[Belum Revisi]
*D - 20/05/02
‼️ VOTE & KOMENT setelah membaca‼️
‼️TYPO‼️
SECRET TO SECRET
Sepertinya ucapan Jeno berlebihan mengenai ketakutannya soal Lucas meminta nomer telfon Aleona. Dan sialnya, Mark termakan akan cerita Jeno yang terkesan menekan dirinya dengan acaman-acaman kecil, bisa di bilang sekedar dugaan. Dan Mark termakan oleh isi kepalanya dimana Jeno mengatakan Ibunya tiba-tiba meminta alamat Aleona melaluinya, kalimat Jeno tidak menekan mengenai Ibunya, tapi entah bagaimana isi kepalanya memproses menjadi sebuah ketakutan sendiri.
Mark heran mengapa Ibunya tidak meminta darinya saja.
Pertanyaan itulah yang menimbulnya pikiran buruk. Sampai-sampai ia menjadi tolol karena itu. Berlarian panik dan ketakutan.
Harusnya Mark mendengar berpikiran lainnya. Ibunya menghampiri Aleona karena Luhan memang menginginkan gadis itu jadi anak mantunya jadi wajar saja ingin saling mengenal satu sama lain. Bukan untuk melabrak Aleona.
"Bu, lain kali kalau Ibu ingin menemui Aleona katakan saja padaku, aku siap temani Ibu."
"Ish, anak Ibu posesif sekali." goda Luhan. "Ini urusan wanita tidak mungkin Ibu melibatkanmu"
"Atau bibi bisa mengajak ku" ucap Haelen menawarkan diri, menoleh ke belakang. "Aku banyak memiliki waktu luang"
Luhan tersenyum pada Haelen. "Iya, boleh"
Haelen membalas senyum Luhan, lalu ia kembali mengarahkan wajahnya lurus ke depan. Sebentar Haelen melirik Mark yang menyetir sebelum beralih mengusap-usap punggung Bongsik yang terlelap tidur.
Mark mengantarkan Haelen kerumahnya dan Bongsik tetap bersama Mark, gadis itu meletakan kucing kesayang Jeno di tempat Haelen duduki.
"Kau harus tegas Mark. Ibu tidak permasalahkan siapa yang menjadi pilihanmu. Tapi untuk saat ini biarkan Ibu mengenal Aleona lebih jauh. Kalau memang kau tidak menyukai dan kau punya pilihan sendiri, Ibu merestui pilihanmu."
Mark mendengarkan Luhan bicara.
"Ibu tidak tahu hubungan kalian seperti apa? Antara kau, Aleona dan Haelen. Tapi bisa kan kau memposisikan diri mana yang perlu kau jaga perasaan seorang wanita"
"Ibu heran denganmu. Sebenarnya apa arti Aleona bagimu? Dan Haelen?"
"Mark, kalian sudah bukan anak remaja lagi. Waktu bisa merubah segalanya. Begitupun perasaan seseorang yang tak mungkin bergeser dari tempatnya. Ibu pikir kau dan Haelen menjalin hubungan tapi saat ia pergi kau bersikap biasa, tak sekalipun Ibu melihat seperti orang yang kehilangan orang terdekatnya meskipun kalian sejak kecil bersama."
"Kau seperti bukan ayahmu... " Final Luhan terlarut kedalam perasaan emosional sehingga pada kalutnya berbicara, ia tercengah. Luhan mengeratkan bibirnya ke dalam. Memejam kerena sesak napas. Perasaannya berubah sensitif atas ucapan terakhir.
Mark menarik napas panjang lalu membuangnya pelan. Dia berusaha tenang menghadapi sikap Ibunya yang mulai terlalu mencapuri urusan pribadinya.
Mark bukan tidak suka sepenuhnya, hanya saja ia menjadi tidak nyaman. Begitu juga terhadap Jeno.
Luhan masih diam, ada rasa cemas menyerangnya. Lalu Luhan mencoba menasehati Mark lagi, agar anak laki-lakinya berfokus dan tidak terkontaminasi hal lain.
"Kau tidak buta kan. Lucas jelas-jelas menyukai Aleona. Itu artinya kau tidak berhak lagi saat Lucas dan Aleona menjalin hubungan"
Kepala Mark berat, terlalu banyak yang ia pikirkan membuatnya jadi lebih pusing sekarang.
Mark sebisa mungkin membuat dinding agar Luhan sulit menemukan kisah kotor suaminya.
Dan Mark mendirikan dinding lain bagi Aleona untuk kepentingan pribadinya.
Namun, sementara itu jastru waktu sengaja mempertemukan mereka berdua melalui dirinya.
Dan sekarang?
Luhan menginginkan pelacur itu menjadi istinya. Mark tidak mencintai Aleona. Dia hanya berminat menjadikan Aleona pelacur dan ingin segera mengeluarkan parasit itu dari tangan Kris, dari pernikahan kedua orang tuanya.
"Iya Bu." hanya itu yang keluar dari mulut Mark menanggapi Luhan.
