Erotomania [Tamat]

By triviaindriani

171K 22.5K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... More

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

19. Sisi Tergelap

4.8K 726 27
By triviaindriani

⚠️⚠️⚠️

Mengandung konten sensitif. Segala isi hanya untuk kepentingan penguatan karakter, bukan untuk ditiru. Penulis sangat mengharapkan kebijakan para pembaca.

*

Seperti yang diperkirakan di awal, semua orang tampak berlomba-lomba untuk tampil sempurna malam ini. Tidak tahu berapa rupiah yang telah mereka habiskan untuk apa yang mereka kenakan. Mulai dari hiasan kepala, make up, baju, tas, sepatu, sampai aksesoris lainnya. Lampu yang kerlap-kerlip serta musik volume maksimal ikut memeriahkan ulang tahun SMA Nusa Bangsa kali ini. Namun, saat semua orang menikmati pestanya, Lova justru tampak risih.

Senyum di bibirnya dipaksa untuk tetap terlihat. Pegangan tangan Lova pada lengan Arvin tidak dilepaskan sejak tadi. Sepatu hak tinggi benar-benar menyiksa tumit Lova. Sementara di kepala, Lova dianiaya dengan ikatan rambut yang teramat kencang, ulah salon yang dipilih Arvin. Belum lagi dia harus pura-pura mengerti dengan pembahasan teman-teman Arvin yang sedang membicarakan turnamen basket yang akan ada dalam 2 bulan ke depan.

“Vin, lo dipanggil sama nyokap lo.”

Kedatangan seseorang yang paling diharapkan Arvin justru datang sekarang. Garis wajahnya sangat tidak bersahabat pada Julian. Namun, Julian tampaknya tidak masalah dengan itu. Dia mengerti kondisi Arvin, jadi masih bisa bersikap santai. Bahkan, dia setia memperhatikan perubahan ekspresi Arvin yang langsung tersenyum pada Lova.

“Lo tunggu di sini dulu, ya? Gue bakal balik lagi secepat mungkin. Gabung sama mereka aja, enggak apa-apa, kok.” Arvin sudah maju selangkah, pegangan tangan Lova juga sudah terlepas. Dia kembali mundur dan membisikkan sesuatu tepat di depan daun telinga Lova. “By the way, I have a surprise for you. Get ready to fall in love to me, Beauty.

Untung saja penerangan di sana tidak terlalu mencolok, sehingga Lova bisa menyembunyikan semburat kemerahan di pipinya. Dia setia menatap kepergian Arvin dari sana. Namun, harus buyar saat Julian menyikut lengannya sambil tersenyum mengejek. “Aduh, kenapa harus ketemu sama Kak Julian lagi, sih?” Lova mendengkus.

“Lo kayak gini kalau lagi kasmaran? Kok, enggak ada gemes-gemesnya? Malah bikin gue enek.” Julian menunjuk wajah Lova dengan dagunya. Dia memutuskan untuk bergabung dengan anak basket yang ada di sana. Lagipula, tidak ada yang Lova kenal selain dirinya sekarang. Dia terlonjak saat Lova mencubit pinggangnya. “Baik-baik lo sama gue. Menurut terawangan gue, lo bakal butuh gue suatu hari nanti.”

“Emang Kak Julian ini cenayang?” Lova mendelik. Jangan sampai dia membutuhkan laki-laki menyebalkan ini dalam situasi seberat apa pun. Semoga, ada Arvin saat Lova kesusahan.

Tanpa perlu berpikir, Julian mengangguk dengan mantap. Dia hanya terkekeh saat Lova mendelik. Julian bergerak mengambil minuman yang ada di atas meja, menyerahkan satu gelasnya pada Lova. “Sayang, guru-guru ikut di acara ini. Coba kalau enggak, pasti ada minuman alkohol di meja.” Tanpa beban, Julian mengeluarkan apa yang ada di kepalanya, sepeti biasa. “Karena enggak ada susu buat balita, sekarang minum orange juice aja, ya, Dek?”

“Kak, aku udah 17 tahun, bukan balita lagi.” Meski kesal, Lova tetap menerima gelas itu. “Tapi, makasih.” Sudah sedari tadi tenggorokannya kering. Setiap kali dia mau membawa minuman, Arvin justru malah mengajaknya bicara. Dan untunglah, ada Julian di sini.

