Mencintai Istriku Sepenuh Hati

Oleh Rozen91_

9.5K 1.1K 340

Draco Malfoy meninggal secara tragis dan menjadikan istrinya seorang janda. Seorang janda Malfoy yang kaya ra... Lebih Banyak

prologue
Cinta Hermione
Rencana Draco
Campur Tangan Pansy
Mengatasi Gosip
Lawan-lawan Draco Malfoy
Seseorang yang Tak Bisa Dicintai
Kemunculan yang Tak Disangka-sangka
Malam yang Bergetar
Tak Tergoyahkan
the secretive smile of a rose
Harapan Berwarna Putih
Pertanda yang Jelas
Seseorang yang Bergerak di Belakang Layar
A Woman Called Hermione Malfoy

I am ready, but are you?

486 58 38
Oleh Rozen91_

Kunjungan 1 minggu ke tempat Pansy, yang dengan sepihak dipersingkat Hermione menjadi 3 hari, telah berakhir. Hermione muncul di perapian dan sempat terkejut ketika melihatku berada di sana, sedang duduk di kursi dan memandang lurus ke arahnya. "Selamat datang," sambutku.

"Kau menungguku?" tanyanya sangsi, tapi kemudian ia mengerutkan hidungnya. "Ah sudahlah, aku tidak peduli." Ia menyeret kopernya dan memutari wilayah sofa. Hermione masih marah atas kejadian 3 hari yang lalu. Entah bagaimana aku akan melunakkan hatinya.

"Sebenarnya aku menunggu Pansy, kukira dia akan datang bersamamu."

"Oh ya?" tanya Hermione tajam, "Kau mau dia melapor tentang kelakuanku di sana? Silahkan, lakukan itu. Sayang sekali, dia agak sibuk hari ini. Tapi aku bisa menelponnya agar dia bisa meluangkan waktu datang melapor padamu, sayang." Hermione lalu mendengus dan membuang muka. Tak lupa juga ia membanting pintu saat menutupnya.

Kedua alisku tertekuk dalam.

Dia tidak lengah, eh?

xxxx

.

.

Mencintai Istriku Sepenuh Hati

itu Tidak Mungkin

©Rozen91

Harry Potter © J.K. Rowling

.

****

xxxx

Menurutmu, apa yang kira-kira Hermione lakukan selama 3 hari itu di kastil Viktor Krum? Pansy mengirim surat untuk mengabariku bagaimana keadaan Hermione di sana. Dia berkata istriku punya banyak kegiatan dan terlihat bersemangat dan bahagia. Dengan bangga ia menambahkan kalau Hermione tidak punya waktu barang sekejap pun untuk dihabiskan bersedih atau merindukan suaminya. Kukernyitkan kening. Memangnya siapa yang mau merindukanku?

Jangan sangka laporan itu bisa mengecohku. Hermione yang tidak lagi boleh dipandang sebelah mata pasti sudah berpikir keras dan menyusun rencana tentang apa yang akan ia lakukan setelah pulang ke manor Malfoy. Aku sengaja menunggunya di perapian untuk melihat reaksinya. Jika beruntung, aku bisa menangkap sedikit petunjuk. Tetapi kurasa Hermione tidak berniat membuka kartunya secepat itu-reaksinya masuk akal untuk ukuran istri yang kesal terhadap suaminya.

Kukira dia akan sengaja bermanis-manis atau mencoba meminta maaf, tapi aku salah.

Hermione tidak lengah. Tidak ada petunjuk. Nihil. Kalau begini, aku tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya.

Apa yang sebenarnya akan Hermione lakukan?

Apa dia masih mencoba mendekatiku? Menembus sekat pembatas di antara kami?

Ataukah dia sudah menyerah? Aku menertawai pikiran itu. Si keras kepala itu menyerah? Lucu sekali!

Mainkanlah kartumu, Hermione. Perlihatkan apa yang kau sembunyikan di balik tatapan matamu yang cerdas itu. Aku bersumpah akan memaksamu menyicipi kekalahan paling menyakitkan dalam hidupmu.

Aku berpikir begitu tetapi sebenarnya aku sendiri tidak akan tahu bagaimana menghadapi Hermione nantinya. Kugaruk-garuk belakang kepalaku seraya melangkah kembali ke kamarku, memutuskan untuk melanjutkan tidur setelah bangun sejak jam 5 dini hari tadi.

