Erotomania [Tamat]

By triviaindriani

171K 22.5K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... More

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
19. Sisi Tergelap
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

20. Berakhir

5.1K 724 31
By triviaindriani

"Lo harus janji, kalau suatu hari nanti gue lepas kontrol sampai bisa menyakiti lo, lo harus teriak sekencang mungkin, minta tolong sama orang lain."

Perkataan Arvin saat di taman terngiang-ngiang di telinga Lova. Dia sudah meminta tolong, tetapi entah pada siapa. Dia sudah berusaha berteriak, memberi tahu pada siapa saja bahwa Lova membutuhkan bantuan, tetapi tidak tahu adakah orang yang akan datang menyelamatkannya. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini, selain mereka berdua. Apakah mungkin Lova akan selamat?

"Gue tahu, kadang gue enggak bisa membedakan antara kenyataan dan delusi. Tapi, satu yang perlu lo tahu, rasa sayang gue ke lo bukan cuma delusi. Dia nyata hadir di hati gue."

Apakah saat ini Arvin sedang tidak mencintainya? Dia hanya melakukan apa yang dia mau. Membalas sesuatu yang tidak diinginkan Lova dengan kejadian yang lebih kejam. Laki-laki yang saat ini berkuasa bukan Arvin yang biasa membahagiakan Lova, yang biasa tersenyum hangat, atau yang selalu melakukan hal kecil yang membuat Lova merasa dicintai. Dia adalah iblis, yang tenggelam dalam delusi.

"Aku benci Kak Arvin."

Seluruh tubuh Arvin langsung kaku saat mendengar bisikan kecil itu. Sangat lemah, hampir saja Arvin tidak bisa mendengarnya karena kalah oleh angin malam. Arvin sama sekali tidak bergerak. Cengkramannya di leher Lova perlahan mengendur. Deru napas penuh amarahnya perlahan melambat. Kali ini, Lova yang meyakini bahwa mereka sedang saling berpandangan. Seakan tidak ada habisnya, air mata Lova terus turun tak tertahankan.

"A-apa?" Suara Arvin bergetar. Tidak lagi menyeramkan seperti beberapa saat yang lalu, justru terdengar begitu menyedihkan. "Apa lo bilang, Lov?"

"Aku benci Kak Arvin," ulang Lova di sisa tenaganya. Siapa yang tidak benci diperlakukan sangat keji seperti ini? Binatang sekali pun akan marah, apalagi Lova yang jelas-jelas manusia berakal. Meskipun dia sangat menyukai Arvin, bukan berarti dia akan rela disiksa olehnya. "Kenapa gak sekalian aja bunuh aku, Kak? Biar puas sekalian kalau aku gak ada."

Dengan sekali hentakan, Arvin menyingkir. Meskipun gelap, dia bisa berjalan dengan begitu mudah. Dan sekarang, Lova bisa merasakan bahwa Arvin sedang mondar-mandir di depannya. Entahlah apa yang ada di kepala laki-laki itu, Lova hanya berharap ini adalah awal yang baik untuk kebebasannya. Namun, jika itu adalah hal buruk, Lova siap untuk mati di kamar ini, sekarang juga.

"Enggak, Lov. Lo enggak boleh benci gue! Lo cuma boleh punya satu perasaan sama gue, yaitu cinta!" Lagi, untuk kesekian kalinya, Arvin berteriak. Kali ini, dia seperti orang frustasi. Berulang kali dia membuang napas panjang. "Lo cinta sama gue. Lo enggak benci sama gue, 'kan? Gue mohon, tarik kata-kata lo!"

"Kakak pikir, setelah apa yang Kakak lakukan sekarang, masih ada perasaan aku buat Kak Arvin?! Enggak ada! Dan aku enggak akan pernah menarik kata-kataku. Aku benci Kak Arvin!" Lova membalas berteriak. Dia muak dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya, dia muak dengan kegelapan ini, dia muak dengan semua kegilaan Arvin. "Aku selalu ikuti semua kemauan Kakak. Menemani Kak Arvin terapi, hampir tidak melakukan interaksi dengan lawan jenis, aku ikuti semua peraturan Kak Arvin dari pagi sampai malam. Tapi, kenapa Kak Arvin enggak bisa kasih apa yang aku mau? Aku cuma mau kepercayaan, dan Kakak enggak pernah kasih itu."