Obrolan mereka terus berlanjut, dengan sikap Julian yang masih menyebalkan, tentu saja. Saat anak basket yang lain membicarakan sejumlah strategi untuk menjadi juara pertama—menebus posisi kedua saat turnamen kemarin—Julian justru menggoda Lova sampai berhasil membuat gadis itu tertawa. Dari obrolan ini, mereka sama-sama sadar bahwa mereka tidak seburuk yang ada di kepala masing-masing. Lova adalah gadis baik, lugu, polos, tidak mungkin ada niatan buruk pada Arvin. Dan Julian adalah teman ngobrol asyik yang bisa menjadi pelawak, tidak selalu membuat darah melambung tinggi.

Namun, saat sedang asyik-asyiknya mereka bercengkrama, datang seseorang yang tiba-tiba bicara pada Lova. “Kamu ditunggu sama Kak Arvin di kolam renang.”

Lova langsung terdiam. Apakah ini bagian dari kejutan yang disiapkan Arvin? Belum sempat Lova bertanya, orang itu sudah berlalu begitu saja. “Aku pergi dulu. Kak Julian baik-baik di sini. Jangan sampai berantem sama orang lain gara-gara lidah jahat Kak Julian itu.”

“Lova.” Julian menahan kepergian Lova dengan mencekal pergelangan tangannya. “Kayaknya itu bukan Arvin, deh. Lo gak usah pergi.”

“Kak Arvin mau kasih aku kejutan, Kak. Masa iya aku enggak pergi? Makanya, cepet cari pacar, biar tahu momen romantis kayak gimana.” Lova merasa puas bisa mengejek Julian seperti ini. Laki-laki itu sudah menghempaskan tangannya. Bahkan mengusirnya dari sana. “Haha .... Ini karma namanya, Kak.” Lova tertawa, sambil berlalu pergi dari sana.

Sepanjang perjalanan menuju kolam renang, Lova bergumam, menyanyikan lagu boyband Korea idolanya. Ya, hanya bergumam, karena Lova tidak menghafal liriknya. Saat sampai di gedung renang, Lova celingak-celinguk, berharap tidak ada yang melihatnya. Setelah dipastikan tidak ada siapa-siapa, Lova melepaskan sepatu hak tinggi yang sedari tadi menyiksa kakinya. Dia juga sedikit menarik ikatan rambut supaya saraf di kepalanya tidak pecah. Setelah nyaman, barulah Lova masuk.

Ternyata, bukan Arvin yang ada di sana. Melainkan Tamara. Gadis itu melambaikan tangan pada Lova sambil tersenyum lebar. Sambutan yang sangat hangat, tetapi Lova tidak membutuhkan itu. Dia berniat lari, keluar dari gedung, tetapi seseorang malah menguncinya dari luar.

“Hey! Sini, dong. Arvin mau kasih hadiah istimewa buat lo,” teriak Tamara. Dia tertawa kencang saat Lova menatapnya dengan penuh ketakutan. “Sini, gue enggak bakal apa-apakan lo, kok. Gue mau beresin masalah kita sampai kelar.”

“Kak, aku mohon.”

“Tenang, gue enggak bakal celakakan lo kayak kemarin. Gue sadar sekarang, gue enggak bisa balikan lagi sama Arvin. Gue cuma mau ngobrol aja sama lo.” Wajah menyeramkan Tamara berubah menjadi lebih tenang. Dia mengangguk puas saat Lova melangkah mendekat. “Sini, duduk samping gue.” Tamara menepuk-nekuk bagian kosong dari bangku yang sedang dia duduki.

Tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti kemauan Tamara. Semakin cepat urusan mereka selesai, semakin cepat Lova bisa keluar dari sana. “Ada apa, Kak?”

Pandangan Tamara berpusat pada air kolam renang yang tampak begitu tenang. Kepalanya memutar kembali kebersamaan dengan Arvin sekitar 3 tahun yang lalu. Di saat mereka masih sangat belia, tetapi pura-pura mengerti apa artinya cinta, pengorbanan, bahkan patah hati. Masa di mana Tamara merasa sangat bahagia bisa menjadi kekasih Arvin saat begitu banyak gadis yang menginginkan posisi itu. Namun, tidak seindah itu kenyataannya.

