Erotomania [Tamat]

By triviaindriani

180K 23.4K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... More

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
19. Sisi Tergelap
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

15. Penyihir

4.9K 801 45
By triviaindriani

Jangan tanya berapa kali Julian bersumpah serapah hari ini. Bukan, bukan hanya hari ini dia bersumpah serapah. Sudah sekitar seminggu Julian sering bicara sendiri, mengucapkan kata-kata kasar pada udara. Dan mungkin, hari inilah puncak dari 7 hari menyebalkan untuknya. Dia ingin marah, tetapi tidak tahu harus marah pada siapa. Jadilah dia hanya bisa berteriak kencang pada langit sampai beberapa orang di sekitarnya melirik Julian, lalu berbisik-bisik. Pasti mereka berpikir Julian ini orang gila baru.

Bayangkan saja, Julian selalu sial selama seminggu ini. Untuk hari ini saja, sudah begitu banyak kesialan menimpa dirinya. Pertama, dia bangun kesiangan. Hampir saja Julian tidak bisa masuk sekolah kalau tidak menyogok satpam yang berjaga hari ini. Kedua, dia lupa membawa buku tugas matematika. Jadi, Julian harus rela nilai tugasnya kosong. Ketiga, gelang pemberian almarhum ibunya hilang entah di mana. Julian sudah mencarinya seperti orang kesetanan, tapi tak kunjung ketemu. Dia akan melanjutkan pencarian besok. Dan sekarang, Julian harus mendorong-dorong motornya yang mogok di bawah teriknya sinar matahari.

Julian hanya bertanya, ini semua tidak disebabkan oleh ucapan Lova seminggu yang lalu, bukan?

“Argh! Kenapa gue bisa sial kayak gini, sih?!” Julian berhenti sejenak untuk kembali berteriak. Menanyakan hal yang sama pada siapa sana yang mendengarnya. “Awas aja itu cewek. Gue kasih pelajaran kalau ketemu!” Julian menatap motornya malas. Kalau papanya tidak akan marah jika Julian meninggalkannya di tepi jalan, Julian sudah pulang menggunakan jasa ojek. Namun, dia tidak mau berdebat dengan papanya yang otoriter. Julian tidak akan pernah menang.

Saat kembali mendorong motornya—yang sangat menguras tenaga—Julian merasa beban motor itu meringan. Saat dia melihat ke belakang, ternyata ada orang lain yang dengan bodohnya membantu Julian. Dia langsung menarik rem sehingga motor mogok itu benar-benar berhenti. Dengan malas, Julian menatap orang itu. Ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya.

“Lo ngapain?” tanya Julian dengan nada yang masih bisa terdengar angkuh. Di saat seperti ini, Julian masih memiliki tenaga untuk bersikap sombong. “Mau sok jadi pahlawan? Lo mau gue anggap lo cewek baik? Atau mau bikin gue merasa bersalah karena selama ini suka ngomong jahat sama lo?”

Orang itu menegakkan tubuhnya, menarik tangannya yang memegang bagian belakang motor Julian. “Ternyata Kak Julian sadar udah bertindak jahat sama aku? Heran, udah tahu jahat, masih aja dilakukan. Kena azab, baru tahu rasa.”

“Gak usah sok enggak tahu, deh! Gue yakin, kesialan yang selama ini menimpa gue juga sumbernya dari lo!” Julian memposisikan motornya supaya bisa berdiri. Dia berkacak pinggang. Lihatlah wajah lugu itu, benar-benar memancing emosi Julian. “Lo itu penyihir, ya? Pertama, lo bikin Arvin tergila-gila sama lo. Sekarang, lo bikin gue sial mulu gara-gara omongan lo di kantin seminggu yang lalu. Terus nanti apa? Lo mau gue disambar petir?”

JEDER!

“Anjir!” Julian terlonjak. Matahari sedang bersinar dengan terik, tetapi tiba-tiba ada petir yang menggelegar. “Tuh, 'kan?! Lo itu penyihir!” Julian menunjuk Lova dengan telunjuknya. Matanya sudah setengah keluar.

Lova-lah yang sudah memiliki niat untuk membantu Julian. Apa yang dia terima sekarang? Bentakan, pelototan, dan juga sebuah fitnah yang menyebut dia penyihir. Lova tahu, mustahil Julian akan berterima kasih akan tindakan kecilnya ini. Namun, Lova tidak tahu kalau Julian justru akan bertindak tidak menyenangkan seperti ini. Sia-sia saja Lova mengenyampingkan kekesalannya pada Julian hanya untuk menonjolkan kemanusiaannya. Dia rela turun dari angkot untuk mendorong motor mogok orang jahat seperti Julian.