***
[Jepang]
Syuting selesai jam 5. Dan sudah lebih dari tiga puluh menit Jeno berdiri di depan kamar hotel Renjune.
Jeno mendesah, menundukan kepala. Beberapa kali sudah jarinya menekan tombol bell, tulang jarinya menetuk-ngetuk pintu serta mulutnya yang memanggil Renjune berulang kali.
Tidak lupa juga. Sudah puluhan kali Jeno menghubungi ponsel Renjune.
Gadis itu marah besar dan Jeno kekeuh merobohkan amarah Renjune. Jeno mendongakan wajah, tangan kirinya mengusap tulang jari kanannya yang terasa kaku dan nyeri.
Sekali lagi Jeno mencoba menekan tombol.
Treeett.... treeeeettt.... treeeett...
"Ren ... Renjune!"
Treeett... treeeettt... treeeet...
Masih sama dan Jeno masih belum ingin menyerah, meski tidak ada tanda-tanda Renjune akan membukakan pintu.
Tit. Glegk.
"Renjune... " Jeno mendorong pintu itu melebar tapi yang ia lihat lorong itu kosong tanpa ada kesan jejak Renjune telah membukakan pintu.
"Renjune ... " flat kecil itu senyap. Jeno melesat melangkah ke kamar dan tak menemukan gadis itu disana. "Renjune ... "
Jeno mulai berpikir tidak-tidak, ia pergi ke bathroom, takut kalau Renjune bertindak konyol. Dan lagi-lagi sosok yang di cari tidak ada di sana.
"Renjune! Renjune!" Jeno keluar panik. Ia sudah menelusuri kamar itu. Tetapi renjune tak dapat di temui, lalu siapa yang membukakan pintu?
Seruan dari 30 menit lalu bukan tidak terdengar di telinga Renjune. Gadis itu mendengarnya jelas. Tapi yang ia lakukan sejak tadi terdiam di balkon kamarnya yang sengaja ia madamkan. Teriakan keras Jeno di kamar itu pun masih tak di indahkan, Renjune hanya memaling sebentar dengan seringan kesal untuk laki-laki itu. Renjune sangat jengkel pada kepedulian Jeno yang tak memiliki arti khusus padanya.
Jeno tergesah saat ingin meninggalkan kamar Renjune, tapi saat langkahnya di ambang pintu, ujung matanya melihat sileut satu sosok di kegelapan tepat hordeng hotel tertiup angin.
Jeno berbalik, berjalan ke balkon, langkahnya melambat ketika mata itu mendapati Renjune berdiri disana.
"Ren?"
"Kenapa?"
"Ren... " panggil Jeno lagi, lirih.
"Menyesal? Haha ... untuk apa?"
Angin senja menyerbak. Udara menabrak wajah Jeno dan itu lumayan digin dirasakan.
"Ren... " Jeno mendekati Renjune, menarik lengan gadis itu namun segara di tepis oleh Renjune.
"Maafkan aku." ujar Jeno lembut. Ia menunduk kan wajah memasang wajah menyesal. Jeno terpaku sesaat ketika kibasan angin membiaskan cahaya dari dalam kamar, Jeno beralih menyalakan lampu balkon. Saat ia memastikan apa yang dia lihat, netranya melebar. Dari mana Renjune mendapatkan galeng sebanyak itu.
Lantas Jeno menarik paksa Renjune dari balkon, "kau mabuk ... " lidah Jeno mengasah deretan gigi dalam, dia geram "Astaga Renjune ..."
Renjune menarik tangannya, menepis tangan Jeno. "Keluar!" hardik Renjune. Matanya sayu memerah begitu juga wajahnya.
Jeno tak lekas menuruti Renjune, ia menutup pintu balkon dan menguncinya. Renjune mabuk berat, Jeno takut Renjune melompat.
Pelan-pelan Renjune mulai kehilangan keseimbangan tubuhnya karena tak ada benda yang bisa dia pegang seperti di balkon tadi. Kakinya tak bisa kokoh lagi menompang tubuh lainnya. Badan Renjune ambruk setengah di ujung ranjang.
"Renjune." Jeno panik. Laki-laki itu cekatan mengangkat tubuh mungil Renjune ke ranjang.
Renjune bergumam tak jelas, namun Jeno masih bisa menangkap kalimat yang di lontarkan.
Ucapan itu tak lain umpatan-umpatan kekecewaanya pada Jeno. Renjune tergeletak dalam kedaan urakan, rambutnya berantakan. Bibirnya basah mengilat. Benar-benar pemadangan yang membuat otak Jeno seketika bereaksi kacau.
Ini alasan terkadang Jeno malas berada di kamar seorang gadis. Sebagai pria dewasa Jeno tidak munafik hasratnya sulit di kondisikan, apalagi pemadangan semacam ini.
Tidak, tidak, Jeno biasanya bisa mengabaikan kejadian kecaman ini, tapi masalahnya di hadapannya gadis cantik yang ia kenal betul bagaimana sensitifnya Renjune jika merasa di telenjangi oleh pria manapun hanya dengan lewat tatapan saja.
