FLAWSOME #PasqueSeries I

By shaanis

1.1M 128K 10.1K

FLAWSOME "Your flaws are perfect for the heart that is meant to love you." -- Zhao Walker, adalah contoh pria... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
29
EPILOG
MAS ZHAO

28

32K 3.9K 377
By shaanis

Iris tersenyum saat pagi berikutnya ia mendapati orangtuanya datang, mereka berdua tampak canggung bersama, juga tampak was-was menatap Pascal yang sedang bersiap-siap ke kantor. Pascal memang terlihat tak peduli, tapi Iris tahu kakaknya itu pasang mata juga telinga untuk setiap interaksi yang tercipta.

"Mami... bawa make up, masker sama catok rambut." kata Asoka mengangkat tas di tangannya. Iris langsung kesenangan, menerima tas tersebut dan mengeluarkan isinya.

Asoka dan Byakta sejenak terdiam, mereka melihat langsung putrinya bisa menegakkan tubuh, Iris terlihat tenang dalam posisinya itu. Asoka menahan air mata harunya.

"Punggungmu... is it oke?" tanya Byakta.

Iris mengangguk, "Aku masih pakai korset penahan, tapi sudah ganti kerapatannya, yang ini sudah enak, nggak bikin sesak." katanya dan menatap paper bag di tangan sang ayah. "Papi bawa apa untuk Iris?"

"Oh, pantone warna, kata Zhao mau pelapis warna ungu metalik, ada beragam warna ungu dan jenis kromnya juga, mau seberapa mengkilap." kata Byakta membuat Iris semakin antusias.

"Eh, tapi kalau desain baru, Iris nggak bisa langsung pakai dong."

Byakta menggeleng, "Kursi rodamu sudah dipilihkan dari sini, nanti kita lapisi saja."

"Ohh..." Iris mengangguk paham. "Papi nanti yang urus ya? atau Pascal?"

Kedua orang yang dimaksud langsung saling berpandangan. Byakta jelas menunggu keputusan yang akan dibuat sang putra. Pascal menilai situasinya lalu menghela napas.

"Biar Papi yang urus, aku tidak berurusan dengan produksi kecuali memastikan angkanya sesuai permintaan dan tidak ada keterlambatan pengiriman." kata Pascal, senyum adiknya bertambah lebar atas keputusannya itu.

Byakta mengangguk dan kembali menatap Iris, "Berapa lama kamu harus beradaptasi dengan kursi roda? setelah itu bisa pulang bukan?"

"Sekitar satu sampai dua minggu, hari ini dan besok aku belajar mengenal kursi rodaku dulu, bagaimana menggerakannya, mengatur posisi berhenti atau jika harus berbalik arah... dan kata Mas Zhao proses berpindah dari tempat tidur ke kursi roda ini yang susah." kata Iris mengingat-ingat runtutan jadwal terapi lanjutannya. "Ah, aku juga akan belajar kalau jatuh harus bagaimana, kalau kursi rodaku nggak berfungsi sampai kalau aku tidak bisa mengendalikannya."

Asoka langsung terbelalak ngeri, "A...apa? i... itu mengerikan sekali." ucapnya dan menatap ke arah sang suami. "Iris nggak boleh mengalami hal-hal seperti itu, Mas Bya harus memastikan kursi roda Iris aman, kalau perlu berikan dia kursi paling canggih, Pasque Techno bisa membuatnya."

"She need to wait." suara Pascal yang menanggapi, ia menatap ibunya. "Iris memang harus belajar yang manual dulu, pilihan kursi roda yang dibuat dokternya adalah produk Pasque wheelchair seri pertama, struktur rangkanya sederhana, tergolong ringan namun bergerak secara dinamis..."

"Tapi kita harus mempertimbangkan keselamatan adikmu." kata Asoka.

"Para dokter mempertimbangkan itu, sebagai terapis pun Zhao mengikuti instruksinya, Iris memang harus tahu hal-hal yang bisa ia lakukan saat terjadi sesuatu." kata Pascal lalu menatap orangtuanya bergantian. "Tentu saja pilihan pertama yang harus Iris buat saat jatuh adalah meminta tolong pada orang lain, tapi jika tak ada siapapun di sekitarnya, setidaknya ia tahu bagaimana harus mengkondisikan diri sendiri."

