It (Rafan)

By alvikaDae

263K 28.3K 2.6K

Aku dan kamu adalah kita Banyak kisah kita yang bercerita tentang cinta Tapi kisah ini bukan cerita tentang k... More

----
1. Kemarahan
2. Love at first sight
3. Teka-teki dari pengacau
4. Tiga Saudara
5. Pertengkaran Pertama
6. Rumah
7. Salah paham
8. Kesepakatan bersama
9. Hari Pertama
10 - Hari Pertama (2)
11. Hari Pertama (3)
12. Ari
13. Lebih Dekat
14. Fier mengamuk
15. D.O
16. Bunda
17. Tebakan Diya
18. Keputusan
19. Menunggu
20. Mulai Bergerak
21. Oper Permainan
23. Mengubur Rahasia
24. Permintaan Maaf Rafan
25. First Date

22. Penelusuran

3.1K 535 82
By alvikaDae

Setelah mengantar Fianer pulang, Rafan kembali ke markas lagi. Teman-temannya sudah menunggu di sana. Berkumpul di lantai bawah, duduk berpencar. Mereka sedang ngobrol entah apa. Lalu mendadak diam saat dia datang.

"Kenapa?" tanya Rafan.

"Cewek lo keren banget." kata Pram.

Rafan tidak menanggapi. "Mana tu anak?"

"Di atas, sama Sam." jawab Kris. Rafan langsung berbalik berniat ke atas. Namun panggilan dari Kris membuatnya berbalik lagi. "Kenapa lo nggak ajak dia gabung sama kita?"

Rafan menatap Kris datar. Lalu kembali berbalik meninggalkan teman-temannya yang bergumam berisik di belakang. Masa bodoh mereka bilang apa. Rafan tidak peduli. Jika tidak terpaksa, dia lebih suka mengisolir kehidupan sisi gelapnya ini dari keluarganya. Dia tidak ingin mereka tahu apa yang di lakukannya di sini. Selain dia tidak ingin di batasi, dia juga tidak ingin keluarganya dalam bahaya karena dirinya.

Rafan menaiki tangga dua-dua. Hingga akhirnya dia sampai di atas dan melihat Sam duduk di sofa usang dengan Riki yang terikat di sampingnya. Bisa dia lihat Riki sedang diintimidasi Sam.

"Thanks udah jagain."kata Rafan. Dia memberi isyarat pada Sam kalau dia akan menggantikannya. Namun Sam tidak bergeming sama sekali.

"Cewek lo udah balik?" tanya Sam. Nada penasaran itu cukup terasa. Hingga membuat Rafan menghela napas panjang.

"Udah," Rafan berusaha sabar.

"Ke sini lagi kapan?"

Rafan memutar bola matanya jengah. Dia meminta Sam keluar karena dia ada urusan dengan Riki. Mau tidak mau Sam turun ke bawah. Tinggal Rafan dan Riki di sana. Rafan duduk di samping Riki.

"Pantes lo nggak pernah tertarik sama cewek di sini. Standart lo secantik itu."

Sedari tadi dia berusaha sabar. Namun mereka terus-menerus bertanya. Membuat telinganya berasap! "Siapa bilang standart gue dia? Asal lo tahu, cewek tadi itu masih di bawah standard gue." jawab Rafan keki.

Mulut Riki ternganga. Mendengar kata-kata Rafan membuat perutnya mulas tidak karuan. Jika cewek secantik itu saja belum memenuhi standard Rafan cewek seperti apa lagi yang bisa?

Rafan menonyor kepala Riki. "Nggak usah di pikirin. Otak lo nggak akan nyampe." kata Rafan datar. "Lagian di sini gue yang harusnya ngajuin pertanyaan, bukan lo!"

Riki mendengus. "Kalo lo mau ngorek informasi tentang bos gue, gue nggak akan mau jawab."

Rafan mengabaikan kata-kata Riki. "Gue cuma mau tahu tentang Robi."

"Robi?"

