Erotomania [Tamat]

triviaindriani tarafından

171K 22.5K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... Daha Fazla

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
19. Sisi Tergelap
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

13. Goyah

4.8K 843 26
triviaindriani tarafından

Lova hanya bisa terdiam di ambang pintu saat melihat pandangan di depannya. Di sana, Tamara sedang duduk tepat di samping Arvin. Dia menggenggam tangan Arvin kuat-kuat sambil sesekali mengusapnya. Tatapan mata gadis cantik itu tampak meneduhkan, tapi ada kekhawatiran juga di sana. Tidak bisa dipungkiri, meskipun Lova keberatan untuk mengakui, mereka berdua tampak sangat serasi.

"Vin, kamu kenapa bisa kayak gini, sih? Aku khawatir banget sama kamu."

Meskipun tidak begitu dekat, tetpi Lova bisa mendengar isak tangis Tamara. Jika sudah begini, Lova tidak bisa lagi berpikir bahwa hanya dirinyalah yang akan menerima Arvin apa adanya, lengkap dengan erotomania yang dia derita. Di sana, ada seorang gadis yang-banyak orang bilang-lebih pantas bersanding dengan Arvin. Dia sedang menangis, mengkhawatirkan Arvin dengan begitu tulus. Berharap bahwa laki-laki yang sedang tertidur itu akan baik-baik saja.

"Ekhem!" Seperti biasa, Julian selalu datang meski Lova tidak mengharapkannya. Dia mengikuti arah pandang Lova, mendapati Tamara sedang mengecup punggung tangan Arvin berulang kali. "Dia Tamara, mantan pacar Arvin waktu SMP. Tapi, dia masih suka-"

"Aku tahu," potong Lova dengan cepat. Dia sudah muak, tidak bisa lagi bersikap sopan pada Julian. Mungkin karena pertanyaan terakhirnya di taman beberapa saat yang lalu. Bahkan sekarang, dia berani membalas tatapan Julian. "Kak Julian enggak perlu menjelaskan sesuatu yang sudah jadi rahasia umum di sekolah kita."

Tanpa alasan yang jelas, Julian tersenyum miring. Matanya masih setia memandangi Lova, mengabsen setiap bagian wajahnya. Mulai dari mata, hidung, bibir, dagu. Baiklah, Julian akui, Lova tidak terlalu buruk juga. Hanya saja, jika untuk menjadi alasan Arvin sampai mengalami gangguan kejiwaan, dia masih tidak bisa percaya. Apalagi dengan kacamata tebal itu, Julian gatal sendiri untuk melepasnya dari wajah Lova. Julian hanya berpikir, sepertinya Lova akan terlihat lebih baik tanpa kacamata itu.

Sebelum Lova menyadari, Julian segera menarik pandangannya, kembali memperhatikan Tamara dan Arvin melalui celah pintu yang tidak seberapa. "Gue percaya sama Arvin, dia enggak akan menyukai seseorang yang gak pantas untuk dia sukai. Meskipun pertemuan kita selalu berjalan kurang menyenangkan, gue tahu kalau lo orang yang baik. Hanya dengan kesediaan lo buat bantu Arvin sembuh, gue harus mengakui kalau lo punya hati malaikat."

"Kalau mengakui aku punya hati malaikat, seharusnya Kak Julian enggak bersikap kayak setan sama aku," gerutu Lova. Namun, dengan cepat dia melipat bibirnya. Meskipun dengan volume yang sangat kecil, tetapi masih bisa didengar dengan baik oleh Julian. Terbukti dengan lirikan tajam yang kembali dilemparkan pada Lova. "Aku cuma bicara fakta," lanjut Lova dengan wajah tanpa dosa.

"Jangan bikin gue menyesal udah puji lo!" sinis Julian. Dikasih hati, Lova malah meminta jantung. Gadis pendek itu tidak sungkan untuk berkata bahwa sikap Julian selama ini seperti setan. "Gue emang kayak gini, enggak bisa bersikap sok baik sama orang yang gak gue suka. Tapi, kalau orang itu baik, gue bisa lebih baik."

"Terserah!" Daripada terus memperhatikan interaksi Tamara dan Arvin, Lova lebih memilih untuk duduk di kursi yang ada di sana. Dan sialnya, Julian malah ikut duduk, bukannya masuk menghampiri sejoli yang dianggap bintang sekolah itu. Kalau sikapnya kurang menyenangkan kayak gini, gimana orang lain mau bersikap baik sama dia? Lova membatin.