"Kita bisa menempatkan seseorang untuk selalu bersamanya, sehingga—"

"Jika ada seseorang yang harus selalu bersamanya, itu adalah salah satu diantara kita." sela Pascal membuat Byakta menelan ludah.

Iris nyengir, perseteruan antara Pascal dan orangtuanya memang selalu menarik tapi kali ini, ia tak ingin hanya menonton. "Aku akan mengikuti keputusan dokter, itu termasuk keputusan Mas Zhao juga, mereka memahami keadaanku." ucap Iris, ia berusaha tenang saat melanjutkan. "Bagiku, aku memang akan terus seperti ini... dan bukan berarti hidupku berakhir."

Asoka terkesiap mendengar kalimat terakhir putrinya. Byakta juga segera beralih tatapan. Sepasang orangtua itu mungkin terlihat tak peduli pada awalnya, tapi Iris tahu apa yang terjadi terhadapnya, telah mengubah orangtuanya juga.

"Aku memulai hidupku kembali dengan belajar mengenal alat bantuku dan itu termasuk jika aku tidak bisa mengendalikannya, aku perlu tahu untuk membantuku mengamankan diri... it's fine." kata Iris, ia tahu orangtuanya mungkin hanya ingin cara praktis untuk membuatnya terlindungi. "Aku tidak berbeda dari orang lain, aku hanya tidak bisa berjalan lagi dan aku memang berniat untuk hidup normal, aku ingin memiliki lagi kemampuan untuk mengurus diriku sendiri, berganti baju sendiri, ke kamar mandi sendiri, hal-hal semacam itu."

"Dan terkait hal itu, Iris tak akan pulang ke rumah." kata Pascal membuat orangtuanya terkejut. "Dia bisa tinggal di apartemenku, tidak ada tangga, dan desain interior minimalis lebih sesuai untuk penghuni dengan kursi roda."

"Ta... tapi..." Asoka tampak keberatan.

"Kita bisa merenovasi rumah, mengubah interiornya agar sesuai untuk Iris." usul Byakta.

Iris menghela napas, "Aku mau tinggal sama Pascal, tapi aku juga suka kamarku di rumah."

Jawaban itu membuat Pascal menyadari niat adiknya, ia menggeleng perlahan, tanda agar Iris berhenti tapi gadis itu mengabaikannya.

"Aku tahu permintaanku aneh, tapi aku mau sama-sama semuanya di rumah." kata Iris menatap satu per satu anggota keluarganya. "Aku ingin memiliki sesuatu yang bisa dirindukan dari rumah itu dan keluarga ini... this is my only wish as Pasque."

"Ris." tegur Pascal pelan.

"Ah, soal nama keluarga, I don't really mind... mau diubah atau tetap, aku toh anak kalian berdua." kata Iris dan mendapati orangtuanya sejenak bertukar pandangan. "Pascal sudah capek sih berurusan dengan Papi sama Mami, tapi aku enggak..."

"Iris..." panggil Asoka lalu menggenggam tangan putrinya.

"Aku tahu, aku nggak pernah melakukan sesuatu yang berguna untuk Papi, Mami dan Pascal, karena itu aku berniat menebusnya... keluarga kita, bagaimanapun keadaannya tetap keluarga." kata Iris dan menatap sang ayah. "Aku tahu... banyak yang harus diperbaiki, dan kalau memang pada akhirnya yang terbaik adalah sama-sama berpisah, aku nggak mau ada penyesalan yang terlambat, selagi masih bisa aku mau sama-sama sebagai keluarga."

Asoka meneteskan air matanya, Iris membalas genggaman tangan sang ibu. Byakta sendiri hanya terdiam mendengarkan setiap kalimat putrinya.

Iris menatap Pascal, "Kata dr. Hoshi, kamu bilang kalau aku selamat dari operasi mau belikan semua seri warna sepatu favoritku..."

