Erotomania [Tamat]

By triviaindriani

171K 22.5K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... More

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
19. Sisi Tergelap
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

22. Tentang Masa Lalu

4.8K 728 72
By triviaindriani

Seperti biasa, Lova akan pergi memburu makanan jika besoknya akan menghadapi ujian. Bukan berarti dia tidak membawa sejumlah buku untuk belajar, Lova sudah siap siaga dengan buku-buku tebal yang beratnya hampir sama dengan satu karung beras. Belajar di kamar dengan pemandangan yang itu-itu saja membuat Lova stres. Jadi, dia membutuhkan suasana segar yang bebas oksigen supaya otaknya tidak meledak. Seperti sekarang, dia duduk di salah satu kursi kafe terbuka sambil menunggu Julian datang.

“Siapa cowok itu, sih?” Lova bertanya pada diri sendiri. Dia masih belum bisa menebak siapa yang sudah membayar jasa ojek payungnya beberapa hari yang lalu. “Kak Julian lagi main basket, Agus lagi di rumah, ayah pergi ke Bandung. Terus ... siapa?”

Bayangkan saja. Orang itu bukan hanya membayar ojek payung untuk Lova, tetapi juga setia diam di sana sampai Lova naik angkot. Lova tidak sepopuler putri kampus sampai harus memiliki pengagum rahasia segala. Apakah mungkin dia adalah ....

“Enggak mungkin. Haha ....” Lova tertawa sendiri, berusaha membantah apa yang sedang dipikirkannya. Sebuah nama muncul di kepala Lova, tetapi Lova tidak mau berekspektasi terlalu tinggi. “Mendingan aku cuci muka dulu, supaya bisa fokus belajar lagi.”

Tanpa membuang waktu lagi, Lova langsung bangkit dari duduknya. Dia tidak punya banyak waktu. Jika Julian sudah datang, pasti belajarnya akan terganggu oleh segudang kejahilan laki-laki itu. Namun, karena kurang memperhatikan jalan, Lova tidak sengaja menabrak seseorang. Minuman yang dibawa orang itu lantas tumpah membasahi baju Lova. Kemeja putih floral Lova kini sudah berubah menjadi warna merah.

“Gimana, sih, Mbak?! Kalau jalan lihat-lihat, dong!” Sewot orang itu. Jelas marah pada Lova. Wajahnya berubah galak, memperhatikan Lova yang masih sibuk dengan bajunya. Namun, saat mata mereka bertemu, pandangan orang itu langsung bergetar. “Lovata?”

Secara otomatis, Lova mengangkat kepalanya. Dia tidak kalah terkejut saat mendapati siapa yang batu saja dia tabrak. “Kak Tamara?” Hanya beberapa detik saja Lova berani memandang Lova. Gadis itu banyak berubah, masih tetap cantik dan juga modis. “Ma-maaf, Kak. Aku enggak sengaja. Aku ganti aja minumannya, ya?”

Baru saja Lova hendak pergi menuju meja pemesanan, Tamara langsung menahan tangannya. Mereka kembali bertukar pandang. Namun, tidak ada lagi pandangan kurang bersahabat dari Tamara. Tatapannya berubah sendu. “Gak usah diganti, enggak apa-apa. Lagian juga ... gue yang harusnya minta maaf sama lo, dari dulu.” Sudah lama Tamara ingin mengatakan ini, tapi selalu kalah oleh ego yang mengatakan dialah yang disakiti Lova. “Buat kejadian malam itu, gue bener-bener minta maaf.”

Jelas saja Lova kaget dengan penuturan Tamara ini. Sudah bertahun-tahun, dan dia masih mengingat kejadian itu. Kejadian di mana Lova hampir saja kehilangan nyawanya. Memang, mereka juga beberapa kali berpapasan saat masih SMA dulu. Namun  bukan lagi Lova yang berusaha menghindari Tamara, justru sebaliknya. Setiap kali mereka bertemu, detik selanjutnya Tamara akan hilang di tengah-tengah keramaian. Setiap kali mata mereka bertemu, Tamara selalu langsung mengajak temannya bicara. Dan ternyata, semua itu karena Tamara merasa bersalah pada Lova.