Rafan mengangguk. "Gue mau lo kasih tahu semua yang lo tahu tentang orang itu."

"Kenapa?"

"Bukan urusan lo."

Riki terdiam sejenak. Dia memutuskan bercerita. Karena semua informasi yang dia punya tentang Robi tidak ada yang berbahaya untuknya. Dia berceritapun tidak akan berpengaruh apa-apa padanya.

"Apa yang lo mau tahu?"

"Semuanya."

Riki mengangguk mengerti. Dia mendengus saat mengingat semua hal tentang Robi. "Setahu gue dia dulu anak orang kaya. Tapi bokapnya bangkrut setahun lalu. Dia mendadak jadi gembel." Riki memulai ceritanya. Dengan santai dia mengangkat kakinya ke atas sofa buluk. Bahkan merogoh sakunya dan mengambil bungkus rokok. Dia membukanya dan mengambil satu-satunya rokok yang tersisa. Mengapitnya di bibir lalu mencari-cari di saku lain hingga menemukan pematik dari sana.

"Yang gue tahu kerjaan dia cuma satu. Jadi dealer. Duitnya dia pake buat sekolah sama hidup." kata Riki santai. Dia menyalakan api dan menyulut rokoknya. Satu hisapan, dia menghembuskan asapnya ke udara, lalu menoleh ke arah Rafan. "Kemarin gue sempet hadep-hadepan sama dia. Balap motor. Dia kalah."

"Apa yang lo dapet?"

"Se-gram."jawab Rik. Dia mennyesap rokoknya lagi. "Awalnya dia nggak mau kasih. Si bego itu kabur. Tapi anak-anak bantuin gue nangkep tu orang. Hampir bonyok. Untungnya dia langsung kasih sesuai janji. Jadi gue lepas."

"Gue denger dia lagi punya masalah. Dia punya utang banyak ke bosnya."

"Siapa bosnya?"

"Omar."

Rafan mengernyitkan dahi. Dia belum pernah mendengar nama itu. Tapi wajar. Rafan belum pernah bergaul di lingkaran pemakai. Sebejat-bejatnya teman-temannya di sini, Rafan bisa jamin tidak ada satupun yang menyentuh barang haram itu.

"Gue saranin lo nggak berurusan sama dia. Dia berbahaya. Orang-orangnya banyak. Mereka nggak pernah ragu buat bunuh orang."

"Kasih tahu aja di mana gue bisa ketemu dia."

Riki nyengir. Salut pada orang gila di depannya. Entah ada masalah apa dengan Robi. Mendekati Omar bisa dibilang cari mati. Tapi siapa yang peduli?

Jika Rafan mati, itu bukan urusannya.

---

Alamat yang Riki berikan adalah gudang di belakang terminal. Setelah membiarkan Riki pergi, Rafan langsung ke tempat itu. Bahkan tanpa memberitahu Sam dan teman-temannya kemana dia akan pergi.

Dia akui, perasaannya jelek saat ini. Instingnya mengatakan bahwa dia tidak perlu ke sana. Namun rasa penasaran yang semakin membuncah membuatnya maju. Dia tidak bisa menerima informasi sepotong-sepotong. Apalagi dia masih belum mendapatkan apa yang dia inginkan.

Alasan kakaknya begitu marah pada Robi masih belum dia ketahui. Maka dari itu dia memutuskan untuk pergi ke gudang belakang terminal, markas pengedar narkoba.

Rafan tidak langsung masuk. Dia terlebih dahulu berjaga di luar. Tempat itu sepi. Beberapa orang namun belum ada yang keluar lagi. rafan memutuskan menunggu di depan. Bersembunyi di balik drum-drum bekas dan mengintip di celahnya.

Jika ini markas bos Robi, ada kemungkinan Robi dan teman-temannya ada di sana. Robi tidak boleh melihatnya, atau semuanya kacau. Dia harus teramat hati-hati karena dia sendirian. Satu masalah kecil bisa membuat nyawanya melayang.

