Manajemen Rumah Tangga โœ”

ุจูˆุงุณุทุฉ bintkariim

254K 17.3K 1.1K

๐€๐ซ๐š๐›๐ข๐œ || ๐„๐ง๐ ๐ฅ๐ข๐ฌ๐ก (Follow dulu yuk!) โ€ข ๐Ÿ‘‰Buat kamu yang masih muda tapi kebelet nikah, disarank... ุงู„ู…ุฒูŠุฏ

Testimoni
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
33
34
35
36
37
38
39
40
Notes Penulis
Happy 200K Reads
TERBIT
VOTE COVER
OPEN ORDER MRT

32

4.1K 340 32
ุจูˆุงุณุทุฉ bintkariim

Dua tahun berlalu, melawan keterpurukan dan kesedihan yang melanda. Aku melewati masa-masa sulit karena patah hati. Selama dua tahun juga, ku tinggalkan Aira di Indonesia agar ia melanjutkan kuliahnya.

Ini memang sulit, aku begitu berduka karena meninggalnya bayiku yang sudah sangat ku nantikan. Setelah itu aku memutuskan ke Malaysia untuk meninggalkan kenangan indah sekaligus pahit di Indonesia. Jika aku berada di rumah, aku selalu dihantui kegalauan setiap saat.

Al Fatih, sampai kapanpun dia tak akan tergantikan walaupun nantinya aku akan punya anak lagi. Kenangan dengannya begitu mendalam. Darinya aku belajar dan terus belajar menjadi seorang ayah. Setiap malam aku selalu membacakan Al-Qur'an untuknya yang begitu nyaman dalam perut ibunya di kala itu.

Aku melanjutkan program magister di International Islamic University Malaysia (IIUM). Aku memilih di Selangor, Malaysia karena berdekatan dengan nenekku walaupun aku tidak tinggal bersamanya karena aku menetap di asrama.

Selama dua tahun ini aku dan Aira juga tidak saling memberikan kabar, bukannya kami tidak mau dan tidak saling merindu, tapi aku sendiri yang melarangnya. Yah, aku ingin kami sama-sama belajar dulu. Aira ku perbolehkan menghubungiku jika ia sudah menyelesaikan sidangnya.

Rindu, sudah pasti. Bagaimana tidak? Aira selalu memberikan warna baru dalam hidupku. Aku mengalami kepahitan dalam hidupku karena iri pada mereka yang masih memiliki seorang ibu. Setelah menikah, Aira ada untukku untuk menghapus kesedihan itu hingga membuatku lebih semangat.

Tak berhenti di situ, kami dilanda berbagai cobaan yang membuatku semakin tangguh. Berbagai cobaan menghinggapi, aku pernah begitu marah dan kecewa ketika Aira divonis keguguran karena keteledorannya. Lalu Allah kabulkan doaku agar aku bisa merasakan menjadi seorang ayah. Aku begitu ceria di masa-masa kehamilan Aira. Kami sama-sama menanti kelahiran bayi kami dengan tidak sabaran.

Aku baru saja selesai makan siang di rumah makan bersama salah satu temanku asal Pakistan dan kami akan bergegas pulang ke asrama. Tiba-tiba ponselku berdering tanda ada yang menelpon.

"Aira?" aku begitu kaget dengan nama yang tertera di layar ponselku.

Ada dua kemungkinan, kalau bukan karena ada hal mendesak, berarti Aira sudah mengikuti sidang sehingga ia menghubungiku. Tapi sepertinya ia belum sidang karena aku diam-diam selalu mengawasinya melalui dosen pembimbingnya di Indonesia.

Aira ini begitu bandel. Padahal aku selalu memarahinya setiap ia menelpon ku, tetapi ia terus saja menghubungiku dengan alasan tertentu. Ia pura-pura menanyakan buku panduan dan pura-pura lupa menaruh buku dimana. Aku tahu, sebenarnya itu trik karena tidak tahan dengan rasa rindu, sama sepertiku.

Ponselku terus saja berdering, akhirnya aku mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, ada apa? kamu udah sidang?" tanyaku cuek.

"Wa'alaikumus salam, sayang. Aku sidang minggu depan lho," balasnya antusias.

"Ohh sidangnya minggu depan? terus, kenapa kamu telfon aku? belum tentu sidang kamu akan berhasil. Belajar lagi sana! jangan telfon aku!!"

"Masa sebentar aja gak boleh? aku mau minta doa dari kamu, biar sidang ku berjalan lancar,"

"Tetap enggak!"