Tangan Lova terangkat, menunjuk bagian utara langit yang tampak hitam pekat. “Kak Julian lihat itu? Emang bentar lagi bakal turun hujan, bukan karena aku penyihir. Lagian, kalau aku penyihir, udah dari dulu aku kutuk Kak Julian jadi kecoak.” Lova kembali menurunkan tangannya. “Daripada kepalanya diisi sama pikiran negatif, sama fantasi aneh, mending diisi sama pemikiran positif. Aku juga pernah kasih tahu, kalau apa yang kita pikirkan, akan terjadi sama kehidupan nyata kita. Masih aja ngeyel.”

“Atas dasar apa gue harus ikuti kata-kata lo? Bokap gue aja bukan!” Julian malah bersikap ketus. Dia bersiap untuk kembali mendorong motornya. “Pergi sana! Sikap lo yang kayak gini enggak bakal berhasil bikin gue berpikiran positif tentang lo.” Lalu, Julian kembali melangkah lambat dengan tangan yang dikerahkan untuk mendorong beban tidak ringan.

Malas juga sebenarnya. Namun, Lova masih memiliki belas kasihan. Dia tidak akan menutup mata begitu saja setelah melihat dengan jelas kesusahan yang sedang dialami Julian. "Gak usah anggap aku ada kalau gitu. Niat aku dari awal murni buat bantu, kok, bukan buat mengubah penilaian Kak Julian tentang aku," jawab Lova dengan acuh, sambil kembali mendorong motor Julian.

“Gue bilang pergi! Gue enggak butuh bantuan lo!”

“Bentar lagi hujan. Mending tenaganya buat dorong motor aja, jangan teriak-teriak.”

Baiklah, Julian menyerah. Terserah kalau Lova mau mendorong motornya. Toh, dia tidak pernah meminta bantuannya. Gadis itu saja yang bodoh, masih mau lelah-lelah membantu orang yang jelas-jelas selalu jahat padanya. Kalau nanti tangan dan kakinya pegal-pegal, Julian tidak akan mau tanggung jawab. Jika nanti Arvin mempermasalahkan ini, dia juga akan berkata bahwa Lova yang keras kepala di sini.

Dan rupanya, kesialan tidak hanya berhenti di sana. Tinggal beberapa meter lagi menuju bengkel, hujan justru turun sederas-derasnya. Bahkan, kepala Julian sampai sakit. Dia kira, itu hujan batu, bukan air. Akhirnya, mereka basah kuyup saat berhasil sampai di bengkel. Ada yang aneh, Lova sama sekali tidak mengeluh, tidak menyalahkan Julian. Dia justru sibuk mengeringkan rambutnya menggunakan sapu tangan. Dan diam-diam, Julian memperhatikan kegiatan Lova itu.

“Aku cuma bisa bantu sampai sini. Kalau nanti ada angkot, aku bakal pulang,” ucap Lova sambil terus berusaha mengeringkan rambutnya. Dia belum sadar kalau Julian sedang menatapnya lekat-lekat. “Sekedar ngasih tahu. Kak Julian aku tinggal sendiri di bengkel.”

“Naik taksi aja, jangan naik angkot. Gue yang bayarin.”

Pergerakan Lova langsung berhenti saat itu juga. Kepalanya terangkat sedikit demi sedikit. Dan dia berhasil mendapati sepasang mata yang memperhatikannya. Sebelum akhirnya Julian mengalihkan pandangan ke motornya yang sedang diperbaiki. “Kak Julian itu baik. Cuma sayang, selalu berpikiran negatif. Sampai sekarang, aku enggak tahu alasan Kak Julian enggak suka sama aku.”

“Gue juga enggak tahu. Mungkin karena nggak ada alasan buat gue suka sama lo aja.” Julian mengangkat bahunya acuh. Dia tahu, jawabannya benar-benar kekanakan. Namun, memang begitu adanya. “Gak usah sok lugu, bilang gue orang baik segala. Gue udah jahat sama lo selama ini.”

Lova mengangguk, setuju kalau selama ini Julian sudah jahat padanya. Kemudian, dia teringat sesuatu. Lova segera merogoh tasnya, lalu menyodorkan sesuatu ke depan Julian. “Aku lihat Kak Julian cari sesuatu di lapangan tadi. Mungkin, ini yang Kak Julian cari.”