Sementara itu Julian memenyilangkan tangannya menahan kepala, menengadah menatap langit-langit koridor rumah sakit. Dia masih kaget dengan kenyataan bahwa Arvin tidak baik-baik saja selama ini. Kapten tim basket yang selalu bersinar saat di lapangan, murid kesayangan para guru, sosok teman yang sangat menyenangkan untuk semua orang, ternyata terjebak dalam delusi diam-diam.

Julian ingat betul bagaimana mereka berdua bisa kenal. Saat itu, mereka masih berusia 6 tahun, masa di mana bermain adalah tujuan hidup mereka. Dan sedari kecil, Arvin sudah menyukai basket. Julian yang baru saja pindah ke perumahan elit tempat tinggalnya sekarang, hanya bisa berdiri di samping lapangan. Beberapa kali dia berdecak kagum dengan kemahiran Arvin untuk memutar bola basket di atas jari telunjuknya. Dan saat dia mendapati kehadiran Julian, Arvin tidak sungkan untuk mengajaknya bergabung. Dia juga yang mengajarkan Julian basket. Sebagai gantinya, Julian mengajarkan Arvin sebuah game online.

"Arvin kayak gimana kalau penyakitnya kambuh?"

Lova menoleh. Dia kira, Julian tidur dengan posisi duduk. Ternyata, dia masih bernyawa. Sebenarnya sedikit geli mendengar kalimat Julian barusan. Kesannya, Arvin seperti sakit asma yang bisa kambuh saat kedinginan. "Enggak ada perubahan spesifik sebenarnya. Aku cuma harus bisa mengarahkan Kak Arvin aja kalau dia udah terjebak delusi dan menganggap kejadian di dalamnya sebagai sebuah kenyataan." Lova menunduk, memperhatikan sepatunya yang sederhana. "Gak terlalu susah, sih. Kak Arvin tahu kondisinya sendiri."

"Dan dia baik-baik aja dengan semua itu?" Gantian, kali ini, Julian yang memperhatikan Lova.

Kepala Lova menggeleng. Bibirnya membentuk senyum simpul. "Siapa yang bisa baik-baik aja saat tahu kalau dia sedang sakit? Apalagi ini gangguan psikologis. Pengobatannya membutuhkan waktu yang lumayan panjang, butuh kesabaran ekstra, butuh kedisiplinan tinggi." Pandangan Lova berubah kosong. Dia sedang menerawang ekspresi wajah Arvin saat bicara di taman belakang rumahnya beberapa sekitar seminggu yang lalu. "Tapi, yang aku lihat, Kak Arvin tidak menyalahkan keadaan ini. Dia sadar, kalau memang inilah jalan yang harus dia lalui."

Ada perasaan lega di dada Julian saat melihat bagaimana cara Lova menceritakan hal tentang Arvin. Dalam, tapi tetap ringan. Mungkin, perasaannya memang benar, Lova gadis baik. Dia tidak mungkin mengambil keuntungan atas kondisi Arvin sekarang.

"Lho, kalian di luar?" tanya Bu Indira tiba-tiba. Sontak saja, Lova dan Julian langsung berdiri menyapa beliau. Tapi yang menjadi fokusnya saat ini adalah Julian, sahabat putranya yang selalu setia kawan. "Tante tahu, ada banyak sekali pertanyaan di kepala kamu saat ini. Tante paham kalau kamu mau marah, karena selama ini kamu enggak tahu apa-apa. Tapi, tante mohon sama kamu, Julian, jangan marah di depan Arvin. Kalau kamu mau bertanya, kamu bisa tanyakan apa saja sama tante."

Lidah Julian kelu untuk beberapa saat. Benar, dia marah dan kecewa. Tapi dia tahu, kemarahan dan kekecewaannya tidak akan mengubah apapun. "Lova udah kasih tahu Julian sebagian, kok, Tan. Julian juga bisa menahan emosi, enggak bakal marah depan Arvin. Tante tenang aja."

"LOVA!"