“Ada banyak banget perbedaan dari cara Arvin memperlakukan gue sama lo. Dan yang gue lihat, dia begitu memuja lo, dia enggak membiarkan lo terbebani hal kecil atau terluka karena hal besar. Dia antar jemput lo sekolah, bawa-bawa lo ke tempat latihan basket, bahkan bisa sangat cemburu sama Julian yang sahabatnya dari kecil.” Tamara menoleh, mendapati Lova sedang mendengarkan ceritanya. “Tapi, sama gue ... dia enggak semanis itu.”

“Kenapa?” Begitu kata itu keluar, Lova langsung kembali menutup bibirnya. Dia merasa bodoh, mengutuk rasa pemasarannya pada cerita Tamara. Mau bagaimana lagi? Lova benar-benar ingin tahu.

Tamara tersenyum miring. Terkadang, dia mengasihani diri sendiri yang masih saja mengharapkan Arvin setelah dicampakkan. “Mungkin, karena cuma gue yang suka sama dia. Gue yang ngajak jadian, yang inisiatif kasih surprise, yang selalu datang ke mana pun tempat dia berada. Sementara Arvin ... dia enggak peduli.”

Susah payah Lova menelan salivanya. Sikap kasar Tamara selama ini adalah hasil dari luka masa lalu. Sama dengan Julian yang selalu berpikir negatif karena dia tidak mempunyai seseorang yang memberinya kasih sayang murni. Bisa saja, sikap manusia yang sekarang adalah hasil pembentukan masa lalu. Jahat, berlidah tajam, penyendiri, mungkin saja itu adalah pelampiasan kekecewaan mereka.

“Gue sadar sekarang, enggak ada tempat buat gue di kehidupan Arvin.”

Meskipun ragu, Lova tetap mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Tamara. “Mungkin bukan Kak Arvin yang bisa bikin Kak Tamara bahagia. Pasti ada orang lain yang akan menempatkan Kak Tamara di tempat istimewa. Seseorang yang bisa Kak Tamara miliki seutu—”

Lova terlonjak saat Tamara balik menggenggam tangannya. Terlalu berat untuk dijadikan respon atas kata-katanya barusan. Bulu kuduknya langsung berdiri saat Tamara kembali tertawa lepas seperti beberapa saat yang lalu.

“Dan itu artinya, kalau gue enggak bisa jadikan Arvin seutuhnya buat gue ... lo juga enggak bisa.” Dengan sekali hentakan, Tamara berhasil menyeret Lova ke tepi kolam. Kekuatannya mendadak berkali-kali lipat, tidak terpengaruh dengan penolakan Lova yang berulang kali berontak. “Bakal adil kalau lo juga enggak bisa miliki Arvin, Lovata.”

Dengan dorongan kuat di bahu Lova, Tamara sudah membuat gadis itu tercebur ke kolam renang, di bagian dalamnya. Dia tertawa seperti iblis melihat Lova meminta pertolongan dengan mengangkat tangannya berulang kali. Bagus, Lova tidak bisa berenang. Ini akan memperlancar rencana Tamara untuk menyingkirkannya. Ya, lancar sampai seseorang memaksa masuk.

Brak!

“Lova!” teriak orang itu sambil berlari. Dia langsung melompat ke kolam renang, berusaha mencapai Lova yang sudah di jurang kematian.

Melihat Julian, Tamara tersadar atas apa yang sudah dia lakukan. Tindakan kriminal, percobaan pembunuhan. Ini semua di luar kendali. Rencananya, Tamara hanya akan menyiram baju Lova dengan minuman berwarna-warni, membuatnya menyesal sudah datang ke pesta ini. Namun, Tamara malah tersulut emosi dengan kata-kata Lova yang berusaha menguatkannya. Bagi Tamara, itu adalah penghinaan. Sebelum Julian mencapai daratan, Tamara segera berlari dengan teman-temannya.

Susah payah Julian mengangkat tubuh Lova, apalagi saat gadis itu sudah tidak sadarkan diri. “Va, bertahan. Gue mohon. Ah, shit!” maki Julian saat mendapati denyut nadi Lova begitu lemah. Napasnya juga hampir tidak terdeteksi.

Tidak ada siapa-siapa di sana. Itu artinya, nyawa Lova ada di tangan Julian. Dia segera memposisikan tubuh di samping Lova, siap melakukan cardiopulmonary resuscitation. Setelah 30 kali melakukannya, Julian kembali mengecek denyut nadi Lova, masih lemah. Haruskah Julian memberikan napas buatan?

