Foregone

By Amaranteya

8.3K 1.6K 487

General Fiction Cerita ini bukan hanya tentang Aarunya, perempuan berpenampilan tomboi yang memiliki cacat ba... More

Prolog
1. Attractive
2. Like a Display
3. Monologue
4. Damn
5. From Newspaper
6. Have a Lunch
7. An Accident
8. Rival
9. A Story and a Pride
10. An Orphanage
11. A Sincerity
12. Special Guest?
13. Persuasion
15. Pain
16. Dating?
17. A Small Cockroach
18. Attention
19. Drama Scene
20. Fragile Heart
21. Start Planning
22. Discussion
23. Messed Up
24. Recantation
25. Dusk With Him
26. Questions
27. Victory
28. Uncovered Rendezvous
29. The Remaining
30. It's My End
Epilog

14. Night Talk

173 41 10
By Amaranteya

Meli terlihat kebingungan di tempatnya berdiri. Ada seorang pelanggan yang menawarkan kerja sama bisnis dengan kedai itu, namun sampai pukul 2 siang, Aaru tak juga menampakkan batang hidungnya.

Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi bosnya, namun nihil. Tak satu pun panggilannya diangkat oleh perempuan itu.

“Mbak Aaru belum bisa dihubungi, Mbak?” tanya Nanda.

“Belum, Nan. Padahal yang nawarin kerja sama ini minta konfirmasi paling lambat nanti jam 4 sore.”

“Tapi Bapak itu udah ninggalin kartu nama, kan, Mbak?”

Meli hanya mengangguk.

“Tapi sebenernya aku bukan khawatir masalah kerja samanya sih, Nan. Tapi Mbak Aaru. Ini baru pertama kali loh dia nggak ke sini. Sebelum-sebelumnya nggak pernah. Aku jadi takut terjadi sesuatu sama bos.” Meli memusatkan pandangannya pada pintu masuk.

Chat aja, Mbak. Biar nanti dibaca sama Mbak Aaru. Lagipula, kita nggak bisa ninggalin kedai gitu aja,” usul Nanda dengan wajah khawatirnya.

Meli menghela napasnya pelan lantas mengetikkan sesuatu di ponselnya dan kembali bekerja.

🍁🍁🍁

Lagi-lagi bulan sudah bertakhta di atas sana. Menggantikan peran mentari yang sudah berjaga seharian.

Angin malam berembus cukup kencang. Dingin memang, tapi tak berpengaruh apa-apa untuk perempuan itu. Ia masih berjalan dengan tenang menyusuri jalan setapak yang memang disediakan di taman.

Matanya menyapu sekeliling. Tak terlalu banyak orang mengingat hari ini bukan akhir pekan. Namun, pemandangan yang ia lihat cukup menohok hatinya.

Seorang anak kecil tengah bermain jungkat-jungkit dengan sang Ayah. Anak itu tertawa dengan riang. Rambut bergelombang sebahunya termakan angin hingga beberapa kali menutup mata cantiknya.

Tak ingin berlama-lama melihat, perempuan itu kembali melangkah. Ia memilih berhenti di sebuah bangku dan duduk di sana.

Beberapa kali mengembuskan napas pelan, tangannya terjulur ke atas kepala. Ia melepaskan ikat rambut yang sejak pagi mencengkeram kepalanya. Selesai. Rambut dengan ujung hijau pudar sebahunya tergerai dengan bebas.

“Aaru. Kaukah itu?” Sebuah suara menginterupsi dan membuatnya menoleh.

“Ternyata benar. Ada bidadari di sini,” lanjut lelaki yang menyapanya lantas duduk di sebelah Aaru.

“Baru kali ini aku melihatmu tanpa cepolan rambut. You look different.”

Tak ada respon apa pun dari Aarunya. Ia hanya menatap laki-laki itu datar.

“Ngomong-ngomong, sedang apa kamu malam-malam di sini?”

“Ini bukan taman milikmu. Jadi, apa salahnya?” balas Aaru pada akhirnya.

“Ya, hanya ... sangat tidak biasa. Aaru yang biasanya berada di balik mesin peracik kopi, tiba-tiba ada di taman seperti ini.”

Aaru menengadahkan kepalanya ke langit. Melihat benda-benda angkasa yang dapat terjangkau pandangannya.

“Melepas penat,” balas Aaru singkat.

“Ternyata kamu juga punya penat.”

“Aku masih manusia biasa, Caraka.”

Caraka, lelaki yang tak sengaja bertemu Aaru. Ia terkekeh singkat menanggapi ucapan perempuan itu.

“Penat dari rutinitasmu atau ... pemikiran-pemikiranmu yang berat itu?” Caraka memandang Aaru dari samping.

Merasa diperhatikan, Aaru menoleh dan memandang Raka dengan mata memicing.

“Dari orang-orang munafik sepertimu,” ujar Aaru serupa bisikan. Sangat lirih.

Caraka tertegun di tempatnya. Ia tak tahu apa maksud perkataan Aarunya.

