Erotomania [Tamat]

By triviaindriani

171K 22.5K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... More

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
19. Sisi Tergelap
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

24. Hilang Arah

4.9K 690 46
By triviaindriani

Bruk!

Sontak saja Julian menoleh saat mendengar suara gaduh di belakangnya. Dia membuang napas saat melihat Lova mengusap kepalanya berulang kali. Perempuan itu baru saja menabrak pintu masuk toko buku yang mereka kunjungi. Kepalanya tidak benjol saja sudah merupakan keajaiban, karena seminggu ini sudah tidak terhitung Lova membenturkan kepalanya ke benda keras.

"Terima kasih banyak, Mbak." Julian menerima keresek putih berisi sejumlah keperluan Lova untuk mengerjakan tugas Manajemen Operasional. "Kepala lo gak apa-apa?" tanya Julian dengan nada khawatir.

Lova hanya menggelengkan kepala sembari membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit melorot. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari tatapan para pengunjung. "Udah beres, 'kan? Kita pulang sekarang, yuk? Kayaknya, bentar lagi bakal hujan. Aku gak mau kalau Kak Julian sampai kehujanan di jalan."

Dengan tatapan yang sulit diartikan, Julian terus memperhatikan perempuan yang ada di hadapannya. Hanya beberapa saat, karena sekarang dia sudah membukakan pintu, mempersilakan Lova untuk melangkah lebih dulu. Namun, bukannya menuju motor Julian, Lova malah terus berjalan lurus. Jika Julian tidak menahan kerah kemejanya, sudah pasti Lova akan terus melangkah menuju jalan raya dengan pikiran kacau.

"Lo mau ke mana? Motor gue di sini." Julian menunjuk motornya dengan dagu.

Alis Lova terangkat, mengikuti arah tunjuk Julian. "Oh, maaf."

Untuk ke sekian kali, Julian membuang napas hanya dengan memperhatikan Lova. "Ikut gue," ucapnya sembari menarik tangan Lova menuju kedai yang berada tepat di samping toko buku. Mereka duduk menghadap jalan raya setelah memesan minuman. "Lo benar-benar kacau, Va. Lo udah kayak orang linglung, tahu gak? Lo udah mirip Marimar."

"Apaan, sih?" Lova mendelik tak suka. Bukan karena ia disamakan dengan Marimar, tetapi dia teringat dengan kalimat yang terucap dari bibir Julian, kalimat yang selalu dia ucapkan beberapa tahun lalu, atas nama orang lain.

"Lihat penampilan lo, deh. Muka lo bikin orang prihatin, mata lo hitam, belum lagi ... rambut lo udah lepek banget karena belum keramas 3 hari." Ini kedua kalinya Julian melihat Lova sekacau ini. Pertama, setelah kejadian malam itu, 4 tahun lalu. Alasannya sama, Arvin Zachary. "Tugas dari Pak Marzuki ketinggalan, kemarin lo salah masuk toilet, terus tadi pagi kemeja lo kebalik. Mau sampai kapan kayak gini terus, Va?"

Mata Lova tertuju pada jemarinya yang saling bertautan. Kemudian, dia menunduk. "Aku minta maaf, Kak."

"Ngapain minta maaf sama gue? Lo punya salah sama diri lo sendiri, bukan sama gue." Julian tahu, dia sudah terlalu keras pada Lova. Namun, jika tidak begini, Lova akan terus dalam keadaan yang memprihatinkan. Dan Julian tidak mau itu, karena dia menyayangi Lova.

Sebenarnya, Lova juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya. Dia seperti kehilangan arah, tidak fokus dalam mengerjakan segala hal. Selama seminggu ini, Lova terus saja diceramahi oleh orang-orang terdekatnya. Dan yang paling sering, tentu saja Julian.

Dengan sangat sadar Lova akan menyebutkan bahwa sumber dari kacaunya ia saat ini adalah Arvin. Semakin ia berusaha untuk melupakan laki-laki itu, semakin kuat bayangannya di mata Lova. Peristirahatan terakhir Snow, angka 80, bahkan parasetamol juga. Ia teringat saat Arvin tersenyum manis, saat Arvin cemberut manja, juga saat Arvin tersenyum miring pertanda mengejek. Kenangan beberapa tahun lalu selalu berputar tanpa bisa dicegah.

"Gue enggak akan bosan buat terus ngomong sampai lo sadar apa yang mesti lo perbaiki." Julian menggenggam jemari mungil Lova. Matanya menatap perempuan itu begitu dalam, karena Julian mau apa yang dia katakan sampai ke hati Lova. "Lo orang yang baik, Va. Bahkan, saat dulu gue bersikap kurang menyenangkan sama lo, lo masih bisa bersikap baik sama gue. Dan lo berhak mendapatkan kebahagiaan, sama cowok yang baik juga."