Cukup lama Rafan menunggu. Matahari mulai naik saat Rafan melihat seseorang keluar dari dalam gudang. Seorang laki-laki memakai kaos hitam dan celana jeans dengan rantai bergelantungan. Rafan juga bisa melihat tato yang terukir di sepanjang lengan.

Umurnya diperkirakan sudah 20-an. Rafan memutuskan untuk mengikuti orang itu. karena dia adalah kesempatan terbaik yang Rafan punya sekarang. Sejak tadi Rafan menunggu, hanya laki-laki ini yang benar-benar pergi meninggalkan gudang.

Rafan mengambil motornya dan mengikuti laki-laki itu dari belakang. Tak lama, laki-laki itu menghentikan motornya di tepi jalan. Lalu masuk ke sebuah warung. Rafan ikut berhenti, meninggalkan motornya di belakang motor laki-laki itu lalu menghampirinya.

Laki-laki itu menyesap rokok yang baru di belinya.

Rafan ikut membeli rokok sebatang. Dia menyalakannya dan menyesapnya. Ini bukan pertama kalinya Rafan merokok. Dia pernah belajar dan tidak suka. Namun aksi ini dia butuhkan untuk mendekati target. Rafan menghembuskan asap rokoknya pelan sambil melirik laki-laki di sampingnya.

"Lo anak buah Omar kan?" tanya Rafan tanpa basa-basi.

Laki-laki di sampingnya terkejut. Dia menoleh pada Rafan yang menatapnya tenang. "Lo kenal gue?" tanya laki-laki itu.

Rafan menggeleng jujur. "Cuma pernah liat lo aja. Sama Omar." jawab Rafan. Mengarang indah.

"Oh," laki-laki itu mengangguk-angguk saja.

"Gue Ardan." Rafan menggunakan nama Ardanis dari nama panjangnya untuk nama aliasnya kali ini. Dia mengulurkan tangan. Rafan menyeringai saat laki-laki itu menyambut uluran tangannya.

"Herman."

Rafan mengangguk lalu keduanya melepaskan tautan tangan. "Lo tahu Omar dari mana?" tanya Herman kemudian, lalu menyesap rokoknya lagi.

"Kalo gue butuh, kadang-kadang nyari dia." Rafan masih mengarang indah.

"Oh. Emang biasanya lo beli sama siapa?"

Rafan terdiam sebentar, memikirkan jawaban. "Nggak pasti. Kadang sama Robi. Tapi kalo dia lagi nggak ada barang baru gue cari Omar."

"Oh, Robi."

Rafan mengangguk. "Lo kenal?" pancing Rafan.

"Kenapa?"

Herman tiba-tiba terkekeh. Dia menyesap rokoknya lagi lalu menghembuskan asapnya lambat. Sepertinya dia senang mendengar pertanyaan Rafan. "Sering nongkrong bareng." jawab Herman. "Lo kalo butuh ke gue aja. Sekarang Robi sekarang nggak bisa nyuplai lo lagi."

"Kenapa?" tanya Rafan santai. Seolah dia tidak terlalu tertarik, meskipun sebetulnya penasaran setengah mati.

"Utangnya udah kebanyakan. Omar udah nggak percaya sama Robi lagi buat pegang barang."

"Oh ..." Rafan terdiam sejenak. Dia sudah mendengar dari Riki tentang itu. Bahwa Robi mempunyai hutang yang besar kepada Omar.

"Lo tahu ceweknya Robi?" tanya Rafan.

Herman mengernyit. "Emang Robi punya cewek?"

Seketika Rafan terdiam. Rafan tahu Herman jujur. Jika Herman tidak tahu tentang Livi, apa itu berarti dia mencari di tempat yang salah? Kemungkinan besar Omar tidak ada hubungannya pula dengan semua ini.

Rafan menghela napas pelan. Sepertinya pencariannya sia-sia.

Kecewa, Rafan kemudian melihat jam tangan hitamnya. Sudah pukul sebelas. Dia merogoh saku mencari ponselnya. Saat dia melihat layarnya, dia mendesah kesal. Lowbeat. Dia lupa mengisi baterainya semalam. Ck!