"Ah... aku akan minta Masayu—"

"Aku nggak mau sepatu." sela Iris dan jelas Pascal memahami maksudnya. "Please, kita pulang aja ya? aku mau sama-sama di rumah."

Pascal menghela napas, "Hanya sampai kamu menikah, kamu juga keluar rumah setelah itu."

Iris tersenyum, "Yayyy..." ia menatap sang ibu yang juga tersenyum lega.

"Mami nggak akan bekerja lagi, Mami akan banyak di rumah." kata Asoka.

"Oh! kalau Mami mau bekerja nggak papa, aku minta tinggal sama-sama bukan berarti harus—"

Asoka menggeleng, "Mami nggak akan bekerja lagi."

Ucapan itu terdengar serius dan Iris berusaha mempercayainya, hanya tinggal satu orang yang belum menanggapi keinginannya.

"Kamu mau apa dari Papi?" tanya Byakta, memahami saat sang putri menatapnya.

Iris berhati-hati saat meminta ayahnya itu mendekat, Byakta menurut dan berdiri tepat di samping Asoka. Iris melepas genggaman tangan ibunya lalu meraih tangan sang ayah, menggenggamkan keduanya. Ekspresi gugup sepasang orangtua itu membuat Iris tersenyum.

"Did you two really cheating on each other?" tanya Iris membuat Asoka terkesiap, ingin menarik tangannya tapi Iris tak membiarkan, ia memegangi keduanya. "We need to discuss it seriously, bukan untuk ikut campur tapi untuk membuat sikap atas hal ini, kalau memang—"

"They did." sela Pascal membuat suasana hening seketika. "Menurutku lebih senang menghabiskan waktu bersama orang lain dan bukan pasangan sendiri merupakan bentuk penghianatan dan pertanyaan yang lebih penting, seberapa serius dengan mainan-mainan itu?"

Asoka menatap putra dan putrinya, "Tidak ada yang serius, skandal itu memang dibuat untuk menarik perhatian, kalian tahu permainan media seperti apa, memang salahku karena tak pernah menjelaskannya."

Pascal ganti menatap sang ayah, ia curiga pada yang satu ini. "Aku tidak akan mengakui jika ada anak haram, Iris adikku satu-satunya." komentar Pascal membuat Asoka langsung serius menarik tangannya menjauh.

Byakta yang kini menahan tangan Asoka, menggenggamnya erat. "Bagimu mungkin tidak masuk akal, tapi para gadis itu, mereka adalah informanku untuk mengetahui setiap gerak-gerikmu."

"What?" seru Iris dan Asoka bersamaan.

Pascal menyipitkan mata saat Byakta kemudian mengeluarkan ponselnya, menunjukkan group chat dengan judul ASOKA ACT dan benar... hampir semua gadis, artis-artis muda yang selama ini mereka kira mainan Byakta, bergantian melaporkan perkembangan film, program tv, teater, modeling bahkan beberapa diantaranya menyertakan foto Asoka saat berkegiatan.

Asoka melepaskan tangannya untuk meraih ponsel itu, kedua matanya membeliak tak percaya mendapati setiap laporan, setiap foto, betapa detil semua itu. Ia diawasi dari segala sisi bahkan kegiatan remeh semacam bergabung dengan teater non komersial pun dilaporkan. Asoka menatap suaminya tak percaya, pantas saja pria ini tak pernah berkomentar tentang skandalnya.

Byakta meraih ponselnya kembali, "Now you know..."

Asoka tampak masih terperangah, tentu saja semua itu mengejutkannya. Iris dan Pascal juga kesulitan mencerna semua ini. Ada apa dengan orangtua mereka selama ini, kenapa situasinya sampai sekacau ini.

"Ada apa sih dengan Papi dan Mami selama ini?" tanya Iris menyuarakan pertanyaan yang sama di benak Pascal. "Ini kesalah pahaman yang benar-benar besar, astaga!"

Byakta mengalihkan pandangan, "Ibumu menginginkan karirnya sejak lama, dan dia benar-benar membuktikan dirinya sebagai artis, mau bagaimana lagi? dan kami memiliki perjanjian untuk—"

"Stop talking shit." sela Pascal, kesal dengan situasi tidak masuk akal ini. "Did you know? betapa banyak skandal-skandal tak masuk akal dari tingkah kalian selama ini? berakibat padaku dan Iris dengan cara yang sangat menyebalkan? dan semua itu hanya demi membiarkan Mami berkarir? are you insane?"

