Manajemen Rumah Tangga βœ”

By bintkariim

254K 17.3K 1.1K

π€π«πšπ›π’πœ || 𝐄𝐧𝐠π₯𝐒𝐬𝐑 (Follow dulu yuk!) β€’ πŸ‘‰Buat kamu yang masih muda tapi kebelet nikah, disarank... More

Testimoni
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
21
22
23
24
25
26
27
28
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Notes Penulis
Happy 200K Reads
TERBIT
VOTE COVER
OPEN ORDER MRT

29

4.4K 342 10
By bintkariim

Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku yang sedang berdiri di belakang kantor asrama. Aku menyaksikan sekumpulan santri sedang bermain bola kaki di lapangan. Di sebelah kanan kantor juga ada sebuah lapangan dengan beberapa santri yang sedang bermain bola voli.

Aku melirik ke taman, ada banyak sekali santriwati yang sedang memegang kitabnya ummat Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yaitu Al-Qur'an. Mereka dengan mulut komat-kamit dan mata terpejam, sesekali mengintip lembaran Al-Qur'an untuk mengingat hafalan.

Kini netra ku tertuju pada sosok seorang wanita anggun dengan hijab kebanggaannya sedang berjalan keluar dari masjid. Aku tersenyum kecil menatapnya.

"Ustadzah Ara.. ta'alli !!" panggilku. Wanita tadi tersenyum ramah lalu berjalan ke arahku.

"Sok-sokan manggil ustadzah," balas wanita tadi yang tak lain adalah istriku, Aira.

"Biar dianggap profesional, Dek,"

Untuk melawan rasa bosan di rumah, aku meminta Aira untuk mengajar sore di pesantren ku. Hitung-hitung sebagai basic training sebelum ia mendidik anak kami nanti. Santri di sana memanggilnya Ustadzah Ara. Alasannya simple, biar samaan dengan namaku, kata mereka. Ada-ada saja santri-santri itu.

Aira mengajar di kelas satu dan dua. Jadwalnya mengajar hanya di hari Rabu dan Kamis, sama seperti jadwalku ketika sore.  Aku sengaja menempatkannya di kelas dasar, selain karena dia belum berpengalaman dan orangnya susah berbaur, itu juga penting untuk dirinya, berasa seperti mendidik anak sendiri, karena mereka masih kecil-kecil.

"Oh ya, Dek, ada laporan katanya kamu galak sama santri. Apa benar?" tanyaku to the point.

"Kayak kamu gak pernah galak aja," ketusnya sambil melipat tangan di dada. Jarak kami berdiri sekitaran  lima puluh sentimeter.

Aku tersenyum lebar mendapati jawabannya yang sama sekali tidak meleset itu. "Beda santri harus beda juga cara menyikapinya, Dek,"

Aira menatapku, meminta alasan dari argumenku. "Sini aku kasih tau, aku itu galak sama santri senior yang bandel. Nah, beda sama kamu, kamu itu ngajarin santri yang masih kecil, masih SD. Mereka bandel karena mereka butuh perhatian, kita sebagai guru harus lebih memperhatikan mereka lagi. Semakin bandel, harus semakin diberikan perhatian khusus. Mereka itu masih kecil, masih sangat membutuhkan pelukan dan kasih sayang dari orang tuanya, dan kita disini sebagai pengganti orang tua mereka.

Kalau sama santri senior, jangan menjadi sahabat atau teman mereka, karena mereka akan mudah ngelunjak, dan kita akan kurang dihargai. Jadi, bersikaplah sesuai kebutuhan dan demi kebaikan bersama,"

Aira diam mendengarkan setiap kalimat yang ku lontarkan. Aku berusaha menyampaikan sehalus mungkin agar Aira tidak marah atau sedih.

"Anggap aja ini lagi kuliah manajemen peserta didik.." ujarku sembari tersenyum lebar.