Lova tersenyum tipis. “Kak Tamara tenang aja, aku udah maafin, kok. Lagian juga, semuanya udah berlalu, udah lama banget.”

Mendengar itu, Tamara langsung melepaskan pegangannya di tangan Lova. “Makasih. Kalau gitu, gue duluan.” Sebenarnya, masih banyak yang ingin Tamara katakan, intinya tentang betapa menyesal hatinya atas apa yang terjadi di antara mereka pada masa putih abu-abu. Hanya saja, Tamara bingung menyampaikannya. Yang terpenting sekarang, dia sudah mendapatkan maaf Lova.

Lova menatap kepergian Tamara. Benar, dia sudah memaafkan Tamara. Tidak langsung, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengikhlaskan apa yang sudah dialami. Lova hanya membayangkan bagaimana jika dia ada di posisi Tamara. Lova tidak akan sejahat Tamara, sampai berani mempertaruhkan nyawa orang lain. Namun, sepertinya, Lova akan membenci orang yang mendapatkan laki-laki yang Lova sukai dengan begitu mudahnya. Sementara Lova yang sudah berjuang keras, melakukan banyak pengorbanan, justru malah diacuhkan.

Setelah selesai mencuci muka, Lova kembali ke mejanya. Hanya saja, ada seorang perempuan yang saat ini duduk di mejanya. Penampilannya sangat rapi, terkesan formal hanya untuk nongkrong di kafe. “Maaf, ada yang bisa dibantu?”

Orang itu langsung menoleh. Melemparkan senyum singkat, lalu menunjuk peralatan Lova yang ada di atas meja. Ada laptop dan ponsel di sana. “Oh, enggak, Dek. Saya duduk di sini karena tadi ada pengunjung yang mau curi HP kamu. Jadi, saya cuma memastikan barang-barang kamu aman.”

Dengan cepat, Lova langsung duduk dan membereskan barang-barangnya. Dia terlalu ingin berhenti memikirkan laki-laki misterius itu sampai tidak mempedulikan barang berharga yang ditinggal begitu saja. “Ya ampun, makasih banyak ya ... Dok?” Lova menganga, tidak percaya siapa yang saat ini sedang duduk di depannya. “Dokter Saira?”

“Lova?”

Susah payah Lova menelan salivanya. Mengapa hari ini dia bertemu dengan orang-orang dari masa lalunya? Baru beberapa saat yang lalu bertemu dengan Tamara, sekarang dengan Dokter Saira. Keduanya juga terhubung langsung dengan 'dia', masa lalu terbesar Lova. Semua pertemuan ini hanya kebetulan, bukan? Tuhan tidak sedang menghubungkan Lova dengan 'dia' lagi, bukan?

“Kamu apa kabar? Udah lama banget kita enggak ketemu.” Dokter Saira langsung semringah bertemu dengan Lova. Tidak hanya bersalaman, mereka juga cipika-cipiki, selayaknya sahabat karib yang sudah lama tidak bertemu.

“Kabar saya baik, Dok. Dan yang saya lihat, Dokter juga sehat.” Lova berusaha menutupi rasa tidak nyamannya dengan terus melemparkan senyum pada Dokter Saira. Dia berharap, Dokter Saira tidak menarik masa lalunya di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama ini. “Sekarang lagi sibuk apa aja, nih, Dok?”

“Bantu pasien saya untuk sembuh dari luka mereka, tentu saja.” Lalu, wajah Dokter Saira berubah. Beliau tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu. Hanya terus memperhatikan penampilan Lova yang semakin cantik dan terlihat lebih dewasa. Sama dengan salah satu pasiennya yang terkenal sebagai pejuang keras untuk keluar dari delusinya. “Kamu ... udah ketemu Arvin? Dia baru aja pulang dari Korea kemarin.”