Jeno mungkin dapat mengabaikan wanita lain, iya mungkin saja Renjune salah satu mengecualian itu. Jeno juga tidak munafik tentang ketetarikannya pada Aleona atau Haelen. Tapi Jeno bukan pria mata keranjang. Dan tidak sebejat Lucas atau sepupunya, Mark.
Ya, mungkin...
Darah Jeno berdesir hangat. Bagaimana tidak.
Gadis itu mengenakan gaun tidur di atas lutut, kaki pendeknya terekspos, bahunya hanya di helai dua pengait gaun, pakian itu cukup sexy.
Jeno tidak habis pikir, apa Renjune tidak kedinginan di balkon tadi sepajang jam. Jeno tidak tahu berapa lama dia berdiri disana. Tapi mungkin alkohol yang di minumnya menghangatkan tubuhnya sehingga Renjune tak merasakan terpaan dingin menyekap tubuh kecil itu.
Mata Jeno tidak terkontrol mendapati bahu ramping dan dada gadis itu nyaris terbuka sepenuhnya, Jeno bisa lihat bagaimana belahan itu sedikit mencuat keluar, meski dada Renjune tidak sebesar Aloena miliki.
"Bejingan kau Jeno. Sadarlah!" gerutunya membatin.
Jeno mengeleng kepala segera menyadarkan kefokusannya. Ia segara menarik selimut tapi sebelum selimut itu menutup sampai pada bahu Renjune.
Gadis itu tiba-tiba menarik kerah Jeno, membuat jarak di antara dua wajah itu menyisah sejengkal. Jeno bahkan mencium bau menguar kuat dari pernapasan Renjune.
Jeno menarik jemari Renjune yang mencekram kerah bajunya, namun. 'chu'
Jeno berusaha menghindar menggunakan tumpuhan lengannya, tapi sayangnya tangan Renjune beralih merayap, melingkar di tengkuk leher Jeno. Menariknya semakin kuat.
Renjune mulai berani menggerakan bibirnya, lindahnya melusak masuk ke mulut Jeno. Mengesap bibir bawah laki-laki itu.
Renjune sebelumnya tak pernah seberani ini. Ketidaksadarnya telah di ambil alih oleh minuman alkohol. Jeno sadar itu, tetapi perbuatan Renjune membuatnya tak kuasa menolak. Akal sehatnya di renggut cumbuan Renjune.
Jeno laki-laki dewasa yang mudah terangsang bila di suguhkan sentuhan intim seperti ini. Pada akhirnya, Jeno membalas permainan Renjune.
Lidahnya melilit daging lunak milik Renjun. Mengesap lembut, mengulum bibir ranyum Renjune sedikit posesif.
"Sial!" Jeno mengumpat dalam hati. Ia benar-benar terbawa suasana. Jeno mengukung Renjune yang di bawahnya, kakinya menyilang di antara kaki Renjuen, tangannya merayap di kulit baha Renjune. Pergerakan lumatan Renjune menggetarkan Jeno, gadis itu tak sengaja menyentuh benda miliknya.
Renjune bergairah, tubuhnya memanas. Ia melepas lumatanya, mata sayunya menatap wajah Jeno lemah.
Napas Jeno memburu, menatap Renjune dengan pandangan ingin.
Dan ... keduanya secara bersamaan menyatuhkan bibir mereka kembali. Melumat, berbagi saliva, mencari kenikmatan dalam sentuhan itu.
Renjune memejam, matanya di rasa berat. Sentuhan Jeno masih dapat ia imbangi.
Tangan Jeno tidak diam, jemari di paha Renjune merayap, merekatkan milik Renjune padanya yang sudah menengang di balik celana. Sementara satu tangannya yang sebagai penyanggah di limpahkan pada lutut Jeno. Tangan itu merayap, melusak masuk nightdress minim Renjune. Menerobos kain menyanggah nipple Renjune. Jeno meremasnya pelan saat itu juga Renjune mendesah tertahan. "Ngh"
Jeno melepas pautan bibir Renjune. Beralih menyerang leher, melumatnya di beberapa tempat. Tangannya masih berkerja dan ulah sentuhan yang beriring Renjune mendesah.
"Shit!"
Bukan hanya sudah bergairah, milik Jeno bahkan sudah basah dan merasa sesak disana.
Dreett drreett drreett dreeeettt
Jeno terlonjak kaget. Suara getaran ponsel milik Renjune di atas nakas seketika menarik kesadarannya. Ia segera menyingkir dari Renjune dan Renjune seakan kehilangan sentuhannya. Jeno duduk di samping ranjang dengan napas memburu.
Layar ponsel Renjune menujukan sebuah panggilan.
Haelen is calling...
Jeno merutuk diri. Ia segera membereskan hasil keacuannya terhadap Renjune, menarik selimut menutupi tubuh gadis itu sebatas bahu. Kemudian berlalu keluar dari kamar Renjune sebelum ia kembali kehilangan kendali. Pergi meninggalkan kamar hotel Renjune menuju kamar miliknya.
"Shit!"