Kursi berderit, tubuh Lova tersentak karena Arvin kembali menariknya mendekat. Dia beringsut mundur saat tangan dingin itu kembali menyentuh pipinya. "Gue percaya sama lo. Mulai sekarang, gue enggak akan mengekang lo, gue akan turuti semua kemauan lo. Tapi, gue mohon, jangan benci gue." Kemudian, Arvin bergeran melepaskan ikatan tubuh Lova dengan terburu-buru. "Lo mau gue lepasin lo, 'kan? Lo mau pulang? Lihat, gue turuti kemauan lo. Gue bakal antar lo pulang."

Begitu kedua tangannya bebas, Lova segera bangkit. Meskipun kedua kakinya sangat lemas, Lova tetap memaksa mereka berdua untuk membawa tubuh ringkihnya pergi dari sana. Baru beberapa langkah dia berjalan, Arvin malah memeluknya dari belakang. "Lepas, Kak."

"Gue cinta sama lo, Lovata. Gue enggak bisa hidup tanpa lo." Arvin sudah menangis. Air matanya yang tidak terlihat membasahi bahu kiri Lova. "Gue mau berubah buat lo. Gue janji bakal bikin lo bahagia. Tapi, gue mohon, jangan tinggalkan gue. Gue ... gue minta maaf."

Tidak ada satu pun kalimat yang keluar sebagai candaan dari mulut Lova. Dia tidak main-main. Dia membenci Arvin, perasaannya sudah tidak bersisa, dan juga keinginannya untuk mati. Namun, mengapa air mata masih saja turun saat Lova mendapatkan apa yang dia mau? Hatinya berdenyut sakit mendengar setiap isakan Arvin yang ada di bahunya. Ada keinginan besar untuk berbalik dan memeluk Arvin dengan erat. Hanya saja, mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan untuk Lova pergi.

"Aku juga minta maaf, Kak. Aku enggak bisa ikuti kemauan Kak Arvin lagi. Aku gak bisa bertahan lagi, aku gak bisa ada di samping Kak Arvin lagi, dan ... aku nggak bisa berjuang melawan erotomania sama Kak Arvin lagi." Lova menarik napas dalam-dalam. Sangat berat, tetapi kesabaran Lova sudah habis sekarang. Dia tidak mau menyiksa diri lebih lama lagi. "Aku pergi."

Tanpa diminta 2 kali, Arvin langsung melepaskan pelukannya. Selangkah Lova maju, selangkah dia mundur. Saat Lova berhasil mencapai kenop pintu, Arvin terduduk di ujung ranjang. Memeluk kedua kakinya erat-erat, membiarkan air mata terus turun melengkapi penyesalannya. Dan begitu terdengar suara daun pintu yang terbuka, Arvin tahu, dia sudah kehilangan Lova. Namun, sebelum Lova benar-benar pergi, Arvin kembali bersuara.

"Lovata Auristela, gue akan datang ke hidup lo dengan keadaan yang lebih baik dari ini. Gue akan tebus kesalahan gue sama lo. Gue janji." Arvin tidak peduli kalau isakannya terdengar dengan jelas. Dia tidak akan pengecut hanya dengan menangisi kebodohannya. "Gue akan datang, saat gue bebas dari erotomania ini."

Tidak ada yang bisa Lova katakan. Yang jelas, Lova mendengarkan janji Arvin itu dengan baik. Masuk ke telinganya, tertanam di otaknya, tertulis dengan mutlak di hatinya. Ternyata, pertemuan mereka yang disertai dengan tatapan tajam Arvin harus berakhir di ruangan gelap yang penuh siksaan. Masih teringat dengan jelas bagaimana paniknya Arvin saat Lova jatuh hari itu. Berulang kali dia menanyakan apakah Lova baik-baik saja, bagian mana yang sakit, sampai berniat membawanya ke rumah sakit. Sekarang, mereka berakhir dengan penuh rasa sakit.