“Gue minta maaf, Va. Gue cuma mau tolong lo, bukan yang lain.” Dengan hati-hati, Julian memposisikan kepala Lova menjadi menengadah. Dia tangan kanannya menutup hidung Lova, satunya lagi membuka jalur napas melalui mulut. “Maaf.” Kemudian, Julian mendekatkan wajahnya pada wajah Lova. Memberikan napas buatan 2 kali dalam 1 detik. Berganti ke CPR, lalu kembali memberi napas buatan.

Jangan tanya mengapa Julian bisa berubah sebanyak ini hanya dalam hitungan hari. Julian juga tidak mengerti mengapa dia bisa bertindak sampai sejauh ini. Melakukan hal yang bisa membuat nyawanya terancam di tangan Arvin. Yang jelas, semenjak ucapan Lova yang mengizinkan dia datang ke rumahnya kapan pun Julian mau, hati Julian seperti melunak. Dia tidak menyangka jima Lova bisa dengan begitu mudah membuka tangan menyambut Julian yang tidak mengerti kehangatan keluarga. Sejak hari itu, Julian berpikir bahwa dia harus menjaga gadis ini.

“Uhuk ... uhuk!”

Tepat setelah napas buatan yang kelima, akhirnya, usaha Julian berbuah manis. Lova sadar. Dia segera mendudukan Lova dan mengusap-usap punggung Lova.

“Apa yang lo rasakan sekarang, Va?” Julian cemas, apalagi saat Lova hanya menggeleng, tanpa mengatakan apa pun, pandangan gadis itu juga masih tidak fokus. “Kita ke rumah sakit—”

“Bangsat!”

Belum sempat Julian meneruskan kalimatnya, sebuah pukulan keras sudah mendarat sempurna di rahangnya. Bahkan sekarang, rongga mulut Julian terasa asin. Pasti berdarah, akibat pukulan telak Arvin.

“Lo apain cewek gue, hah?! Kurang ajar!” Kali ini pelipis Julian yang jadi pelampiasan amarah Arvin. Tamparan juga tak terlewati Arvin layangkan pada Julian. Terakhir, dia mendorong Julian ke kolam renang. “Kali ini, lo mampus di tangan gue, Julian! Lihat aja nanti!” Lalu, Arvin berbalik, memangku Lova yang tampak linglung. Dia berjalan meninggalkan Julian yang masih di kolam renang.

Sementara itu, Lova mengalungkan tangannya ke leher Arvin. Di sisa-sisa kesadarannya, dia mendengar suara dingin Arvin yang sangat mengerikan.

“Kita lihat, hukuman apa yang pantas buat lo, Sayang.”

***

Lova mengerjapkan matanya berulang kali. Kepalanya benar-benar pening, sekujur tubuhnya sakit, belum lagi dengan tenggorokan yang terasa sangat perih. Di tengah-tengah kesadaran Lova mendapati dirinya berada di ruangan yang sangat gelap. Dia terduduk di kursi kayu, dengan baju basah. Hanya saja, aroma dari ruangan itu tidak asing, sangat familiar untuk indera penciuman Lova.

“Aw!” Dan sekarang, tubuh Lova tidak bisa digerakkan sama sekali. Tanpa pencahayaan, Lova yakin bahwa tubuhnya sedang terikat. “Kak Julian?” Alasan Lova memanggil nama laki-laki itu karena dialah yang terakhir kali Lova lihat sebelum kesadarannya hilang. “Kak Julian, tolong aku.”

“Kenapa harus Julian, Lov? Kenapa bukan gue?”

Lova terkejut. Dia celingak-celinguk, mencari seseorang yang memiliki suara berat itu. Namun, ini terlalu gelap, tidak ada yang bisa Lova lihat selain warna hitam yang sangat pekat. Setidaknya, sekarang dia tahu sedang di mana. Kamar Arvin. “Kenapa tangan aku diikat kayak gini, Kak? Buka Kak. Aku mau pulang.”

“Siapa yang suruh lo pulang?!” Intonasi bicara Arvin naik drastis. Bahkan, terdengar gebrakan keras. Sepertinya, dia baru saja menghancurkan gitar yang selalu terpajang di sudut ruangan. “Lo pikir, gue bakal lepas lo gitu aja setelah apa yang Julian lakukan sama lo?”