Makan siang yang kemarin kusantap sendirian kini kembali kunikmati bersama istriku. Memang agak sepi kalau makan sendirian. Walaupun Hermione tidak bicara tetapi ini lebih baik daripada hanya sendiri. Aku ini sangat menyedihkan, ya?

Makanan penutup yang tidak pernah kulihat sebelumnya dihidangkan di atas meja. Seperti puding tapi lebih banyak dihiasi krim dan rasa manisnya pas dengan seleraku. Apa ini ulah Pross atau salah satu Peri Rumah yang ingin merayakan kedatangan Hermione kembali ke manor ini?

"Enak?"

OHUUUOOKK!

Aku. Hampir. Tersedak.

Terbatuk-batuk kucoba menenangkan diri. Apa katanya tadi? Jangan bilang kalau...

Seolah mendengar isi kepalaku, Hermione berkata, "Aku membuatnya untukmu. Apa kau suka?"

Oh.

Oh...

Ini perangkap.

Aku ingin bersikap dingin dan berkata desert ini bukan seleraku tetapi mangkuk kecilku sudah bersih dilibas oleh diriku yang rakus. Tak bisa mengelak. Tch! Hermione sengaja menungguku selesai baru mengaku kalau itu buatannya!

"Well?" Ia memiringkan kepala dan tersenyum seolah tak tahu apa-apa.

Kutatap meja. Tak tahu bagaimana harus meresponnya. Aku mengutuk kerakusanku.

"Pansy mengajariku membuatnya. Awalnya aku khawatir desert ini tidak cocok dengan lidahmu. Tapi syukurlah," kata Hermione ceria, "aku senang kau menyukainya, suamiku."

"Kau salah paham," tukasku susah payah, berdiri dengan gerakan yang agak kasar, "aku hanya tidak ingin menyia-nyiakan makanan."

Tak ingin mendengarnya lagi, kulangkahkan kakiku pergi dengan agak tergesa-gesa. Bisa kurasakan senyum penuh kemenangan yang ia lempar di belakang kepalaku di sepanjang perjalanan ke pintu keluar.

Sial! Sial!

Bodohnya aku! Apa salahnya menahan diri, Draco! Lain kali kau makan sendiri saja di kamarmu! Dasar rakus!

Entah apa lagi yang akan dilakukan Hermione. Perasaanku benar-benar tidak enak.

Aku berdiam di ruang belajar dan membangun pertahanan yang tak bisa ditembus. Pross adalah panglimaku dan Freckle yang sejatinya bekerja di mansion di Jerman kupanggil sebagai penjaga pintuku. Pross menyampaikan mandat pada semua penghuni manor bahwa aku tidak boleh diganggu, apapun alasannya. Dan Freckle si Peri Rumah asing akan menghalau siapapun dengan muka kakek tua pemarah. Hermione yang tak pernah melihat Freckle pasti akan memilih mundur teratur dan memikirkan ulang rencananya-karena dia tidak tahu bagaimana mempengaruhi Freckle.

Inilah benteng pertahananku. Aku aman di dalamnya (dari Hermione).

Suasana cukup tenang sampai jam 3 sore, aku memutuskan untuk berendam air hangat lalu mengistirahatkan mata sejenak. Kubuka pintu dan kulihat koridor kosong, tidak ada siapapun kecuali Freckle. "Tidak ada yang datang, termasuk Nyonya," lapor Freckle. Kusuruh ia melanjutkan tugasnya untuk jaga-jaga seandainya Hermione mencoba mengendap masuk dan menyergapku saat aku kembali. Kutinggalkan Freckle, berjalan menuju kamarku di ujung lorong sambil merenggangkan badan.

Dan aku tertegun setelah memasuki kamar tidurku.

Sosok selain Peri Rumah ada di kamar ini. Dengan santainya melipat pakaianku yang berhamburan di ranjang dengan kedua tangannya. Menyadari kedatanganku, Hermione Malfoy menoleh dan tersenyum ringan, "Ah, pekerjaanmu sudah selesai?"

Aku seperti ikan yang terlontar ke tanah setelah iseng menguji kekuatan ekorku. Kedua mataku terbuka lebar dan mulutku megap-megap terbuka, tak tahu harus berkata apa.

