Merengkuh Liku

By Nijinoyoru

7.8K 1.7K 2.7K

(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri... More

Prolog
Aku
Dia
Alasan
Aku dan Masa Lalu
Alien
Keanehannya
Di Balik Topengnya
Demi Siapa?
Tentangnya
Pembelaan
Tentangnya (2)
Kembali Sadar
Pilihan
Dua Sisi
Pura-Pura
Pembicaraan Malam
Prinsip Karateka
Sudah Semestinya
Perkara Cinta
Analisis
Pendirian dan Prinsip
Yang Dirindukan
Pahit
Pulang
Rasanya Sakit
Bolehkah?
Epilog

Siang dan Malam

210 44 30
By Nijinoyoru

Maria Sara Hanifa

Kubuka pagar, membuat benda itu berderit, kemudian melanjutkan langkah, tapi kemudian netraku terpaku pada mobil Ayah. Apa ia belum pulang? Padahal sudah malam. Apa ia tidak menemani istri barunya? Ah, untuk apa kupikirkan?

"Dari mana aja?" Aku terperanjat ketika mendengar suara Ayah yang terkesan mengintimidasi, lengkap dengan tatapan tajam, alis bertaut, juga tangan yang bersedekap. Ditambah lagi ada Ibu yang juga berdiri di sebelahnya, serta Fairuz di samping ibu, ekspresinya sama. Sama-sama membuatku merasa dikuliti hidup-hidup.

Aku mengedikkan bahu. Untuk apa peduli?

"Ayah enggak pernah ngajarin Sara buat mengabaikan orangtua," kecamnya. Aku tersenyum kecut, mengabaikan.

"Sara!" panggil Ibu tegas, matanya mengisyaratkanku agar menempati posisi di sebelah ayah. Untuk perintah ibu, aku tidak akan mungkin menolak.

"Dari mana aja?" tanya ayah sekali lagi.

"Rumahnya Dev," jawabku tak acuh.

"Apa? Anak gadis pulang malam dari rumah teman cowoknya?" Aku yakin dan dapat merasakan ada emosi bermain dalam ucapan Ayah. Ah, tapi apa gunanya peduli?

"Apa itu masalah buat Ayah?"

"Ya jelas itu masalah buat Ayah! Kamu anak gadis Ayah! Apa yang kamu lakukan ini udah di luar batas!"

Tercengang. Entah harus merasa haru karena sosok itu masih bisa mengkhawatirkanku, entah harus marah karena menuduh begitu saja. Aku memalingkan wajah dari muka merah Ayah. Diri ini sudah cukup mengerti sistem didikannya, tegas dan cenderung keras dalam urusan lawan jenis dan jam malam, tapi apa ia tidak bisa bertanya baik-baik tentang apa yang baru saja kulakukan di rumah Dev? Mengapa harus semarah itu? Apa penyakit mulai sering membuat emosinya tak terkendali? Apa istrinya tidak bisa memenuhi kebutuhannya lalu ia malah melampiaskan padaku? Cuih. Sungguh hina sekali dirinya, menuduhku pula. Membuat hatiku semakin semangat membenci.

"Nak, dengarkan Ayah. Enggak ada satu pun Ayah yang bisa duduk tenang ketika anak gadisnya-"

Belum selesai berbicara, nada dering ponsel ayah yang melagukan simfoni favorit ibu berbunyi. Siapakah? Apa Tante Alya?

Padahal aku sedang menikmati membentak dan dimarahi ayah. Sungguh, aku rindu dalam usaha benciku ini. Ah, memang selalu ada saja perusak dalam tiap hubungan.

"Maaf, Sara. Nanti kita lanjut lagi ngobrolnya, ya. Tante Alya drop lagi. Ayah harus ngantar ke rumah sakit," pamit ayah. Tak merasa perlu menunggu jawaban, lelaki paruh baya itu langsung saja pergi.

Aku tertawa sumbang, memutuskan tak memedulikan ibu dan Fairuz yang tampak mengantarkan ayah hingga gerbang depan. Buat apa ikut menemani? Toh ujungnya juga aku yang akan ditinggal.

