It (Rafan)

By alvikaDae

263K 28.3K 2.6K

Aku dan kamu adalah kita Banyak kisah kita yang bercerita tentang cinta Tapi kisah ini bukan cerita tentang k... More

----
1. Kemarahan
2. Love at first sight
3. Teka-teki dari pengacau
4. Tiga Saudara
5. Pertengkaran Pertama
6. Rumah
7. Salah paham
8. Kesepakatan bersama
9. Hari Pertama
10 - Hari Pertama (2)
11. Hari Pertama (3)
12. Ari
13. Lebih Dekat
14. Fier mengamuk
15. D.O
16. Bunda
17. Tebakan Diya
18. Keputusan
19. Menunggu
21. Oper Permainan
22. Penelusuran
23. Mengubur Rahasia
24. Permintaan Maaf Rafan
25. First Date

20. Mulai Bergerak

3.4K 503 39
By alvikaDae




Flashback 2 hari lalu.

Rafan terdiam melihat ke arah lapangan dari kejauhan. Di sana benar-benar ramai pada jam istirahat begini. Namun diantara banyaknya anak yang berlalu lalang, fokus Rafan hanya satu.

Robi dan teman-temannya. Seperti juga kakaknya yang sudah menjalani rutinitasnya seperti biasa, Robi pun sama. Ada 8 anak di sana. Mengelilingi Robi seolah dia raja dan mereka semua abdinya.

Dia dengar, di sekolah ini Robi memang anak yang paling ditakuti. Dia paling banyak pengikutnya. Badboy paling bermasalah dalam artian negatif. Mereka orang-orang penindas.

Entah kenapa, dia selalu menemukan kawanan seperti ini di setiap sekolahnya. SD, SMP, bahkan sekarang saat SMA pun ada lagi. Mungkin nasibnya yang sial atau mungkin dalam takdirnya tertulis dia harus berurusan dengan mereka.

Yang manapun, dia tidak peduli. Kasus Fier kemarin membuat Fiandra benar-benar penasaran. Ujung-ujungnya Rafan yang kena getahnya. Bundanya sungguh tahu cara memaksa. Hanya dengan mengajak Diya berjalan sepanjang koridor saja, Fiandra sudah menyampaikan maksudnya dengan apik.

Dengan kasat mata Fiandra menunjukkan kepada Rafan bahwa dia bisa mendekati Diya kapanpun dia inginkan. Dan itu membuat Rafan was-was. Satu-satunya cara membuat bundanya diam di tempat hanyalah memberikan apa yang Bundanya mau.

Memberi tahunya apa yang sebenarnya terjadi pada Fier.

Mau tidak mau Rafan harus mulai bergerak. Dia sudah memikirkan banyak hal. Dan satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah bergerilya, diam-diam. Cara dimana dia bergerak leluasa. Melakukan aksi yang diperlukan, tanpa banyak resiko.

Dia tidak perlu berhenti satu langkah hanya karena seseorang mengawasinya lalu melarangnya ini itu. Semua hal merepotkan itu hanya akan mengganggunya.

"Fan!"

Rafan menoleh dan melihat Yusuf mendekat. "Dapet apa?" tanya Rafan segera.

Yusuf memberikan secarik kertas pada Rafan dan Rafan langsung membacanya. "Cuma ini kan?" tanya Yusuf.

Rafan mengangguk. Ya, memang cuma informasi ini yang dia perlukan. Ini adalah satu titik awalnya mencari tahu kebenaran. Selebihnya dia akan mencarinya sendiri. "Thanks," Rafan mengeluarkan satu lembar uang kertas dari sakunya. "Ke kantin sana, makan yang banyak." Dia tahu Yusuf belum makan dari tadi hanya untuk mencari informasi.

Yusuf menerimanya sambil nyengir lebar. "Makasih bos."

Rafan menepuk bahu Yusuf lalu pergi. Dilipatnya kertas itu menjadi lipatan kecil. Di depan kelas dia bertemu Diya yang sedang bersama Lala.

            "Dari mana aja sih dari tadi?" tanya Diya sewot. Rafan melesakkan kertas itu ke saku celana.

            "Tadi sama Ucup nongkrong di deket lapangan." balas Rafan. Dia jujur karena sedari tadi dia memang ada di dekat lapangan memperhatikan Robi. Tapi Diya tidak perlu tahu itu.

Ngomong-ngomong, dia sedari tadi juga belum makan. Rafan mengusap perutnya yang mulai keroncongan. "Di, ada makanan nggak? Laper gue."