Hermione tidak perlu menggebrak pintu ruang kerjaku atau berurusan dengan Freckle. Dia hanya perlu mengetahui kapan aku akan keluar dari benteng. Dan di saat itulah dia akan menyerang. Dengan kata lain, dia tahu kebiasaanku. Sama seperti desert di saat makan siang tadi, Hermione tahu selera lidahku.

Kutelah gumpalan yang berkumpul di tenggorokanku.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku dengan suara terjepit.

"Semua Peri Rumah sibuk, jadi aku membantu mereka. Lagipula aku sedang bosan dan tidak punya kerjaan," sahutnya seraya kembali melipat celana panjangku dan memasukkannya ke lemari seolah itu adalah hal paling lumrah di rumah ini.

"Ini kamarku," ucapku bodoh.

"Dan?"

'Dan'? batinku. Sikap Hermione membuat badanku panas dingin. "Kau tak harusnya di sini."

Hening.

"Aku tidak akan berbuat macam-macam," ekspresi sendu di mukanya seolah mengindikasikan aku baru saja menuduhnya mencuri. "Aku hanya membantu Peri Rumah melipat bajumu."

Kenapa dia menjawab begitu? Hermione sangat aneh. Biar tak dikatakan sekalipun, bukankah sudah jelas kalau kita berdua tidak akan mencampuri urusan masing-masing apalagi sampai memasuki kamar satu sama lain!?

"Tidak, maksudku," kupasang wajah serius, "kau dilarang masuk ke kamar ini."

"Well," balas Hermione dengan wajah berseri-seri "Kalau begitu, setelah aku selesai di sini, kau bisa mengunci kamarmu dan menugaskan Peri Rumah yang tak pernah kulihat untuk berjaga di depan pintumu."

Mulutku dibungkam dengan sindiran itu. Buru-buru aku keluar dan kembali masuk ke kamar kerja. Kududukkan badanku di kursi dan menumpukan siku di meja lalu memegang kepalaku.

WHAT THE HELL IS HAPPENING!!?

Tapi tunggu...

Apa ini artinya aku juga bisa masuk ke kamarnya tanpa izin?

"....."

Pendekatan Hermione gencar dan agresif. Entah sudah berapa kali ia memojokkanku dan aku harus lari terbirit-birit hanya untuk menghindarinya. Aku pernah merisak orang sewaktu di Hogwarts dan sekarang tiap kali disudutkan Hermione maka hatiku menjerit, memberitahuku bahwa aku sedang dirisak. Apa ini balasan atas kenakalanku di masa lalu?

Aku lelah membuat banyak alasan dan lari ke sana kemari. Kuhela nafas berat seraya memandang Hermione lekat. "Katakan, Hermione, apa sebenarnya yang kau inginkan?"

"Aku hanya ingin minum teh denganmu." Sepasang iris hazelnya berkerling. Menggoda.

Lantas kutundukkan wajah sebelum pikiran-pikiran aneh yang berseliweran di kepalaku tergambar jelas di wajah.

Hanya minum teh? Aku ingin tertawa.

Kubenamkan kening di telapak tanganku.

"Sungguh aku ingin semua ini berhenti. Aku punya banyak pekerjaan dan kuharap kau berhenti menggangguku." Pernyataan itu menghapus senyuman Hermione dan membuatnya memasang muka bersalah.

"Aku tidak bermaksud melakukan itu."

"Sudahlah. Katakan saja apa yang kau inginkan dariku."

Hermione menunduk sembari memainkan jari-jarinya dengan ragu. Kuintip ia dari sela-sela jari. Oh yang benar saja, kemana rasa percaya diri yang 5 hari ini ia lempar kemana-mana? Seakan khawatir aku akan hilang kesabaran, Hermione segera mengangkat wajahnya dan menatap lekat. "Di kastil Viktor, aku....aku memikirkannya, kau tahu," mulai Hermione, perlahan mengangkat wajah memandang kepadaku. "Karena kejadian kemarin, aku teringat kata-katamu dan mempertimbangkannya. Memikirkannya baik-baik. Kini aku melihat kebenarannya, mau tak mau aku harus setuju dengan ucapanmu waktu itu. Walaupun usia kita masih muda, tapi kita tidak tahu pasti tentang kematian. Dan sekarang keputusanku sudah bulat. Kusampaikan tekadku ini langsung dan tanpa makna tersembunyi, agar kau tidak menduga-duga sembarangan."