Dan sekarang, giliran Lova yang mengubah ekspresinya. Matanya bergerak ke sana kemari, menghindari tatapan Dokter Saira. Beliau ahli membaca isi hati siapa pun yang sedang bicara dengannya, Lova tidak mau sampai rahasia kelam masa lalu itu terkuak kembali. Nama itu kembali membelai gendang telinganya. Merambat ke otak, kepalanya hampir meledak. Turun ke hati, dadanya langsung terasa panas dingin. Yang bisa Lova lakukan saat ini adalah berdoa supaya Julian cepat datang.

“Saya tahu kalau hubungan kalian sudah lama berakhir. Dan itu adalah masa-masa yang paling sulit untuk Arvin. Kejiwaannya sangat tidak stabil saat itu. Saya sendiri tidak bisa memprediksikan kapan dia tenang atau marah. Sudah tidak terhitung upaya bunuh diri yang dia lakukan. Bahkan, Bu Indira juga hampir meninggal di tangan putranya sendiri.”

Lova terperanjat mendengar berita itu. Karena semenjak malam itu, Lova benar-benar menutup segala komunikasi dengan Arvin maupun keluarganya. “Maksud Dokter?”

Dokter Saira menerawang kembali kejadian paling menegangkan selama menjadi seorang dokter kejiwaan. Beliau juga hampir menyerah pada saat itu. Namun, karena beliau sudah melakukan sumpah, mau tidak mau, beliau harus tetap membantu Arvin untuk pulih. “Pengobatannya diulang dari nol lagi. Bahkan, kondisi Arvin lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Dan seperti biasa, dia minta bertemu dengan kamu. Tidak ada yang bisa mengabulkan permintaannya. Arvin langsung hilang kendali dan menusuk perut Bu Indira menggunakan pisau dapur.”

Hanya kebisuan yang menemani mereka berdua selanjutnya. Lova tidak tahu harus berkata apa sebagai respon untuk cerita Dokter Saira yang panjang lebar itu. Jelas dia kaget, tidak menyangka Arvin bisa bertindak sejauh itu. Meskipun dalam keadaan tidak sadar, tetapi tidak pernah ada yang mengira. Selain itu, perasaan bersalah yang paling dominan menguasai Lova saat ini. Gara-gara dia meninggalkan Arvin saat itu, semuanya jadi kacau tidak terkendali. Gara-gara dia pergi tanpa mempedulikan kondisi Arvin, Bu Indira hampir saja menjadi korban.

“Tidak perlu khawatir. Semuanya sudah berlalu, Lova. Kamu tidak perlu menyalahkan diri kamu sendiri.” Dokter Saira memegang tangan Lova, mengerti dengan apa yang dipikirkan Lova saat ini. “Semenjak kejadian itu, Arvin bersungguh-sungguh ingin bebas dari delusinya. Meskipun sangat sulit, tapi dia tidak pernah menyerah. Dan Kamu tahu apa kabar yang paling membahagiakan? Arvin dinyatakan sembuh setahun yang lalu.”

“Sembuh?”

“Iya. Arvin sudah tidak mengalami delusi tentang kamu lagi.”

Apa itu berarti Arvin juga tidak mencintai Lova lagi?

***

“Lo tunggu di sini. Gue bawa dulu mobil. Pegangan sama tiangnya, takut diculik. Aw! Gila lo, ya?!” Julian mengusap lengannya yang baru saja dicubit Lova dengan sangat ganas. Menurut Julian, Lova adalah makhluk yang tidak memiliki selera humor. Semua candaannya selalu dianggap serius. Jika tidak menghinanya sampai titik paling rendah, mencubit selalu menjadi opsi kedua.

Lova menyilangkan tangannya di depan dada. “Aku udah 21 tahun, Kak. Bukan bocah lagi. Udah enggak perlu pegangan sama tiang halte supaya enggak ada yang culik!” sewot Lova. “Udah sana, ambil mobil. Aku udah capek banget, mau pulang.”

