RadenRatih

By novaadhita

3.8M 458K 426K

"Emangnya keluarga lo mau nerima lo lagi, hah? Nggak ada yang mau nerima lo lagi, Rat. Jadi, jangan sok deh... More

<01. RadenRatih>
<02. I Need You>
<03. Didengar>
<06. Problem>
<07. Cuek>
<08. No Problem>
<09. Pekerjaan Baru>
<10. Diam-Diam>
<11. Killa>
<12. Berubah>
<13. Cinta?>
<14. In The Hospital>
<15. Bukan Prioritas>
<16. Sadar>
<17. Minta Maaf?>
<18. Nice Person>
<19. Memikirkannya>
<20. Love Someone>
<21. Meet Again>
<22. Suddenly>
<23. Can't Love You>
<24. Menjauh>
<25. Bertahan?>
<26. Menanti>
<27. Diabaikan>
<28. Diabaikan 2>
<29. Ngidam Pertama>
<30. Status?>
<31. Dipecat>
<32. Close Up>
<33. Flirty ✓>
<34. Step One ✓>
<35. Foreign Kiss>
<36. Kiss Me Slowly>
<37. Ketoprak>
<38. Ajakan>
<39. Almost>
<40. The Beginning>
<41. Kiss Again>
*42. Lupa?*
*43. Ulang Tahun Ratih*
<44. Kado Ultah>
<45. Kado Ultah 2>
<46. Pemakaman>
*47. Usaha Lepas*
*48. Susah Lepas*
*49. Salah?*
*50. Peringatan*
<51. Setuju Lepas?>
*52. Lupa Pulang*
*53. Masih Ada*
*54. Ketahuan*
*55. Ketahuan 2*
*56. Ketahuan 3*
*57. Deep Talk*
*58. Fall In Love Again*
*59. I Love You*
*60. I Know, You Know*
*61. So Before You Go*
*62. Kepergianmu?*
*63. Semua Tak Sama*
*64. Terlanjur Cinta*
*65. Hampir Goyah*
*66. Pamit*
*67. Bernafas Tanpamu*
*68. Terbangun Sendiri*
*69. Manusia Bodoh*
*70. Menunggumu*
*71. Menghapus Jejakmu*
*72. Rahasia Hati*
*73. Monolog*
*74. Dilema Cinta*
*75. I Belong To You*
*76. Bom Kaget*
*77. Sang Penggoda*
*78. I'm Broken*
*79. It's You*
*80. Kisahku*
*81. Falling*
*82. Passed Away*
*83. Detik Terakhir*
*84. Luka Yang Kurindu*
*85. Menangis Semalam*
*86. High Hopes*
*87. Too Sad To Cry*
*88. In Another Life (END)*
*89. EP: Love Story🦉*
*90. EP: Cinta Tak Salah*
*92. EP: Hal Gila Baru*
*93. EP: Mama and Me
*97. EP: You and Me+Child*
*98. EP: Complete, Perfect (17+) *
*00. Apa?"

<05. Piza>

59.5K 6K 1.2K
By novaadhita

Percikan pertengkaran mulai berkobar. Aku dengan egoku, kamu dengan sikap dinginmu. -@ratih.audiaa

Sehari, dua hari. Seminggu atau dua minggu masih biasa aja. Masih bisa makan enak sesaui sama yang aku mau, tapi memasuki minggu keempat- sekitar satu bulan umur pernikahan kita, mulailah terjadi perbincangan ini.

"Rat, kita harus hemat."

"Tapi, aku mau piza."

Ya, gimana yah. Namanya juga orang lagi pengin, apalagi aku sekarang lagi hamil lho. H-A-M-I-L! Bisa aja yang minta makan piza ini anak kita 'kan. Aku nggak mau, ya, anak kita nanti jadi ileran. Ih.

"Besok, ya."

"Maunya sekarang," aku merengek seperti bayi. "Sekarang, Den. Sekarang."

"Astaga," dia mendengkus, mendongakkan kepalanya. "Gue belum dapet kerjaan, Rat. Kita harus hemat dulu."

"Kamu pelit banget, sih!"

Jadi, begini kehidupan rumah tangga pada umumnya. Aku baru tahu rasanya. Serba kekurangan. Tiap harinya aku hanya mendekam di sebuah indekos sempit di daerah kumuh. Tidak ada AC. Rambutku jadi cepat lepek karena terlalu sering berkeringat. Aku nggak lagi pake skinker karena buat makan aja susah. Aku jarang make up. Baju yang aku pake seadanya. Bahkan, itu-itu aja.

