It (Rafan)

By alvikaDae

263K 28.3K 2.6K

Aku dan kamu adalah kita Banyak kisah kita yang bercerita tentang cinta Tapi kisah ini bukan cerita tentang k... More

----
1. Kemarahan
2. Love at first sight
3. Teka-teki dari pengacau
4. Tiga Saudara
5. Pertengkaran Pertama
6. Rumah
7. Salah paham
8. Kesepakatan bersama
9. Hari Pertama
10 - Hari Pertama (2)
11. Hari Pertama (3)
12. Ari
13. Lebih Dekat
14. Fier mengamuk
15. D.O
16. Bunda
18. Keputusan
19. Menunggu
20. Mulai Bergerak
21. Oper Permainan
22. Penelusuran
23. Mengubur Rahasia
24. Permintaan Maaf Rafan
25. First Date

17. Tebakan Diya

3.7K 545 38
By alvikaDae

Rafan menyembunyikan sesuatu darinya.

Diya langsung tahu hanya dengan melihat gelagat aneh Rafan di depan sana. Sikap Rafan yang begitu telanjang, terlihat jelas, dan begitu kentara membuat Diya gemas sendiri.

Guru baru itu ... ibu Fiandra, jelas-jelas Rafan mengenalnya. Untuk Rafan, Diya selalu memperhatikan. Saat matanya hanya terarah ke arah Rafan, saat seluruh perhatiannya terpusat ke sana, tidak ada yang luput dari pandangannya. Terutama, saat Rafan menatap bu Fiandra pertama kali. Kekagetan itu berubah menjadi kepanikan dan Rafan sama sekali tidak pintar menyembunyikan.

Terlebih saat Rafan akhirnya mentap mata Diyaa. Kepanikan itu terlihat membesar seolah takut Diya tahu sesuatu. Lalu kepanikan itu hilang kemudian, di paksa padam karena tiba-tiba Rafan bersikap tenang kembali.

Seakan itu cukup membuat kecurigaannya lenyap. Seakan bisa mengalihkan semua sikap mencurigakannya tadi. Karena semuanya sudah terlambat. Diya memang diam. Tapi dia menyimpan setiap detil kecil itu dalam memori. Dia tahu, dia harus memikirkan seluruh misteri ini sendiri karena sepertinya Rafan tidak berniat sama sekali memberitahunya.

Rafan-Fier-Fianer dan sekarang bu Fiandra. Relasi keempat orang ini membuatnya pusing. Ada banyak bentuk hubungan, namun mereka berempat entah masuk ke dalam hubungan apa. Hanya saling kenal? Atau lebih dari itu.

Dia hanya bisa menebak-nebaknya. Dan namanya tebakan, bisa benar bisa pula meleset jauh.

Diya mengalihkan perhatiannya ke arah bu Fiandra. Menumpukkan kedua tangannya di atas meja, menatap guru baru itu lekat.

Suaranya yang merdu saat mengabsen membuat Diya perlahan tersenyum. Menenangkan, sangat keibuan namun juga elegan di saat yang sama. Cantik, hingga Diya tidak yakin saat menebak umurnya. Masih muda atau terlihat muda karena kecantikannya?

Apakah di kisaran 30? 40? Atau ... 50?

---

Dari kejauhan Rafan bisa melihat Fiandra duduk di meja guru. Tersenyum ramah pada kolega-kolega barunya dan mengobrol santai seolah mereka sudah mengenal lama.

Melihat ibunya mulai bersosialisasi membuatnya kesal. Seakan-akan ibunya akan di sini lama. Untuk apa Fiandra beradaptasi sedangkan keberadaan ibunya di sini hanya sementara? Hanya sampai Pak Gibran mengajar lagi bukan? Di lihat dari lukanya, kemungkinan pak Gibran hanya butuh waktu 2 minggu - paling lama satu bulan untuk sembuh.

Rafan memilih mundur. Dia tahu untuk sekarang dia tidak bisa mendekati ibunya, terlebih ponsel Fiandra benar-benar di non-aktifkan hingga dia tidak bisa menghubunginya. Satu-satunya cara dia bicara dengan ibunya hanyalah menunggu pulang. Mereka bisa membicarakan semua kegilaan ini dengan leluasa di rumah

"Kamu di panggil siapa?" suara itu mengagetkan Rafan hingga dia tersentak.

Pak Hendrik berdiri di belakangnya dengan mata menyorot curiga.

"Enggak Pak, nggak ada guru yang memanggil saya."

"Kamu pasti bikin masalah lagi kan? Makanya di panggil ke ruang guru?"

Suara Pak Hendrik yang nyaring membuat siapapun yang mendengarnya menoleh. Pun Fiandra. Dia bisa melihat Rafan sedang diintimidasi oleh pak Hendrik. Namun Fiandra memilih tidak melakukan apapun. Diam memperhatikan Rafan menyelesaikan masalahnya sendiri.