Byakta memejamkan mata sejenak, "Aku selalu merasa berhutang karena membuat ibumu kehilangan masa mudanya, aku tak bisa menahan saat kesempatan itu benar-benar datang kepadanya." katanya berusaha mempertahankan ketenangan. "Aku selalu ingin memperbaiki semua ini, tapi melihat ibumu begitu bersinar, melihatmu tumbuh dan mengurus diri sendiri dengan baik, menjadi pewaris yang sempurna untuk Pasque Techno... aku merasa mungkin ini adalah hal yang harus terjadi agar impian semua orang terwujud."

Asoka termenung, memang benar, sejak ia melahirkan Iris dan tidak lagi memiliki penghalang untuk berkarir. Asoka dibiarkan begitu saja dan hubungan pernikahannya mulai mendingin.

Iris menatap sang ayah dan baru kali ini ia merasa bahwa ayahnya tidak sekejam yang ia kira.

"Kalian masih tidur bersama atau tidak, selama ini?" tanya Pascal, mengejutkan semua orang.

"Ya!" tegur Iris, kenapa pula hal seperti itu harus ditanyakan.

Pascal mengabaikan teguran adiknya. "Jika jawabannya tidak, maka tidak ada yang harus dipertahankan tapi jika—"

"Itu urusanku dan ibumu." sela Byakta cepat.

Asoka merapikan rambutnya ke belakang telinga, "Ya, itu urusan kami dan sangat privasi."

"Kalian tiba-tiba kompak dalam hal ini, mencurigakan." kata Pascal dan segera menghindar saat tangan sang Ibu terulur ingin mencubitnya. "Aku tidak bermaksud kurang ajar dengan pertanyaanku tadi, jika kalian melakukannya itu bagus karena setidaknya kalian punya perasaan, jika tidak... seperti yang kukatakan, kalian tak punya hal tersisa untuk dipertahankan."

"Pascal..." ucap Iris, mengingatkan kakaknya bahwa mereka harus berhati-hati dan perlahan, bagaimanapun ini adalah diskusi keluarga pertama mereka.

Byakta menghela napas, menatap Pascal serius. "Aku tak ingin pembicaraan ini melebar. Dan terlepas dari setiap kelemahanku, aku Ayahmu sekaligus kepala keluarga yang wajib kau hormati." Pascal menanggapi dengan menarik sebelah alisnya, ia sudah terlalu dewasa untuk takut pada gertakan semacam itu. Iris sendiri nyengir melihatnya, mungkin ini baru pertama kalinya sang Ayah tampak lebih berwibawa.

"Dan kamu, sebutkan keinginanmu tanpa bertele-tele." kata Byakta pada Iris.

"Oh... aku mau kita sering makan malam sama-sama, jadi saat kita kembali ke rumah, bisakah Papi dan Pascal membiasakan diri pulang sebelum jam makan malam."

Pascal geleng kepala, ia berencana mengejar semua keterlambatan kinerjanya begitu Iris bisa pulang, tapi dengan permintaan semacam itu benar-benar membatasinya. Byakta juga tampak memiliki kegelisahan serupa.

"Atau kalau benar-benar sulit, kita makan diluar sama-sama, rehat satu atau dua jam bisa diusahakan kan?" tanya Asoka, memberi ide alternatif.

Iris menatap Pascal, "Memangnya kantor benar-benar sesibuk itu?"

"Banyak yang harus kukejar, target kinerjaku bahkan belum separuhnya tercapai, padahal sudah hampir enam bulan berjalan." kata Pascal dan mendapati Iris murung. "Tapi tentu, aku akan berusaha meluangkan waktu..."

Wajah Iris cerah seketika, ia ganti menatap penuh harap pada sang ayah.

"Kalau laporan pekerjaan Pascal tepat waktu, aku juga akan cepat pulang."

"Laporanku tak pernah terlambat barang satu detikpun."