Baru saja Bu Indira hendak berterima kasih atas pengertian Julian, tetapi beliau langsung berlari saat mendengar teriakan nyaring putranya. Begitu juga dengan Lova dan Julian. Mereka langsung mengikuti Bu Indira. Antara lega karena Arvin sudah bangun, bercampur dengan khawatir atas apa yang terjadi pada laki-laki itu.

Namun lagi, kaki Lova tertahan hanya sampai di ambang pintu. Karena di sana, tepat di hadapannya, Arvin sedang memeluk Tamara dengan sangat kuat. Lova juga bisa melihat ada air mata yang turun membasahi pipi Arvin. Dan seperti diberi kesempatan emas, Tamara membalas pelukan Arvin itu dengan sangat senang hati. Dia juga sudah mengusap punggung Arvin dengan pelan, seakan berusaha memberi kenyamanan pada Arvin.

"Gue sayang sama lo. Gue mohon jangan tinggalkan gue," pinta Arvin dengan suara yang begitu lemah.

"Aku di sini, Vin. Aku enggak akan tinggalkan kamu, aku akan selalu ada di samping kamu," jawab Tamara.

Tidak sanggup lagi dipermainkan perasaannya, Lova lebih memilih untuk pergi dari sana. Tanpa pamit, tanpa ucapan salam, Lova langsung melangkahkan kakinya menjauhi ruang UGD. Setiap hentakan langkah kaki yang dia ambil, semakin besar guncangan di dadanya. Rasa panas di rongga dadanya sampai naik ke bola mata. Dan akhirnya, pandangan Lova memburam. Berakhir dengan cairan kristal yang turun dengan lancang.

"Pulang sekarang, Va?" tanya Agus yang sedari tadi menunggu di lobi rumah sakit. Dia bingung dengan sikap Lova. Pertanyaannya tidak di jawab, sahabatnya itu lurus saja pergi dari sana. "Pak, saya duluan," pamitnya pada Pak Ilham. Lalu, Agus berlari menyusul Lova. Dia semakin terkejut saat mendapati mata Lova merah dan tampak berair. "Kamu kenapa, Va? Kak Julian jahat sama kamu? Atau Kak Arvin yang bikin kamu nangis kayak gini?"

Entahlah, Lova bingung. Kepalanya tidak bisa berpikir dengan jernih. Yang jelas, dia kecewa. Namun, tidak tahu kecewa pada siapa. Dia menangis, tapi tidak tahu menangis untuk apa. Dia hanya ingin bertanya. Apakah tidak bisa membedakan dirinya dengan gadis lain adalah sebuah kejahatan? Jika ya, maka Arvin patut disalahkan.

***

Lova tahu, apa yang dia lakukan selama 4 hari ini adalah sesuatu yang sangat bodoh. Dia akan berdiam diri di kursinya selama 2 jam, lalu keluar dari kelas saat merasa sekolah sudah benar-benar sepi. Lova dengan sadar melakukannya, sangat sadar bahwa dia sudah menyia-nyiakan waktu dengan hal tidak berguna. Hanya duduk termenung sambil mendengarkan lagu boyband Korea kesukaannya. Semua ini dia lakukan untuk menghindari Arvin.

2 hari Arvin dirawat di rumah sakit, tetapi Lova tidak menjenguknya. Pesan darinya tidak dibalas, telepon selalu tidak diangkat. Kalau secara tidak sengaja atau dengan usaha laki-laki itu mereka bertemu, Lova selalu memutar otak untuk bisa tiba-tiba menghilang di kerumunan para siswa. Jika biasanya Lova ikut senang saat ada guru yang tidak bisa masuk kelas, kali ini sebaliknya. Lova bersyukur, jam belajar kelasnya selalu penuh. Karena itu artinya tidak ada kesempatan Arvin untuk menerobos masuk kelasnya dan membuat keributan.

Pergerakan Lova masih sama dengan sebelum-sebelumnya, tampak tidak bersemangat. Langkah kakinya juga terkesan dipaksakan untuk terus membuat perpindahan. Hingga akhirnya saat di depan pintu kelas, sekujur tubuh Lova mematung seketika.

"Lo pikir, lo bisa lari lagi, Lov?"

Lova berusaha berpikir dengan cepat. Dia melangkah ke samping kanan. Kakinya mempersiapkan kekuatan maksimum untuk berlari. Baru beberapa langkah, Lova langsung berhenti saat Arvin memanggilkan namanya. Dan untungnya, gerak refleks Lova masih bagus. Dia langsung berbalik dan menangkap tubuh Arvin yang oleng. "Kak Arvin!"