“Tak semua orang benar-benar baik. Mereka mengharap timbal balik atas apa yang mereka lakukan. Memang benar, manusia diciptakan untuk saling memanfaatkan. Aku sangat paham. Kau tahu, Caraka? Mereka hanya terlalu takut untuk mengakuinya.” Aaru kembali menengadahkan kepala.

“Apa maksud perkataanmu, Aar?”

Tanpa menoleh, perempuan itu menjawab, “tak ada maksud apa-apa. Untuk apa kamu kemari?”

“Kamu mengalihkan pembicaraan.” Raka berdecak.

Beberapa detik, Caraka tertegun. Aaru terkekeh singkat di sampingnya. Tawa tanpa paksaan.

“Kamu tahu aku, Caraka.”

“Aku hanya tau namamu, Aar. Selain itu, tidak ada. Karena kamu sendiri, tidak mengizinkan, bukan?” Raka menghela napasnya pelan.

“Apa tujuanmu mendekatiku selama ini?” tanya Aaru.

“Tentu saja karena aku tertarik.”

Aaru menautkan jari-jarinya.

“Hubungan.” Sejenak Aaru menjeda ucapannya. “Kamu berharap memiliki hubungan denganku setelah semua kebaikanmu. Bukan begitu, Caraka Lambara?”

Raka hanya diam. Memang benar. Lagipula, Caraka sudah saatnya untuk menjalin hubungan, menikah, lantas berkeluarga, bukan?

“Tak ada yang benar-benar tulus dari kebaikanmu.”

“Aar. Aku sudah 25 tahun. Sudah selayaknya aku menikah. Tentu saja aku harus berbuat baik untuk menarik perhatian perempuan yang aku suka. Dan dalam hal ini, kamu orangnya. Kamu tau itu.”

“Ya. Aku tau.”

Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.

🍁🍁🍁

“Kakak, mau beli bunga, tidak?” tanya gadis kecil membuat dua orang dewasa di hadapannya menghentikan langkah.

“Kamu jualan bunga malam-malam begini?” tanya Raka.

Gadis kecil itu hanya mengangguk dengan senyum sedih.

Raka dan Aaru memang memutuskan untuk berjalan di sekitar taman. Toh, waktu masih menunjukkan pukul delapan.

Aaru berjongkok menyamakan tingginya dengan gadis itu.
“Kenapa sedih?”

“Vivi nggak apa-apa, Kak. Jadi mau beli bunga, tidak?” Gadis kecil bernama Vivi itu kembali menawarkan mawar di tangannya.

Aaru mendongakkan kepala menatap Raka yang masih diam.

“Berapa harganya?” tanya Aaru dengan lembut.

“Tujuh ribu setangkai.” Vivi menyunggingkan senyum.

“Kakak beli semuanya, boleh?”

“Kakak cantik beneran?” Mata Vivi membulat sempurna tanda terkejut.

Aaru hanya mengangguk disertai senyum manis di bibirnya. Perempuan itu mengambil uang di saku belakang celananya. Selembar uang seratus ribu diserahkan Aaru kepada Vivi.

Vivi sendiri memberikan bunga berjumlah tujuh tangkai kepada Aaru.

“Vivi nggak punya kembalian, Kak. Ada uang pas?”

“Nggak apa-apa. Kembaliannya untuk Vivi.”

Aaru beserta Caraka sempat terkejut dengan respon Vivi. Gadis kecil itu memeluk Aaru dengan erat hingga hampir terjungkal ke belakang jika Raka tidak menahan bahu Aaru.

“Hati-hati, girl. Kamu bisa mencelakainya,” ujar Raka.

“Maaf, Kakak. Vivi terlalu senang. Dari pagi belum ada yang membeli bunga Vivi. Padahal Vivi ingin beli obat untuk Bunda.” Vivi terisak kecil setelah melepas pelukannya.

“Bunda Vivi sakit apa?” tanya Aaru sembari mengusap air mata anak itu.

Caraka sungguh tak menyangka Aaru bisa selembut itu pada orang lain. Sejak pertama memperhatikan reaksi keduanya, pandangan mata Raka tak terlepas dari Aaru.

“Vivi nggak tau. Kata Ayah, Bunda harus minum obat terus. Tapi uang Ayah belum cukup untuk beli obat. Jadi, Vivi bantuin Ayah.”

Setelah menghela napas pelan, Raka ikut berjongkok di depan Vivi. Tepatnya, di samping Aaru. Ia mengelus rambut kusut gadis kecil itu.

“Vivi umur berapa sekarang?” tanyanya.

Yang ditanya hanya mengacungkan 5 jari tangan kanannya.

“Masih sangat kecil,” gumam Raka.

Aaru tersenyum singkat mendapati ketidakpercayaan lelaki di sampingnya.

“Boleh Kakak main ke rumah kamu?” tanya Raka lagi.