Lova berhasil menyeret kakinya sampai ke teras rumah Arvin. Angin malam yang menembus kulitnya terasa begitu menyiksa. Jantung Lova berdegup dengan cepat, rasanya sangat menyesakkan. Pandangannya berkunang-kunang. Tepat sebelum tubuh lemahnya menyentuh lantai, sepasang tangan sudah terlebih dahulu menahan Lova.

"Lova, lo enggak apa-apa?" tanya orang itu dengan panik.

"Kak Julian?" Lova memegang tangan Julian yang menepuk-nepuk pipinya. Lova tahu, Tuhan belum sejahat itu sampai membiarkan Lova mati mengenaskan malam ini. Julian datang, untuk menyelamatkannya. "Aku mau pulang, Kak. Bawa aku pulang."

Tanpa pikir panjang, Julian langsung mengangkat tubuh Lova. Menempatkannya di jok belakang taksi yang dia tumpangi untuk menyusul Arvin. Julian tahu, sesuatu sudah terjadi pada Lova. Dia sangat terlambat untuk membuat Lova baik-baik saja. Dia semakin merasa bersalah saat melihat sudut bibir gadis itu terluka. Bukan hanya itu, rambut Lova juga berantakan, pipinya merah, bahunya memar.

"Ini semua ... ulah Arvin?" tanya Julian dengan ragu-ragu. Untung saja jasnya tidak basah, sehingga bisa menjadi selimut untuk Lova yang menggigil. Julian menyentuh tangan Lova dengan sangat hati-hati. Bukan hanya lebam, kulit lengan Lova lecet sampai mengelupas. "Dia ikat lo?"

Perlahan, kepala Lova mengangguk. Dia tidak bisa lagi menangis, sudah terlalu lelah. Sebelum kesadarannya berakhir, Lova bersuara dengan begitu lemah. "Aku mohon, jangan bilang siapa-siapa tentang kejadian malam ini."

"Kenapa?" Julian menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan permintaan Lova. "Apa yang dilakukan Arvin maupun Tamara, itu sudah tindakan kriminal, Lova. Mereka harus mendapatkan balasan atas apa yang udah mereka lakuin. Lo jangan terlalu pakai hati lo. Biarpun lo sayang sama Arvin, tapi dia udah keterlaluan kali ini."

"Karena aku capek, Kak. Aku udah terlalu capek."

Julian bungkam, tidak bisa berkomentar apa pun. Benar, Lova sangat kelelahan. Terlihat dari wajahnya yang lesu, terdengar dari suaranya yang begitu parau. Mungkin, dia menggunakan hati untuk urusan ini. Bukan untuk Arvin atau Tamara, tetapi untuk dirinya sendiri. Untuk kali ini, Julian mau menjadi tempat Lova berbagi rasa lelahnya. Dia menarik kepala Lova, menjadikan bahunya sebagai sandaran untuk gadis itu.

***

"Enggak dimakan lagi, Kak?" tanya Bu Arumi saat melihat Vanka baru saja keluar dari kamar putri bungsunya.

Meski itu akan menyakiti hati bundanya, Vanka tetap menganggukkan kepala. "Sekarang ada kemajuan, Bun. Lihat, susunya berkurang." Vanka menunjuk gelas susu yang berada di atas nampan yang dia bawa. Benar, susu itu berkurang dari kapasitas awal. Meskipun makanannya sama sekali tidak disentuh, setidaknya Lova mengisi perutnya. "Bunda yang sabar dulu, ya? Kakak akan terus coba bikin adek mau ngomong, kok."

"Iya, Kak." Bu Arumi mengangguk lesu.

Beliau sangat kaget saat melihat penampilan Lova yang sangat mengenaskan sekembalinya dari perayaan ulang tahun sekolahnya. Bukan Arvin juga yang mengantar putrinya pulang, melainkan pemuda yang beliau ketahui namanya adalah Julian. Saat ditanya apa yang terjadi, Lova bilang bahwa itu adalah bagian dari pestanya, perang air dan bantal dengan semua orang yang ada di acara tersebut. Lova menambahkan bahwa dia tidak sengaja menabrak meja saat menghindari lemparan bola air dari orang lain, sehingga tubuhnta lebam. Hanya itu, tidak membahas Arvin sama sekali.

