Erotomania [Tamat]

بواسطة triviaindriani

171K 22.5K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... المزيد

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
19. Sisi Tergelap
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

18. Benar atau Salah

4.7K 738 15
بواسطة triviaindriani

Bel pertanda jam istirahat baru terdengar. Lova segera berjalan meninggalkan mejanya dan segera keluar dari kelas. Baru selangkah dia melewati ambang pintu, sebuah senyuman langsung menyambutnya. Arvin berdiri di seberang Lova, memasukkan kedua tangannya ke saku celana, dan berjalan layaknya seorang model. Untuk sesaat, dunia Lova berhenti. Dia terpesona, tidak perlu ditanya lagi. Bahkan, sepertinya, air liur Lova akan menetes jika saja tangan Arvin tidak mengacak-acak rambutnya, membantu Lova mendapatkan kembali kesadaran.

“Ke kantin sekarang?”

Lova menutup kembali mulutnya yang sempat terbuka. Jangan sampai ada orang lain yang melihat, selain Arvin. Karena jika begitu, akan sia-sia perubahan yang dilakukan Lova. Mereka menemukan celah untuk kembali mengejeknya. Dan dengan pemandangan barusan, mereka semua akan tahu sesuka apa Lova pada Arvin.

“Kakak duluan aja, deh. Aku mau ke kamar mandi dulu,” jawab Lova. Kekesalannya tentang kejadian kemarin meluap tak bersisa karena tiket konser idolanya yang akan diselenggarakan sebulan lagi.

Bukannya menuruti apa yang Lova katakan, Arvin malah mendudukkan diri di kursi. “Ya udah, kalau lo mau ke kamar mandi. Gue tunggu lo di sini.” Membayangkan akan bertemu dengan Agus saat di kantin nanti, Arvin jadi malas pergi sendiri. Dia lebih baik menunggu. Atau .... “Atau mau gue antar?”

Mata Lova langsung melotot. "Enggak perlu!" tolaknya dengan cepat. Masa iya mereka harus menempel sampai ke kamar mandi segala? Yang benar saja! “Kakak tunggu aja di sini. Aku enggak bakalan lama kok, nggak perlu nyusul. Pokoknya, diam di sini. Oke?” Melihat Arvin menganggukkan kepalanya, Lova segera beranjak dari sana.

Pemandangan orang-orang yang berbisik sambil melirik, sudah tidak lagi Lova hiraukan. Apalagi semenjak Lova tidak sungkan berinteraksi dengan Arvin di depan umum, mereka semuanya tidak sungkan untuk menilai Lova dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mungkin karena sudah terlalu sering, Lova jadi tidak peduli. Selama apa yang mereka bisikan tidak sampai ke telinga Lova, pasti hati Lova juga akan baik-baik saja.

Ya, Lova baik-baik saja beberapa saat yang lalu. Keadaan langsung berbanding terbalik saat dia mendapati kehadiran Tamara di toilet, dengan temannya yang tidak kalah cantik. Lova memalingkan wajahnya, supaya Tamara tidak melihat. Dia berhasil masuk salah satu bilik toilet dan segera menyelesaikan urusannya. Sayangnya, saat Lova hendak cuci tangan, Tamara masih berdiri di dekat wastafel.

“Lo tahu siapa cewek yang paling enggak tahu malu di sekolah kita, gak, Syl?” Tamara bersuara. Dia menatap Lova dari sudut matanya. Tidak lupa dengan senyum miring yang meremehkan.

“Jelas tahu, dong, Ra.” Teman Tamara yang bernama Sesyl itu menyahut. Sama dengan Tamara, dia juga ikut menatap Lova dengan tatapan meremehkan. “Cewek yang rela jadi baby sitter buat dapat perhatian dari Arvin, 'kan? Cewek yang enggak sadar kalau dia benalu buat reputasi Arvin.”