Dan saat tubuh kecil Lova sedang menahannya itulah Arvin langsung melemparkan tongkat yang selama beberapa hari ini menjadi alat bantunya untuk berjalan. Dia merengkuh tubuh gadis yang selama ini dia rindukan. "Kenapa lo selalu lari dari gue, Lov? Gue salah apa sama lo sampai lo bisa setega ini sama gue?" Tahu Lova hendak pergi untuk mengambil tongkat, Arvin semakin mengeratkan pelukannyan. "Kalau lo lepas pelukan ini, gue akan sengaja jatuhin badan gue. Kalau perlu, gue bakal tendang tembok, supaya cedera gue makin parah."

"Kak Arvin gila?!"

"Iya, gue emang gila! Lo tahu kenyataan itu dari awal!" Bukan niat Arvin untuk meninggikan nada suaranya saat bicara pada Lova. Namun, dia sudah lelah dengan semua usaha pelarian Lova selama ini. Sudah cukup, Arvin tidak mau tersiksa lagi. "Sekarang, jawab gue, kenapa lo menjauh? Bukannya lo juga sayang sama gue, Lov? Kenapa lo malah pengin jauh dari gue?"

Seperti biasa, Lova selalu membuang napas kasar kalau merasa berat untuk berkata-kata. Sekarang dia merasa bodoh. Seharusnya Lova bisa memperkirakan dari awal, bahwa Arvin bisa melakukan hal gila apa saja untuk bisa berdekatan kembali dengannya. Dia juga tampak sungguh-sungguh akan menendang tembok untuk memperparah cedera kakinya. Dan yang nanti akan disalahkan atas keadaan Arvin, tentu saja Lova.

"Kita duduk dulu, baru nanti bicara lagi. Aku enggak bakal ninggalin Kak Arvin, kok." Lova sedikit bisa tenang saat Arvin mau dibopong untuk duduk di bangku yang ada di depan kelasnya. Tidak etis rasanya kalau ada yang memergoki mereka berdua tengah berpelukan di koridor sepi. "Tunggu di sini, aku ambil tongkat Kak Arvin dulu." Lalu, Lova bergerak mengambil tongkat Arvin yang tergeletak dengan sangat menyedihkan.

Sekembalinya gadis itu, Arvin langsung menarik kembali tangannya sampai Lova terduduk. "Jawab gue, Lov. Gue salah apa sampai bikin lo mau lari lagi dari gue?"

Lova menggigit bibirnya sebentar. Dia tidak mungkin jujur. "Aku enggak berniat buat menjauh dari Kak Arvin, kok. Akhir-akhir ini aku banyak tugas, jadi enggak bisa jenguk Kak Arvin."

"Gue enggak suka dibohongi. Apalagi sama lo, orang yang sangat berarti buat gue. Gue udah tanya Agus, dan selama beberapa hari ini kelas lo enggak ada tugas berat." Arvin sudah memprediksi, tugas akan menjadi senjata Lova untuk membodohinya. Maka dari itu, dia terlebih dahulu menemui Agus sebelum duduk selama dua jam di depan kelas Lova, menunggu gadis itu keluar dengan sendirinya. "Apa ini masalah gue peluk Tamara di rumah sakit itu?"

Lidah Lova kelu. Rasa sakit itu kembali muncul di hatinya. Sekelebat bayangan Arvin yang memeluk Tamara dengan begitu mesra kembali ada di kepala Lova. Jadi, inikah yang dinamakan jatuh cinta? Kata orang, rasanya menyenangkan. Namun, mengapa begitu sakit yang dirasakan Lova saat ini? Perasaannya untuk Arvin baru hadir tidak seberapa, tetapi airmata yang sudah Lova buang sudah lumayan banyak.

"Lov." Arvin mengeratkan pegangan tangannya. Dia putus asa atas kebisuan Lova. Apalagi, kesedihan tampak dengan begitu jelas di mata indah gadis kesayangannya itu. "Gue benar-benar minta maaf atas kejadian itu. Gue enggak sadar, gue enggak tahu kalau yang gue peluk saat itu bukan lo. Gue mimpi lo bakal tinggalin gue, dan waktu itu gue sangat ketakutan. Gue enggak bisa berpikir jernih, gue kira Tamara itu lo."