Kunaikkan alis, tidak mengerti kemana arah pembicaraannya. "Apa maksudmu?"

Hermione akhirnya mengutarakan keinginannya. Kurasa telingaku sempat berdengung. Entahlah. Kujatuhkan mataku ke bibirnya, memastikan bahwa bibirnya memang bergerak dan suara yang berkata demikian itu benar-benar miliknya. Kemudian kutatap matanya untuk melihat kesungguhannya.

Hatiku terguncang oleh kekuatan di dalam sinar matanya.

Dengan susah payah kutelan gumpalan yang menyumbat tenggorokanku, sekali lagi bertanya padanya, "...Kau bilang apa tadi?"

Oh Tuhan.... kuharap ini hanya mimpi...

Permata hazel berbinar penuh niat dan determinasi, menatapku lekat-lekat hingga nafasku tertahan. "Aku sudah siap kapanpun kau mau, Draco," Hermione berkata dengan yakin, "Aku akan mengandung anakmu. Anak kita berdua."

Mimpi, 'kan?

Ya, ya begitu! Ini hanya mimpi. Pernyataan itu tidak benar-benar keluar dari mulut Hermione. Aku hanya banyak pikiran dan mulai mengkhayal yang tidak-tidak. Bukan hari keberuntunganku, eh?

Sungguh sial, aku mimpi buruk di siang bolong.

xxxx

Lama kami saling bertatapan hingga aku mampu mengedipkan mata. Kuedarkan pandangan ke lemari buku dan mengambil sebuah tas hitam yang biasa kuisi dengan berkas-berkas yang akan kubawa ke perusahaan. Gulungan-gulungan bercap biru dan hijau ini tak boleh dilupa, aku akan memberikannya pada Granz dan menyuruh asistenku untuk menyederhanakan laporannya. Sudah lama aku tidak muncul, kurasa orang-orangku perlu dikagetkan agar mereka tidak terlalu santai. Kalau tidak salah, siang ini Theo mengundangku makan siang. Aku juga sudah menerima ajakannya. Baiklah, aku akan langsung menemuinya setelah dari kantor-

"...co! DRACO!"

....Aku akan ke kantor sekarang. Dengan itu, kututup tasku dan bergerak pergi dari meja dan berjalan ke arah pintu. Kulirik Hermione saat melewatinya.

"Aku tidak akan pulang makan siang," kataku singkat dan berpaling darinya. Aku hendak meraih kenop pintu ketika satu tanganku yang lain dicengkeram oleh tangan yang tak kutahu bisa mencengkeram sekuat lilitan ular.

Dari balik bahu aku menoleh ke belakang.

Kemurkaan mewarnai wajah Hermione. Merah dan geram bagai dirasuki setan. Lantas ia menjerit, "JANGAN BERCANDA, BRENGSEK!!"

Dilanjutkan dengan menarik kerah kemejaku, lalu melayangkan tinjunya tepat di mata kananku. Kemurkaan Hermione tidak kenal ampun.

BUK!!

Tubuhku terpental menabrak pintu. Dan setelah itu? Aku hilang kesadaran seperti pengecut yang mencoba lari dari kenyataan. Sama seperti biasanya.

Sangat menyedihkan.

Aku mengkhayalkan suara misterius yang tak pernah lagi kudengar menertawai keadaanku. Mungkin aku dijebak, pikirku, aku dihidupkan kembali agar makin menderita.

xxxx

Ketika terjaga yang kulihat pertama kali adalah mata Pross yang berukuran sepertiga budger.

"Berapa jari yang bisa Anda lihat, Master?" tanyanya tanpa berkedip.

Kulirik tiga ranting hijau yang ia sebut sebagai jari itu. "Tiga dan kau terlalu dekat," erangku, memejamkan mata saat merasakan denyutan nyeri di mata kananku. Ini kedua kalinya Hermione meninjuku, pertama di hidung lalu di mata. Apa nanti dia akan mengincar mulutku dan mematahkan semua gigi depanku?