Dan gue enggak baik buat lo, Va. Gue enggak pantas buat lo.

Lova hanya terdiam, setia mendengarkan setiap kata yang Julian ucapkan. Baginya, Julian sudah seperti kakak laki-laki yang selama ini selalu menjaga dan mengayomi. Sama, Lova juga sangat mengharapkan Julian mendapatkan kebahagiaan besar yang murni. Dia sangat berharap Julian bisa bertemu dengan perempuan yang tepat, lalu menjalin hubungan harmonis. Terkadang, Lova merasa bersalah pada laki-laki itu. Selama ini, Julian terlalu fokus pada dirinya, sampai mengabaikan para perempuan yang menaruh hati dan berusaha mendekatinya.

"Terlepas dari erotomania sialan itu, Arvin adalah orang yang baik. Dia akan memberikan apa yang dia punya untuk orang yang dia sayang. Dia tulus, biarpun kadang menyebalkan. Dia loyal, biarpun terkadang egois. Dan sekarang, dia datang dengan keadaan yang lebih baik, dia jauh lebih dewasa dibandingkan terakhir kita ketemu." Pegangan tangan Julian kian mengerat, tatapannya semakin mendalam. "He loves you, Va. He loves you until he gets stuck in delusions that is centered on you. Cinta Arvin sebesar itu buat lo."

"Tapi aku bingung, Kak. Aku gak tahu mana yang benar atau salah, aku gak tahu keputusan apa yang sebenarnya harus aku ambil." Akhirnya, Lova bersuara. "Aku gak bisa melupakan kejadian itu. Semuanya terlalu menyakitkan buat aku, bahkan masih bikin aku takut. Tapi, di sisi lain, sebesar ini dampaknya kehilangan dia."

"Gue gak pernah meminta lo buat melupakan tentang kejadian itu. Karena gak akan pernah bisa. Otak punya kemampuan menyaring apa yang mesti diingat dan apa yang mesti dilupakan. Kejadian itu menyakiti hati lo dengan begitu dalam. Dan otak lo mengingatnya supaya lo gak tersakiti untuk kedua kali," ucap Julian panjang lebar. "Tapi, sekarang kondisinya udah beda. Arvin udah sembuh dari delusinya. Dan lo punya gue, yang akan selalu melindungi lo. Gue gak akan pernah membiarkan sesuatu yang buruk terjadi sama lo. Sedikit pun." Karena gue sayang sama lo, Va.

Saat minuman yang dipesan datang, Julian melepaskan pegangannya pada tangan Lova. Kini, hanya sunyi yang menyelimuti meja mereka. Julian menyeruput minumannya sampai hampir habis, berusaha menyembunyikan sakit di rongga dadanya. Sementara Lova hanya bisa memikirkan tentang kebenaran keputusan yang sudah dia ambil. Lova mencintai Arvin, makanya dia sekacau ini. Dan Arvin juga dengan lantang mengatakan masih mencintai Lova dan akan terus mencintainya. Apakah cinta mereka akan menjadi indah jika Lova memberikan kesempatan kedua?

Begitu sampai di halaman rumah, Lova langsung turun dari motor Julian. Awan hitam semakin menebal menutupi birunya langit.

"Istirahat 10 menit, terus mandi. Jangan lupa keramas, rambut lo udah gak enak dilihat," celetuk Julian tanpa ragu. "Ngerjain tugasnya besok aja, gue bantu. Sekarang lo istirahat yang cukup, supaya mata lo gak hitam lagi. Serem juga lama-lama."

Lova mengangguk layaknya anak kecil yang dinasehati oleh ayahnya. "Kak Julian enggak mampir dulu?"

"Besok aja. Langitnya udah gelap banget, gue gak mau kehujanan. Nanti, gantengnya gue malah luntur." Ada kesenangan tersendiri saat Julian berhasil membuat Lova tersenyum. Namun, jangan sampai perempuan itu mengetahuinya. "Ya udah, gue pulang, ya. Bilang sama bunda lo kalau lo gak lecet sedikit pun. See you."

"See you," singkat Lova sambil menatap kepergian Julian. Dia setia berdiri di tangga teras sampai Julian benar-benar tidak terlihat lagi. Tanpa Lova ketahui, di balik punggung tegap itu ada hati rapuh yang menempatkan namanya di kursi istimewa.

4 tahun selalu berada di samping Lova adalah hal yang sangat menyenangkan untuk Julian. Mulai dari membantu Lova bangkit dari kejadian itu, menentukan kampus bersama, sampai membangun bisnis kecil-kecilan, setiap senang dan sedihnya sangat Julian nikmati. Bukan hanya Julian yang selalu ada untuk Lova, gadis itu juga selalu sedia saat Julian tidak ingin sendiri. Saat Julian kecewa karena nilai ujiannya anjlok, saat Julian rindu mendiang ibunya, juga saat Julian bertengkar dengan ayahnya. Lova akan selalu ada untuk meminjamkan bahunya.