Dia sudah telat 3 jam dari waktu perjanjian. Rafan memutuskan untuk ke rumah Diya. "Gue duluan," ucap Rafan kemudian. Dia membuang puntung rokoknya yang masih panjang dan berjalan menuju motornya.

"Tapi, kayaknya kemaren gue denger Abdul beli dari Robi." Herman bergumam pelan.

Rafan menghentikan langkah dan menoleh kembali. Dahinya mengernyit dalam. Dia menatap Herman yang sedang menggaruk kepalanya. "Lo bilang Omar bakal stop supply Robi."

"Emang biasanya begitu. Omar selalu main stop kalo utang udah numpuk."

"Terus kenapa Robi masih punya stok barang?"

Herman mengedikkan bahu. Mana dia tahu. Namun Rafan menemukan satu jejak lagi. Jejak yang membuat rasa penasarannya yang nyaris padam kembali menyala.

---

Semakin di pikirkan, Rafan tidak puas hanya bertindak hati-hati. Mengorek informasi dari orang di sekitar Omar memang membuat langkahnya aman. Tapi lama, dan melelahkan. Dia berniat mengambil jalan berputar. Tapi sayangnya baru sebentar dia sudah tak sabar.

Rafan memutuskan ingin menemui Omar langsung. Bertanya pada orang yang bersangkutan akan lebih cepat.

Sebelum ke terminal, Rafan mampir ke atm. Mengambil cash 3 juta dari tabungannya. Baru setelah itu dia menuju ke gudang belakang terminal.

Semakin lama, gudang terlihat sepi. Dia langsung masuk saja, tanpa peduli situasi. Ada beberapa orang di sana yang langsung berdiri melihat Rafan. Menghampiri Rafan dengan gaya sangar.

"Siapa lo?" tanya salah satu dari mereka.

"Omar ada?" tanya Rafan.

"Ada urusan apa lo nyari dia?"

"Gue butuh barang."

"Oh. Nggak perlu ke Omar. Gue juga ada."

Rafan menggeleng. "Gue juga ada perlu lain sama dia. Lo tahu Omar ada di mana sekarang?"

Laki-laki itu saling pandang dengan teman-temannya, ragu. Melihat penampilan Rafan dari atas sampai bawah. Rafan terlihat bugar tidak seperti pemakai. Namun juga terlihat kaya. Mereka takut Rafan adalah pelanggan VIP bos mereka. Jadi mereka takut mengusirnya.

"Ikut gue." kata salah satunya.

Rafan lega akhirnya bisa bertemu juga dengan Omar. Merka masuk ke dalam sebuah ruangan. Rafan langusng di sambut dengan asap dimana-mana. Ruangan itu tidak terlalu luas, hanya 4 x 4, tanpa jendela. Hingga asap rokok terjebak semua. Rafan berusaha menahan napas agar tidak terbatuk. Di atidak ingin mereka tahu bahwa dirinya masih amatiran.

Saat pintu di buka tadi, asap itu seperti berlarian keluar. Hingga pandangan Rafan bisa lebih jelas. Banyak krat-krat minuman ditumpuk juga tempat tidur lapuk.

Di sana terlihat Omar bersama seorang wanita setengah telanjang. Sedang fly, menikmati nikmatnya barang haram yang mereka hisap. Rafan menghela napas pelan. Untuk bisa berbicara normal dengan Omar dia harus menunggu laki-laki itu sadar.

"Dia lagi nggak bisa di ganggu."

Rafan tahu. "Gue tunggu aja." ucap Rafan akhirnya. Jujur saja, dia tidak suka menunggu. Terlebih ponsel yang dia punya tidak berguna. Dia tidak bisa apa-apa selain bergabung di luar bersama anak buah Omar dan duduk dalam diam.

"Gue baru liat lo. Baru ya?" tanya orang yang tadi mengantarnya ke ruangan Omar.