"Bagaimana mukaku?" kuangkat poniku ke atas, memperlihatkan hasil perbuatan biadab istriku. Pross menggelengkan kepala, memasang ekspresi seolah aku sudah tidak tertolong.

"Anda sudah tertidur selama hampir sejam, cukup lama hingga warnanya berubah ungu."

Pasti sangat jelek. Kutegur Pross, "Kau melihatku tidur dari tadi dan tidak berniat memperbaiki wajah majikanmu ini?"

"Master," jawab Pross kalem, "Anda pantas mendapatkannya."

Kutatap Pross dalam diam. Bibirku tidak tersenyum biarpun dia hendak mengucapkan kalimat itu sebagai gurauan dingin. Tetapi saat ini Pross tidak sedang bergurau. Dia serius dan tengah menunjukkan posisinya.

Pross yang memang seperti bayangan di manor ini telah mendengarkan percakapanku dengan Hermione. Mendengar kesediaan bodoh Hermione untuk mengandung anakku. Dan Pross, biarpun setia padaku, menganggapnya sebagai sesuatu yang layak didukung sepenuh hati. Jadi, mengenai masalah 'keturunan' ini, Pross menunjukkan bahwa dia tidak berpihak padaku ataupun Hermione, tetapi pada kebaikan keluarga Malfoy.

"Pross." Kutatap tajam dia dari ujung mataku. "Jangan ikut campur. Paham?"

Seolah tak mendengar peringatanku, Pross kembali berujar, "Anda pernah menakut-nakuti Nyonya Hermione terkait masalah keturunan, tetapi sekarang Anda kebingungan ketika Nyonya bersedia. Master juga menuduhnya 'menarik-ulur tali kail', tetapi saya rasa ungkapan itu lebih cocok untuk Anda."

Mukaku merah padam mengingat apa yang telah kukatakan pada Hermione dulu. Argumenku yang dulu kuanggap sangat hebat kini malah membuatku malu setengah mati. "Oh, hentikan! Aku tidak bermaksud berkata demikian."

"Harga diri Anda sudah jatuh ke dasar danau, tak perlu pura-pura malu, Master." Pross mencemoohku tanpa ampun. Apa Peri Rumah bisa berbuat seperti itu pada majikannya, hah!?

"Semarah apa kau sampai berani menghinaku?" tanyaku panas.

Ekspresi Pross sangat datar. "Nyonya Hermione adalah penyihir yang paling layak bersanding di sisi Master. Selain itu Anda hampir mati satu kali, sebaiknya Anda tidak menunda-nunda perkara keturunan ini lebih lama lagi, Master Draco."

"Heh, sok tahu," dengusku. Kutengadahkan telapak tanganku ke atas bersamaan dengan Pross menaruh tongkat sihirku di sana. Kudaraskan mantra penyembuh di mataku yang lebam. "Jika hanya masalah anak, kau tak perlu khawatir. Aku akan mencarikan nyonya Malfoy yang lebih layak daripada Hermione. Selain itu, aku tidak berencana mati dibunuh dalam waktu dekat ini. Aku akan terus hidup hingga 8 tahun ke depan, dan selama itu pula kau harus menunggu."

"8 tahun?" Ekspresi Pross semakin dingin. "Bertahan selama itu bersama nyonya Hermione dan Anda tak berniat membahagiakan beliau?"

Aku lantas menatap Peri Rumah itu hina, "membahagiakan Hermione dengan membiarkannya mengandung anakku? Kau pintar merangkai kata-kata, Pross, sampai mendengarnya saja membuatku jijik."

"Master-"

"Blablabla, aku tak mau mendengar ceramahmu. Kau jangan berani ikut campur dalam masalah ini, paham?"

Pross diam.

"Kau paham?" desakku tajam.

Pross menghela nafas. "Saya paham, Master."

Dia bilang begitu tetapi rasanya akan sulit memercayai Pross sekarang. Entah dia akan berbuat apa nantinya. Kasus Dalesse sudah membuatnya tegang, berpikir bahwa akan kehilangan diriku. Dia mungkin telah menyadari bahwa aku bukan lagi anak kecil yang bisa ia lindungi-karena aku sudah dewasa dan bisa setiap saat membuat keputusan yang gegabah. Selain itu, reaksi tenang Hermione terhadap kasus Dalesse telah membuat Pross makin menyukainya. Dia sudah menganggap Hermione layak sebagai istriku dan ingin membuat pernikahan kami berhasil dan bertahan sampai selama mungkin.