Dan bukankah cinta datang karena terbiasa?

Bukannya pulang ke rumah, Julian justru belok ke halaman yang menjadi tempat tinggal Arvin. Sebelum mengetuk pintu, Julian menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu, lalu mengembuskannya perlahan. Ini keputusan yang paling tepat, Julian tidak akan menyesalinya.

"Lho, Julian?" Bu Indira tampak kaget dengan kedatangan Julian. Pasalnya, semenjak Arvin kuliah di Korea, Julian sangat jarang datang ke rumahnya. Mereka hanya akan berbincang singkat saat berpapasan di jalan. "Kamu apa kabar?"

"Baik, Tan. Tante sendiri bagaimana?" Julian tersenyum tipis. Meskipun sudah tidak lagi muda, mami Arvin tetap terlihat cantik. Dan Julian percaya, jika ibunya masih hidup, mereka pasti akan berteman baik.

Bu Indira mengangguk. Beliau terlihat sangat senang atas kedatangan sahabat putra semata wayangnya itu. "Tante baik," jawab beliau. "Ayok, masuk. Di luar dingin, bentar lagi hujan." Pintu utama dibuka lebih lebar, menyambut kedatangan Julian dengan penuh kehangatan. "Tante udah kangen banget sama kamu, lho, Jul. Udah lama kamu enggak main ke sini."

Julian mengusap tengkuknya, merasa bersalah karena sangat jarang mengunjungi orang tua Arvin. Padahal, dulu Julian hampir setiap hari berkunjung ke sini. "Maaf, Tan, Julian lagi persiapan skripsi, jadi gak bisa atur waktu. Untuk ke depannya, kalau Julian senggang, pasti akan lebih sering bertamu ke sini." Kemudian, Julian menengok ke ruang keluarga, mecari seseorang yang menjadi alasan dia datang ke sana. "Arvin ada, Tan?"

Secara refleks Bu Indira ikut menoleh ke ruang keluarga, menatap lurus pada pintu kamar putranya yang tertutup rapat sedari pagi tadi. "Arvin ada di kamarnya. Beberapa hari ini, dia terus mengurung diri. Padahal, tante sangat berharap waktu liburnya ini bisa dimanfaatkan untuk dia senang-senang, tapi malah begini." Bu Indira kembali menatap Julian. Beliau mengigit bibirnya untuk beberapa saat, ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya. "Apa ini ada hubungannya sama Lovata? Kamu tahu sesuatu?"

Hanya senyum tipis yang Julian berikan sebagai jawaban, dan Bu Indira bisa mengerti. Tidak ada alasan yang membuat Arvin sampai seperti kecuali satu nama, Lovata Auristela. Setelah meminta izin, akhirnya Julian masuk ke kamar Arvin. Dia mendapati sahabat lamanya itu sedang duduk menghadap jendela dengan tatapan kosong.

"Gak Lova, gak lo, sama-sama kayak orang linglung," celetuk Julian, sukses membuat Arvin memutar kepalanya seketika. Ia terus melangkah, lalu mendudukkan diri di ujung ranjang. "Kalau lo emang sayang sama dia, kejar terus, dong, Vin. Jangan mundur cuma dengan sekali pecut."

"Gimana kabar Lova hari ini?" Daripada menanggapi ucapan melantur Julian, lebih baik Arvin menanyakan kabar Lova saja. Hatinya berdenyut sakit saat Julian menggelengkan kepala, pertanda bahwa perempuan itu tidak baik-baik saja. "Gue bingung, Jul, gak tahu harus gimana. Apa gue harus memperjuangkan Lova, membuktikan kalau gue udah lebih baik sekarang, membuktikan kalau cinta gue kali ini gak akan menyakiti dia. Atau gue harus pergi supaya dia gak tersakiti lagi."

Tanpa permisi, Julian menyeruput lemon tea hangat yang ada di atas nakas. "Kalian emang jodoh, kayaknya. Buat perkara bingung aja harus di waktu yang sama." Julian terkekeh sendiri sambil menyimpan kembali cangkir di tangannya. Padahal, hatinya sakit mengatakan hal itu. "Lo tahu, Vin? Si Bocil kacaunya gak main-main. Lo cuma bengong, dia sampai lupa tugas, lupa keramas, kemeja juga sampai kebalik. Pokoknya, bikin gue malu, deh."

Salahkah jika Arvin merasa senang mendengar ucapan Julian? Bukankah itu berarti Lova juga tidak baik-baik saja atas perpisahan mereka? Jika memang begitu, berarti masih ada cinta yang bersisa untuk Arvin. Masih ada harapan untuk mereka kembali bersama.