"Aku bisa menilai itu laporanmu atau laporan Masayu, hanya karena sekretarismu kompeten, tidak lantas setiap laporan berasal darinya, aku menginginkan laporanmu, darimu."

"Masayu membuat laporan itu berdasarkan setiap instruksi dan hasil pekerjaanku."

"Ada hal-hal yang ingin kuketahui dengan kita berdiskusi, bukan sekadar tertuang dalam kertas laporan. Mulai besok serahkan sendiri laporanmu."

Pascal hendak membalas tapi melihat wajah penuh harap ibu dan adiknya, ia memilih menghela napas. "Perdebatan tidak penting ini membuatku terlambat." katanya lalu beralih memakai sepatunya. Asoka bangkit untuk membantu Pascal bersiap-siap, membetulkan posisi dasi yang miring dan memastikan jas yang Pascal pakai terkancing.

Iris tersenyum saat Pascal mendekat.

"Dasar usil." gerutu Pascal, mencubit pipi Iris dan berlalu ke pintu.

"Nggak peluk Mami sama Papi dulu?" tanya Iris.

Pascal menggeleng, "Jangan memaksakan keberuntunganmu." katanya dan benar-benar meninggalkan ruangan.

== [flawsome] ==

Zhao tahu ia akan menemukan orangtua Iris menunggu di ruang rawat, ia sempat berpapasan dengan Pascal saat memasuki lobi rumah sakit. Pascal tampak terburu-buru karena itu mereka hanya saling sapa sebelum berlalu.

"Pagi..." sapa Zhao dan Iris menyambutnya dengan senyum lebar. Zhao mengangguk ramah pada orangtua Iris yang berdiri, memberinya tempat untuk mendekat.

"Jadwal Iris terapi?" tanya Asoka.

"Ya, tapi tidak apa-apa jika ingin menemani di sini." jawab Zhao lalu menyadari ada barang-barang di sekitar Iris.

"Oh, Mami yang bawakan make up, masker, catokan rambut." kata Iris sembari memasukkan kembali barangnya ke dalam tas. Zhao membantu membereskan barang-barang itu.

"Kenapa?" tanya Zhao saat Iris menatap gelisah.

"Rasanya alasku kusut, punggungku aneh." kata Iris lalu Zhao membungkuk dan mengangkatnya dari tempat tidur. Asoka dan Byakta terkesiap melihat Zhao dengan santainya beralih memeriksa ke tempat tidur.

"Ah, ada sisir, pasti kamu tidur di atasnya... Mami tolong bantu." pinta Zhao.

"Oh, tentu." kata Asoka dan segera mengambil sisir yang dimaksud, ia juga segera merapikan alas tidur Iris agar tidak tergulung. Melihat semuanya sudah sesuai, Zhao menurunkan Iris.

Setelah itu suster datang dengan trolly berisi beberapa handuk panas, menuang beberapa tetes wewangian lavendel dan Zhao memulai proses terapinya. Asoka dan Byakta berpindah ke kursi sofa, memperhatikan proses terapi itu berjalan. Sesekali mereka menahan napas saat Iris mengernyit karena sakit atau harus bertahan pada posisi tertentu. Zhao jelas terapis yang sabar, ia menjelaskan setiap manfaat dari perawatan yang dilakukannya pada kedua kaki Iris. Saat Iris bisa bangun dan duduk sendiri, Asoka meraih sapu tangan dalam tasnya, terisak perlahan. Byakta menggenggam tangan istrinya itu. Iris nyengir dari tempat tidurnya, ia benar-benar senang bisa menunjukkan kemajuannya ini.

"Ah, ini enak banget kalau bisa mandi, aku bau." ucap Iris setelah terapinya selesai, ia selalu banjir keringat, meski begitu tubuhnya memang terasa lebih ringan.

"Aku akan telepon suster Aida." kata Zhao tapi Asoka segera mendekat.

"Mandi sama Mami aja, ada bathup di kamar mandimu." tawar Asoka.