Rafan mengangguk saja.

"Lo butuh apa? Gue punya banyak stok. Nunggu Omar bakal lama."

"Robi mana?" tanya Rafan tiba-tiba.

"Lo kenal Robi?"

"Gue biasanya urusannya sama dia."

"Oh," laki-laki itu memisahkan diri dari teman-temannya lalu duduk di dekat Rafan. "Gue Jabrik."

"Danis." Rafan kembali memberikan nama alias, masih dari nama panjangnya, namun dengan panggilan berbeda.

"Robi nggak dateng. Denger-denger dia habis bengep dikeroyok orang."

Rafan pura-pura terkejut. "Sama siapa?"

"Katanya sama anak sekolah dia."

"Kok bisa?" tanya Rafan lagi. "Kenapa Robi bisa di keroyok? Masalahnya apa?"tanya Rafan bertubi. Karena pertanyaan inilah yang sedang dicarinya sejak tadi. alasan Robi dan Fier bertengkar!

Jabrik mengedikkan bahu, "Mana gue tahu, emang gue emaknya."

Jawaban Jabrik membuat Rafan menghela napas panjang. Rasa penasaran Rafan menguap smeua. Dia kembali menatap ke depan malas. Lagi-lagi Rafan menabrak tembok. Lagi-lagi jalan buntu.

---

Jam 2, Omar baru keluar. Rafan sudah menunggu lama. Dia langsung berdiri melihat Omar yang menghampirinya dengan wajah heran sambil menggaruk bokongnya.

"Sapa lu?"

"Nyariin lu bos!" Jabrik berseru dari ujung ruangan. Dia sedang sibuk dengan suntikan di tangannya.

Omar mendekat dan berdiri di hadapan Rafan. Rafan diam-diam memperhatikan gerak-gerik Omar. Lagi-lagi Omar berbadan besar berotot. Tatonya lebih banyak dari yang biasa Rafan lihat di tubuh orang. Bahkan sampai lehernya pun ada gambarnya.

"Lo ngapain nyari gue?" tanya Omar, sangar.

"Kata temen gue lo punya barang bagus."

"Kata siapa?"

"Robi." bisik Rafan lirih. "Dia bilang kalo butuh barang bagus nyari lo aja."

Omar terdiam sejenak, lalu mengedikkan kepala meminta Rafan mengikutinya. Rafan menurut. Dia kembali di ajak ke kamar tadi. Dia bisa melihat wanita yang tadi menemani Omar tergeletak di kasur, dalam keadaan telanjang.

Rafan memalingkan wajahnya, jengah.

Memutuskan untuk menunggu di luar kamar. Bersandar di tembok sambil menunggu Omar. Memutar otak bagaimana caranya mengorek informasi tanpa di ketahui.

Tak lama Omar datang membawa serbuk putih dalam plasik. "2,5."

Rafan merogoh sakunya dan mengambil semua uang yang ada di ambil di atm tadi dan hanya menyisakan lima ratus ribu. Lalu memberikannya pada Omar. Sebagai gantinya, dia menerima serbuk putih itu.

"Gue denger Robi punya utang banyak ke lo. Makanya beberapa minggu lalu dia nggak punya stok lagi. Tapi belakangan dia punya. Apa dia udah bayar utangnya?"

Rafan kembali bertanya sambil lalu. Seolah itu pertanyaan santai yang tidak begitu ingin dia tahu jawabannya. Setelah semua tembok yang membuatnya terbentur, jujur saja dia tak mengharapkan jawaban.

Namun kemudian dia melihat bibir Omar menyeringai. Seringai puas yang membuat Rafan melebarkan mata ganjil.

"Ya, utangnya udah lunas." katanya. Nada mengejek itu begitu kental. Perasaan Rafan langsung tidak enak.

"Gue yakin dia nggak punya duit. Pake apa?"

Omar terkekeh. "Kalau dia punya pacar yang cantik, ngapain bingung?"