Dan hal itu akan makin sempurna dengan adanya seorang anak.

Aku.... aku tidak bisa mengusir Pross.

Tetapi Hermione, aku bisa mematahkan tekadnya.

"Dimana istriku?"

Dengan nada menuduh, Pross menjawab, "Nyonya pergi ke Mansion Black dan tidak bilang kapan akan kembali."

Lari ke keluarga Potter setelah melakukan kekerasan pada suaminya sendiri? Sayang sekali ya, Weasley sudah pergi dari Inggris sejak seminggu yang lalu, jadi mereka tidak bisa bertemu. Setengah mencibir aku bertanya, "memangnya sebanyak apa dia mengepak barang-barangnya?"

"Nyonya hanya membawa dompet dan tongkat sihirnya saja," jawab Pross tanpa rasa bersalah. Lantas aku berteriak padanya, "Kalau begitu dia tidak berniat berlama-lama di sana! Kenapa kau selalu memberikan informasi setengah-setengah!?"

Pross hanya diam. Kuacak-acak rambutku frustrasi, menyadari Pross hanya ingin membuatku kesal. "Siapkan pakaianku. Aku akan menemui Daylaton, kabari aku jika Hermione sudah pulang," perintahku seraya membuka kancing kemejaku. Aku ingin mandi sebelum pergi.

"Oh." Pross mengangkat sebuah tas hitam familiar di kedua tangannya. "Anda tidak jadi ke ke kantor?"

Kudecakkan lidah, kali ini benar-benar marah atas cemoohannya. "Sekarang bukan waktunya, idiot!"

xxxx

Hari sudah gelap ketika aku pulang ke manor.

Aku tertegun ketika melewati pintu yang terbuka. Hermione duduk di tangga lurus menatap ke arahku. Dan Pross berbisik bahwa nyonya Hermione sudah duduk di sana sejak ia pulang dan menanyakan keberadaanku.

Dia sedang menungguku.

"Apa kau akan terus melakukan ini?" Hermione tersenyum mengejek, "lari seperti pengecut?" Apa-apaan perkataan sok benar itu seolah dia sendiri tidak kabur setelah memukulku tadi pagi?

Kubalas dia dengan nada hati-hati, "apa maksudmu?"

"Oh, pura-pura tidak tahu." Ia memutar bola matanya. "Kau memang selalu berbuat seenaknya."

"Kau baru saja datang, bukannya minta maaf padaku, kau malah-"

"Oh, sekarang aku yang salah?" potong Hermione tajam, seolah dia yang matanya kena tinju. "Kau pernah melakukan hal yang sama, kau ingat? Waktu kau membawa Atropa dan dengan lantang mengumumkan kalau dia anakmu dan aku harus terpaksa menerimanya. Membawa oleh-oleh kejutan seperti itu, kau boleh melakukannya tetapi aku tidak?"

"Kejadian itu sudah lewat."

Hermione tertawa. "Hebat! Kau memang pandai mengubur masa lalu. Semudah meludah. Aku sangat takjub."

Aku tahu kenapa dia merendahkanku seperti itu. Hermione mungkin ke rumah keluarga Potter untuk mendinginkan kepalanya, namun ketika melihatku lagi amarahnya bangkit dan menabrak ubun-ubun. Aku tahu dia kesal tetapi aku tak suka caranya melampiaskan kekesalannya. "Kenapa kau bicara begitu padaku? Apa Potter dan istrinya mengajarimu berbicara seperti itu pada suamimu? Hilang kemana rasa hormatmu, Hermione?"

Hermione berang. Menghina sahabat serta keluarga sahabatnya adalah masalah paling sensitif baginya.

Lantas kami bertukar kata dengan tatapan dingin dan penuh amarah. Ejekan bagai bisa ular. Tuduhan-tuduhan menyakitkan dan tidak benar. Ini adalah perang yang pertama kalinya terjadi antara aku dan Hermione. Di kehidupanku yang pertama dia selalu menahan diri dan menurut padaku, bertahan pada prinsipnya dan batas-batas yang telah kutetapkan di antara kami berdua. Terakhir kalinya kulihat dia menanggalkan topengnya dan terang-terangan menangis di hadapanku ialah ketika kuusir dia dari manor Malfoy.