Bukankah kisah ini begitu tragis? Ah, sudahlah. Memang yang seharusnya dibenci tetap dibenci. Begitu lucu ya, hidup ini mempermainkan? Belum selesai satu cerita, sudah ada kisah lain yang harus dilakoni. Bukankah hidup ini selalu egois? Selalu harus ada pengorbanan untuk setiap pilihan.

Selesai menghapus air mata, kulanjutkan derap menuju kamar. Iya, tempat paling nyaman untuk menyesali diri yang tak kunjung mampu membenci. Tempat memandang taburan titik terang di rentang langit luas, mereka ulang segala kenangan untuk kemudian dirutuki dalam sepi.

🌠

Pagi datang lagi, seperti hari-hari biasanya. Seperti tiap malam yang selalu bergulir menyilakan siang untuk berganti, begitu pula wajahku. Untuk pagi ini, aku siap kembali memakai topeng, terlihat kuat dan baik-baik saja. Tak ada bekas air mata, tak ada jejak wajah sembab. Tak ada, sampai malam nanti tiba.

Sekolah, tak banyak hal menarik yang terjadi. Belajar, ulangan dadakan, mendapat nilai baik, lalu menjadi bahan bandingan Aya antara diriku dan juga Dev.

Dev? Laki-laki itu masih bersikap seperti biasa, di wajahnya masih terpampang bekas membiru. Sesekali aku bahkan dapat melihatnya meringis memegangi rahang. Jangan berpikir aku peduli, aku hanya sedikit merasa bersalah telah membuat pipi halusnya lebam. Yah, walaupun salahnya juga karena tidak dapat menahan emosi. Aku sudah memperingatinya untuk tidak adu jotos, bukan?

"Eh, Ra, Dev kenapa sih, kayak somplak gitu wajahnya?" Aya bertanya dengan kening berkedut dalam perjalanan menuju parkiran tempat motorku berdiam.

"Kemarin abis berantem sama Toni," jawabku singkat.

"Ha? Dia bisa berantem?"

"Bisa."

"Demi apa kutu buku berkacamata itu bisa berantem? Deu, bentar lagi gue gebet, juga tuh anak. Udah pinter, ya pinter aja, sih. Jangan jago bela diri juga. Masa semua kelebihan diembat sama dia," oceh Aya yang sudah sepanjang jalan kenangan.

"Naik, Ya! Gue buru-buru. Ada sparring hari ini," titahku pada Aya ketika motorku siap dijalankan.

"Apaan lagi tuh? Ya sudah, gue tungguin," putus Aya lalu mendaratkan bokongnya di boncenganku.

Sebelumnya aku sudah mengatakan pada Aya tentang waktu latihanku yang hari ini diadakan lebih awal. Aya manggut-manggut dan tetap ingin diantarkan olehku, alhasil ia memutuskan untuk menungguiku hingga selesai latihan.

Dua jam sudah berjalan. Latihan selesai. Langsung kuhampiri Aya yang sedang bersantai meminum teh kemasan di bawah tenda pecel lele. Bahkan di depannya sudah ada satu piring yang tandas isinya, meninggalkan tulang belulang ikan yang dipuja banyak orang itu.

"Ayo, gue udah selesai." Aya menggeleng membuat dahiku berkedut.

"Sini, Ra, duduk," suruhnya. Dengan wajah yang masih kebingungan aku menuruti perintah Aya.

"Udah jam lima, loh, Ya," ujarku sembari melirik arloji putih yang melingkar di pergelangan tangan.

Aya tak menjawab, tangannya malah teracung ke atas. Belum lama otakku mencerna, seorang ibu tambun dengan daster batik yang kuduga sebagai pemilik kedai ini memberi sepiring pecel lele dan segelas teh hangat.

"Siang tadi lo belum makan."