"Saya cuma lewat, pak." balas Rafan kesal. Dia tahu pak Hendrik tidak akan percaya. Namun Rafan pun malas meyakinkan. Dia berniat langsung ngeloyor pergi sayangnya pak Hendrik seakan tidak membiarkan. Di tariknya lengan Rafan hingga anak itu mengeram emosi.

"Pergi begitu saja itu nggak sopan!"

"Tapi saya memang nggak punya kepantingan lagi di sini Pak, saya mau ke kelas!"

"Terus tadi ngapain kamu di sini?" tanya pak Hendrik curiga. "Mau mata-matain siapa?"

"Maaf Pak," Rafan yang berniat buka mulut, mendadak diam. Dia dan pak Hendrik menoleh ke asal suara dan melihat Diya yang tersenyum manis ala murid teladan. "Sebenarnya kami tadi janjian di sini." ucap Diya lagi.

Rafan melongo. Kaget dengan informasi yang di lempar Diya tadi. Karena seingatnya, Rafan langsung melesat pergi setelah bel istiraat berbunyi. Mereka tidak berjanji bertemu di manapun.

"Oh begitu?" pak Hendrik langsung percaya. Lalu menoleh ke arah Rafan. "Bilang dong dari tadi. Biar saya nggak curiga."

Rafan nyengir kaku. Namun mengiyakan saja skenario Diya. "Kami permisi dulu, Pak." pamit Diya.

Diya menarik tangan Rafan pelan. Hingga mau tak mau cowok itu menurut berjalan di belakang Diya. Sedangkan pak Hendrik hanya menghela napas panjang melihat punggung kedua anak didiknya itu prihatin.

"Ada apa, Pak?"

Pak Hendrik terkesiap dan salah tingkah saat menyadari bu Fiandra berdiri di sampingnya.

"Oh, anu ... itu. Rafan sama Diya."

Fiandra ikut melihat punggung kedua anak itu yang semakin menjauh. "Kenapa, Pak sama mereka?"

"Sayang sekali. Diya anak baik. Tapi dapetnya Rafan."

Fiandra tersenyum kecut. Kata-kata pak Hendrik agak membuatnya tersinggung. Namun saat pak Hendrik menoleh ke arahnya bu Fiandra menyunggingkan senyumnya seperti biasa.

"Saya pikir tidak ada yang salah. Bahkan saya lihat, mereka cocok sekali."

"Hah?"

Bu Fiandra melenggang pergi begitu saja, membiarkan pak Hendrik kebingungan di tempatnya.

---

"Thanks."

Hanya itu yang bisa Rafan ucapkan setelah dua menit mereka berjalan dan Diya tidak mengatakan satu katapun. Diya yang pertama kali melepaskan tangan mereka yang tertaut.

"Sama-sama."

Lalu hening lagi. Rafan menatap ujung kepala Diya yang selangkah lebih depan dari langkahnya. Seperti ingin masuk kelas cepat-cepat. Rafan mengekorinya hingga akhirnya Diya duduk di kursinya dan Rafan duduk di kursi Lala. Setelah itu yang Diya lakukan adalah mengabil buku sejarah lalu membacanya. Setahu Rafan tidak ada ulangan sejarah nanti. Hingga kesimpulan yang Rafan dapatkan hanyalah, Diya sedang mencari kesibukan untuk menghindarinya.

"Lo nggak ke kantin?"

"Udah sarapan tadi di rumah, masih kenyang."

"Oh,"

Mungkin hanya perasaannya saja, namun Diya seakan mengabaikannya. Sikapnya cuek, tidak peduli, irit bicara. Rafan sampai garuk-garuk rambut saking tidak mengertinya.

"Di .."

"Hm?"

"Ngomong dong, kok diem aja sih?"

Diya menghela napas sabar. Berusaha mengerti. Dari tadi dia berusaha bersikap biasa. Seolah tidak ada masalah apapun di antara mereka. Namun ternyata, Rafan yang mempersulit segalanya. Rafan terus menyudutkannya dengan pertanyaan sedangkan dirinya sudah berusaha untuk tidak membahasnya. Maunya apa coba?

Akhirnya dia menutup buku sejarahnya lalu menghadap ke arah Rafan. Dirubahnya raut wajah kesal itu dengan ekspresi selembut mungkin yang dia punya. Lalu Diya menatap mata cokelat cowok itu lekat. "Menurut lo, bu Fiandra gimana?"

Rafan berusaha bersikap tenang. "Apanya?"

"Ya orangnya,"

Bola mata Rafan melirik kanan-kiri. "Mana gue tahu." Diyaa tahu Rafan berbohong. Namun sama sekali tidak Diya interupsi. Dia kembali melemparkan pertanyaan lagi.

"Umurnya sekitar 30-an kali ya?"

Rafan mendengus geli. Dan sekatika Diya tahu bahwa Rafan menertawakan tebakanya. Jadi bukan 30?

"Habis dia cantik banget. Kayak awet muda gitu. Masa umurnya 50?"