Mereka tertawa bersama. Lalu, maju perlahan mendekati Lova yang sedang mencuci tangan. Seharusnya, mereka memberi waktu Lova 3 detik saja, dia bisa lolos dari apa yang mungkin saja mereka lakukan. Lolos dari tarikan kencang di rambutnya, ulah Tamara. Sangat kencang, sampai Lova berpikir kulit kepalanya lepas.

“Aw! Kak, lepas! Ini sakit.” Perih di kepala Lova merambat cepat ke kedua bola matanya. Dia semakin kencang menjerit bersamaan dengan tarikan rambutnya yang semakin ditambah. Lova sudah berusaha melepaskan tangan Tamara, tapi tidak bisa. “Kak, saya mohon. Ini sakit banget, Kak.”

Tamara mendengkus. Dia benar-benar senang melihat wajah putus asa Lova. Gadis itu juga sudah memohon. Namun, tentu saja, Tamara tidak akan puas jika sampai di sini saja. “Sakit, huh? Sakit?!” teriaknya telat di depan wajah Lova. “Rasa sakit yang lo rasakan ini bukan apa-apa kalau dibandingkan sama sakit hati gue! Lo enggak tahu gimana sakitnya setiap kali lihat Arvin sama lo! Lo enggak tahu gimana rasanya patah hati, bocah!”

“Kak, tolong lepas dulu. Kita bisa bicarakan ini semua baik-baik, tanpa kekerasan.” Air mata sudah turun membasahi Lova. Rasanya benar-benar perih. Lova tidak bisa mendeskripsikan dengan kata-kata. Dia hanya bisa memohon pada Tamara, berharap kakak kelasnya itu bisa sedikit berbaik hati.

“Gue udah ngomong secara baik-baik sama lo waktu itu. Gue enggak pakai kekerasan sama sekali. Tapi apa? Lo enggak anggap omongan gue, 'kan? Lo malah semakin nempel sama Arvin. Lo pikir, gue masih bisa berbaik hati sama lo?” Merasa muak melihat wajah Lova, Tamara menghempaskan tubuh kecil itu dengan keras. Sampai punggung Lova membentur marmer wastafel. Kesenangan di dadanya semakin menjadi saat Lova meringis. Mungkin punggungnya terluka. “Biarpun lo merubah penampilan lo, lo tetap gak akan pantas sama Arvin.”

Sebelum pergi, Tamara menendang tulang kering Lova tanpa ampun. Temannya juga memberikan peringatan supaya Lova menjauhi Arvin. Kalau tidak, dia akan menerima kejutan yang lebih menyenangkan dari ini. Lova hanya bisa menangis sambil terduduk di lantai toilet. Memegang kepala, punggung, dan juga tulang kering secara bergantian. Semua sakit itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan sakit di hati Lova.

Namun, Lova harus berhenti. Dia harus segera menghentikan tangisannya setelah ingat kalau Arvin sedang menunggunya. Dengan susah payah, Lova berdiri. Merapikan rambutnya terlebih dahulu supaya Arvin tidak curiga.

“Kenapa lo? Abis dihajar hantu toilet?”

Lova mendongak saat suara tidak asing itu terdengar. Mungkin menyadari kalau Lova benar-benar dalam keadaan kacau, orang itu langsung berhenti tertawa. Pandangannya langsung berubah serius.

“Jangan bilang lo beneran habis dihajar, Va? Sama siapa?” Orang itu berubah panik. Bahkan terkesan khawatir. Matanya melotot saat mengingat sesuatu. “Tamara? Ini semua ulah Tamara, ya? Dia ngapain lo?”

“Jangan bilang siapa-siapa ya, Kak? Apalagi sama Kak Arvin. Aku enggak mau ada masalah baru.” Lova memelas. Kembali mengemis rasa iba dari orang lain. Sialnya, orang itu malah mendekat, membuat Lova was-was. “Kak Julian mau ngapain?”

Julian mendelik. “Mau gue tambah penderitaan lo!” ketusnya. Julian meneliti kekacauan Lova. Rambutnya tampak kusut, berarti Lova dijambak. Gadis itu juga memegang punggungnya, berati dia terluka di bagian itu. Cara jalan Lova pincang, kakinya juga tidak baik-baik saja. “Gue enggak bisa diam aja kalau begini ceritanya. Minimal, kita harus kasih tahu Arvin. Atau kalau perlu, langsung ke BP aja.”