Aku terkekeh pelan. Sebenarnya entah sudah sejak kapan aku begitu sering lupa makan siang. Toh perutku juga tidak memberontak karena merasa cukup disogok siomay super pedas saat jam istirahat. Hari ini aku bersama Aya, mana mungkin bisa menghindar dari makan siang. Kurasa makan malam nanti meja makan akan kekurangan diriku karena perut ini sudah terlanjur penuh.

"Udah sore banget, Ya. Entar lo nyampe rumah bakalan telat," protesku.

"Rumah gue nggak kayak sekolah yang kalau udah waktunya bel masuk, gerbangnya enggak dibuka sampai istirahat," cerocos Aya. Aku mendengkus. Ah, sudahlah. Lebih baik lanjut makan saja.

Selesai sudah. Sekarang pukul 17.30 WIB, sebentar lagi azan magrib. Aku meraih tas, mengisyaratkan Aya untuk bangkit membuntutiku. Selanjutnya kuraih uang di saku celana lantas membayarkan makananku juga Aya, anak itu mendapat untung traktiran dan jemputan dariku hari ini.

"Ra, agak kencang dikit bawanya, slow bae kayak kura-kura," ucap Aya ketika motorku melambat lajunya.

Tak menghiraukan, kupinggirkan motor Beat ini. Ada yang aneh.

"Haduh, Ra, gue bilang agak dikencengin bawanya, bukan berhenti," keluh Aya sambil menghentakkan kaki.

Tak mengacuhkan Aya lagi, aku segera memeriksa keadaan motor. Bensin masih tersisa banyak, setidaknya masih cukup untuk pulang pergi ke sekolah sekali lagi. Ah, pasti mogok.

"Muka lo enggak enak banget. Kenapa, Ra?"

"Mogok," jawabku seadanya.

"Ya ampun, mogoknya kenapa mesti sebelum magrib, sih?" Aya menggerutu, bibirnya mengerucut.

"Besok gue suruh sebelum subuh aja," pungkasku membalas dengan lelucon.

"Enggak lucu, ya ampun. Enggak bakat ngelawak lo, Ra."

Oke, baiklah. Sekarang bagaimana?

Allahuakbar Allahuakbar!

"Nah, loh, Ra, udah azan nih. Salatnya gimana? Ini mesjid jauh, loh, dari sini. Syukur-syukur gue lagi dapet," cerocos Aya setelah berdoa selesai azan.

Bagaimana? Motor mogok harusnya diapakan? Oh ayolah, aku sangat awam tentang mengatasi motor yang mogok.

"Maria!" Panggilan itu terdengar sangat jelas di telinga. Sama sepertiku, Aya juga mengedarkan pandangan, berharap mendapatkan sosok nyata yang tadi memanggil.

Tidak ada siapa pun.

Aya mulai mendempetkan badannya, ketakutan. Mau tidak mau, rasa mencekam dari udara yang mulai mendingin menularkan ketakutan Aya padaku.

"Ngapain berdua masih di sini?" Aku menoleh, mendapati Dev di belakangku.


"Lo ngapain di sini?" tanyaku cepat.

"Baru selesai bimbingan sekalian ngantar Bu Irina balik ke rumahnya," jawab Dev santai. Apa ia terbiasa pulang magrib begini hanya untuk bimbingan olimpiadenya? Seketika aku teringat perkataan ibunya Dev tentang pelarian anak itu. Ah, memang terkadang rasa sakit butuh dikalahkan oleh ambisi kuat.

Merasa pertanyaanku dijawab oleh manusia, Aya melepas pelukan, matanya menatap Dev girang.

"Dev, bantuin kita dong. Ini motornya Sara mogok," pinta Aya tanpa basa-basi.

"Gue enggak tau caranya benerin motor yang mogok." Dev melirik mobilnya yang nangkring di seberang jalan.

Tanpa pamit, lelaki itu berlari kecil menuju mobil, menghidupkannya. Aku melengos kesal. Apa-apaan meninggalkanku dan Aya begitu? Waktu latihan nanti kupastikan akan kuberikan pelajaran untuknya. Namun, dugaanku salah. Dev menghentikan mobilnya tepat di hadapan motor, mengambil tali dari bagasinya, lantas mengikat bagian hondaku-entah bagian apa, aku tidak tahu namanya-dan besi di bawah plat mobilnya.