Namun kalau urusan makanan, plis lah aku tidak bisa tahan. Nafsu makanku tinggi. Dari dulu. Sebelum aku hamil, aku memang doyan makan. Untungnya, Dewi Fortuna baik padaku. Tubuhku tidak melebar. Berat badanku ideal, meskipun makanku banyak. Sungguh itu sebuah keberuntangan.

"Bukan pelit," tegasnya, menatapku dengan tatapan sengitnya. Aku balas menatap Raden tak kalah tajam. Seakan tidak takut. "Kita emang beneran harus hidup hemat, Rat."

"Aku laper," kataku memberitahunya.

"Kan, baru aja makan nasi goreng."

"Laper lagi, Raden!" nada bicaraku meninggi. "Kamu lupa aku lagi hamil, hm? Aku tuh sekarang lagi berbadan dua tauk. Kamu tega banget biarin aku kelaparan."

Entah kenapa aku ingin menangis sekarang hanya karena aku mau makan piza, tapi Raden tidak punya uang untuk membeli makanan itu.

Aku jadi flesbek kehidupan hedonku sebelum menikah dengan Raden. Hampir setiap hari aku beli minuman di setarbak. Sepulang les mampir ke kaepci. Malamnya sambil belajar ngemil piza. Aku rindu saat-saat itu.

Saat tidur di kasur empukku. Saat ada di kamarku yang berAC. Saat bisa bebas menonton tayangan televisi. Di sini? Tidak ada hiburan apa-apa. Benar-benar miskin.

"Gue beliin nasi goreng lagi," ujarnya sambil meraih jaket.

"Nggak," tolakku sinis. "Aku nggak mau makan nasi goreng lagi."

"Barusan lo bilang, lo laper. Gimana, sih, Rat?" kekesalan Raden mulai tidak bisa dibendung lagi. "Jangan kekanak-kanakkan gini deh."

"Aku laper," ulangku lagi sambil menatap matanya begitu dalam. "Tapi, cuma pengin makan piza. Nggak mau yang lain."

"Kalau emang lo laper, makan seadanya pun bakal tetep bisa masuk ke dalam perut lo."

Dia bersikeras membelikanku nasi goreng, lagi. Rasanya hambar. Biasa aja. Tidak enak di lidah. Aku tidak suka. Aku memang jarang makan nasi goreng. Apalagi, makanan itu dibeli di pinggir jalan. Bukan di restoran-restoran mewah- tempat biasa yang aku datangi. Ah, menyebalkan.

"Tunggu, sini. Gue beliin."

Raden, nggak usah.

Aku tidak berani berucap lagi. Aku tidak berani menghalau kepergiannya. Aku membiarkan Raden keluar rumah, membelikanku nasi goreng. Aku menatap punggung tegapnya yang menjauh.

Kalau Raden tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, apa kehidupan kita akan lebih parah dari ini?

Bagaimana anak kita nanti? Bagaimana biaya persalinanku? Bolak-balik cek ke dokter kandungan 'kan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Ah, jadi seperti ini rasanya kebingungan saat tidak punya uang. Jujur, aku baru merasakannya sekarang. Biasanya aku hanya berucap sepatah kata saja, Papa langsung memberikan uang padaku dalam jumlah banyak yang jika aku gunakan untuk foya-foya, tidak akan habis. Sekarang, sepersen pun aku tidak ada uang. Sungguh, miris sekali.

Aku mengusap-usap perutku lalu bergumam. "Pernikahan ini, jauh dari ekspetasiku."

••••••••••

@aw.raden

Andaikan lo cowok, Rat. Pasti udah gue ajak baku hantam. Ngeselin banget, sih.

Gue bela-belain jalan kaki ke warung nasi goreng pinggir jalan raya yang letaknya lumayan jauh dari kontrakkan kita. Gue jalan kaki pulang ples perginya. Dua kali lagi. Kan tadi gue juga jalan kaki pas sore-sorean beliin dia makan.

Gini nih kalau nggak punya motor. Susah gerak. Mau ke mana-mana, jadinya mikir dua kali.

Gue mengembuskan napas berat saat sampe di rumah, Ratih malah main hape. Gue suruh makan tuh nasi goreng yang gue beliin, mumpung masih hangat, eh dia cuma ham-hem doang.

