Alysha

By Nandaars

706 67 6

Namanya Alysha. Dan luka, mengubah segalanya. Copyright © 2019 || Nanda Rs More

Buku apa sih ini?
Alysha 1.1
Alysha 1.2
Alysha 1.3
Alysha 2
Alysha 3.1
Alysha 3.2
Alysha 4
Alysha 5.2
Alysha 6.1
Alysha 6.2

Alysha 5.1

28 3 0
By Nandaars

Malam-malam kini berlalu tanpa ketenangan
Malam-malam kini berlalu penuh kecemasan
Kau datang tapi anehnya aku tidak pernah merasa senang

Maaf, Mama

Aku tidak salah tapi kurasa aku harus mengatakannya
Dan kumohon jangan pernah datang lagi ke mimpi Alysha
-A-

Aku menatap kosong kolam ikan yang satu persatu penghuninya mulai meninggal. Sejak kepergian Ayah, rumah perlahan kehilangan kehangatannya. Tawa tiap pagi perlahan berkurang frekuensinya. Mama pergi tiap subuh dan pulang saat petang. Ikan kesayangan ayah kehilangan selera makan, atmosfer rumah berubah total, dan halaman belakang rumah, yang masih menyisakan jejak kehidupan ayah, tetiba menjadi tempatku menghabiskan waktu.

Sudah dua tahun aku menjalani homeschooling. Sejak Ayah pergi, aku dilarang sekolah di luar. Aku sendiri tidak tahu kenapa, padahal sebelumnya semua baik-baik saja. Aku tidak diberi alasan.

"Kalau Mama bilang enggak ya berarti enggak, Ica," kata Mama di suatu malam saat aku kembali bertanya alasan mengapa aku dilarang sekolah di luar. Mama beranjak dari kursinya, meletakkan piring kotor untuk kucuci, lalu masuk ke kamar dalam diam.

Iya, sejak kepergian Ayah, sifat mama perlahan berubah mengeras. Tidak ada lagi diskusi setelah makan malam, tidak ada lagi duduk-duduk di beranda saat senja, dan aku tidak lagi punya tempat bercerita.

"Neng Ica, mbak pulang dulu ya." Sebuah suara membuatku tersadar dari lamunan. Itu Mbak Asih, dia datang setiap hari untuk membereskan rumah dan pulang saat semua dirasa telah pada tempatnya.

Aku berdiri dari kursi dan mengantarkan Mbak Asih sampai ke gerbang depan. "Makasih ya Mbak, hati-hati di jalan."

Mbak Asih melambaikan tangan sebelum mengayuh sepeda dan aku yang menutup gerbang rumah, kembali masuk dalam duniaku, melupakan semua warna di luar gerbang. Aku tidak berani keluar sebab mama melarang.

Minggu depan usiaku tepat 17 tahun. Aku tidak berani berharap lebih. Pesta, kado, bahkan ucapan selamat pun tidak berani aku bayangkan, sebab Mama pasti lupa, kurasa.

Dentang jam tua di ruang keluarga mengisi sunyi dalam rumah. Pukul enam sore, seharusnya Mama sudah pulang.

Aku menghangatkan makan malam yang telah dimasak Mbak Asih sebelumnya. Tidak lama setelahnya suara gerbang dibuka perlahan, itu pasti Mama.

Aku berlari kecil menyambutnya, membawakan tas kerja dan menanyakan hal-hal klise pada umumnya. "Mama capek? Makan malam udah aku angetin, setelah Mama mandi, aku tunggu di meja makan ya."

Mama tersenyum kecil, mengusap rambutku, dan berjalan ke kamarnya sementara aku kembali ke dapur.

Tidak banyak percakapan yang terjadi selama kita makan. Tidak juga setelahnya. Mama hanya memastikan bahwa aku bisa menangkap semua pelajaran lalu kembali masuk ke kamar yang sekaligus ruang kerjanya.

Mama bekerja di sebuah kantor notaris, jika kalian bertanya. Meskipun sering bekerja hingga larut malam, tapi bayarannya sepadan untuk hidup kami berdua, mengupah Mbak Asih, dan membayar biaya homeschoolingku. Jadi, meskipun beberapa kali sudah kuminta Mama untuk mencari pekerjaan lain, ia menolak.

***

Hari ini aku tepat berusia 17 tahun. Seperti yang sudah kuduga, Mama tidak ingat, apalagi Mbak Asih. Sejak kepergian Ayah, hari ulang tahun bukan lagi menjadi hari yang spesial. Ia sama seperti hari sebelum dan setelahnya, tidak perlu dirayakan.

Meskipun demikian, tetap ada sedikit rasa sedih yang menelusup tanpa kuketahui. Bukankah biasanya usia ke-17 adalah usia yang sangat dinantikan? Pesta sweet seventeen, mengundang teman sekolah, merayakan dengan keluarga, dan tentu saja mendapat banyak hadiah. Tapi rupanya aku harus menelan semua itu bulat-bulat. Tidak ada yang bisa diharapkan.

