Kembar tapi Beda ✔

By bintkariim

57.5K 2.4K 210

Tentang bagaimana seharusnya kamu melewati masa remajamu, tentang bagaimana bersikap pada orang tuamu. Temuka... More

Prolog
1
2
4
5
6
7
8
9
10
OPEN PO

3

1.4K 191 11
By bintkariim

Awal semester tiba. Khalifah bernafas lega begitu ia turun dari mobil sang ibu. Sesudah bangun subuh, ia dan adik-adiknya tidak diperbolehkan tidur kembali, tetapi harus segera bersiap-siap berangkat. Zila mengatakan jika ia akan mengantar anak-anaknya dan mereka tidak boleh terlambat di hari pertama sekolah.

Khalifah sudah meminta untuk naik bus atau taksi online saja, tapi sang ibu tidak boleh dibantah sama sekali atau ia diancam tidak dapat uang jajan.

"Ayo, kita masuk,"

Khalifah melirik ke belakang, rupanya ibunya masih berada di sana. Bukannya pulang, tapi meminggirkan mobil dan sekarang menuju ke gerbang sekolah, mendekatinya.

"Mama mau ngapain? Abang bukan anak TK yang harus diantar sampai ke kelas," protes Khalifah. Ia bergidik ngeri sembari memperhatikan beberapa siswa yang berlalu lalang di hadapannya.

"Kamu nggak diantar ke kelas, tapi ke kantor kepala sekolah," balas Zila cepat.

"Ma.. don't be over. I'm oke!!"

Sang ibu sama sekali tidak peduli dengan anaknya yang merasa keberatan. Ia terus berjalan memasuki halaman sekolah dengan menggandeng tangan sang anak. Khalifah menutup wajahnya dengan tangan karena merasa diperhatikan oleh satpam dan beberapa siswa lainnya.

"Mama malu-maluin tau, nggak?"

Zila diam saja, tidak menjawab.

"Ma, Abang nggak mau diperlakukan berbeda dengan siswa lain. Abang baik-baik aja ...."

"Kau diam saja lah!" ucap Zila kesal. Kalau sudah begini, Khalifah tidak berani berkomentar apapun.

_____

Setelah mengantar ketiga anaknya, kini Zila melakukan live streaming di dalam mobilnya. Ia masih belum meninggalkan rutinitas mengajarnya, hanya saja kini ia menggeluti bimbel online. Kalau dulunya Zila menjadikan rumah besarnya sebagai tempat les privat, kini tidak lagi semenjak ia menjadi pengusaha yang memproduksi pakaian muslimah.

Adapun anak-anak yang masih kecil, masih bisa belajar di bawah naungannya. Hanya saja mereka belajar di tempat khusus dan diajari oleh beberapa guru yang dipilih oleh Zila. Sementara Zila hanya mengontrol ke tempat sesekali.

"Oke, sekian bimbel hari ini, yang masih belum jelas bisa ditanyakan langsung via whatsapp saya. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," tutupnya sembari mematikan teleponnya.

Zila akan menyalakan mobilnya tepat disaat ponselnya berdering.

"Wah, apa jangan-jangan anak didikku pada gak paham sama materi hari ini ya?!" Zila bermonolog.

Lalu diraihnya ponsel di atas dashboard. Setelah membaca nama penelepon, Zila menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia mengangkatnya.

Setelah mengobrol, lebih tepatnya berdebat, akhirnya Zila menuju cafe untuk menjumpai orang yang baru saja meneleponnya. Cafe tersebut tergolong berkelas, pelayanannya begitu baik. Biasanya, cafe tersebut dikunjungi oleh pebisnis untuk melaksanakan meeting.

"Sayang!"

Zila langsung menutup wajahnya dengan handbag ketika seseorang memanggilnya sembari melambaikan tangan. Dalam hati ia menggerutu karena telah menjadi pusat perhatian pengunjung cafe yang rata-rata orang-orang berpenampilan glamour.