"Kamu aneh banget sih? aku curiga, jangan-jangan kamu ada yang lain di sana, kamu selingkuh?" tanyanya dengan nafas memburu.

"Kita udah sering bicarakan soal ini, harusnya kamu nggak menuduh aku yang tidak-tidak. Ingat ya, perkataan itu adalah doa. Kamu mau, aku beneran selingkuh?" tanyaku sinis.

"Kamu nggak ngerti gimana rasanya berada di posisi aku. Aku itu kangen sama kamu, tapi kamu selalu marah setiap kali aku telfon," sembur Aira yang membuatku harus mengelus dada.

"Intinya kamu harus belajar yang giat biar sidang kamu berjalan dengan mulus," ujarku mengabaikannya yang mulai menangis.

"Apa kamu tahu, seperti apa keadaan aku di sini? aku dibully sama adik-adik kelas karena mereka kira aku ini mahasiswa bodoh yang harus remedial. Mereka memandangku sebelah mata.." isak tangisnya bisa ku dengar.

"Kamu gak usah mikirin mereka.." balasku kemudian.

"Mereka juga mengira kalau aku terlambat lulus karena aku mahasiswa yang gak fokus, aku lebih memilih menikah dan mengabaikan kuliah sehingga kuliahku lama selesainya,"

"Oke, look! jangan terlalu pikirkan mereka, anggap aja angin lalu. Yang terpenting, Allah tahu apa alasan kamu terlambat menyelesaikan studi mu. Kamu itu kecelakaan dan koma selama satu semester, gimana mau kuliah? dan, soal kemaren, kamu itu hebat! kamu menetapkan skala prioritas terbaik. Kamu memilih menjaga bayi kita, kamu meluangkan waktumu untuk kita, kamu hebat!!

Ingat, banyak di luar sana yang mengabaikan suami dan anaknya demi mengutamakan karier, tapi tidak dengan kamu. Kamu itu langka!"

Hening. Setelah lama terdiam, akhirnya Aira mengeluarkan suara kembali.

"Tapi aku kangen sama kamu.."

Aku pikir kamu udah pingsan beberapa menit yang lalu.

"Makanya, kamu harus persiapkan sidang sebagus mungkin biar bisa lulus dan kita bisa ketemu." Tutup ku mengakhiri obrolan kami. 

_____

Satu minggu berlalu. Aira kini kembali meneleponku begitu ia selesai menjalani proses sidang.

"Aku udah sidang, aku sarjana sekarang!!" ucapnya di seberang sana dengan wajah penuh kebahagiaan yang ku lihat lewat video call. Ini adalah pertama kalinya kami melakukan video call setelah dua tahun berpisah. Sementara aku hanya mengarahkan kamera ke atap kamar asramaku. Aku sama sekali tidak ingin menampakkan wajah ku pada Aira.

"Tadi kenapa di bab tiga kamu copy paste dari skripsi aku? untung aja dosen pengujinya nggak tahu," responku setelah sekian lama menatapnya yang tersenyum girang.

"Kok kamu bisa tahu?" Tanya Aira dengan kernyitan di dahinya.

"Apa sih yang nggak aku tau tentang kamu? di ruang sidang terpasang kamera tersembunyi dan langsung connect ke laptopku," jujur ku.

Aku juga diam-diam mencaritahu kegiatan Aira lewat Instagram-nya dengan akun ku yang baru, karena akun lama ku sudah memblokir dirinya.

"Kamu curang! padahal aku sama sekali gak boleh tahu tentang kamu," kesal Aira.

"Biarin," balasku cuek. "Aku cuma mengawasi kamu aja," sambung ku.

Hening. Tak ada yang saling mengatur kata. Sampai kemudian Aira bersuara.

"Aku pengen liat wajah kamu,"

"Buat apa?" tanyaku.

"Kita udah dua tahun ini gak ketemu dan gak saling melihat wajah lho. Aku penasaran seperti apa kamu sekarang.." ia beralasan.

Bilang aja rindu, apa susahnya sih?

"Gak ada yang berubah dari aku. Masih sama kok. Tinggi masih 175 cm, berat badan masih sama, bahkan sepertinya mulai menurun. Mata, telinga, kaki, tangan, semua masih dua kok. Hidung dan mulut aku juga gak nambah," ujarku dengan tawa tertahan.

"Bang, aku serius lho,"

"Awak kira saya becanda ke?"