"Naik, biar gue tarik. Kali mesinnya mau hidup lagi." Tanpa disuruh dua kali, aku dan Aya langsung menduduki jok motor.

Dev sampai kebingungan, tampak berpikir sebentar. "Ini mau ke mana?"

"Rumah Aya."

"Rumahnya di mana?"

"Nanti gue kasih tau sambilan jalan," seru Aya.

"Mana bisa dengar," sahut Dev.

"Lo duduk bareng dia, Ya!" perintahku.

"Trus lo gimana?"

"Ya gue naikin motor gue, lah. Emangnya mau diseret?"

Bibir Aya membentuk huruf 'O' lalu bergegas membuka pintu jok belakang, mendudukinya. Tak menunggu lama, Dev yang sedari tadi bungkam memilih menjalankan mobil.

Sepuluh menit perjalanan, rumah minimalis Aya kelihatan. Ia turun, mengucapkan terima kasih pada Dev.

"Enggak masuk dulu, Ra?" Pertanyaan kesekian kalinya yang kujawab dengan gelengan.

"Gue enggak mau kemalaman, lagian ini masih ada yang bantuin," bisikku. Lagi pula di pertigaan sebelum rumahku juga ada bengkel. Bisa mampir ke sana dulu sebelum pulang.

"Ya tapi tetap aja gue khawatirlah. Lo cewek, Dev cowok. Kalau misalnya-"

"Gue bisa matahin tangan dia kalau macam-macam. Udah, sana masuk."

Setelah terkekeh, Aya memutuskan menggeser pagar rumah yang berderit.

"Sekarang ke mana?" tanya Dev melalui jendela mobilnya.

"Di sekitar sini ada bengkel, enggak? Rumah gue berlawanan arah sama Aya, jadi masih jauh," balasku sedikit berteriak.

"Deket sini enggak ada. Gue antar aja sampe rumah."

"Ya udah, buru! Jangan pelan banget bawa mobilnya, siput juga lebih cepat daripada lo!"

Tanpa aba-aba, Dev malah membuatku terjengkang karena ia sepertinya menekan pedal gas. Untung tubuhku sudah siap dan tegap, jadinya tidak terlalu berakibat fatal. Di tengah perjalanan, aku merasa mesin motor menyala. Ah, benar menyala. Mengapa harus saat hampir sampai di bengkel? Kenapa tidak dari tadi? Sekitar 1 km lagi, bahkan sudah akan sampai di bengkel. Aku mengklakson, mengisyaratkan Dev untuk berhenti. Sialnya, anak itu malah semakin melajukan mobilnya. Ah, kode untuk berhenti apa dianggapnya kode untuk melaju lebih kencang?


Aku menge-gas motor, untung saja talinya panjang. Kuketukkan kaca mobil, hingga si pemilik menyembulkan kepala. Matanya menatapku heran.

"Motor gue udah baik! Matiin mobil lo, gue mau lepas tali!" teriakku di antar desau angin.

Tak perlu menungguku berbicara lebih, Dev menghentikan mobil. Ia cekatan melepaskan tali. Namun sesaat kemudian saat hendak menghidupi mesin, mobil itu seperti mengeluarkan suara aneh.

"Mogok." Entah ketularan sialku atau apa, keadaan malah terbalik.

"Tuh bengkel," tunjukku.

"Bawanya gimana?"

"Dorong. Masa iya gue narik pakai motor."

Dev memandang nanar mobilnya. Memang sedikit lagi jarak ke bengkel, tapi sepertinya anak itu tidak berminat mendorong, oh atau mungkin tidak kuat? Kupinggirkan motor, menarik kuncinya, kemudian berdiri di belakang mobil. "Bantu dorong!" perintahku.


"Kenapa enggak lo aja ke sana? Minta tolong derek mobil ini atau panggil montirnya ke sini. Didorong juga bakal percuma."