Jangan-jangan ini dosa karena tadi pagi aku membuat Khalifah malu! batinnya.

"Mas bisa nggak sih, jadi manusia normal?" kesal Zila begitu duduk dihadapan seorang pria dengan setelan jas berwarna navy dipadu kemeja putih didalamnya.

"Mas udah normal," balas Angga. "mau order apa? biar sekalian," tanya lelaki itu sembari menunjukkan daftar menu.

"Ada apa ngajak ketemuan?" tanyanya tanpa mengindahkan pertanyaan Angga.

"Kangen,"

Zila berdecak sebal.

"Kamu sok sibuk sekarang," lirih Angga kemudian.

"Kamu 'kan tahu aku sibuk ngurus pendaftaran sekolah anak-anak. Lagipula, aku sibuk atau nggak, apa kaitannya sama kamu coba?"

"Ada, aku calon suami kamu,"

Zila semakin kesal saja dan ingin beranjak pergi, tetapi Angga sama sekali tidak membiarkannya, sampai akhirnya mereka tetap berada di sana. Angga mulai menanyakan tentang kegiatan Zila dan mengobrol tentang anak kembar Zila  yang bersekolah di tempat berbeda itu.

_____

"Kenalin, gue Rio,"

Khalifah sedikit gugup ketika menjabat tangan seorang siswa disebelahnya. Lelaki itu merupakan teman sebangku-nya.

"Gu, gue.. Arif,"

"Lo gagap?" tanya Rio sembari tersenyum.

"Nggak, kok," balas Khalifah cepat. Ini pertama kalinya ia menyebut namanya dengan sebutan 'gue'.

Khalifah lebih suka dipanggil Arif, karena menurutnya itu lebih simple.

"Nice to meet you," ujar Rio setelah seperkian detik.

"Nice to meet you too, Rio,"

Rio dan Khalifah terus saja mengobrol. Mereka juga berkenalan dengan beberapa teman baru yang lain.

"Gue boleh minta Whatsapp lo, nggak?"

Sepertinya Rio sangat ingin mengenal lebih jauh tentang Khalifah. Sedari tadi ia asik mengorek-ngorek kehidupan Khalifah. Namun Khalifah tidak memberitahukan jika ia merupakan alumni pesantren. Tidak boleh ada yang tahu privasinya itu.

"Handphone gue ketinggalan, gue nggak ingat nomornya," bohong Khalifah. Padahal, ponsel saja ia belum punya karena baru keluar dari pesantren. Kalau dulunya, ketika pulang dari pesantren mereka akan dipinjamkan laptop atau tablet ibunya agar tidak bosan di rumah. Ibunya belum memberikan izin mereka memakai ponsel.

"Oke, kalau gitu biar gue yang kasih nomor Whatsapp ke lo. Ntar chat, ya?!"

"Oke," balas Khalifah pelan.

Sepulang sekolah, Rio menawarkan diri untuk mengantarnya ke rumah setelah tahu jika Khalifah diantar oleh sang ibu. Awalnya Khalifah sempat menolak, tapi teman barunya itu seperti tak ingin lepas darinya.

"Jadi ini rumah lo?" tanya Rio begitu mereka sampai di depan sebuah rumah besar bercat putih tulang. Banyak sekali bunga warna-warni di halamannya, menambah aksen agar rumah tersebut tidak terlihat polos.

"Bukan,"

Rio mengerutkan kening, tak mengerti.

"Rumah orang tua gue," ujar Khalifah dengan cengiran dan Rio membalasnya dengan meninju pelan lengan teman barunya itu.

"Rumahnya terlihat lebih feminin,"

"Mama gue suka nanam bunga," balas Khalifah. Lalu, tidak ada lagi yang membuka suara.

Melihat temannya belum juga beranjak pergi, Khalifah jadi gusar.