Iris menggigit bibir, memang akan lebih nyaman dibantu sang ibu tapi selama ini suster berhati-hati memandikannya. Dan lagi, selama ini setelah mandi ia dibantu Pascal untuk kembali ke tempat tidur. Rasanya Iris belum siap kalau Zhao harus melihatnya hanya berbalut bathdrobe.

Zhao mengambil medical report di dekat kaki tempat tidur Iris. "Karena akan melepas korset, harus hati-hati menangani bagian punggung, setiap kali akan mengangkat kaki, Iris harus diberitahu agar bisa menjaga posisi tubuhnya dulu."

"Iya, Mami akan hati-hati." kata Asoka lalu mengikat rambut dan menggulung lengan bajunya.

Zhao lebih dulu memasuki kamar mandi, memeriksa bathup dan air mandinya. Ia menarik alis saat Byakta sudah berdiri di samping tempat tidur Iris. "Bagaimana cara menggendongnya?"

Zhao tersenyum, "Lengan kanan menahan area belakang pundak, lengan kiri menahan bagian bawah paha, Iris bisa berpegangan dan itu aman."

Zhao bisa melihat situasi itu sedikit kikuk tapi Iris dengan senang hati memeluk lebih dulu, membuat ayahnya yakin saat mengangkatnya. Zhao tahu bahwa Byakta terkesiap menyadari betapa ringan gadis itu, Iris mungkin sudah sehat tapi gadis itu masih kehilangan sebagian berat badannya.

"Apakah makanannya tidak enak selama ini?" tanya Byakta sembari melangkah ke kamar mandi.

"Enak banget malah, Iris dapat spesial menu dari Mamanya Mas Zhao." jawab Iris dari pundak ayahnya tersenyum ke arah Zhao.

Asoka mengikuti ke kamar mandi dengan membawa handuk, bathrobe, juga pakaian dalam. Sesaat sebelum memasuki kamar mandi, menatap Zhao, "Bisakah susternya tetap menemani? Mami ingin belajar hal lain juga untuk merawat Iris."

"Sure, akan saya panggilkan."

Asoka mengangguk dan segera memasuki kamar mandi.

Byakta keluar dari kamar mandi lalu kembali ke tempat duduknya, menunggu Zhao selesai bertelepon. Suster Aida datang beberapa menit kemudian dan langsung memasuki kamar mandi. Zhao beralih melanjutkan kegiatan untuk merapikan handuk-handuk yang digunakan untuk terapi tadi. Mengembalikan semuanya ke dalam trolly.

"Jadwalmu sibuk?" tanya Byakta saat Zhao akan beranjak.

"Masih sekitar satu jam lagi sampai pasienku berikutnya." jawab Zhao, ia urung beranjak dan duduk di hadapan Byakta. "Ada yang ingin dibicarakan?"

"Oh... hanya tentang Iris, dia ringan sekali dan kakinya apakah bisa..."

Zhao menyadari maksud orangtua di hadapannya. "Iris terus membuat kemajuan dalam perawatannya ini, memang menurut dr. Hoshi kemajuan ini sedikit lambat tapi dalam situasinya, setiap kemajuan adalah hal yang baik."

"Apakah ada perbedaan jika kita membawanya ke Jerman?"

"Mungkin saja, dr. Hoshi sudah menyarankan beberapa spesialis saraf terbaik."

Byakta terlihat lega, lalu menatap Zhao lekat. "Apakah itu ada dalam rencana masa depanmu? membuat putriku kembali berjalan lagi?"

Zhao mengangguk, "Ada banyak rencana masa depan yang saya inginkan terhadap Iris, saya ingin dia sehat, saya ingin dia berjalan lagi, saya ingin dia lebih banyak tertawa, saya ingin dia bahagia... dan untuk semua itu saya tidak selalu bisa melakukannya sendiri."

Byakta mengerutkan kening dan Zhao tersenyum, menjelaskan maksud kalimatnya. "Saya butuh bantuan, dari keluarga saya, dari keluarga Iris, dari setiap dokter dan perawatnya... untuk membuatnya tetap kuat, bersemangat melalui semua ini."

"Selama ini, pasti begitu sulit untuknya, bukan?" tanya Byakta lirih, suaranya terdengar penuh penyesalan.