Tetapi di masa ini Hermione menentangku.

Aku merasa, entah kenapa, ia sedang mencoba segala macam cara untuk menghancurkan dinding-dinding yang kubangun antara diriku dan dirinya.

Pemikiran itu membuat punggungku basah oleh keringat dingin.

"Tidakkah kau mendengar dirimu sendiri?" Kubisikkan pertanyaan itu dengan nafas yang hampir habis. "Kenapa kau bersikeras memaksakan sesuatu yang tidak kau inginkan padaku?"

Hermione mengangkat alis. "Apa yang kau bicarakan?" tanyanya bingung.

"Keinginanmu untuk mengandung anakku."

Hermione mengatupkan bibirnya. Iris hazelnya memandangku seperti burung hantu yang tak berkedip. Sekilas aku melihat kehati-hatiannya yang makin jelas ketika ekspresinya melunak dan menunjukkan banyak perhatian. Ini bukanlah kehati-hatian yang sama seperti dulu dimana ia berusaha menjaga jarak dan batas denganku. Ini adalah kehati-hatian seseorang yang hendak menjinakkan binatang liar. Mendekatinya dengan harapan memupuk rasa percaya dan kasih sayang.

"Kenapa kau bicara begitu? Aku menginginkannya karena itu kubilang aku sudah siap. Bukankah ini juga adalah keinginanmu, Draco?" Bibir merah muda mengeluarkan kata-kata dengan nada membujuk.

"Keinginanku..." Aku berjalan ke sofa dan menjatuhkan tubuhku di atasnya. Kusandarkan sisi tubuhku di lengannya, memegang kepalaku yang pening. Aku tidak peduli dengan keinginanku. Yang penting hanyalah dirimu, keinginanmu. Hermione...

Tapi anak? Aku khawatir itu di luar kemampuanku!

Hermione mengikutiku tetapi tidak duduk di sampingku. Kedua lututnya menyentuh lantai dan ia duduk di atas tumitnya. Mukanya menghadap ke atas dan aku tahu tak banyak dari posisi ini untuk memalingkan wajah darinya. Mau tak mau aku harus melihat ke bawah, padanya. Hermione, entah darimana dia mempelajari trik-trik semacam ini.

"Tidakkah kau melihat kesungguhanku? Atau apa yang kulakukan selama ini belum cukup untuk kau percayai?" ujar Hermione, nada suaranya memilukan, "Setiap ada masalah aku selalu mengalah. Aku membiarkanmu mendiamkan masalah itu. Aku berusaha menyenangkanmu, menuruti kemauanmu untuk bersikap seolah masalah itu tidak pernah terjadi. Kau tidak mau bicara, tidak menjelaskan apa-apa, bagiku itu salah tetapi aku tetap memaafkanmu. Apa upayaku ini sia-sia, Draco?"

"....."

"Apa yang sebaiknya aku lakukan?"

"...."

"Kenapa?" Air matanya menetes. "Sebenarnya kenapa kau menikahiku, Draco? Untuk apa?"

Jeda. Kemudian aku berbisik, "Bisakah kita lupakan percakapan ini, Hermione?"

Nafas seseorang tercekat, tapi itu bukan milikku.

"Draco-"

"Aku memohon padamu." Kutarik nafas. "Bisakah kau mengabulkan permohonan suamimu ini?"

Gigi yang bergemeletuk. Isakan yang teredam. Tanpa melihatpun aku tahu air mata telah tergenang dan mengalir deras di pipinya. Tetapi Hermione yang kuat tidak akan menangis sesenggukan seperti anak kecil. Dia mungkin masih menatapku dengan mata yang bertanya 'Kenapa? Kenapa? Kenapa?'. Mencoba memancing dan menjebakku menatap kedua mata yang berkaca-kaca itu. Tetapi tanganku masih menutup mataku dan wajahku masih berpaling darinya. Tiada artinya semua upaya itu.