"Mungkin, emang Kak Tamara yang selama ini Kak Arvin butuhkan." Dengan susah payah, sambil terus menahan sakit, Lova berujar demikian. Dia memaksakan matanya untuk sanggup bertukar pandang dengan Arvin. "Mungkin, masih ada sedikit perasaan untuk Kak Tamara di hati Kak Arvin. Aku sadar diri, Kak, aku bukan siapa-siapa."

"Lov, cukup," peringat Arvin dengan nada rendah.

Lova menggelengkan kepalanya, menolak mengikuti perkataan Arvin. "Aku enggak ada apa-apanya dibandingkan Kak Tamara. Benar kata orang, dia lebih pantas buat jadi pasangan Kak Arvin. Dia cantik, memiliki bakat, pintar ... cocok buat Kak Arvin." Mungkin ini kali pertamanya Lova akan merendahkan dirinya sendiri. Dia mengakui, bahwa dia bukan apa-apa. "Sedangkan aku? Aku nol besar, Kak."

"Lovata Auristela, cukup!" Arvin melepaskan pegangan tangannya. Lagi, dia harus dihadapkan dengan sikap Lova yang seperti ini lagi. "Harus berapa kali gue bilang kalau gue cuma suka sama lo? Gak peduli ada yang lebih cantik, lebih berbakat, lebih pintar, lebih segalanya dari lo ... kalau hati gue cuma menuliskan nama lo, mereka yang lebih dari lo itu bisa apa? Enggak ada yang bisa merubahnya, termasuk diri gue sendiri."

"Kalau kayak gitu, kenapa Kak Arvin enggak bisa bedakan aku sama Kak Tamara? Kenapa Kak Arvin malah peluk dia di saat Kak Arvin panggil nama aku?"

Dengan cepat, Arvin menarik Lova ke dalam pelukannya. Iya, dia yang salah di sini. Dia sudah melakukan kejahatan pada Lova, maka patut disebut tersangka. Namun, sungguh, Arvin sama sekali tidak sengaja melakukan kebodohan itu. Karena sampai detik ini, menyakiti Lova adalah hal mustahil yang akan dia lakukan.

Tangan Arvin bergerak mengusap rambut Lova. "Gue minta maaf atas kejadian itu. Gue janji, itu pertama dan terakhirnya gue bertindak bodoh. Gue akan bikin lo bahagia buat ke depannya." Arvin bisa merasakan seragam bagian dadanya sedikit basah. Dia benar-benar brengsek, sudah membuat Lova menangis. "Lo boleh pukul gue sepuasnya, asal jangan lari dari gue."

"Boleh aku minta sesuatu sama Kak Arvin?" Lova melepaskan pelukan itu. Dia menghapus air matanya yang sudah terlanjur jatuh. Cengeng. Mungkin itu perubahan Lova setelah merasakan cinta. "Tetap sayang sama aku, biarpun erotomania itu udah hilang. Bisa?"

"Lo tahu pasti, gak ada alasan buat gue gak sayang sama lo, biarpun nanti gue udah sembuh."

*
*
*
Dan Arvin adalah ketua bucin dari semua bucin di lapak ini. Wkwk ...

Btw, maaf telat ya. Abis nonton ulang DoTS, hehe ...

Bini Ceye,
27 Maret 2020
Repost : 12 Oktober 2020

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

377K 47.9K 30
Menurut rumor yang beredar, anak tetangga sebelah rumahku psikopat. Ada juga yang bilang, dia si pengedar narkoba yang anti sosial. Lebih parahnya la...
168K 20.3K 60
(COMPLETED) Yasmin adalah Gadis SMA biasanya yang tubuhnya sedikit tambun. Ia merasa kalau hidupnya akan terasa biasa saja, tanpa ada kisah-kisah rom...
77.2K 6.5K 142
Pintu depan menyesal, dan Ye Hao, yang melintasi Benua Douluo dengan pintu belakang, secara tidak sengaja mendapatkan simulator kehidupan. The Sims...
117K 13.6K 21
Kinata Aria menyukai apa-apa saja yang berasa manis. Namun, sejak Kina mulai dekat dengan seorang Aliandra Kalvi, ia baru tahu ternyata ada rasa yang...