Seperti biasa, subuh Mbak Asih ke rumah untuk menyiapkan sarapan untukku dan bekal untuk Mama. Kemudian Mama berangkat kerja, Mbak Asih membereskan rumah, dan aku ke halaman belakang untuk memberi makan ikan. Pukul 8 aku memulai pelajaran sendirian dan berakhir saat jam makan siang. Mbak Asih datang dan makan siang bersamaku. Sedikit banyak aku bisa bercerita dengan Mbak Asih, tapi entah kenapa sepertinya Mbak Asih membangun sebuah tembok antara kita. Ia seperti selalu merasa segan, padahal aku hanya ingin berteman.

Aku kembali duduk di beranda belakang, melamun hingga senja datang, Mama pulang, dan kita makan seperti biasa.

"Ma, hari ini aku ulang tahun." Mama menghentikan mengunyah makanan sepersekian detik sebelum menelannya lalu menatapku dengan senyuman.

Mama menyentuh tanganku dengan lembut. "Selamat ulang tahun ya, Sayang. Maaf, Mama-"

"It's okay, Ma. Ica tahu Mama pasti sibuk."

Setelahnya kita makan dengan canggung. Kali ini aku menyudahi makanku lebih dulu, masuk ke dalam kamar, dan segera tidur. Aku hanya ingin hari ini segera berakhir.

***

Suara gaduh dan langkah kaki membuatku terbangun dari tidur. Baru pukul sebelas malam. Aku keluar dari kamar dan mendapati lampu dapur menyala.

"Ma, Mama?"

Di dapur kudapati sebuah kue kecil dengan satu lilin. Sementara Mama terlihat sedang memunguti sesuatu di bawah dan sedikit terlonjak saat melihat diriku.

"Eh, maaf Mama ngebangunin kamu ya."

Aku menggeleng dan menatap bergantian antara kue dan Mama. "Oh, ini, selamat ulang tahun, Sayang." Mama menyodorkan kue yang lilinnya belum dinyalakan kepadaku.

"Maaf ini lilinnya belum dinyalain, Mama nyari korek nggak ketemu-ketemu."

"Kan bisa pake kompor, Ma."

Kami terdiam selama beberapa detik sebelum sama-sama menertawai hal tersebut. Suasana antara kami kembali mencair. Setelah menyalakan lilin dan aku memanjatkan beberapa pengharapan, kami menikmati kue yang ternyata baru dibeli Mama selepas makan malam tadi.

"Kamu balik tidur aja, biar Mama yang beresin." Aku mengangguk dan kembali masuk ke kamar. Baru akan memejamkan mata, suara gaduh kembali terdengar, derap beberapa langkah kaki samar kurasakan.

Aku terduduk, merasakan bahwa sesuatu sedang terjadi. Hampir pukul 12 malam, dan aku menunggu dalam keheningan, memastikan hal tersebut hanya perasaanku saja.

Tepat saat tengah malam, bersamaan dengan dentang jam, aku mendengar jerit suara Mama.

Bergegas aku keluar dan menuju kamar Mama. Namun langkahku tertahan di depan pintu pada sensasi basah di kakiku. Setelah mataku menyesuaikan pada gelap, aku baru sadar bahwa ini darah.

Aku berlari mengikuti jejak tetesan darah dan jejak kaki yang mengarah ke halaman belakang dengan tubuh gemetar. Banyak bayangan yang berkelebat yang kuharap semua tidak terjadi.

Dan di sanalah Mama berada, duduk di kursi yang biasa kutempati untuk menghabiskan sore dengan baju yang berlumuran darah; tak bernyawa.

Sebuah siulan panjang terdengar dari samping rumah. Dua orang bertopeng ski melambai senang sebelum kemudian berlari ke depan dengan tawa yang menggema setelahnya.

Menit-menit setelahnya kulalui dengan jerit dan tangis. Tubuh Mama yang mulai dingin kudekap erat.

Sadar bahwa masih ada yang harus kulakukan, dengan langkah gemetar aku mencoba berjalan ke ruang keluarga, meraih telepon rumah, dan menghubungi pihak berwajib.

Selang beberapa waktu kemudian rumah ramai oleh suara orang-orang yang berseragam. Aku ditemukan meringkuk di dekat telepon dengan tubuh menggigil.

Hari ulang tahunku yang ke-17 ternyata hari terburuk selama aku hidup.

***

Tbc...

Kenapa Mama Alysha dibunuh? Siapa sebenarnya yang melakukannya? Benarkah orang lain? Atau malah orang terdekatnya?

See ya di part selanjutnya~

Continue Reading

You'll Also Like

1M 113K 50
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...
807K 24.9K 72
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
43.8K 5.2K 42
Chava, terbiasa sendiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan, membentuknya menjadi cewek yang tangguh. Nathan, terbiasa hidup di tengah-tengah kehang...
582K 54.8K 44
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...