Ah, iya. Kenapa tidak terlintas sedikit pun di kepalaku? Seperti orang dungu saja hendak mendorong benda ini. Dengan gerakan cepat, kupacu laju. Tak sampai semenit, sudah kuadukan perkara mobil Dev dan tak butuh waktu lama, aku berhasil menggaet satu orang yang membawa berbagai perkakas.

Sembari menunggu, Dev memutuskan untuk duduk tak jauh dari mobil. Jalanan tak terlalu ramai karena sedikit lagi menuju komplek perumahan. Melihat Dev yang terpaku menatap langit kelabu dengan tatapan kosong, aku berinisiatif untuk duduk di sebelahnya.

"Suka malam?" Dev menoleh sesaat lalu menggeleng. "Kenapa?"

"Malam itu gelap, menyembunyikan banyak kejahatan," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.

Aku tersenyum miring. "Lo terlalu sempit menilai kehidupan, Dev." Aku menatap lurus langit malam, tanpa bintang juga tanpa purnama. "Kalau enggak gelap, lo enggak bisa lihat bintang. Kalau enggak gelap, enggak ada yang bisa natap purnama." Entah sejak kapan aku mampu berbicara panjang, tak lagi kupedulikan. Saat ini memang sedikit nyaman rasanya berbicara tentang sudut pandang.

"Siang dengan mataharinya, nerangin semesta, tanpa ada yang ditutupi. Bukannya lebih hebat?" balas Dev lirih.

Terdiam lama. Sesekali denting besi yang beradu mewarnai malam yang belum sunyi ini.

"Matahari enggak bisa dipandang, kualat entar kalau buta."

"Dan bulan enggak selalu ada, enggak setia."

Ah, mengapa aku baru menyadari bahwa sosok di sebelahku juga sama melankolisnya? Kukira ia hanyalah pemuda dengan pikiran tertutup.

"Malam ngajarin apa buat lo?" Pertanyaan Dev yang tiba-tiba membuatku terperanjat hingga secara tak sengaja mataku memicing menatapnya. "E-eh, enggak usah dijawab, sorry kalau gue banyak ngomong." Ah, apa dia masih saja segan padaku?

"Enggak ngajarin apa-apa, tapi cuma malam yang bisa menyembunyikan rasa. Kelam, gelap, misterius."

Pandanganku jatuh pada Dev yang manggut-manggut tanpa niat membantah.

"Siang ngajarin apa?"

"Berjuang untuk lebih terang bersinar, melupakan sakit yang tersembunyi di malam hari."

Aku tertegun. Begitu dalam makna penjelasannya, membuatku merasa tertampar dengan filosofinya.

"Tapi menurut gue, siang dan malam memang punya tugasnya masing-masing, enggak perlu dibandingkan. Matahari dan bulan bersinar di waktu yang tepat."

🌠🌠🌠

Silakan vote jika berkenan~ 😉















Continue Reading

You'll Also Like

325 49 15
kisah tentang tujuh orang gadis, murid nakal yang sekolah di salah satu sekolah khusus wanita yaitu SMA Tunas Bangsa, yang nanti nya akan berhubungan...
27.7K 2K 48
NOVEL TERJEMAHAN [NO EDIT] Judul: Bencana alam melanda: ruang angkasa sibuk menimbun dan bertani Penulis: 七碗馄饨 Kategori: Ruang Fiksi Ilmiah Jumlah Ba...
1.2K 725 30
〘𝐒𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐚𝐥𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐢𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐨𝐰 𝐝𝐮𝐥𝐮 〙 𝙁𝙚𝙡𝙞𝙘𝙮𝙖𝙖 𝙍𝙖𝙣𝙞𝙖 𝘾𝙖𝙡𝙞𝙨𝙩𝙖 anak kecil yang terlahir ta...
591K 12.3K 56
Allea kembali ke Indonesia setelah 8 tahun untuk menemui calon tunangannya, Leonando. Namun Allea tidak tahu telah banyak hal yang berubah, termasuk...