julia Anadhira. Bukan kisah cinta tragis tapi romantis milik Romeo dan Juliet.