"Mama gue lagi kerja. Ntar kapan-kapan kalau ada Mama deh, lo mampir ya,"

"'Kan ada lo. Lagian gue nggak nyari Mama lo," ujar Rio.

Bukannya Khalifah tidak mengizinkan, tapi ia malas untuk menjawab rentetan pertanyaan dari sang ibu tentang temannya itu, nanti.

"Gue juga mau pergi soalnya. Lain kali aja nggak pa-pa 'kan?" tanya Khalifah pelan, tidak mau temannya tersinggung.

Akhirnya Rio pulang. Khalifah bernafas lega. Tetapi, cuma sebentar.

"Besok pagi gue jemput ya! jangan lupa chat gue!!" teriak Rio yang sudah sedikit menjauh darinya.

Aku kan belum beli hp!!

_____

Khalifah sedari tadi mondar-mandir di dalam kamar adiknya. Khadija yang melihatnya jadi pusing sendiri.

"Abang gak capek, apa?" kesalnya.

"Kalian harus bantu dong, kita harus kompak!"

Khalisa yang sedang menulis jadwal pelajaran di kertas warna-warni menoleh sebentar ke arah abangnya, lalu kembali menekuni kegiatannya.

"Giliran ada maunya, baru bilang harus kompak! kemaren-kemaren gak mau dianggap kembar," sindir Khadija yang membuat Khalifah ikut duduk di sebelah adiknya itu, di atas ranjang.

"Yakin gak mau?" Khalifah menatap lekat adiknya itu. Khadija jadi terdiam.

"Lisa jangan asik nulis dong, ayo nyumbang ide!!" bolpoin di tangan Khalisa terlempar dari tangannya karena kaget disebabkan ulah abangnya yang berteriak padanya.

"Ini jam berapa?" tanya Khalisa yang membuat kedua kakaknya kebingungan akan maksudnya. "Biasanya Ummi tidur jam sepuluh," sambungnya.

"That's mean ...." Khadija nampak berfikir, membuat Khalifah kesal.

"Kelamaan! kita punya waktu 15 menit lagi untuk bicara ke Mama. Ayo gerak!" seru Khalifah.

Khadija dan Khalifah sudah bangkit untuk berlarian keluar, tapi Khalisa masih sibuk dengan kertas-kertasnya.

"Lisa! ayo!" Kesal Khalifah sembari menarik lengan adiknya dan menyeretnya ke luar kamar.

Setibanya di depan pintu kamar sang ibu, langkah mereka mulai bergerak pelan.

"Lis, kamu 'kan anak kesayangan, kamu aja yang panggil Mama," Khalifah mengusulkan.

Khalisa menggeleng cepat dengan tatapan ngeri. Ia begitu takut pada ibunya.

Mereka saling dorong satu sama lain untuk berada di baris pertama.

"Jangan aku, Bang!" Teriak Khadija ketika abangnya mendorongnya ke depan.

Khalifah menepuk jidat atas kesalahan fatal yang dilakukan adiknya. "Ngapain teriak? kalau Mama marah, Dija tanggung jawab!"

"Lho, kok aku?" tanya Khadija sambil menunjuk dirinya sendiri.

Mereka saling berdebat, hingga akhirnya Khalisa mengetuk pintu kamar sang ibu karena lelah melihat kedua kakaknya.

"Belum tidur, kalian?" tanya Zila begitu pintu dibukanya.

"Ada apa?" tanya Zila lagi ketika belum ada satupun dari mereka yang berani angkat suara.

"Kalian udah membuang-buang waktu Mama! Mama tahu kalian saling dorong dan teriak-teriak barusan," tegas Zila kepada anak-anaknya yang mendadak membisu.

Mama benar-benar menjengkelkan! udah tahu anaknya pengen ketemu tapi malah jadi penonton lewat CCTV. Khalifah mendadak kesal dengan keusilan ibunya itu.