Aku tidak sepenuhnya jujur, aku yang sekarang sudah berubah dari segi fisik maupun psikis. Tubuhku tak lagi kurus, sudah agak berisi dengan otot-otot. Setahun yang lalu aku mulai mengenakan kacamata karena mataku mulai minus. Aku lebih sering membaca e-book dari pada buku biasa untuk bahan kuliahku, karena lebih praktis dibawa ke mana-mana, cukup dengan memanfaatkan ponsel.

Paradigma ku terhadap kehidupan juga mulai lebih luas dari sebelumnya. Berada di kampus internasional bertemu dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, membuatku berfikir lebih matang.

"Kamu gak asik,"

Suara Aira dari seberang sana membuyarkan lamunanku. "Wah, kamu hebat! aku memang gak asik orangnya," balasku yang tak pernah bosan membuatnya kesal.

"Aku kan udah sidang nih, berarti boleh dong aku sering-sering telfon kamu?!"

"Revisi jangan lupa!" balasku yang membuatnya memutar bola mata jengah. "Boleh aja sih telfon aku, cuma aku gak janji bakalan angkat telfon atau balas pesan dari kamu,"

"Kamu kok gitu sih? perjanjiannya kan aku boleh hubungi kamu kalau aku udah sidang!! aku pikir kamu udah berubah, tapi ternyata masih ngeselin!!"

"Kamu juga belum berubah, masih kekanak-kanakan. Kamu kan tahu aku juga kuliah di sini. Harusnya kamu mau mengerti!!" balasku tak kalah sengit. Aira buru-buru mematikan teleponnya membuatku gusar. Pasti ia marah saat ini.

_____

Aku begitu sibuk akhir-akhir ini. Ternyata untuk mengejar S2 juga tak kalah lelahnya dari sarjana. Aku harus pandai membagi waktu untuk kuliah, mengajar tahfidz bagi anak-anak di masjid setiap sorenya, dan sesekali harus pulang ke rumah nenek. Ibu dari Ummi ku itu akan marah-marah bila aku tidak menjenguknya setiap seminggu sekali.

Bisa di bilang nenekku itu orang berada, tapi aku tidak mau merepotkan. Aku kuliah dengan beasiswa dan bertahan hidup dengan mengajar anak-anak menghafal Al-Qur'an. Aku juga menulis jurnal sebagai penghasilan tambahan. Padahal nenekku memintaku untuk tinggal bersamanya, namun tetap saja aku enggan menetap di sana. Ia memberikan aku sejumlah uang untuk keperluanku, tapi aku menolak. Akhirnya nenek membelikan mobil dengan uang itu, mau tidak mau aku harus menerimanya karena ia mengancam ku tidak boleh menjenguknya lagi kalau aku tolak mobil tersebut.

Sore ini aku mengajar anak-anak sembari membawa mereka jalan-jalan di sekitaran mesjid, agar mereka tidak bosan harus berada di ruangan terus-terusan walaupun mesjid tersebut begitu adem.

Sudah satu jam proses belajar mengajar berlangsung, aku meraih ponselku untuk berfoto selfie dengan mereka. Suasana sore ini begitu indah dengan sunset yang mulai terlihat.

Sebuah panggilan dari nomor yang tidak ku kenal, masuk. Aku jadi terheran-heran. Dengan segera aku mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, siape ni?"

"Wa'alaikumus salam, ini aku. Tolong jemput aku sekarang di airport,"

Aku terkejut bukan main dengan suara yang begitu familiar di telinga ku. "Kamu, Dek?"

"Iya, tolong jemput aku.."

"Kamu di Malaysia? kok bisa?" tanyaku tak percaya. Tapi dari nomor teleponnya yang tertera +60 membuatku yakin jika dia di Malaysia.

"Nanti aku cerita, tolong jemput aku, please.."

"Gak, aku gak suruh kamu ke sini,"

"Kamu mau biarin aku jadi gelandangan di bandara?"

"Balik aja sana!"

"Bang, cepetan!! ini mau habis pulsa orang!!" teleponnya mati. Aku tidak tahu, entah pulsanya habis atau Aira marah. Intinya aku harus menjemputnya sekarang karena hari sudah begitu sore.

Setibanya di airport aku melangkah gontai untuk menemui Aira di sana. Aku berjalan menyusuri kerumunan orang. Seketika aku khawatir, bagaimana jika Aira marah dan segera membeli tiket untuk pulang kembali.