"Ya Allah, gak ada habisnya bahas manajemen," kesal Aira seraya memutar bola matanya.

"Itu artinya kalau aku kuliahnya serius, gak cuma mempelajari teori tapi aku praktekkan dalam kehidupan sehari-hari,"

_____

Malam yang sama seperti biasanya. Setelah mengikuti kajian dan shalat isya di masjid, kami pulang ke rumah. Aku melanjutkan tadarusan sekitar sepuluh menit, lalu baru bermain ponsel. Itu sudah menjadi rutinitas ku sebelum bermain ponsel biar tidak membuka atau berkomentar hal aneh-aneh ketika berselancar di media sosial. Itu juga salah satu alternatif untuk membuat mata tidak sakit ketika bermain ponsel.

Sementara Aira sedang di ruang tamu, entah apa yang dilakukannya. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.

"Aku udah berfikir, kalau nanti anak pertama kita laki-laki, aku bakal kasih nama bayinya Al Fatih," ujarku begitu bersemangat ketika menemui Aira sedang membaca buku di sofa.

"Terus, kalau bayinya perempuan kamu bakal kasih nama Al Fatihah, gitu?" respon Aira begitu cepatnya.

Aku tertawa cekikikan mendengarnya. Ku dudukkan bokongku di sebelahnya. Sementara Aira kini duduk menghadap padaku.

"Boleh juga sih. Al Fatihah, pembukaan.." sambungnya seraya menutup buku bacaannya setelah diberikan tanda.

Kami sudah berkomitmen, ketika ada salah satu dari kami yang mengajak ngobrol, harus menghentikan aktivitas masing-masing. Seperti bermain ponsel, membaca buku, atau ketika menonton televisi. Kami menuntut untuk menghargai lawan bicara agar nyambung ketika mengobrol.

Kayaknya boleh juga tuh usulan Aira. Namanya Al Fatihah.

"Tumben otak kamu encer, pasti karena lagi mengandung bayiku.." aku menerka dirinya.

Aira menatapku dengan tatapan jijik.

"Besok ke rumah sakit yuk, buat periksa," ajak ku.

"Segitu bersemangatnya kamu buat tahu jenis kelaminnya?" tanya Aira mengintimidasi. Aku gelagapan dibuatnya. "Biasanya kamu ogah buat temenin aku. Kelamaan lah, antrean panjang lah," sambungnya dengan mengejekku.

Benar, aku akan terlebih dahulu menolak untuk menemani setiap diajaknya untuk check up, karena aku suka melihatnya ngambek dan marah-marah padaku. Meskipun begitu, tetap saja selalunya dia pergi bersamaku ke rumah sakit.

"Bukan untuk tahu jenis kelamin si baby, tapi aku pengen ngeliat seperti apa dia di rahim kamu. Bayinya sesehat ibunya tidak?"

Aku kembali mengingat ketika dulu Aira pernah mogok minum susu ibu hamil. Ia tidak mau minum susu lagi disaat aku memanggilnya si Ndut karena badannya yang kian membesar saja. Tetapi setelah aku minta maaf, barulah ia tidak marah lagi padaku. Semenjak hamil, nafsu makannya itu semakin tinggi, ia sangat mudah lapar. Aku curiga ia mengonsumsi suplemen tertentu.

"Akan lebih surprise kalau kita tahu jenis kelamin bayinya ketika udah lahir. Bener gak?" tanya Aira sembari menatapku. Aku mengangguk setuju.

Kami terus saja mengobrol menyangkut masa depan, seperti persiapan untuk sang bayi, dan berbagai planning lainnya.

_____

Rumah sakit begitu ramai dengan perawat, pengunjung, dan pasiennya. Tak hanya itu, ramai juga yang berjualan di halaman rumah sakit.

Kami memasuki ruangan ketika nama Aira di panggil setelah menunggu sekitar satu jam. Indonesia yang dikenal dengan negara berkembang, memiliki banyak sekali ibu hamil. Bisa ku lihat dari panjangnya nomor antrean.