Suara bel membuyarkan lamunan Bu Arumi. Beliau segera pergi ke teras dan mendapati Julian sedang berdiri di sana. "Lho, Mas Julian?"

Julian berbalik, lalu melempar senyum pada wanita paruh bawa berhijab itu. Bergerak mencium punggung tangan Bu Arumi seperti malam kemarin, saat hendak pulang. "Lova ada, Tan?"

"Ada, Mas. Silakan masuk." Bu Arumi berjalan terlebih dahulu. Duduk berseberangan dengan Julian. "Sebenarnya, apa yang terjadi sama Lova, Mas Julian? Sejak malam itu, Lova sama sekali tidak mau keluar dari kamarnya. Makanan yang tante antar juga sama sekali tidak disentuh. Tante sangat khawatir sama Lova."

Sudah berulang kali Julian membayangkan pertanyaan ini keluar dari bibirnya Bu Arumi, sebanyak itu pula dia bingung dengan jawaban yang harus dia kasih. Julian rasa, orang tua Lova berhak tahu tentang apa yang terjadi pada putri mereka. Namun, di sisi lain, dia sudah berjanji untuk menjadikan semua tragedi malam itu hanya sebatas rahasia. Membongkarnya, sama saja dengan menyiksa Lova.

"Lova baru saja putus sama Arvin, Tante." Hanya itu yang ada di kepala Julian. Memang alasan yang payah, tapi inilah yang paling masuk akal. "Dan tujuan saya datang ke sini untuk menghibur Lova."

Untuk beberapa saat, Bu Arumi kaget sendiri dengan fakta bahwa hubungan Lova dan Arvin berakhir. Karena mereka terlihat baik-baik saja sebelum pergi ke pesta. Bahkan, Arvin tidak sungkan untuk melemparkan godaan di depan Bu Arumi malam itu. "Oh, begitu? Ya sudah, Mas Julian langsung masuk ke kamar Lova aja kalau begitu. Kalau bisa, tolong dibujuk untuk makan ya, Mas? Tante takut Lova sakit."

"Baik, Tante."

Kemudian, Julian mengikuti arah langkah Bu Arumi. Dia mengetuk daun pintu kamar Lova beberapa kali. Masuk meskipun tidak ada yang memepersilakan. Dan pemandangan yang dia lihat selanjutnya sangat mengiris hati. Lova sedang duduk bersandar ke kepala ranjang sambil memeluk tubuhnya. Tatapannya kosong, lingkaran hitam menghiasi bola matanya. Perlahan tapi pasti, Julian mendudukkan diri di tepi ranjang.

"Va, lo apa kabar?" tanya Julian, sekedar menguji. Dan ternyata benar, Lova sama sekali tidak menjawabnya. "Gue dengar dari Tante Arumi, lo belum makan dari kemarin, ya?" Lova masih membisu, dan Julian masih mau terus mencoba. "Makan dong, Va. Badan lo udah kurus kering, ditambah mogok makan, lo mau jadi fosil berjalan?"

Julian senang saat Lova mau menatapnya, meski lewat sudut mata. Dia tersenyum lebar pada gadis itu.

"Bunda lo sedih masakannya enggak lo makan. Gimana kalau nanti bunda lo memutuskan pensiun jadi koki di rumah ini?" Julian maju, mencondongkan tubuhnya pada Lova. "Makan, ya? Lo mau makan apa? Gue beliin semuanya mau lo, deh. Kalau perlu, gue juga suapin lo. Buat sehari ini, gue mau jadi jongos lo. Gimana?"

"Kak Julian?"

"Hmm?" Hati Julian semakin senang saat Lova mau buka suara. Meskipun suaranya begitu kecil, tetapi ini adalah pertanda yang baik. Dia kira begitu.

"Gimana keadaan Kak Arvin?"

Senyum di bibir Julian langsung luntur saat itu juga. Dia tidak menyangka kalau hal pertama yang Lova tanyakan adalah Arvin, orang yang sudah berperilaku tidak pantas padanya. Lihatlah keadaannya sekarang. Sangat menyedihkan, menguras rasa iba, mengkhawatirkan. Namun, Lova justru masih saja sempat menanyakan keadaan orang lain. Sebenarnya, terbuat dari apa hati gadis di hadapan Julian ini?