Zhao mengangguk, "Selama ini begitu berat dan sulit untuknya."

"Bagaimana selama ini?" tanya Byakta lalu mengulang pertanyaannya. "Bagaimana selama ini kau bertahan atas semua itu?"

Sejenak, Zhao terdiam, ia berhati-hati menjelaskan. "Saya tidak bertahan sendirian, saya membaginya bersama orang-orang yang juga mencintai dan peduli pada Iris... saya bicara pada Pascal, pada orangtua saya, pada dokternya... dan saya juga bicara pada Iris sendiri."

"Iris bisa membicarakan semua ini?"

"Awalnya sulit, dia ingin menyerah dan sudah sangat putus asa... sampai sekarang pun terkadang ia masih melakukan itu, menanyakan hal-hal bernada putus asa." cerita Zhao lalu tersenyum. "Kadang pertanyaan itu menyakitkan saya... tapi bagi iris, ia membutuhkan keyakinan, karena itu saya menjawabnya, memastikan keyakinannya kepada saya tak berkurang."

Byakta mengangguk-angguk, sejak mengetahui putrinya menarik perhatian Zhao, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Namun kini, ia tak perlu bertanya lebih jauh, ia bisa merasakan pemuda di hadapannya ini memiliki ketulusan, juga cinta.

"Di dunia ini ada berbagai macam tipe orangtua, ada berbagai macam jenis kasih sayang juga... tapi untuk kedepannya, saya berharap kita sama-sama menemukan keberanian untuk selalu mendukung Iris." kata Zhao membuat Byakta terpana. "Iris masih sangat muda, dia bilang belum menemukan impian atau tujuan hidupnya... karena itu jika suatu hari dia menemukannya, aku harap— Pak..." Zhao terkejut karena melihat air mata mengalir di pipi Byakta.

Byakta mengalihkan wajah dan segera menghapus air mata yang tanpa sadar mengalir. "Asoka masih seumur Iris saat aku menikahinya dan mendengarmu kini... seharusnya dulu aku berpikir sepertimu." katanya lalu memilih beranjak dan menenangkan diri dengan mendekati jendela.

Zhao membiarkan, lalu setelah beberapa saat ia ikut mendekati jendela. Terdengar samar suara Asoka dan Iris tertawa dari dalam kamar mandi. "Saya pikir tidak ada kata terlambat untuk mulai memperbaiki dan sejujurnya... tidak ada kesalahan yang tidak menjadi pembelajaran."

"Orangtuamu mendidikmu dengan baik." ucap Byakta lalu beralih tersenyum pada Zhao. "Aku ingat teman-temanmu berkelakar tentangmu di pesta ulang tahun Pascal."

"Ya?" Zhao mengerjapkan mata.

"Pilih putra pejabat, pengusaha sukses, atau Zhao Walker saja."

"Ooh... mereka hanya berlebihan, tidak semua orangtua menganggap saya—"

"Bahkan sekalipun ada putra pejabat tinggi dan pengusaha yang lebih sukses, aku akan memilihmu untuk putriku." kata Byakta membuat perasaan Zhao mendadak lega.

"It's really an honor for me, Sir." ucap Zhao dan kali ini balas tersenyumpada calon ayah mertuanya.

[ to be continued ]

Continue Reading

You'll Also Like

14.7K 2.4K 27
Katanya, pertemanan antara lawan jenis itu tidak mungkin murni hanya berteman. Sebab katanya, salah satu dari mereka pasti ada yang menyimpan rasa. N...
7.2K 682 65
(UPDATE SETIAP HARI) Kaluna sepenuhnya tidak lagi memikirkan pernikahan. Dengan terang-terangan dia mengatakan jika tidak ada laki-laki yang bisa dia...
1.8M 138K 51
"Kamu melepaskanku dan aku melupakanmu. Itu wajar." Mana berhak Nala menyebutnya 'mantan'? Kata Jess, bertemu mantan adalah salah satu hal tersulit y...
143K 9.5K 39
UPDATE SESUAI MOOD. Ini cerita humor pertama saya, buatnya susah ternyata [Cry] Jadi mohon dukungannya berupa follow dan vote setiap chapter. Thank...