Dokter mulai memeriksa dengan menggunakan ultrasonografi atau dikenal USG. Bayiku kini memasuki usia lima bulan dalam kandungan. Aku penasaran untuk mengetahui detak jantungnya, dan bentuk tubuhnya yang mungil.

"Detak jantungnya normal," ucap sang dokter yang berkerudung itu. Aku sengaja mencari dokter perempuan, agar istriku tidak dilihat auratnya oleh orang lain, walaupun maksud mereka hanya untuk memeriksa. Tapi, akan ada baiknya kita mencari alternatif terlebih dahulu, jangan langsung menerimanya mentah-mentah. Kecuali, sudah mudharat.

Kalau dokter kandungan perempuannya masih ada, kenapa harus mau dengan dokter laki-laki?

Kami menatap haru bayi yang sedang diperlihatkan oleh sang dokter melalui USG itu. Dalam hatiku, aku merasa sudah tidak bisa menunggu lama lagi. Rasanya ingin cepat-cepat membawanya dalam dekapanku.

"Semuanya baik-baik saja kan, Dok?" tanyaku.

"Iya, sejauh ini semuanya baik. Kondisi ibunya juga sehat. Terus jaga kesehatan ya,"

"Iya, terimakasih, Dokter," balas Aira dengan senyumnya.

"Jenis kelaminnya laki-laki," tutup sang dokter tanpa kami tanya.

Yah... Sebenarnya kami pengen dirahasiakan terlebih dahulu soal ini. Tapi dokternya udah ngasih tau duluan.

"Itu sudah fix, Dok?" tanyaku ragu. Bisa saja itu hanya prediksi.

"Iya, di sini sudah jelas," balas sang dokter sambil menunjukan gambarnya kepada kami.

_____


Aku tidak menyalahkan dokternya, tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku. Ada rasa kurang suka jika diberitahu tentang jenis kelamin bayi kami duluan. Aku lupa  melarangnya untuk tidak memberitahu terlebih dahulu.

"Udah, gak papa. Berarti kita bisa persiapkan lebih awal dong, kebutuhan bayinya," ujar Aira yang melihatku kurang bersemangat.

"Nggak surprise lagi jadinya," balasku lesu.

"Kalau bayinya laki-laki, berarti kamu menang dong. Namanya kita kasih Al Fatih kan ya?!" tanya Aira dengan cengiran.

Kamu paling pinter mengembalikan mood ku.

"Iya, namanya Al Fatih," ucapku bangga.

"Kalau nama panggilan bayinya untuk kita apa? kamu suka dipanggil apa?" kini Aira bertanya lagi padaku. "Kamu pengen dipanggil Abi, Walid, Dady, atau gimana?"

"Fatih akan berbicara dan manggil kita dengan panggilan bahasa yang berbeda setiap harinya. Senin bahasa Arab, Selasa bahasa Inggris, Rabu bahasa Jerman, Kamis..."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat ku, Aira sudah lebih dulu memotong. "Emang kita bisa? Bahasa Inggris dan Arab aja aku masih raba-raba,"

"Makanya belajar!!"

"Ya.. kan gak segampang itu.." gerutunya.

"Kita belajar pelan-pelan, bisa kok. Seperti waktu kamu menghafal Al-Qur'an, yang awalnya terasa susah sekarang malah kayak kebutuhan. Sehari gak hafal rasanya gak afdol gitu," ujarku yang kemudian memilih tidur karena jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam.

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 86.5K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

2.9M 204K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
236K 24.8K 41
Bagaimana jika di hari pernikahanmu datang seorang wanita yang mengaku hamil anak calon suamimu? Itulah yang dialami oleh Haira, tepat di hari yang...
83.7K 5.2K 43
Nadhira masih mengingat jelas saat prajuritnya itu pamit pergi, berjanji akan segera pulang setelah menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. Namun, satu hal...