Butuh beberapa detik bagi Rafan untuk memproses kata-kata Omar. Saat dia menemukan sebuah pemahaman, tubuhnya langsung menegang.

"Robi ngasihin ceweknya ke lo buat bayar utang?" tanya Rafan memastikan.

Omar sepertinya puas sekali saat mengatakannya, seakan bangga. "Si goblok itu cuma diem di pojokan waktu gue make ceweknya. Dia tetep diem ngeliat ceweknya teriak-teriak minta tolong." Omar tertawa terpingkal-pingkal mengingat wajah Robi yang terlihat lucu di ingatannya.

Tangan Rafan sudah terkepal sejak tadi. Menahan kepalan itu tetap di bawah, karena dia tida ingin terlibat masalah. dia sudha mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia bisa langsung pergi. Namun rasanya berat sekali. Kepalan tangan itu terus bergetar di samping tubuh Rafan.

Kata-kata yang Omar lontarkan membuat amarahnya naik seketika. Melihat senyuman Omar yang menjijikan disaat abangnya meledak marah membuat Rafan ikut meledak juga.

Membayangkan orang yang kita sukai di perlakukan seperti ini ... siapa yang tidak meledak? Abangnya hanya menghajar Robi. Tapi kalau Rafan tahu kejadiannya seperti ini, dia pasti tidak akan ragu membunuhnya!

Dia memang penasaran melihat kakaknya semarah itu. Namun Rafan tidak menyangka alasannya lebih menakutkan dari apa yang bisa dia bayangkan.

"Gue harap Robi utang lebih banyak, biar gue bisa ngerasain ceweknya lebih lama."

Shit! Rafan tidak bisa menahan diri lagi. Kepalan tangan yang sedari tadi dia tahan mati-matian melayang begitu saja.

Kepala Omar terpental terkena tinju Rafan. Dia terhuyung kebelakang dan memekik pelan. Omar terkejut setengah mati. Dia menoleh dengan mata nyalang.

"Anjing!"

Omar melayangkan pukulan balik. Namun Rafan yang sudah naik pitam tidak memberi kesempatan Omar bergerak. Dia menghajar Omar sebelum Omar benar-benar memukulnya. Omar kembali terhuyung.

"Bajingan kayak lo nggak pantes idup."

Rafan tidak puas hanya menghajarnya. Sebelum ada orang yang datang, Rafan ingin membuat perhitungan. Untuk menyalurkan amarahnya yang semkain meledak-ledak tidka terhingga.

Saat itulah dia melirik ada tambang di dekat tembok. Selagi Omar sempoyongan, Rafan mengambil tambang itu dan mengikatnya di kaki Omar.

Dengan amarah yang menyala-nyala, Rafan melemparkan tambang itu ke rangka balok atap. Dengan sekuta tenaga dia menarik ujungnya. Omar begitu berat, sampai Rafan mengira dia sedang mengangkat beban seeokor sapi. Otot lengan Rafan sampai keluar semua saat menarik tambang yang dia pegang. Hingga akhirnya dia berhasil menggantung Omar terbalik.

Omar berteriak-teriak. Namun Rafan mengabaikannya. Rafan memilih mengikat tambang di tangannya di saka. Lalu memutuskan pergi.

"WOOY. LEPASIN! LEPASIN GUE GOBLOK!"

Teriakan Omar tidak membuat Rafan menghentikan langkah. Dia tetap keluar dari sana. Sebelum sampai pintu, dia melihat orang-orang Omar sedang teler. Rafan tersenyum sinis. Pantas mereka tidak mendengar bos mereka berteriak.

Bahkan dari sini suara nyaring Omar masih terdengar. Meneriakkan umpatan dan makian. Namun Rafan pura-pura tuli, dia tidak mendengar apapun.

Rafan berharap, masih lama mereka sadar. Hingga Omar bisa tergantung lebih lama dari harapannya.


Continue Reading

You'll Also Like

936K 67.7K 36
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
2.4M 129K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
481K 5.8K 22
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.7M 226K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...