Rafan pasang muka memelas saat Diya mendengus keras.

            "Makanya gue dari tadi nyariin lo. Istirahat pertama nggak ke kantin, kedua juga enggak. Ngilang mulu." dengus Diya kesal. Tapi dia mengeluarkan sebuah plastik sandwich dari saku roknya. Rafan menangkap sandwich yang dilemparkan Diya. Diya selalu jadi penyelamatnya dalam situasi seperti ini.

            Rafan duduk di kursinya lalu makan dengan lahap. Tepat setelah suapan terakhirnya habis, Yusuf datang dari arah pintu. Menenteng satu botol air mineral ukuran tanggung lalu memberikannya pada Rafan.

Kebetulan. Rafan membuka tutupnya lalu menenggaknya besar-besar.

---

            "Besok jadi kan?" tanya Diya lagi entah keberapa kalinya.

"Jadiii."

Diya menganguk-angguk kecil, mendengar jawaban Rafan. Setelah itu dia melepaskan kaitan helm di bawah dagunya lalu menyerahkannya pada Rafan.

            "Pokoknya tungguin aja gue dateng jam 8 pagi," kata Rafan. Cowok itu memasangkan helm Diya pada jok motor.

            "Ya udah kalo gitu. Jangan telat ya, gue tunggu besok pagi."

            Rafan menatap Diya gemas. Semakin ke sini Diya semakin cerewet. "Iyaaa." jawab Rafan akhirnya. "Udah sana masuk. Kasihan Ari sendirian."

            Diya tersenyum manis sekali sampai-sampai Rafan ikut tersenyum juga. "Gue masuk dulu,"

Rafan mengangguk. Dia terus memperhatikan Diya sampai cewek itu membuka gerbang dan menutupnya lagi. Rafan tersenyum saat Diya melambai. Dinyalakan motornya lalu dia putar balik.

Semakin dia menjauh dari rumah Diya, senyumnya perlahan hilang. Dia turunkan kaca helmnya hingga menutupi wajah, lalu dia menambah kecepatan hingga laju motornya membelah jalanan komplek.

            Ada satu tempat yang ingin dia datangi, ada seseorang yang harus dia temui. Seseorang yang dia pikir bisa membantunya saat ini.

Tak lama, setelah melalui kemacetan jalan, dia akhirnya sampai di daerah dekat perkampungan kumuh. Motornya berhenti di sebuah bangunan yang belum jadi, namun sudah terbengkalai.

            Rafan masuk ke dalam, menginjak lantai yang masih berupa tanah. Kosong, tidak ada siapa-siapa. Rafan masuk lebih ke dalam. Dia menaiki tangga beton ke lantai dua. Ada satu ruangan luas yang hanya berisi kursi-kursi usang dan satu ruangan berpintu.

            Rafan mengetuknya tiga kali pintu itu.

"Siapa?"

            "Gue, Rafan."

            Tak lama, pintu terbuka. Rafan menyeringai tipis melihat seorang anak laki-laki seumuran Fier berdiri di depannya. Rambutnya gondrong berantakan. Dia bertelanjang dada, hanya memakai celana jeans sobek-sobek. Namanya Sam. Dia adalah kakak kelas Rafan saat SMP dulu.

            "Tumben lo ke sini?" tanya Sam.

            "Ada perlu,"

            Sam mengangguk mengerti lalu mundur, memberi jalan untuk Rafan masuk ke kamarnya. Satu-satunya ruangan yang berpintu dan berjendela. Hanya ada satu kasur single tergeletak di bawah dan sprei yang masih berantakan. Di sampingnya ada lemari plastik berlaci empat dan juga sofa yang sama buluknya seperti di luar. Rafan memilih bersandar di tembok samping jendela.

            "Gue denger lo sekolah di sekolah swasta elit."

            Rafan hanya bergumam pelan. Dia memperhatikan Sam yang semakin berantakkan sejak terakhir kali mereka bertemu. Sebulan lalu.

            "Kata Pram lo bakal sekolah sama mereka, kenapa berubah pikiran?" tanya Sam. "Lo tahu kan, anak-anak di sana semua."

            "Panjang ceritanya." jawab Rafan datar. Rafan tidak ingin menceritakan kronologisnya dia gagal bersekolah di tempat teman-temannya. Mereka tidak perlu tahu itu. Dia bisa malu kalau sampai semua temannya tahu dia kena tipu keluarganya. "Sam, gue ke sini mau minta tolong."

            "Apa?"