Dengan cepat, Julian menoleh. Dia langsung mengambil alih gelang yang ada di tangan Lova. Bahkan, beberapa kali dia menciumi gelang itu. Bibirnya tersenyum lebar. Mungkin, ini kali pertama Julian menunjukkan senyum kebahagiaan di depan Lova, bukan lagi senyum mengejek. Benar, gelang inilah yang dia cari seharian ini. Gelang yang menjadi kenang-kenangan dari almarhumah mamanya. Gelang yang sangat berarti untuk Julian.

“Makasih, makasih banyak udah balikin gelang ini ke gue. Gelang ini udah kayak separuh nyawa gue.”

“Sama-sama,” jawab Lova. Bibirnya juga ikut tersenyum melihat kebahagiaan Julian. Namun, kemudian, Lova bingung dengan perubahan Julian. “Kenapa?”

“Ekhem!” Julian berdeham keras. Dia merasa bodoh sudah memperlihatkan sisi memalukan ini di depan Lova. Ah, pasti diam-diam gadis itu menertawakannya. “Enggak. Kepo lo!” Ya, gengsi tinggi memang selalu menguasai setiap tindakan yang diambil Julian. “Kenapa lo enggak bareng Arvin? Kalau dia sampai tahu kita berduaan kayak gini, pasti dia bakal ngira gue lagi bully lo.”

Lova terkekeh. “Tenang aja, Kak Arvin masih bisa berpikir positif. Enggak kayak Kak Julian,” jawabnya dengan enteng. Lalu, Lova segera melambaikan tangannya, meminta angkot menuju rumahnya segera berhenti. “Aku duluan, Kak.”

Tanpa terkendali, Julian tiba-tiba saja menahan pergelangan tangan Lova. Dia kaget, apalagi Lova. Dia bingung, apalagi Lova. Dan lagi, Julian hanya bisa berdeham keras sambil melepaskan pegangan di tangan Lova. Sungguh, dia sangat ingin memukul kepalanya sendiri saat ini. Benar-benar bodoh. Julian pasrah tidak mau lagi peduli berapa kali Lova menertawakannya dalam hati.

“Gue udah bilang, lo naik taksi aja,” tukas Julian tanpa berani menatap Lova. Situasi aneh macam apa ini? Julian muak sendiri. “Emm ... itung-itung sebagai tanda terima kasih gue karena lo udah balikin gelang gue.”

Terkejut sebenarnya dengan perubahan signifikan ini, tapi Lova berusaha menguasai dirinya kembali. “Enggak perlu. Mending uangnya dipakai buat bayar perbaikan motor. Lagian, aku sama sekali enggak berharap balasan karena udah balikin gelangnya.”

Tidak lagi mengharapkan jawaban dari Julian, Lova segera naik ketika angkot berhenti tepat di hadapannya. Dia meninggalkan bengkel tanpa terbebani apapun. Berbeda dengan Julian yang kini merasa bersalah.

***

Jika biasanya akan sangat tenang menikmati makan siang di kantin, kali ini beda lagi ceritanya. Lova lebih memilih untuk duduk di bangku taman dengan buku biologi di tangannya. Mulutnya komat-kamit seperti sedang mengucapkan mantra, berharap otaknya bisa mendadak cemerlang. Karena demi apa pun, Lova sudah bosan diremedial. Dia sudah berjuang sangat keras, semoga nilai ulangan hariannya bisa berbanding lurus dengan usahanya.

Mulut Lova yang sedari tadi komat-kamit mendadak berhenti saat sebuah benda menyentuh permukaan bibirnya. Dia mengerti artinya. Segera membuka mulutnya, lalu mengunyah makanan yang baru saja diberikan orang yang sedari tadi setia duduk di samping Lova. Selanjutnya, dia kembali merapalkan materi yang sedang berusaha diingat.

“Gue yakin, lo pasti bisa dapat nilai bagus. Jangan tegang, jangan lupa berdoa, jangan dengar orang yang minta contekan. Fokus aja sama lembar jawaban lo,” ceramah Arvin sambil ikut makan. Sekarang, dia sedang berperan ganda. Sebagai pacar, guru, dan juga seorang ayah yang menyuapi anaknya. Tidak ada kata keberatan jika sudah berurusan dengan Lova. Arvin akan menikmati semua momennya. Dan untuk kakinya, Arvin sudah tidak bergantung lagi pada tongkat. Hanya saja, jalannya masih sedikit pincang.