"Ma, ada yang pengen kami bicarakan ke Mama," akhirnya Khalifah memberanikan diri.

"Soal apa? penting?"

"Memangnya ada hal yang lebih penting dari kami?" balas Khadija yang mendadak puitis.

Mendengar ucapan anaknya, Zila menutup pintu kamar lalu berjalan menuju sofa.

"Mantap!" bisik Khalifah kepada adiknya sembari mengacungkan jempol.

"Well, ada apa dengan kalian?" tanya Zila setelah duduk bersila.

"Mmmm.. kami pengen dibeliin handphone, Ma,"

"Handphone? buat apa?" tanya Zila.

"Mama nggak tau, kegunaan hp buat apa?" tanya Khalifah jengkel. Zila segera memelototinya.

"Belum saatnya!"

"Ma, sekarang ini kita hidup di era milenial. Di negara lain aja era industrinya semakin maju, semuanya serba teknologi. Kalau ntar kami jadi gaptek gimana? Mama nggak kasihan? percuma aja kalau kami berilmu dan bisa bahasa asing, tapi gak bisa menggunakan teknologi. Otomatis kami gak bisa memegang dunia dong!"

"Kalian bisa pake laptop lamanya Mama. Masih bagus lho. Tablet juga ada," Zila kemudian merespon.

"Bukan gitu, Ma. Guru di sekolah juga minta nomor Whatsapp kami untuk diberitahu kalau ada info terbaru. Nanti kami juga bisa chat gurunya untuk nanya-nanya, kalau ada PR yang sulit dikerjakan. Lagipula kami kan bertiga, gimana mau pake Whatsapp coba?"

"Gampang, tinggal buat aplikasi ganda!" balas Zila enteng.

Mereka bertiga hanya bisa menahan napas. Ada saja jawaban penolakan dari ibunya.

"Mom, kadang gurunya ngasih PR banyak banget, kalau kami pake tablet satu bertiga, susah lho, Mom," Khadija mengeluh.

"Ummi, kalau pake tablet satu bertiga, yang ada nantinya tugas kami telat selesai karena harus antri. Otomatis kami harus bergadang!" Khalisa menambahkan.

"Dan ... kalau bergadang, nanti kami gak kebangun pas tahajjud, terus dapat hukuman dari Mama. Gak cuma itu, di sekolah kami bisa ngantuk kalau nggak cukup waktu tidur. Mama gak kasihan sama kami?" Khalifah memelas.

Zila menghela nafas panjang.

"Mama lagi gak ada uang, kemarin baru bayar gaji karyawan dan guru bimbel," katanya kemudian.

"Yah ... Mama ...." mereka merengek.

"Ya udah, nanti Mama beliin yang second aja," ujar Zila bercanda.

"Jangan dong, Mom!" Khadija menolak.

"Ma, nggak perlu dibeliin yang mahal-mahal, yang tiga jutaan aja ...." ujar Khalifah yang mendapat tatapan serius dari ibu dan kedua adiknya.

"Tiga juta itu nggak sedikit!" seru Zila kepada anak lelakinya itu.

Continue Reading

You'll Also Like

Kisah Cintaku By si biru

General Fiction

6.3K 326 14
[ baca aja dulu ] [ jangan lupa vote dan comment ]
5.4K 1K 38
Setyo si petakilan permanen kini telah memperistri Yerin Juleha dan mempunyai seorang anak bernama Tatan. Setyo yang memiliki sifat manja dan tak mau...
108K 5.9K 53
Aku hidup bersama Ayah dari aku masih bayi merah hingga saat ini Jika kalian bertanya, memang dimana Bundamu? Apa sudah meninggal? Maka dengan tegas...
3.1K 625 27
Alwi, Hanzo Uciha, dan Abikara adalah saudara kembar. Mereka bertiga berpisah selama 3 tahun, ada yang tinggal di Indonesia, Jepang dan Malaysia. Si...