Dengan menggebu-gebu, Julian berbalik, siap untuk melaporkan kejadian ini pada pihak yang berwenang. Lova tidak bisa membiarkannya. Dia berlari, menyusul Julian. Dan karena guncangan yang berlebihan, rasa sakit di tubuh Lova semakin bertambah.

“Aduh!”

Mendengar Lova kesakitan, Julian langsung berhenti. Dia kembali berbalik, mendekati Lova yang sedang memegang kepalanya. "Lo enggak apa-apa?"

“Aku bakal baik-baik aja kalau Kak Julian enggak laporkan kejadian ini. Aku mohon, Kak. Sekarang aku sama Kak Arvin lagi enggak baik-baik aja, dia minta aku buat jauhi semua lawan jenis. Terutama Kak Julian. Bisa Kak Julian bayangkan apa yang ada di pikiran Kak Arvin kalau dia tahu Kakak yang pertama tahu kondisi aku?”

Arvin akan marah besar, menghajarnya secara membabi buta, dan akan semakin posesif pada Lova. Julian bisa menahannya dengan tepat. Dia juga tahu kalau Lova sedang berusaha menjauhinya akhir-akhir ini. Setiap kali Julian menyapa saat mereka tidak bisa berpapasan, Lova justru akan memalingkan wajah. Dan saat bersama Arvin, Lova selalu berusaha supaya Arvin tidak mendapati kehadiran Julian di dekat mereka. Jika Arvin tahu kejadian ini, Lova akan jadi orang pertama yang mendapat imbasnya.

Tidak ada pilihan, selain menuruti kemauan Lova.

“Oke, kalau itu satu-satunya cara buat bantu lo. Gue enggak bakal bilang sama siapa-siapa tentang kejadian ini.” Julian angkat tangan. Dia tidak akan menang kalau lawannya adalah Arvin. “Tapi, kalau lo diapa-apain lagi sama Tamara, lo kasih tahu gue. Biar nanti gue yang kasih dia pelajaran.”

Kepala Lova mengangguk. “Makasih banyak, Kak. Aku duluan,” pamitnya sambil meninggalkan Julian. Lova melepaskan tangannya yang sedari tadi memegang punggung. Dia berusaha berjalan normal, tidak pincang, supaya Arvin tidak curiga. Menampilkan senyum terbaiknya saat sosok laki-laki itu berdiri dan menghampirinya.

“Kok, rambut lo berantakan, Lov?” Arvin menunjuk rambut Lova yang tidak serapi saat pergi tadi.

“Oh, ini?” Lova merapikan rambutnya. Menahan sakit saat jemarinya menyentuh kulit kepala yang terasa panas. “Tadi benerin tali sepatu, jadi agak berantakan gini. Langsung ke kantin aja, yuk? Aku udah lapar banget.”

Arvin mengangguk dan segera menggandeng Lova. Dia tidak tahu saja kalau gadis itu menahan sakit mati-matian.

***

Lova terus bergerak resah. Luka karena ulah Tamara tadi siang sudah tidak terlalu sakit. Ada hal lain yang membuat Lova gelisah bukan main saat ini. Dia berakting seakan semuanya baik-baik saja di depan Arvin. Berusaha fokus dengan apa yang laki-laki itu katakan, lalu memberikan jawaban setepat mungkin. Berusaha tidak salah melangkah karena matanya berusaha mencari bayangan dari seseorang yang sedari tadi membuntuti mereka.

Julian.

Nyali Julian patut diacungi jempol. Sekarang, Lova dan Arvin sedang berada di pusat pembelanjaan untuk membeli baju bagus karena besok malam akan ada perayaan ulang tahun sekolah. Semua murid sibuk mempersiapkan baju terbaik mereka, menentukan salon mana yang akan menyulap penampilan mereka, menentukan tas dan sepatu mana yang akan menunjang penampilan mereka. Namun, Julian justru sibuk membuntuti Lova dan Arvin seperti mata-mata negara.