            Rafan mengeluarkan kertas yang di berikan Yusuf tadi siang dan di lemparkannya ke arah Sam. Sam sigap menangkapnya. Dia lalu meratakan kertas itu dan membacanya.

            "Robi Prayoga." Sam mengerutkan dahi samar. Kertas itu tertulis biodata Robi. Dari mulai nama, kelas, alamat, tempat tongkrong favorit juga nama setiap kaki tangannya.

            "Lo kenal?" tanya Rafan.

            Sam menggeleng. Rafan tidak percaya. Dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Robi yang dia ambil diam-diam. Sam mengambil ponsel Rafan dan memandangi foto itu dengan dahi berkerut.

            "Gue pernah lihat ni anak." kata Sam tidak yakin.

            Rafan diam saja, membiarkan Sam berpikir. Sam mundur lalu terduduk di tempat tidur kapuknya. "Kalo nggak salah gue pernah liat dia balapan sama Riki."

            Kini dahi Rafan yang bekerut. Dia maju beberapa langkah hingga mendekat ke arah Sam. "Balapan?" tanya Rafan. Sam mengangguk. "Jadi Riki yang kenal?" tanya Rafan memastikan.

            Sam mengangguk lagi.

            Senyum Rafan mengembang sinis. Akhirnya dia menemukan satu titik penghubung lagi. "Sam, bantuin gue hubungin Riki. Bilang gue nantangin dia. Terserah dia bisanya kapan, gue ladenin."

            Sam tidak menjawab. Dia menatap Rafan lurus-lurus. "Apa ini artinya lo bakal gabung lagi ke geng kita?"

            "Sam-"

            "Gue pengen lo yang jadi penerus gue buat mimpin anak-anak nanti."

            "Ada Pram, ada Kris. Lo bisa milih mereka."

            "Gue pinginnya lo,"

            Sayangnya Rafan tidak bisa. Memimpin mereka memang suatu kebanggaan tersendiri. Tapi juga tanggung jawab yang berat. Karena nyawa taruhannya. Tiap keputusan yang ketua buat akan menentukan hidup matinya mereka. Karena nyaris tiap bulan bentrok antar geng terjadi.

            Bagaimana mungkin dia bisa jadi ketua jika dia bahkan tidak yakin bisa datang tiap pertemuan rutin? Terlebih dia sedang sulit bergerak sekarang ini. Itu sama saja dia cari mati.

            "Sori Sam, gue nggak bisa. "

            "Kalo gitu gue juga nggak bisa bantuin lo."

            Rafan hanya tersenyum tipis. Ancaman Sam sama sekali tidak mempan untuknya. Dia mengambil ponselnya dari tangan Sam lalu melesakkan lagi ke dalam saku. "Gue tunggu kabarnya," ujar Rafan. Dia berbalik menghampiri pintu.

            Sam memanggilnya. Rafan menoleh. "Gue bisa ngalahin Riki berkali-kali. Ngapain lo ngelawan orang yang udah pasti kalah?" tanya Sam heran.

            "Karena gue butuh dia."

---

            Rafan bisa saja bertanya langsung pada Robi atau antek-anteknya. Mudah untuk membuat mereka bicara. Namun dia tidak jamin mereka akan tutup mulut bahwa dirinya mencari tahu. Tidak ada yang bisa menjamin berita itu tidak akan sampai pada Fier.

            Satu-satunya yang bisa dia pikirkan adalah mengambil jalan berputar. Bersentuhan dengan sipapun yang dekat dengan mereka.

            Mungkin hasilnya akan lama, mungkin juga cepat. Mungkin dia bisa langsung tahu setelah dia bertemu satu orang, atau bisa saja dia tidak mendapatkan apa-apa. Namun setidaknya, dia ingin bersikap sehati-hati mungkin.

            Rafan akan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan Robi, Livi dan Fier. Dia harus menemukan benang merahnya.

            Sementara itu pagi ini Rafan melakukan aktifitas minggunya seperti biasa. Sudah dari subuh dia bermain basket di samping kolam renang. Selain tinju yang meningkatkan daya hantamnya, dia juga menyukai basket yang bisa meningkatkan fokus juga staminanya.

            Saat dia memasukkan bola, bola itu jatuh menggelinding ke pintu. Kebetulan Fiandra ada di sana. Diambilnya bola itu dan dilemparnya pelan pada Rafan.

"Hari ini jadi main sama Diya?" tanya Fiandra.

            "Hm."

Rafan mendrible bolanya pelan. Setelah itu hening. Hanya ada suara pantulan bola saja yang terdengar.