Gue ganti baju. Gerah.

Gue pikir, Ratih udah makan tuh nasi goreng yang gue beliin, eh ternyata enggak. Dia malah tidur. Astaga. Pengin banget ngeluarin ceramah di depan mukanya, tapi kok gue nggak tega, ya. Masalahnya di sini gue yang salah.

Gue yang ngerasa salah. Ya, emang gue yang salah. Gue akui.

Salah gue apa? Ada banyak. Banyak banget.

Pertama, gue udah hamilin dia. Gue yang ngerusak masa depannya. Gue yang terus aja ngerayu dia buat mau ngelakuin itu, pas masih pacaran sampe dia hamil sekarang. Jadi, gue selalu memaklumi aja kalau Ratih masih bersikap kekanak-kanakkan gini. Belum bisa terima kenyataan kalau hidupnya berubah 180 derajat.

Pengin banget gue beliin dia piza. Andaikan gue ada uang. Ada uang sih sekarang di dompet, tapi buat makan besok. Intinya, besok gue harus lebih giat deh cari kerjaan. Apa pun itu. Yang penting dapet uang. Uang buat makan. Buat tabungan persalinan baby kita. Buat beli kipas angin biar nggak kepanasan gini.

Gue ikut berbaring di sampingnya. Ratih tidur dalam posisi menyamping. Gue baru tahu kalau dia cuma lagi merem doang karena napasnya memburu cepat. Pas gue tatap lagi, eh ternyata dia lagi nangis.

Nangis dalam diam.

Ah, sial!

Gue paling nggak bisa lihat cewek nangis. Gue kayak jadi orang terjahat aja gitu kalau sampe bikin Ratih nangis.

"Kok nangis, sih?" ucap gue lalu memeluknya dari belakang sambil mengusap-usap rambutnya. "Cup, cup. Cup. Besok kalau gue dapet kerjaan, gue janji bakal beliin lo piza."

Dia masih nangis.

"Pengin banget, ya?"

Dia menganggukkan kepalanya, membuat gue semakin terluka nggak bisa nurutin permintaannya makan piza. Suami macam apa gue ini. "Makan aja nasi goreng yang gue beliin. Lo bayangin deh tuh nasi goreng... piza."

"Mana bisa?!" kesalnya, meremas tangan gue dengan kuat. Gue sama sekali nggak kesakitan, sih. Malah jadi geli.

Gue menempatkan kepala ini di pundaknya seraya tangan gue merambat ke perutnya. "Yang minta baby kita, ya?"

"Iya...." jawabnya pelan.

Gila, sih, kalau Ratih mulai ngidam makanan yang mahal-mahal. Dompet gue menangis.

"Sabar, ya," bisik gue dengan lembut di telinganya. "Maaf, ya, lo jadi hidup susah gini sama gue."

Tangisnya makin kenceng. Kayaknya sih ini juga karena hormon ibu hamil. Ratih jadi sensitif banget.

"Udah, jangan nangis."

Dia berbalik, menatap gue selama beberapa menit lalu memeluk gue lagi. Posisi kita jadi saling berhadapan, berpelukan.

"Maafin aku nyusahin kamu."

"Enggak, enggak," gue menciumi puncak kepalanya. Gue paham, Rat. Lo pasti juga butuh waktu ada di posisi sekarang ini. "Lo sama sekali nggak nyusahin gue, Rat. Ntar, ya. Kalau gue punya uang, lo minta apa pun pasti bakal gue turutin."

------
A/n: Konfliknya apa, ya, ntar hmmmmm....

Mulai besok udah puasa. Tetep update kah aku?

A. Tetap up

B. Hiatus aja dulu

Follow Instagram @aw.raden @ratih.audiaa @novaasiswanto @novaadhita

Dari seorang perempuan yang lagi takut sama hujan.

Kamis, 23 April 2020

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 183K 34
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
4.3M 444K 61
Mereka hanya manusia biasa, yang sedang belajar jatuh cinta, peka dan memaafkan. *** 27-10-21 # 1 in girl 09-01-21 #1 in friendzone 03-11-20 #1 in fi...
2.7M 291K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
126K 12.2K 62
-highest rank- #1 in thriller 18-02-22 #1 in friendship 08-06-22 *** Berawal dari surat cinta yang harus Anga sampaikan dari temannya untuk Marva. Na...