“Bagian dari usus halus terdiri atas usus 12 jari atau duodenum, usus kosong atau ileum, dan usus penyerapan atau jejunum.” Lova masih meneruskan hafalannya, tidak menghiraukan ceramah Arvin. Namun, dia langsung terdiam saat Arvin menggelengkan kepalanya. “Salah, ya, Kak?”

Berusaha tidak mematahkan semangat Lova, Arvin melemparkan senyum hangat. Dia menyimpan terlebih dahulu kotak makan siang yang diberikan bundanya Lova ke atas meja. “Lo suka boyband Korea, 'kan? Pasti lo juga belajar Hangul, dong?” Arvin mengambil alih buku yang dipegang Lova saat gadis itu mengangguk kecil. “Anggap aja apa yang gue bilang ini Bahasa Korea. Dukope sama dengan dujeil. 12, kosong, penyerapan sama dengan duodelum, jejunum, ileum.”

“Dukope, dujeil.” Lova tersenyum puas. Arvin memang selalu memiliki mode belajar yang unik. Tidak aneh kalau Lova lebih bisa menyerap materi dari Arvin dibandingkan guru sebenarnya. “Usus 12 jari atau duodelum, usus kosong atau jejunum, usus penyerapan atau ileum.”

“Pintar!” Tangan Arvin terulur untuk mengacak-acak rambut Lova. Ada kebanggan tersendiri di dadanya saat berhasil mengajarkan Lova. Sesungguhnya, tidak ada yang bodoh di dunia ini. Mereka—yang masih kurang cepat tanggap—hanya perlu mencari metode yang tepat untuk menangkap inti dari informasi yang diberikan. “Kemarin langsung pulang?”

Lova terdiam. Dia merasa ditodong pisau secara tiba-tiba oleh Arvin sekarang. Kemarin, Arvin tidak bisa mengantarnya pulang karena harus memberi arahan pada siswa yang akan ikut olimpiade. Lova harus cepat pulang untuk belajar. Daripada membuang waktu, dia lebih memilih untuk pulang terlebih dahulu dibandingkan menunggu Arvin selesai dengan urusannya. Dan untuk kejadian bersama Julian kemarin, Lova belum cerita apa-apa pada Arvin.

Tahu kalau pembahasan ini sangat membutuhkan kehati-hatian, Lova mengesampingkan terlebih dahulu belajarnya. Dia memposisikan tubuhnya untuk menghadap Arvin. “Kemarin aku udah naik angkot sebenarnya. Cuma, pas di tengah jalan, aku lihat Kak Julian lagi dorong-dorong motornya. Gak mungkin aku biarin dia kesusahan sendiri, 'kan? Jadi, aku bantu Kak Julian dulu.”

Kebisuan Arvin membuat Lova ikut terdiam. Dia merasa sudah melakukan kesalahan besar. Sebenarnya, bukan itu yang membuat Arvin diam. Dia hanya merasa kalau Lova terlalu baik pada orang yang selalu merendahkannya. Dan Julian, Arvin yakin laki-laki itu tidak akan bersikap baik pada Lova. Saat di depan Arvin saja Julian sangat berani, apalagi kalau tidak ada dia.

“Terus, lo diapain aja sama dia? Dia ngomong yang enggak-enggak sama lo, 'kan? Emang kurang ajar itu cowok. Gue enggak akan tinggal diam,” cerocos Arvin dengan menggebu-gebu. Dia sama sekali tidak memberi kesempatan pada Lova untuk bicara. “Kenapa pakai dibantu segala, sih, Lov? Harusnya lo biarin aja. Dorong-dorong motor mogok bukan apa-apa dibandingkan sama omongan jahatnya dia selama ini.”

“Kak Arvin, kejadiannya enggak kayak yang Kak Arvin kira, kok.” Lova harus meluruskan semuanya, sebelum Arvin semakin salah paham. “Kak Julian sama sekali enggak ngomong kasar sama aku. Yang ada, dia malah bilang makasih karena aku udah bantu.” Lova menatap Arvin lekat-lekat, berusaha menyampaikan maksud hatinya dengan tepat. “Sebenarnya, aku enggak mau persahabatan kalian jadi hancur cuma gara-gara aku. Kalian udah bareng-bareng dari kecil. Masa kebersamaan itu harus berakhir gitu aja gara-gara cewek yang baru masuk ke hidup Kak Arvin?”