Kepala Lova yang masih sangat pening dipaksa untuk berpikir. Dia mengingat kembali kejadian yang baru saja dia alami. Dia sedang bicara dengan Tamara, dia tenggelam, lalu, suara teriakan Julian menggema ke gendang telinga. Saat Lova kembali sadar, dia merasakan usapan halus di punggungnya. Namun, dia tidak tahu apa yang Julian katakan. Dan terakhir, dia merasa terbang, dan memutuskan untuk berpegangan pada sesuatu. Hanya saja, aroma parfum Arvin jelas di hidungnya saat itu.

“Lo masih enggak ingat? Perlu gue ingatkan?” Kursi Lova bergerak, menandakan Arvin baru saja menariknya. Gadis itu terpekik saat tangannya disentuh dengan begitu halus oleh Arvin. “He touched you.” Berpindah ke bahu Lova. “He huged you.” Berakhir di bibir Lova. “He kissed you.

Lova tidak mengingat apa-apa, tetapi sebuah kesimpulan muncul di benaknya. “Dia cuma tolong aku, Kak. Aku hampir mati tadi.”

“Tapi lo punya gue, Lovata!” Arvin kembali berteriak. Selanjutnya, dia tertawa kencang. Benar-benar sukses menempatkan Lova di dasar ketakutan. “Dan gue enggak suka saat sesuatu yang udah jadi milik gue disentuh sama orang lain. Sedikit pun, gak akan gue ampuni.” Kali ini dia berbisik, di depan daun telinga Lova, menjalankan kehangatan deru napasnya.

“Aw! Kak Arvin! Apa yang Kakak lakukan?!” Lova semakin ketakutan saat rambutnya ditambah kuat. Air mata sudah tidak bisa Lova tahan lagi. Nyawa Lova sedang terancam, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya diikat. “Kak, aku mohon. Jangan kayak gini. Kak Arvin udah buat aku takut.”

Arvin meletakkan telunjuknya di bibir Lova. “Sssut ... jangan takut. Gue cuma melakukan apa yang seharusnya gue lakukan. Menghukum lo dengan pantas.” Meskipun gelap, tetapi Arvin sangat yakin kalau saat ini mereka sedang saling berpandangan. “Gue ubah hadiah gue buat lo. Bukan jatuh cinta, tapi memperlihatkan sisi terlelap dari gue. Lo pasti akan suka.”

Selanjutnya, tidak ada yang bisa Lova lakukan. Pipinya ditampar dengan keras, bahunya dicengkeram kuat, rambutnya berulang kali dijambak. Sebanyak apa Lova menendang, dia hanya mengenai angin malam. Sementara Arvin, berkuasa di atas ketidakberdayaannya. Amarah dan putus asa dia curahkan pada pukulan jeras di tubuh Lova. . Dia tidak mau mengasihani jeritan Lova yang tertahan.

Lova kira, Arvin menyudahi siksaannya saat dia menarik diri. Justru Lova salah. Laki-laki itu melayangkan sesuatu sampai terdengar bunyi memekakkan. Arvin siap melanjutkan siksaan itu ke level berikutnya, menggunakan sabuk kulit. Tangan Arvin mencekik leher Lova kuat-kuat. Air mata Lova semakin deras membasahi kedua pipinya.

Enjoy this little present from me, Darling.

“To-tolong!” Lova berusaha berteriak, tapi suaranya tertahan oleh cengkeraman Arvin.

Bukan suatu hari nanti, tetapi sekarang. Sekarang adalah waktu yang paling tepat di mana Lova membutuhkan Julian.

*
*
*
Dari sekian banyak kata yang bisa diucapkan, author hanya bisa meminta maaf pada Lova T.T


Bini Ceye,
08 April 2020
R

epost : 14 Oktober 2020

Continue Reading

You'll Also Like

31.4K 5K 18
Bermula ketika pacar temannya diam-diam nge-chat atau cowok yang PDKT-in temannya berujung nembak ke dia, Bia sadar ternyata dirinya punya bakat menj...
3.2M 158K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
951K 46.1K 66
Brigitta terkejut bukan main saat ia terbangun dalam pelukan seorang laki-laki asing dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Apa orang patah hati se...
281K 21K 32
(Judul sebelumnya Redflag) Ara itu tidak suka cowok kasar. Sebagai pembaca setia dan penikmat novel romansa, Ara sering sekali membaca cerita dengan...