            "Fan ... "

            "Hm?"

            "Kemarin bunda dapet info aneh."

            "Info apa?"

            "Ternyata nggak ada yang tahu kalau kalian bertiga kakak adik?"

            Bola yang terpantul Rafan tangkap seketika, lalu dia menoleh kepada Fiandra. Tatapan bundanya itu terlihat tenang. Namun dia tahu dari nada suaranya saja ibunya kecewa.

            Rafan tidak tahu harus menjawab apa. Dia akhirnya memainkan bolanya lagi. Mendriblenya pelan. "Kenapa?" tanya Fiandra. "Apa salahnya kalian mengaku kalau kalian bersaudara?"

            Karena Rafan tidak kunjung menjawabnya akhirnya Fiandra merebut bola yang di drible Rafan, hingga Rafan terkesiap.

            "Bunda tanya kenapa?"

            "Lebih nyaman begitu." jawab Rafan seadanya. Jawaban itu membuat Fiandra terdiam lama menatap bungsunya. Dia tahu hubungan Fier dan Rafan kurang baik. Namun dia tidak sampai berpikir mereka harus menutupi hubungan itu di sekolah.

            "Bunda tidak menyukainya." aku Fiandra jujur.

            "Bun-" Rafan mendesah lelah. "Rafan udah sekolah di tempat yang ayah bunda mau. Rafan terpaksa harus pisah sama temen-temen Rafan yang lama, Rafan harus kehilangan kebebasan-" juga kekuasaan. Namun kata terakhir itu Rafan hanya katakan dalam hati. "Apa masih kurang?" tanya Rafan pelan.

            Fiandra mendesah keras. Dia tahu sejak awal Rafan tidak suka dengan ide Erfan memasukkannya ke sekolah yang sama dengan kedua kakaknya. Rafan menolak mentah-mentah. Mereka yang memaksanya.

            Fiandra paham, Rafan tidak nyaman. Mungkin karena tidak ada yang tahu inilah Rafan berhenti marah lagi pada mereka. Rafan jadi bisa rileks disekolah, punya banyak teman bahkan pacar. 

            Fiandra mengangguk. Perlahan mengerti apa yang terjadi di sini. "Bunda akan membiarkan ini. Bunda akan tutup mata, dan berjanji tidak akan membahasnya lagi." kata Fiandra. "Tapi ..." Fiandra memantulkan bola kembali ke Rafan yang langsung menangkapnya. "Bunda tunggu kabar tentang kakakmu."

            Rafan menghela napas lega. Dia berterima kasih pada Fiandra untuk pengertiannya ini. Dan untuk masalah Fier, dia sedang mengusahakan itu sekarang.

---

            Jam setengah 8 Rafan sudah siap. Dia sudah memakai kemeja rapi dan celana jeans kesukaannya. Setelah pamit pada orang rumah, dia mengeluarkan motornya dari garasi.

            "Mau kemana Den?" tanya mang Karyo.

            "Main mang."

            "Sama cewek?"

            "Iyalah." seru Rafan bangga.

            Mang Karyo membulatkan mulutnya kaget. "Tumben mau pergi sama non Shiena?" tanya Mang Karyo.

            Rafan menatap Mang Karyo kesal. Kenapa dia harus dikait-kaitkan dengan Shiena terus menerus? "Bukan."

            "Lah, nanti non Shiena gimana?"

            "Ya, nggak gimana-gimana."

            Rafan menaiki motornya. Lalu dia menyalakan motornya setalah itu. "Udah dulu mang." katanya pamit. Namun dia urung mengegas motornya setelah dia merasakan ponselnya berdenting satu kali, ada pesan masuk untuknya.

            Mata Rafan membulat tahu itu nomor Sam. Ada sebuah alamat terpampang di layar. Dia tahu persis lokasinya. Namun karena tahu itulah dia geram.

Belum juga dia membalas, satu pesan menyusul lagi.

            Gue tunggu sekarang.

            "Brengsek Riki!"

Rafan tidak punya waktu untuk berpikir. Dia menutup kaca helmnya dan langsung menggas motornya gila-gialaan. Mereka pasti sedang berkumpul sekarang menunggunya.

Yang Rafan sayangkan adalah dari sekian banyak tempat, kenapa Riki memilih lokasi itu? Alamat itu bukan alamat sembarangan. Karena daerah yang Rafan tuju sekarang adalah perbatasan antara wilayah 2 geng yang selalu bersengketa.