“Persahabatan kita hancur itu salahnya Julian, Lov. Salah dia yang selalu ngomong kasar sama lo, selalu bilang yang nggak-nggak tentang lo, benci sama lo tanpa alasan yang jelas. Kalau lo ada di posisi gue, lo masih mau sahabatan sama dia?” Arvin berdecih. Membahas Julian membuat suasana hatinya menjadi buruk saja. Dan sekarang, semakin buruk saat wujud laki-laki itu terpampang dengan jelas di hadapannya. “Ngapain lo?”

Julian meringis. Mungkin memang begitu cara menyapa mereka jika bertemu, dulu. Hanya saja, kali ini rasanya berbeda. Arvin benar-benar sinis padanya. Tatapannya waspada, seakan Julian adalah penjahat yang bisa menyerang Lova kapan saja. Maksud kedatangannya ke sini baik, bukan untuk cari perkara. Meskipun dengan berat hati, tetapi Julian harus melakukannya. Supaya mamanya tidak marah di alam sana, juga supaya persahabatannya dengan Arvin tetap bisa berlanjut.

“Gue ke sini mau minta maaf sama Lova.” Julian melirik Arvin. Sahabatnya itu tersenyum miring, mengejek. Lalu dia beralih pada Lova. Berbeda dengan Arvin, Lova justru tampak terkejut. “Gue minta maaf karena udah jahat sama lo selama ini. Gue janji, enggak bakal melakukan hal itu lagi. Lo ... mau maafin gue, 'kan?”

Arvin tidak bisa tinggal diam. Bisa saja Julian sekedar pura-pura. “Lo habis makan apa tiba-tiba mau minta maaf sama cewek gue? Bukannya kemarin-kemarin lo masih membenarkan semua tindakan kurang ajar lo?” Arvin menoleh saat Lova menyentuh bahunya, meminta Arvin berhenti berkata tidak pantas. “Enggak apa-apa kali, Lov. Kita emang perlu tahu kalau ini orang bukan cuma pura-pura.”

“Gue terima sikap lo yang kayak gini, Vin. Gue sadar kalau itu kesalah gue sepenuhnya. Tapi, permintaan maaf gue ini bukan buat pura-pura. Gue sadar kalau Lova enggak kayak yang gue pikirkan selama ini. Apalagi semenjak kejadian kemarin, gue merasa ditampar banget,” sesal Julian.

Meskipun selama ini Julian selalu memperlihatkan kebencian, tetapi Lova tahu, kali ini dia sungguh-sungguh meminta maaf. Pasti membutuhkan penekanan ego yang sangat tinggi untuk membawa Julian sampai taman sekolah ini. Bahkan, dia menerima tuduhan Arvin begitu saja, tidak ada perlawanan sama sekali.

“Iya, aku mau kok maafin Kak Julian. Asal jangan diulangi aja,” final Lova, tanpa perlu pikir panjang.

“Lov,” sergah Arvin. Dia belum puas untuk mencari tahu ketulusan Julian. Namun, kata-katanya malah dipotong oleh Lova.

“Dan aku harap persahabatan kalian bisa balik lagi kayak dulu. Bisa, Kak?”

Tidak banyak yang bisa dilakukan Arvin kalau sudah begini. Dia menggaruk kepalanya dengan kasar, frustasi sendiri. Selalu, Arvin kalah telak oleh Lova. “Oke, kalau itu yang lo mau.”

Melihat itu—betapa berkuasanya Lova akan Arvin—Julian jadi tahu sesuatu. Lova memang penyihir.

*
*
*
Jadi, Lova itu penyihir atau bukan?

Bini Ceye,
31 Maret 2020
R

epost : 13 Oktober 2020

Continue Reading

You'll Also Like

612K 12.8K 56
Allea kembali ke Indonesia setelah 8 tahun untuk menemui calon tunangannya, Leonando. Namun Allea tidak tahu telah banyak hal yang berubah, termasuk...
2K 536 36
"Yang terkenang tentang kita." Setelah kepindahannya ke SMA Nawasena, Navea menemukan perpustakaan sebagai tempat ternyaman untuk menyendiri di saat...
169K 14.2K 27
Tentang Nala yang menyukai Raskal, teman sekelasnya. Puluhan surat cinta hanya untuk Raskal diam-diam ia letakkan ke loker mejanya. Hampir setahun N...
105K 13.2K 34
"Rockstar" -(n) a famous and successful singer or performer of rock music. Bintang rock yang menjadi kebanggaan negara Inggris itu bernama Nathaniel...