Aaru terdiam. Pertanyaan yang dilontarkan Raka benar-benar di luar perkiraannya. Perempuan itu memandang Raka dengan tatapan tak terbaca.

“Kakak beneran?”

Raka hanya mengangguk lantas kembali berdiri. Ia mengulurkan kedua tangannya ke arah Vivi. Seakan mengerti maksud laki-laki itu, Vivi menghambur dan berakhir di gendongan Raka.

Aaru masih speechless di tempatnya. Tangannya memegangi bunga yang tadi baru dibelinya dari Vivi.

“Aaru. Ayo.” Suara Raka menyadarkan Aaru.

Mereka berjalan bersisian menuju arah yang ditunjuk oleh Vivi. Aaru masih tidak menyangka gadis kecil itu akan semudah itu dekat dengan Caraka.

“Itu, di sana. Vivi, Ayah, sama Bunda tinggal di sana.” Vivi menunjuk sebuah rumah yang terbuat dari susunan kardus bekas.

Raka bungkam dengan hati mencelos. Sungguh pemandangan yang memprihatinkan untuknya yang sudah terbiasa hidup di lingkungan mewah. Tak pernah sekali pun terbersit di pikirannya bahwa ada kehidupan jauh lebih tidak beruntung darinya yang kehilangan kedua orangtuanya sekaligus.

Aaru sendiri terlihat biasa saja. Tak ada hal tang perlu dikasihani, bukan?

🍁🍁🍁

Malam semakin larut. Jalanan yang tadinya riuh dengan para pengendara kendaraan bermotor, kian sepi dan terlihat lengang. Waktu sendiri menunjukkan pukul setengah sebelas malam.

Setelah berbincang dengan keluarga Vivi, Raka dan Aaru kembali berjalan. Tak usah bertanya, Aaru memang tak membawa kendaraan sejak pagi. Sementara Raka, ia memilih menemani Aaru malam itu.

Mereka sempat mendapat cerita tentang keadaan keluara Vivi dari Ayah gadis itu. Dari sana, Raka merasa bahwa hidupnya sudah benar-benar di atas awan tanpa kesulitan apa pun.

Raka sempat menawarkan bantuan kepada Vivi sekeluarga dengan membiayai pengobatan Rini—Ibu Vivi—namun ditolak. Alih-alih merasa tersinggung, Raka justru dibuat semakin kagum dengan mereka.

Aaru tak banyak bicara sejak tadi kecuali menanggapi ucapan orang lain. Pikirannya kembali penuh semenjak bertemu gadis kecil penjual bunga itu.

“Kenapa, Aar?” tanya Raka.

Nothing.”

Raka berdecak sinis. “Aku anter pulang, ya? Udah malem.”

“Pernah berpikir ada di posisi Vivi?” tanya Aaru tiba-tiba.

“Selalu mengalihkan pembicaraan. Tipikal Aarunya.”

“Jawab saja,” tukas Aaru.

Raka kembali berdecak namun tak urung menjawab pertanyaan Aaru. “Tidak. Hidupku selalu enak dari kecil. Orang tuaku menjamin semuanya. Mulai dari pendidikan, ekonomi, kasih sayang dan hal lainnya.”

Aaru masih mempertahankan ekspresi datarnya.

“Apa tanggapanmu?”

“Maksudmu tentang hidup Vivi?” Raka memastikan.

Perempuan itu membalas dengan sekali anggukan.

“Aku hanya tak habis pikir. Maksudku, di sekeliling sini bisa dibilang orang-orangnya sudah memiliki perekonomian yang baik. Tapi ... masih ada orang seperti mereka.”

“Matamu hanya tertutup, Ka. Kamu hanya fokus pada apa yang menjadi lingkungan borjuismu.” Aaru mendengus, “kepedulianmu memang hanya sebatas itu.”

Raka hanya diam.

“Melihat perlakuanmu pada Vivi ... kurasa hidupmu tidak sesempurna itu.” Aaru tersenyum singkat. “Vivi hanya satu di antara banyaknya orang tidak beruntung.”

Aaru kembali berjalan mendahului Raka.

Malam itu mereka habiskan dengan memandangi langit dan berakhir dengan Raka yang berhasil mengantarkan perempuan itu ke rumahnya.

Dan mungkin kamu juga salah satu orang tidak beruntung itu, Aar. Kamu hanya pandai bersembunyi.

🍁🍁🍁

Udahlah, nggak tau mau ngomong apa.

Continue Reading

You'll Also Like

33.1K 2.5K 35
Menceritakan tentang perjuangan seorang gadis yang mulai beranjak dewasa. Perjuangannya dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat walau harus men...
STRANGER By yanjah

General Fiction

229K 26.1K 33
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
452K 14.1K 8
-PROSES REVISI UNTUK PENERBITAN- 2nd A Series [Spiritual - Dark Romance] "Why do you believe in God?" Misteri adalah nama lainnya. Bersembunyi dengan...
2K 596 27
Rui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan kalimat pedas. Ketiganya kembar, identi...