“Bocil durhaka lo!” timpal Julian sambil berlalu pergi.

Jadi, reuni SMP yang menggunakan jasa katering vegetarian Lova baru saja selesai. Dari pagi buta sampai hari gelap, Lova, Julian, Agus dan karyawan yang lain, sibuk mengurusi konsumsi para alumnus. Mulai dari menata makanan di atas meja, berkeliling menawarkan minuman segar, sampai mempersiapkan makan siang, mereka melakukannya sebaik mungkin. Sangat melelahkan, karena banyak dari para alumnus membawa anak mereka yang masih tidak mengerti situasi, berlari ke sana kemari sesuka hati mereka.

“Kayaknya lo udah lupa gimana kronologis hari pertama kita ketemu. Tapi, selamanya, hari itu akan selalu gue ingat di kepala. Gimana lo ajak ngobrol anak kucing kucel yang ada di halte, gimana lo senyum waktu kucingnya nyahut, dan gimana lo pergi dengan penuh kebahagiaan.”

Lova menengadah, menyadari saat ini dia sedang berdiri di halte depan sekolah SMP-nya. Tempat di mana Lova bertemu dengan dia. Katanya, begitu. Lova tersenyum kecut. Mengingat kembali kata-katanya yang menyebutkan bahwa Lova memaafkan kesalahan dia, tetapi tidak dengan melupakan. Faktanya, bukan hanya kejadian malam itu saja yang membekas di kepala Lova, tetapi semua kenangan indahnya dengan dia. Terkadang, kenangan-kenangan itu berputar tanpa permisi. Terasa begitu nyata, sampai Lova menganggap dirinya gila.

Jeder!

“Aw!”

Lova berniat menutup telinganya saat suara petir menggelegar. Namun, bukan telapak tangannya yang saat ini berada di kepala Lova. Satu telinganya tidak bisa mendengar apa-apa, tetapi satunya lagi malah menangkap suara degup jantung yang begitu cepat. Tak hanya itu, tubuh Lova juga mendadak hangat sekarang. Indera penciuman Lova juga berhasil menangkap aroma maskulin khas laki-laki. Dan sekarang Lova tahu, dia sedang berada di pelukan seseorang.

“Maaf, Mas.” Lova langsung melepaskan diri dari orang itu. Dia menengadah sebentar, hanya untuk melihat wajah itu. Niat Lova untuk kembali menarik matanya gagal saat dia melihat wajah orang itu.

“Lov.”

Dunia Lova seakan jungkir balik sekarang. Kedua kakinya mendadak lemas, jantungnya berdegup tidak karuan, darahnya mengalir dengan begitu cepat. Panggilan itu, suara itu, sosok itu, berhasil membuka masa lalu yang berusaha Lova tutupi rapat-rapat. Sekelebat kejadian di tengah kegelapan berputar layaknya film. Napas Lova tercekat, rasa sakit itu kembali muncul di sekujur tubuh Lova, pandangannya memburam. Hampir saja Lova jatuh jika orang itu tidak menahan tubuhnya.

“Lepas!” pekik Lova, setengah berteriak. Dia ingin lari menjauh, tetapi kakinya seakan tertancap dengan sangat kuat di sana.

Orang itu justru melakukan hal yang sebaliknya. Dia memegang bahu Lova, memastikan gadis itu tidak tumbang. “Tapi, lo lagi enggak baik-baik aja, Lov. Lo bisa jatuh.”

“Aku bilang lepas!” Sekali lagi Lova berteriak. Orang itu menyerah, melepaskan pegangannya pada bahu Lova. Dan sekarang, air mata Lova sudah tidak tertahan lagi. Lova memandang orang itu dengan penuh kebencian, ketakutan dan juga ... kerinduan. Inilah bagian paling lucu. Rasanya, Lova ingin memaki diri sendiri saat ini. “Pergi dari sini.”