Aku terengah-engah karena berlarian sedari tadi namun belum juga menemukannya.

"Ya Allah.. dimana Aira?" aku bermonolog sembari melihat-lihat orang-orang di sekitar bandara.

Netra ku menatap sosok seorang wanita yang tak asing. Memang terlihat banyak perubahan dari dirinya, tapi aku yakin itu adalah Aira. Istriku itu ternyata sekarang sudah lebih cantik dan terlihat lebih dewasa. Aku tersenyum sesaat lalu menuju ke arahnya yang sedang celingak-celinguk mencari ku.

"Udah bisa pasang tabung gas sendiri?" ujarku begitu berdiri tepat di hadapannya dengan jarak yang begitu dekat.

Aira yang sedang melihat kesana-kemari langsung menatapku dengan tatapan heran. Penampilanku sudah berubah dari sebelumnya, rambutku sudah memanjang, dengan kacamata bertengger di mataku sehingga Aira susah mengenaliku.

Ku lepaskan kacamata itu dan menatapnya dengan senyuman.

"Bang Ari?" pekiknya lalu menghambur ke dalam pelukanku. "Aku kangen berat," aku hanya bisa tersenyum dengan tingkahnya.

"Udah, jangan lama-lama. Ga enak jadi tontonan orang," bisik ku.

Aku meraih koper miliknya lalu menuntunnya menuju mobilku. Begitu kami sudah memasuki mobil, ia kembali bermanja-manja denganku. Dipeluknya lenganku yang sedang menyetir mobil itu.

"So, kita kemana nih?" tanyaku padanya. Ia balas menatapku datar, kebingungan. "Aku tinggal di asrama, kamu gak mungkin ku bawa ke sana. Kamu tinggal sama nenek gimana?" tanyaku.

"Terus, kamu?"

"Yaa di asrama lah,"

"Gak mau.. aku maunya sama kamu," rengeknya sembari mengeratkan genggamannya.

Jujur, aku risih. Setelah dua tahun tidak adanya kontak fisik dengannya, aku merasa kaku. Rasanya sama seperti pertama kali menikahinya, aku dilanda kegugupan dan ketakutan berdekatan dengan Aira.

"Kalau begitu, kita ke hotel. Untuk malam pertama.." ujarku seraya menaik-turunkan alisku.

Cepat-cepat ia melepaskan diri dariku dan menjauh sebisa mungkin.

Yes, berhasil. Akhirnya aku bisa bernafas lega karena Aira sudah menjauh.

ูˆุงุตู„ ุงู„ู‚ุฑุงุกุฉ

ุณุชุนุฌุจูƒ ุฃูŠุถุงู‹

110K 9.6K 80
JANGAN LUPA FOLLOW YA ๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜ Mari kita dukung para penulis yang sudah berusaha keras mempublikasikan dan menyelesaikan setiap tulisannya dengan memberi...
52K 4K 45
๊œฑแด‡แดส€แด€ษดษข แด…แดแด‹แด›แด‡ส€ แดแดœแด…แด€ สแด€ษดษข แด›ษชแด…แด€แด‹ แด˜แด‡ส€ษดแด€สœ ส™แด‡ส€แด‹แด‡ษชษดษขษชษดแด€ษด แดแด‡ษดษชแด‹แด€สœ แด…แด‡ษดษขแด€ษด สŸแด€แด‹ษช-สŸแด€แด‹ษช แด˜ษชสŸษชสœแด€ษด แด€สแด€สœษดสแด€, แด›แด‡ส€สŸแด‡ส™ษชสœ สŸแด€ษขษช แด…แด‡ษดษขแด€ษด ๊œฑแด๊œฑแดแด‹ สŸแด€แด‹ษช-สŸแด€แด‹ษช แด€แด˜แด€แด›ษช๊œฑ แด…แด€ษด แด›ษชแด…แด€แด‹ แดแด‡...
I Love You Mantan ุจูˆุงุณุทุฉ Sapiya Azhara

ุงู„ุนุงุทููŠุฉ

1.2K 323 43
Anggara berharap hubungan dia dan Kinara bisa berakhir sebagai status suami-istri. Tapi setelah mendengar Anggara ingin jadi petani, Kinara memutuska...
When You Promise (End) ุจูˆุงุณุทุฉ ๐ŸŒทryndnia

ู‚ุตุต ุงู„ู…ุฑุงู‡ู‚ูŠู†

84.2K 5.2K 43
Nadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal...