Manajemen Rumah Tangga βœ”

By bintkariim

254K 17.3K 1.1K

π€π«πšπ›π’πœ || 𝐄𝐧𝐠π₯𝐒𝐬𝐑 (Follow dulu yuk!) β€’ πŸ‘‰Buat kamu yang masih muda tapi kebelet nikah, disarank... More

Testimoni
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
21
22
23
24
25
26
27
28
29
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Notes Penulis
Happy 200K Reads
TERBIT
VOTE COVER
OPEN ORDER MRT

30

4.4K 338 11
By bintkariim

Pukul dua dini hari. Aku terbangun karena mendengar tangisan Aira di sebelahku. Dengan mata yang masih mengantuk, aku bangkit dari peraduan lalu duduk di sebelah Aira.

"Kamu kenapa? aku masih ngantuk banget nih," tanyaku dengan suara berat. Ku kucek mataku pelan agar penglihatan ku semakin jelas.

"Perutku sakit sekali, Bang. Apa udah waktunya ya?" tanya Aira di sela-sela tangisnya.

"Itu mah biasa, Dek lagian kan prediksi dokter sekitar sepuluh hari lagi.."

"Ini beneran sakit banget, aku juga berasa kayak pengen boker gitu,"

Aku menghela nafas kasar sembari menyibak selimut lalu menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Setelah selesai dari kamar mandi aku menghempaskan tubuhku kembali ke ranjang. Kepalaku masih begitu pusing karena aku baru tidur satu jam yang lalu. "Kepalaku pusing banget. Besok aja ya, lagian kamu juga sering mengeluh kesakitan, dokternya bilang gak papa tuh," ucapku dengan suara berat.

"Aku kesakitan hampir mati tapi kamu masih bisa sesantai ini?" tanyanya. "Bang!!" teriaknya memekakkan telinga ku.

Aku mengucap istighfar lalu bersiap-siap menuju rumah sakit.

Peralatan bayi sudah kami persiapkan sejak awal. Aku sudah begitu siap siaga untuk keperluan kami nanti. Semuanya sudah ku masukkan kedalam sebuah tas besar semenjak dua minggu yang lalu.

Aku meraih tas tersebut lalu memasukkan ke mobil. Mobil tersebut adalah pemberian Abati sebulan yang lalu karena kasian dengan Aira yang kesusahan menaiki motorku.

Aku menemui Aira yang sedang bersiap-siap di kamar. "Udah? ada yang ketinggalan lagi gak, Dek?" Aira menggeleng pelan. Raut wajahnya penuh dengan kepanikan.

"Nggak usah panik, Dek. Kamu harus tenang.."

Aku membopongnya memasuki mobil lalu melaju lah mobil tersebut melintasi jalanan yang lengang mengingat ini jam dua pagi.

Selama dalam perjalanan, tak jarang aku mendengar Aira meringis kesakitan sembari memegang perutnya yang membesar itu.

"Perbanyak istighfar aja, Dek. Biar Allah mudahkan," ujarku seraya memegang erat tangan kanannya.

_____

Kini kami berada di ruang persalinan. Aira sudah diperiksa. Kata dokter, kemungkinan ia akan melahirkan sekitar dua atau tiga jam lagi.

Subhanallah, aku tidak menduganya. Padahal kemarin prediksinya sekitar sepuluh hari lagi. Mungkin Allah tidak ingin membuat kami menunggu terlalu lama.

"Kita akan jadi orang tua sebentar lagi, Sayang," aku mencoba menyemangati Aira yang sedang melawan rasa sakitnya.

"Bang, tolong telfon ibu," Aira memohon.

"Nanti aja ya, kalau kamu udah melahirkan. Kasian kalau ibu khawatir malam-malam begini. Lagian gak aman kalau ibu berangkat jam segini,"

"Tapi, Bang.." Aira meneteskan air matanya. Ia terlihat begitu takut.

Aku menggeleng, tetap pada pendirian ku. Aku tidak mau ibu khawatir. Jarak kampung dengan tempat kami berada berkisar antara empat sampai lima jam perjalanan. Ibu dan ayah juga pasti akan khawatir lalu berangkat sekarang juga kalau kami beritahukan.

Banyaknya aksi begal di jalanan, itu yang aku takutkan sehingga aku tidak mengabulkan permintaan Aira.

"Oke, kita telfon ibu buat ngasih kabar aja ya, biar ibu dan ayah bantu doakan," ujarku karena tak tega melihatnya menangis.

Tak lama kemudian, ayah mengangkat teleponnya. Aku memberitahukan ayah dan meminta mereka untuk datang besok setelah shalat subuh saja.

"Nggak papa, Yah. Ada Ari yang bakal temani Aira disini. Ayah dan ibu gak usah khawatir, kami minta doanya ya, agar dilancarkan. Apalagi doa seorang ibu untuk anaknya, akan segera Allah kabulkan tanpa penghalang," ujarku sedih. Dalam waktu yang sama aku jadi berfikir, andai Ummi ku masih ada.

Setelah ayah dan ibu berdoa dan memberikan wejangan untuk kami, ayah mematikan teleponnya. Kemudian aku mulai menelpon Abati untuk mengabarinya juga.

"Assalamu'alaikum, Abah. Aira mau melahirkan sebentar lagi. Mohon doanya ya, biar dilancarkan. Kalau Abati mau, Abati kesini ya, di rumah sakit Jingga lantai dua ruang bersalin. Nanti kalau udah sampai telfon Ari aja. Ari tunggu, Assalamu'alaikum,"

"Kamu nggak adil," ujar Aira setelah aku selesai teleponan dengan Abati.

"Kenapa?"

"Kamu nggak biarin ayah dan ibu datang, tapi kamu malah suruh Abati untuk ke sini," ujar Aira dengan cemberutnya. Aku hanya bisa tersenyum simpul melihatnya.

"Kan Abati deket," aku beralasan.

Akhirnya kami melewati perdebatan panjang sampai Aira lupa dengan sakit di perutnya.

_____

Adzan subuh berkumandang, aku segera menuju mushalla rumah sakit untuk sholat subuh karena persalinan Aira akan berlangsung sebentar lagi. Usai menunaikan kewajiban ku, aku memanjatkan doa agar Allah mudahkan semuanya.

Setetes air bening keluar dari mataku. Begitu gundah hati ini, apakah semuanya akan berhasil. Dokter sempat menyarankan untuk operasi karena bayinya terlalu sehat dan kemungkinan untuk melahirkan secara normal sangat tipis. Tetapi aku bersikeras untuk meminta pada dokter agar Aira bisa melahirkan secara normal saja. Aku ingin ia merasakan bagaimana proses menjadi seorang ibu yang sesungguhnya.

Aku tahu, itu sangatlah sakit. Berada diantara hidup dan mati. Terserah dengan persepsi orang-orang diluar sana yang memilih jalur yang menurut mereka aman itu, tapi tidak denganku, menurutku operasi justru lebih beresiko kedepannya, dan sembuhnya juga lama.

Aku kembali memasuki ruangan dimana Aira akan melahirkan. Ia sedang berbaring sambil mengaduh kesakitan.

Aku duduk di kursi yang ada di sebelah ranjangnya, ku pegang erat tangannya sembari merapalkan ayat-ayat Allah.

"Nggak usah takut, sayang. Kamu bisa lewati semua ini. Aku tau kamu kuat,"

"Bang, apa gak sebaiknya di operasi saja? aku takut banget," lirih Aira.

"Kamu tau nggak, betapa besarnya pahala seorang wanita yang melahirkan? dengan rasa sakit itu, dosa-dosanya akan diangkat oleh Allah," Akhirnya Aira beristighfar dan membacakan beberapa surah pendek.

Suara deringan telepon mengagetkanku. Aku segera beranjak keluar karena Abati menelpon. Pasti Abati sudah sampai.

"Abati," aku memeluk lelaki paruh baya itu dengan erat. Entah kapan terakhir kalinya aku memeluk dan menangis didepannya seperti ini. Seingat ku adalah ketika aku masih SD dulu. Aku tidak mau menangis di depannya, tapi kali ini aku meneteskan air mataku di hadapannya karena rasa khawatir menyelimuti ku.

Di depan Aira aku bersikap biasa saja, tapi sebenarnya inilah yang akhirnya rasakan. Aku juga tak kalah khawatir.

"Kamu harus tenang, jangan menampakkan ekspresi khawatir kamu didepan Aira," ujar Abati seraya menepuk pundak ku. "Masa calon  ayah cengeng gini?" Abati melempari ku dengan senyuman juga meninju pundak ku. Akhirnya aku tertawa dibuatnya.

"Pak," panggil seorang suster padaku. "Pasiennya sudah mulai melahirkan,"

Aku segera berlarian keluar meninggalkan Abati sendirian di sana.

Ku lihat Aira begitu ketakutan. Ia menatapku dengan tatapan seakan memintaku untuk segera membawanya lari dari sana. Sementara sang bidan dan asistennya menjalankan aksinya.

"Nggak papa, sayang. Kamu yang tenang ya, dengarkan instruksi dari bidannya," ujarku seraya memegang tangannya.

Lima menit berlalu, kepala bayiku sudah kelihatan. Aku menelan ludah. Ku lihat wajah Aira pucat pasi, lalu ku lirik bidannya yang sepertinya begitu kesusahan.

Ya Allah, sebesar apa badan bayiku sampai bidannya terlihat begitu kesusahan mengambilnya?

Aku menatap Aira, sang bidan, dan bayiku secara bergantian. Air mataku langsung lolos begitu saja. Ternyata perjuangan melahirkan jauh lebih sulit dari yang aku bayangkan.

Aira mencengkeram kuat tanganku, membuatku menyadari betapa sakitnya ia kini. Ternyata menjadi ibu tidak semudah yang dibayangkan.

Suasana kali ini begitu menegangkan. Sang bidan masih belum berhasil, sementara Aira kelihatan tidak sanggup lagi. Aku khawatir jika Aira atau bayinya tidak bisa diselamatkan. Lebih parah lagi jika mereka berdua meninggalkan ku. Berbagai pemikiran negatif mulai mendominasi isi kepalaku.

"Ya Allah Yang Maha Pemurah, tolong kami Ya Allah, tolong kami.." lirihku dalam tangisan.

"Dek, kamu harus bertahan, sedikit lagi.. kamu bisa.." aku memberinya semangat namun Aira menggeleng lemah dengan keringat yang bercucuran di dahinya.

"Dek, kasian bayinya juga tersiksa," lirihku lagi padanya.

Atas kuasa Allah, Aira mengumpulkan sisa-sisa energinya dan bayi kami berhasil dilahirkan. Tangisan bayi kami terdengar.

"Allah.." aku sujud syukur melihatnya. Bayiku sudah lahir. Setelahnya, aku memeluk dan mencium Aira yang terlihat begitu lemah.

_____

Setelah mengazani bayiku, aku menuju ruangan dimana Aira berada sekarang. Ruangannya sudah dipindahkan usai ia melahirkan. Sementara bayiku dibawa ke ruang khusus bayi setelah ia dilahirkan.

"Sayang.." aku menemui Aira, di sana juga sudah ada Abati dan Winda. Begitu melihatku mereka izin keluar, katanya sudah tidak sabaran melihat bayi kami di ruangannya.

Aku duduk di sebelah Aira,  menatapnya begitu lekat, sementara Aira tersenyum padaku.