Kepala Julian tertunduk, tidak kuasa menatap mata menyedihkan Lova. "Buat sekarang, keadaannya kurang stabil. Dia tadi ngamuk, bahkan beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Dia cuma bisa tenang kalau udah dikasih obat tidur." Lalu, kepalanya kembali diangkat. Julian mengusap tangan Lova. "Lo enggak usah khawatir, Arvin bisa ditangani sama Dokter Saira. Yang perlu lo pikirin sekarang adalah keadaan lo sendiri."

"Dia bisa sembuh tanpa aku, 'kan?"

Dengan terpaksa, Julian menarik kembali sudut bibirnya. "Bisa, dengan bantuan doa lo. Dan buat berdoa, lo butuh tenaga. Tenaga baru bisa diproduksi kalau perut lo penuh. Jadi, Arvin bisa sembuh kalau lo mau makan sekarang. Makan, ya?" Julian langsung semringah saat Lova menganggukkan kepalanya. Dia berlari menuju ruang tengah, mendapati Bu Arumi sedang duduk di sana. "Tante, Lova mau makan."

"Alhamdulillah!" Bu Arumi terpekik senang. Beliau langsung melompat dari sofa dan segera menyiapkan makanan untuk Lova. Bahkan, air mata bahagia sudah membasahi pipinya. Baru kali ini Bu Arumi terharu menatap ayam kecap dan perkedel di atas piring. "Makasih banyak, ya, Mas. Tante enggak tahu lagi harus bilang apa."

"Tante enggak perlu bilang makasih. Saya udah berjanji sama diri saya sendiri untuk menjaga Lova dengan baik," cetus Julian tanpa sadar. Dia kaget dengan apa yang baru saja dia katakan. Untung saja Bu Arumi tidak terlalu memperhatikannya karena terlalu senang. "Saya permisi, Tan."

Julian sama sekali tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebelum Lova berubah pikiran, Julian langsung menyuapi gadis itu dengan penuh ketelatenan. Butuh kesabaran ekstra, karena Lova sangat lambat untuk mengunyah nasinya. Dia sudah menolak lanjut di suapan ketiga. Namun, Julian berhasil memaksanya dengan dalih itu adalah suapan terakhir. Hingga akhirnya, nasi di atas piring itu habis tidak bersisa. Tak hanya itu, Lova juga berhasil menghabiskan segelas susu hingga tetes terakhir.

Sebelum keluar sambil membawa peralatan makan—yang sudah kosong—Julian berbalik sebentar. "Va, Tante Indira sama Om Wisnu titip maaf buat lo. Mereka enggak tahu apa yang sudah Arvin lakukan. Tapi, mereka sangat berharap lo bisa mau maafin dia."

"Aku maafin Kak Arvin, kok," jawab Lova dengan begitu enteng. Setelah itu, dia sangat serius mengatakan kalimat selanjutnya. "Tapi enggak dengan melupakan."

Memang begitu, bukan? Ciptaan Tuhan yang bernama perempuan pasti akan memaafkan kesalahan orang lain pada dirinya, cepat atau lambat. Hanya saja, hampir mustahil untuk melupakan kesalahan itu sendiri. Butuh waktu yang lama untuk menghapusnya dalam ingatan. Atau mungkin, tidak akan pernah terhapuskan.

*
*
*
Silakan, kritik dan saran sangat diharapkan author. Mau ngehujat, bersumpah serapah juga sangat dianjurkan. Sepuasnyaaaaa!

Bini Ceye,
10 April 2020
Repost : 15 Oktober 2020

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 115K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
31.4K 5K 18
Bermula ketika pacar temannya diam-diam nge-chat atau cowok yang PDKT-in temannya berujung nembak ke dia, Bia sadar ternyata dirinya punya bakat menj...
5K 744 31
Haru tak pernah menyangka seseorang yang disukainya sejak lama akan berakhir satu atap dengannya. Jika saja waktu bisa diputar, ia akan menentang aca...
358K 11.3K 16
[16+] - COMPLETED Sonya Ayudia Prameswari baru saja selesai tersandung kasus obat-obatan terlarang yang diduga dikonsumsinya tanpa seizin dokter, na...