“Oke, kalau itu yang lo mau. Gue bakal ikuti kata-kata lo,” pasrah orang itu sambil berjalan mundur, meninggalkan Lova dengan berat hati. Dia ingin tetap di sana, menemani Lova, menjaganya sampai Julian datang. Namun, dia sudah berjanji untuk menjadi laki-laki yang lebih baik. Dia sudah berjanji akan membahagiakan Lova. Baru beberapa saat dia menuruti kemauan Lova, baru beberapa langkah dia menjauh, tubuh Lova tiba-tiba tumbang. “Lova!” Sebelum kepala Lova membentur tanah, orang itu sudah berhasil merengkuh tubuh Lova.

Bukan seperti ini rencana pertemuan mereka berdua. Inginnya, Lova tersenyum, menyambut kedatangannya yang sudah lama tidak terlihat. Namun, dia sadar diri, kesalahannya terlalu fatal, tidak mampu membuat Lova berpura baik-baik saja. Dia hanya ingin menepati janjinya 4 tahun yang lalu. Yaitu datang ke hadapan Lova saat kondisinya baik-baik saja, saat dia sudah sembuh. Ternyata, Lova yang sekarang tidak baik-baik saja, Lova yang sakit.

“Lovata!” Julian langsung turun dari mobil saat melihat Lova tidak sadarkan diri. “Lo apain cewek gue, hah?!” Julian sudah menarik kerah laki-laki yang sedang memeluk Lova. Dia sudah sangat siap melayangkan tinjuan maut penuh amarah. Harus tertahan saat wajah orang itu tidak asing baginya. “Arvin? Lo ngapain di sini?”

“Masih penting lo nanya kayak gitu di saat kondisi Lova neggak baik-baik aja?” bengis orang itu. “Mending sekarang, kita bawa Lova ke rumah sakit.”

Julian sudah bergerak untuk mengambil alih tubuh Lova, tetapi Arvin malah mengangkatnya. Bahkan, dia juga membentak Julian, memintanya untuk membuka pintu belakang. Julian sempat terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya bergerak menuruti kata-kata Arvin dan duduk di kursi kemudi. Beberapa kali Julian menengok ke belakang, berharap Lova segera sadarkan diri. Julian tidak bisa fokus menyetir. Selain karena khawatir pada Lova, dia juga was-was pada laki-laki yang sedari tadi memeluk Lova. Dia tidak kalah khawatir, terlihat dari wajahnya.

“Kenapa Lova bisa kayak gini, Jul? Dia bakal baik-baik aja, 'kan?”

“Ck!” Julian berdecak keras. “Gue enggak tahu apa yang udah lo lakukan sama Lova malam itu, 4 tahun yang lalu. Tapi yang jelas, kelakuan lo bikin dia trauma berat. Seharusnya, Lova baik-baik aja, kalau lo enggak muncul lagi di kehidupan dia.”

Sebenarnya, beberapa kisah masa lalu lebih baik hanya menjadi sejarah bisu. Tidak perlu hadir kembali jika sekedar membuat sendu. Begitu pikir Julian.

*
*
*
Jeng!
Jong jeng!
Jong jeng!

Siapa yang nunggu Arvin nongol? Udah keluar dari teko ajaibnya nih. Mweheheh

Bini Ceye,
14 April 2020
R

epost : 20 Oktober 2020

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 158K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
281K 21K 32
(Judul sebelumnya Redflag) Ara itu tidak suka cowok kasar. Sebagai pembaca setia dan penikmat novel romansa, Ara sering sekali membaca cerita dengan...
220K 21.5K 26
Rania Syafrani. Panggil saja aku Rara. Keinginan ku hanya satu, putus dengan pacarku sekarang. Jika kalian tanya mengapa? Ya kalian simpulkan saja se...
950K 46K 66
Brigitta terkejut bukan main saat ia terbangun dalam pelukan seorang laki-laki asing dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Apa orang patah hati se...