“Mau lihat-lihat di toko langganan mami, gak? Kayaknya, di sana ada yang cocok.”

Lova menoleh pada Arvin. Barusan, dia sedang melihat bayangan Julian dari kaca toko sepatu. Tersenyum, berusaha menyembunyikan semuanya, Lova berharap aktingnya sempurna. “Iya, aku gimana Kakak aja.”

Kemudian, Arvin menuntun Lova belok kanan, masuk ke toko baju yang sudah menjadi langganan meminya. Arvin tahu benar kualitas produk di sana. Dengan Lova sebagai modelnya, Arvin yakin baju apa saja akan cocok untuk kekasihnya itu. Tapi satu bayangan sudah sejak kemarin-kemarin muncul di kepala Arvin.

“Mbak, saya mau gaun kuning untuk pacar saya.”

Para karyawan yang sudah mengenal Arvin segera bergerak untuk menyiapkan gaun kuning yang sekiranya akan cocok untuk tubuh Lova. Mereka membawa 3 gaun ke hadapan Arvin dan Lova yang sedang duduk di sofa. One shoulder gown dengan pita hitam di bagian pinggang, strapless gown polos, dan maxi gown bermotif floral dengan warna yang hampir satu tone.

Arvin menyipitkan mata melihat gaun itu satu persatu. Dia tidak suka, semuanya tampak akan mempertontonkan keindahan Lova pada laki-laki lain. “Gak ada yang lebih tertu—”

“Yang ini bagus, Kak,” potong Lova, menunjuk maxi gown. Di antara yang lain, gaun itu yang paling sopan. Lova menoleh, mendapati wajah kurang menyenangkan dari Arvin. Laki-laki itu tidak suka, Lova tahu itu. Namun, Lova sudah terlanjur jatuh cinta pada gaun yang dipilihnya. “Enggak apa-apa, 'kan?”

“Pilihan lo bagus. Cuma ... itu terlalu terbuka, Lov. Lihat, lengannya aja transparan gitu. Kaki lo juga kelihatan. Kita pilih yang lain aja, ya?” Arvin mencoba untuk membujuk Lova. Dan Lova sepertinya tidak mau kalah untuk perkara ini. “Lov, gue enggak mau ada cowok lain yang liat kecantikan lo.”

Tenggelamkan saja Lova di rawa-rawa!

Tidak peduli mereka harus berdebat, Lova berniat untuk menang kali ini. Dia sangat ingin gaun itu. Makanya, sekarang dia sudah melipat tangan si depan dada, sedikit mengangkat dagunya. “Kalau Kak Arvin enggak setuju sama pilihan aku, kenapa ajak aku keliling mall dari tadi segala? Udah 3 toko, lho, Kak. Dan Kakak selalu enggak setuju sama gaun yang mau aku beli.” Jangan tanya bagaimana sakitnya kaki Lova berkeliling mall selama 1 jam. “Aku mau pulang aja kalau gitu.” Lova bangkit, menyambar tasnya yang baru saja dia lepaskan.

“Oke, kita beli gaun itu.” Arvin menahan pergelangan Lova. Dia mengangguk saat Lova menatapnya dengan kesal. “Jangan pergi. Gue belum dapat baju.”

Tidak Arvin, tidak Julian, mereka selalu berhasil membuat Lova kesal. Mungkin, mereka diciptakan memang untuk menjadi sahabat paling sejati di muka bumi. Dan lihatlah itu, Julian sedang berdiri di depan toko sambil melambaikan tangannya pada Lova. Satu tangannya sibuk memegang es krim yang tampak menggiurkan. Di saat Lova kesusahan, Julian malah tersenyum lebar.

Lova beralih pada karyawan yang menjadi penonton setia pertengkarannya dengan Arvin. Mereka pasti berpikir bahwa ini ada bumbu manis asmara anak muda. “Mbak, di sini ada baju formal buat cowok, 'kan?” Mereka semua mengangguk bersamaan. Lalu, Lova memandang Arvin yang setia memegang tangannya. “Sekalian aja beli di sini. Aku udah gak kuat kalau harus keliling mall lagi.”