"Makasih, Sayang, kamu sudah melahirkan anakku. Aku tidak tau harus bagaimana cara mengatakan betapa aku bahagia saat ini,"

"Bayinya laki-laki kan? berarti fix namanya Al Fatih nih?" tanya Aira sembari tersenyum.

"Iya dong. Al Fatih itu mengingatkan aku sama panglima perang fii sabilillah,"

"Udah diazanin, belum?"

"Sudah, Dek,"

Aku memperlihatkan foto bayi kami dari ponselku. Sebelum keluar aku sempat memotretnya untuk ku perlihatkan pada Aira. Aku yakin Aira pasti tidak sabaran untuk melihatnya.

"Ya Allah.." Aira terpukau melihat foto bayi mungil itu di ponselku. "Kok mirip kamu sih?" tanyanya kesal.

"Terus? harus mirip tetangga?" balasku

"Gak ada mirip-miripnya sama aku.." dia menggerutu.

Aku tertawa geli melihat Aira. Kemudian aku menggeser ke foto berikutnya. Bayi ku dalam foto itu terlihat sedang tidur begitu tenang, alis dan rambutnya begitu tebal, hidungnya sedikit mancung. Benar yang dikatakan Aira, sangat mirip denganku.

"Kamu itu cuma numpang lewat aja, Dek." ujarku yang membuatnya cemberut. "Al Fatih kan laki-laki, jadi dia ikut ayahnya. Bahkan, dalam persilangan saja setiap ayah itu lebih dominan dari ibunya. Jadi wajar kalau anak pertama mirip ayahnya. Yang penting kan gak mirip cowok-cowok kosan didekat rumah kita, bisa-bisa jadi gosip tetangga" ujarku seraya tertawa lebar. Aira memukuli pundak ku.

Di tengah kami bercanda, tiba-tiba Winda masuk ke ruangan itu. Sepertinya Winda ingin pamit pulang karena ia meninggalkan anak-anaknya di rumah.

"Bang Ari, dokternya mau ketemu Abang tuh. Aira biar sama aku aja," ujar Winda.

"Oke," balasku santai. Mungkin ada hal yang ingin disampaikan oleh dokternya. Aku juga ingin berterima kasih kepada mereka yang sudah membantu kami. "Aku keluar sebentar ya," bisik ku pada Aira.

"Cepetan.." gerutu Winda dengan tatapan aneh.

Aku sudah lama mengenal Winda. Dari yang kulihat, seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Ada raut gelisah dan rasa khawatir. "Langsung ke ruangan bayi, ya!"

Aku mengangguk pelan dan berlangsung pergi. Baru saja aku tiba di ambang pintu, Aira memanggilku.

"Jangan lama ya, Bang. Nanti tolong bawain Al Fatih ke sini, aku udah gak sabaran pengen nyusuin dia," ujar Aira dengan senyumnya. Dari raut wajahnya, ada kebahagiaan yang terpancar dan rasa tidak sabaran menemui bayi yang selama ini dikandungnya.

Aku melirik Winda yang berdiri di sebelah Aira, ada raut gelisah di sana. Ia seperti memintaku untuk segera pergi dari sini.

Semua akan baik-baik saja

Aku menghibur diriku sembari melangkah gontai ke ruangan bayi.

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 323 43
Anggara berharap hubungan dia dan Kinara bisa berakhir sebagai status suami-istri. Tapi setelah mendengar Anggara ingin jadi petani, Kinara memutuska...
21.2K 1.2K 38
Ketika Kisah Cinta Tak selalu Semanis Lolipop Lollyta ada gadis berusia 25 tahun periang dan penuh optimisme Sampai akhirnya, Pradipta Nugraha berhas...
130K 4.4K 20
~dr. Alina Oktaviani Putri Surbakti Perjodohan? Pernikahan? Adalah kata yang paling aku benci karna pernikahan membuatku harus tinggal pisah dengan a...
3.4M 51.1K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...