Setelah memasang wajah becanda, ekspresi Julian kini berubah serius. "Iya, gue sayang banget sama Lova, Vin. Gue sayang sama dia sebagai cowok ke cewek." Akhirnya, Julian bisa jujur atas perasaannya. Setelah sekian lama ungkapan hatinya itu hanya menjadi rahasia, akhirnya Julian tidak lagi menentangnya. "Gue gak suka lihat dia sedih, gue senang lihat dia ketawa lepas. Dan gue selalu mengharapkan dia bahagia."

Arvin membuang muka. Dia sudah tahu perasaan Julian semenjak kejadian Lova pingsan. Jelas sekali laki-laki itu takut kehilangan. "Ini bisa jadi kesempatan lo, Jul. Gue yakin, gak akan susah bikin Lova mencintai lo."

"Tapi, bahagianya Lova bukan sama gue," tukas Julian dengan cepat. "Bahagianya dia adalah sama lo. Makanya, gue datang ke sini untuk memastikan kesungguh-sungguhan lo, karena gue gak mau menyesal suatu hari nanti karena udah merelakan Lova sama orang yang salah."

Sungguh, Arvin tidak mengerti dengan jalan pikir Julian. Dibandingkan berusaha mengambil hati Lova saat kesempatan membentang untuknya, dia malah datang ke kamar Arvin untuk bicara seperti itu. Arvin tidak akan ragu untuk mengatakan bahwa cinta Julian teramat besar untuk Lova, dia bisa melihatnya dengan jelas di mata sahabatnya itu. Bahkan, tindakannya ini sudah membuktikan ketulusan perasaan Julian pada Lova. Cinta memang seajaib itu. Sekaligus sangat membingungkan.

"Lo udah sembuh dari delusi itu, 'kan?" Arvin mengangguk ragu, masih menatap Julian dengan tidak percaya. "Berarti, lo gak akan bertindak di luar kendali lagi. Seharusnya begitu." Julian mengangguk-anggukan kepalanya, meyakini hal buruk tidak akan lagi menimpa Lova saat bersama Arvin. "Lova juga masih cinta sama lo, Vin. Gue yakin itu. Tapi, dia masih dibayang-bayangi kejadian itu. Makanya, gue minta sama lo, jangan bikin dia takut lagi. Jangan pernah lo bikin dia terluka lagi. Karena rasanya akan sangat menyakitkan saat luka itu ada karena orang yang dia sayang. Dan gue gak mau itu terjadi lagi."

Tangan Arvin terangkat, menginterupsi Julian untuk memberinya jeda. "Tunggu," potong Arvin dengan cepat. "Lo serius? Lo beneran mau merelakan Lova sama gue? You love her, Jul. Love her so much."

"Gue tahu. Tapi cinta gue enggak sebesar cinta lo. Ditambah lagi, selamanya, gue hanya akan jadi sosok kakak buat dia, gak akan pernah berubah." Julian tersenyum miris. Rasanya sangat menyakitkan, sungguh. Namun, tidak ada yang bisa dia lakukan. Julian yakin, jika Lova sampai mengetahui perasaannya, dia akan membuat jarak di antara mereka. Dan Julian tidak mau hal itu terjadi. Lebih baik dia memendam perasaan tetapi bisa terus di samping Lova daripada jujur tetapi mereka menjadi asing. "Gue udah ada rencana untuk meluluhkan Lova. Emang agak nekat, sih, tapi gue yakin ini akan ampuh."

"Rencana apa?"

"Lo bisa akting, 'kan?" Julian menatap Arvin penuh selidik. Laki-laki itu mengangguk ragu. "Pokoknya, jangan sampai gagal."

Tak lama, hujan turun membasahi bumi, mengantarkan ketenangan untuk banyak orang melalui aromanya. Julian juga harus tenang, dia sudah melakukan hal yang benar. Dia sudah merelakan Lova pada orang yang tepat. Dia tidak akan menyesal selama Lova bahagia bersama Arvin. Bukankah begitu?

*
*
*
Julian sekarang jadi sedboi bukan cowok kurang ajar lagi yaaa.

Bini Ceye,
18 April 2020
R

epost : 22 Oktober 2020

Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
1.5K 216 50
Siapa di dunia ini yang tidak ingin dicintai? Baik Lana, Ibas, Naya, Rawi, juga dengan Ayi. Mereka sangat ingin dicintai hingga keegoisan menguasai s...
5K 744 31
Haru tak pernah menyangka seseorang yang disukainya sejak lama akan berakhir satu atap dengannya. Jika saja waktu bisa diputar, ia akan menentang aca...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 55.6K 25
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...