"Kenapa kau lakukan ini padaku, Draco? Membuatku bingung dengan sikap dan tuntutanmu. Aku tidak mengerti apapun. Ketika kukira hubungan kita akan semakin membaik, tiba-tiba saja kau langsung berubah dan semua kembali ke zero. Kau tidak mengatakan apapun jadi aku hanya bisa menebak-nebak dan mengutuk diriku sendiri, berandai-andai bahwa akulah penyebabnya. katakan padaku," Ia memohon, "sebenarnya apa kesalahanku sampai kau memperlakukanku sekejam ini? Apa kau sedang mempermainkanku?"

Jawaban apa yang bisa kuberikan padanya?

Aku bungkam dan membiarkan senyap menjadi selimut tebal di antara kami. Lama Hermione membiarkan keheningan itu berlangsung, menunggu jawaban yang tak akan keluar dari mulutku. Hingga akhirnya dia menyerah.

"Baiklah," ucapnya kemudian dengan nada yang amat hampa dan menyakitkan, "kalau kau ingin aku melupakan pembicaraan ini, akan kukabulkan. Aku tidak akan bertanya dan memaksamu lagi."

Hermione bangkit dan meninggalkanku sendirian. Ketika langkahnya tak lagi terdengar, baru setelah kujatuhkan tangan dari mukaku. Aku ragu air mata Hermione akan berhenti jika melihat ekspresiku. Mungkin dia akan gemetar ketakutan lalu lari terbirit-birit ke kamar sambil menjerit.

Kekosongan dan kesunyian di dalam hati dan di ruangan ini membuat aura di sekitarku terasa mencekam. Rasanya aku bisa menjerat leher Hermione hanya dengan itu saja. Hanya dengan menatap mataku. Atau hanya dengan mendengar suaraku.

"Hermione, kau," kataku pelan, mengarahkan telunjukku di tempatnya tadi duduk di atas tumitnya. Seakan dia masih ada di sana menatapku dengan matanya yang basah. "Kau mengerikan."

Seolah dialah yang menjebak Harry Potter dan membangkitkan Voldemort. Seolah dialah yang membuat tongkat sihir Dumbledore terlontar dari genggaman jari-jari tuanya. Seolah dialah yang menjadi Pelahap Maut. Dan seolah dialah yang melenyapkan Dalesse Malfoy. Aku menatapnya seperti melihat pembunuh.

Seseorang yang amat sangat keji.

Cinta sejatimu itu....

Aku berusaha membantumu menjaganya.

Dan ini balasanmu?

_bersambung_

Draco: Mataku lebam nih, udah kayak panda jejadian aja...

Hermione: Maaf, Draco... ("_ /\ _)

Draco: O-oh, baguslah kalau menyadari kesalahanmu. Itu yang terpenting. Well, aku mema-

Hermione: Aku seharusnya meninju hidungmu seperti dulu, tapi yang kena malah matamu! Tolong biarkan aku memperbaiki kesalahanku! Kali ini tinjuku tidak akan meleset!

Draco: Eh? Eh?

Hermione: *dengan penuh air mata* Jangan khawatir, suamiku! Akan kupastikan hidungmu bengkok dan lebih parah dari yang dulu! HYaaAAaaT! Breath of Boxing, Second Form: Blood of Cracked 11!

Buaakk!

*krek!*

Draco: *jeritan paus*

di tempat lain....

Light Yagami : khukukukuku~ keikkaku toori!

##

##

Moral of the story: Guys, Corona jangan dipandang enteng sebagaimana Draco meremehkan kecerdasan Hermione. Jangan lupa berdoa dan ikhtiar (pakai masker, olahraga, berjemur, minum rebusan jahe and kunyit, jaga jarak, dll). Bisa juga dengan mendengar ayat-ayat syifa dari al-Qur'an, biasanya saya gitu sih :D

Doakan pasien, tenaga medis, para peneliti, dan mereka yang berjuang meredakan pandemi, semoga perjuangan mereka Allah azza wa jalla mudahkan, aamiin.

YAAAYYYY! ALHAMDULILLAH! MARHABAN YA RAMADHAN!!!

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

Sylvester Oleh Abu0Ima

Fiksi Penggemar

164K 14K 25
Ernest Lancer adalah seorang pemuda kuliah yang bertransmigrasi ke tubuh seorang remaja laki-laki bernama Sylvester Dimitri yang diabaikan oleh kelua...
45K 3.2K 48
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
AMETHYST BOY Oleh AANS

Fiksi Penggemar

466K 46.7K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
43.2K 6K 36
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...