            Jika dia tidak salah, Riki tidak akan sendirian. Sam pun pasti tidak akan berani datang tanpa teman-teman satu geng mereka. Rafan harus bertindak hati-hati atau mereka akan pecah perang lagi.

            Brengsek memang Riki. Dia bukan lawan yang kuat. Maka dari itu Riki sengaja membuat medan yang berat untuk Rafan. Rafan menggeram kesal. Dia ingin bertindak hati-hati, bergerilya diam-diam. Tapi Riki justru mengacaukannya.

Tak sampai setengah jam dia sampai juga di tempat yang dia tuju. Sama seperti dugaannya, di sana sudah ramai. Dua geng yang saling berhadapan. Sam ada di sana bersama teman-temannya. Berhadapan dengan Riki dan gengnya juga.

Rafan menghampiri mereka. Teman-temannya memberi jalan pada Rafan, karena Rafan yang punya kepentingan. Hingga akhirnya Rafan berdiri di samping Sam, berhadapan dengan Riki.

            "Ngapain lo nantang gue?" tanya Riki tajam. Seperti anggota geng lainnya, body Riki berotot. Dia tidak pakai baju. Hanya rompi cokelat yang memamerkan otot bisepnya. Terlihat menakutkan. Tapi tidak untuk Rafan. Bahkan sejujurnya Riki bukan lawan yang berat untuknya.

            "Gue ada perlu sama lo." jawab Rafan.

            "Cih," Riki meludah. "Kalo ada perlu itu assalamualaikum, bukan nantang!"

            Rafan berpikir sejenak. "Assalamualaikuuuum." ujar Rafan kemudian.

            Namun terlambat. Bendera perang sudah dikibarkan tinggi-tinggi. Riki sudah membawa arak-arakannya ke TKP. Ini seperti menyeberangi jurang dengan tali. Situasi ini benar-benar berbahaya.

            "Gue cuma punya urusan sama lo." kata Rafan dingin. Dia serius dengan itu. Dia kesal melihat sikap Kiki yang berlebihan begini. Dia hanya mengajak Riki bertemu. Riki justru menyiapkan serdadu.

            "Maksudnya apa nih?"

             "Gue cuma butuh informasi." kata Rafan.

            Riki terkekeh pelan. Geli sendiri. "Kita bukan temen. Gue nggak bisa kasih informasi cuma-cuma."

            "Gue tahu." jawab Rafan santai. Dia tidak bodoh. Mereka hampir seperti musuh setiap bertemu. Jadi dia paham benar. Setiap dia menginginkan sesuatu dari mereka, dia juga harus memberikan sesuatu yang setimpal sebagai gantinya.

"Makanya gue tantangin lo. Gue ajak kita taruhan." ajak Rafan. "kita tanding. Lo yang menentukan!"

            Riki terdiam sejenak. Dia menimbang untung ruginya. Dia tidak tahu apa informasi yang Rafan inginkan. Dia bahkan tidak tahu apakah dia mempunyai informasi yang Rafan maksud. Namun memberikan informasi saat dia kalah bukanlah hal susah. Namun jika menang, dia bisa dapat banyak!

            Ini benar-benar menguntungkan.

            Hanya saja dia harus memikirkan apa yang harus mereka pertandingkan. Mereka biasa adu jotos satu lawan satu. Dia pernah beberapa kali berhadapan dengan Rafan. Dan selalu saja dia kesulitan menghajar anak itu meskippun hanya sekali. Seringnya dia yang babak belur.

            Balapan? Riki juga mendapat info Rafan dinobatkan sebagai pembalap tercepat di geng mereka. Sam saja kalah. Sedangkan dia sudah pernah di kalahkan Sam berkali-kali.

            Kira-kira, hal apa yang bisa dia menangkan? Hal apa yang mustahil bisa Rafan lakukan?

Continue Reading

You'll Also Like

282K 19.8K 49
~Warning!~ •DILARANG PLAGIAT!! •up dua hari sekali •Mengandung beberapa kata-kata kasar dan adegan kekerasan⚠️ •Harap bijak dalam memilih bacaan! Rac...
214K 25.9K 23
⚠️ BL Gimana sih rasanya pacaran tapi harus sembunyi-sembunyi? Tanya aja sama Ega Effendito yang harus pacaran sama kebanggaan sekolah, yang prestas...
666K 19.5K 40
Ivander Argantara Alaska, lelaki yang terkenal dingin tak tersentuh, memiliki wajah begitu rupawan namun tanpa ekspresi, berbicara seperlunya saja, k...
933K 85.7K 32
Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bayi beruang saat ia sedang marah...