Arvin mengangguk layaknya anak kecil. Dia akan memilih bajunya sendiri saat Lova pergi izin ke toilet yang ada di sebelah toko ini. Tanpa merasa curiga sedikit pun, Arvin mengiyakan. Dia mengikuti arah langkah karyawan menuju bagian belakang toko, bersiap mencari pakaian paling serasi untuk gaun Lova.

“Lo ke sini pasti mau minta es krim gue, 'kan? Beli sendiri sana! Atau minta Arvin buat beliin, pasti langsung nurut,” cerca Julian saat Lova sudah berdiri di hadapannya.

“Kak Julian ngapain ngikutin aku sama Kak Arvin?” Langsung ke intinya saja. Lova tidak punya banyak waktu. Takutnya Arvin melihat kebersamaannya dengan Julian, akan terjadi keributan besar di mall ini.

Sebelah alis Julian terangkat. Wajahnya benar-benar menyebalkan. “Dih, atas dasar apa lo tuduh gue ngikutin kalian? Tujuan gue emang pergi ke sini. Toko ini juga langganan bokap gue. Tapi, pas gue tahu ada lo sama Arvin di dalam, jadi gue nongkrong aja dulu di sini. Daripada tokonya hancur gara-gara kelakuan cowok lo.”

“Kalau emang toko ini yang jadi tujuan Kak Julian, ngapain mampir ke toko yang aku sama Kak Arvin kunjungi tadi? Bisa aja Kak Julian langsung naik, langsung beli baju di sini.” Lova puas saat Julian tidak berkutik sama sekali. Ketahuan berbohong. “Terserah kalau Kakak masih mau ngikutin kita, tapi aku mohon, jangan sampai Kak Arvin tahu. Bisa-bisa dia marah, terus bikin keributan.”

Julian masih diam. Matanya memandangi wajah lugu Lova yang beberapa saat lalu terlihat menahan kesal pada Arvin. Dia mau bersabar sejauh ini, sudah cukup membuat Julian merasa kagum. Apalagi setelah mengetahui sikap Arvin berubah akhir-akhir ini, menjadi pengatur dan sangat posesif. Wajar jika gadis di hadapannya berulang kali menyipitkan mata, mengkerutkan dahi, atau mendengkus sesekali. Karena pasti tidak akan mudah menghadapi Arvin.

Karena Julian tidak kunjung angkat suara, Lova memutuskan untuk kembali masuk ke toko. Urusannya sudah selesai. Namun, langkahnya harus terhenti saat Julian mengatakan hal yang terasa mustahil keluar dari bibirnya.

“Orang yang normal aja bisa lepas kendali kalau lagi emosi. Bisa sampai main fisik. Gimana sama orang sakit? Dan gue enggak tahu ini benar atau salah. Tapi, gue khawatir sama lo, takut lo kenapa-napa.”
*
*
*
Tuh, Julian tuh baik ya .... Jadi, jangan hujat dia lagi. Hujat aja Arvin. Hehe ....

Bini Ceye,
06 April 2020
Repost : 13 Oktober 2020

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

Love Me [END] بواسطة Thalla

قصص المراهقين

1.5K 216 50
Siapa di dunia ini yang tidak ingin dicintai? Baik Lana, Ibas, Naya, Rawi, juga dengan Ayi. Mereka sangat ingin dicintai hingga keegoisan menguasai s...
SAGARALUNA بواسطة Syfa Acha

قصص المراهقين

3.2M 159K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
350K 23.2K 36
Kisah para anak konglomerat yang disatukan dalam sebuah sekolah bernama Harton Academy. Warning!! 1. contain a lot of English 2. tidak wajib, tapi ji...
281K 21K 32
(Judul sebelumnya Redflag) Ara itu tidak suka cowok kasar. Sebagai pembaca setia dan penikmat novel romansa, Ara sering sekali membaca cerita dengan...