Kini Rafan tersenyum. Benar-benar tersenyum simpul. Seolah senang dengan pujian Diya sekaligus mengkonfirmasi tebakan Diya benar, atau setidaknya mendekati. Otak Diya segera mendapatkan konklusi dari segala kegalauannya selama ini. Hanya tinggal menunggu pengakuan Rafan.

Diya menatap Rafan semakin lekat hingga Rafan deg-degan sendiri di tatap Diya seintens ini. Rafan diam saja, tidak menjawab. Hanya membalas tatapan Diya, hanya mendengarkan apa kata-kata Diya.

"Da cantik banget ya,"pelan Diya. Suaranya benar-benar rendah seolah tidak ingin siapapun mendengarkan ini selain mereka. "Kalau di lihat-lihat mirip lo ..."

Rafan tersentak kaget. Kekagetan yang membuat mata Diya melebar. Tebakannya benar. Dia yakin tebakannya benar. "Matanya, hidungnya. Kalau di lihat dari samping gini, mirip sekali." Kini suara Diya semakin mantap tanpa keraguan lagi.

"Di ..." terhenti. Rafan bahkan kesulitan mencari kata untuk kebohongan selanjutnya. Hingga Diya tersenyum tipis. Dia menahan Rafan untuk bicara.

"Dari pada boong, mending nggak usah ngomong apa-apa."

Dan setelah itu, Rafan benar-benar diam. Tidak mengatakan apa-apa, juga tidak menyangkal tebakan Diya. Hanya diam.

---

Diya benar-benar kesal.

Bahkan setelah tebakannya tadi, Rafan masih keukeh tutup mulut. Dia memang menyarankan Rafan untuk diam, namun tidak seperti ini juga.

Diya menyuruh Rafan diam untuk tidak berbohong lagi. namun yang di lakukan Rafan benar-benar membuat kesabarannya terseok hingga kesal sendiri. Rafan memilih diam, bukan lagi dalam arti konotasi. Tapi benar-benar denotasinya – dalam artian sebenarnya.

Sejak berakhirnya pembicaraan mereka tadi hingga Rafan mengantarkan Diya di depan rumahnya, Rafan belum mengucapkan sepatah katapun.

Diya menyerahkan helm pinknya ke Rafan, lalu menunggu cowok itu mengatakan sesuatu. Namun sampai sepuluh menit mereka diam-diam di depan gerbang, Diya memilih bicara lebih dulu.

"Fan!" Rafan hanya melihatnya. "Lo bener-bener nggak mau ngomong apa-apa?" tanya Diya lagi. Dan lagi-lagi Rafan diam.

Diya sampai kesal sendiri. Rafan benar-benar diam sampai tidak mengatakan sepatah katapun! Akhirnya Diya memilih berbalik masuk ke dalam, meninggalkan Rafan terdiam sendirian di depan gerbang.

Dia bahkan nyaris membanting pintu saking emosinya.

---

Baru setelah memastikan Diya masuk, Rafan pulang ke rumah. Kepalanya sudah pusing hingga dia tidak sadar motornya sudah di depan gerbang rumahnya. Dia mendadak linglung sesaat menyadari kemungkinan Diya tahu rahasianya bahkan belum sehari ibunya mengajar.

Sejak tadi dia memikirkan alasannya. Dia mengira-ngira apa yang membuat Diya tahu? Kenapa Diya bisa tahu secepat itu? Sikapnya mana yang membuatnya ketahuan? Atau apakah ada kata-katanya yang kelepasan?

Rafan pusing sekali. Dia ingin merahasiakannya, tapi Diya bahkan sudah tahu tanpa harus dia beri tahu. Pikiran Diya bisa membaca pikiran, punya indera ke-6, telepati, terlintas seketika.

Dia akui sikapnya memang begitu kentara di awal saat pertama kali melihat ibunya di kelas tadi. Namun tidak ada satupun anak sekelas yang menyadarinya. Diya satu-satunya. Pertanyaannya, bagaimana bisa?

Pertanyaan itu terus menerus berputar di kepalanya seperti labirin yang membuatnya tersesat lama. Sesampainya di depan garasi, Rafan turun dari motornya lalu membuka pintu rumah.

Dia melihat kedua kakaknya menunggunya di ruang tamu. Dan setelah itu dia menyadari, bukan hanya dirinya yang akan kesulitan akan keberadaan ibunya. Bahkan kedua kakaknya pun juga.

---

Rafan sama sekali tidak menyangka dan menduga sebelumnya. Fiandra memberitahu mereka bahwa dalang dibalik keputusan Fiandra mengajar menggantikan pak Gibran adalah ayahnya. Entah apa yang kedua orang tuanya pikirkan. Rafan tidak tahu. Yang dia tahu kepalanya sudah berkedut tidak karuan.

Maka dari itu, sebelum kepalanya meledak berceceran kemana-mana, dia memutuskan masuk ke dalam kamar orang tuanya malam itu.

Dia bisa melihat ayahnya masih berkutat dengan laptop di meja kerjanya. Ayahnya hanya sekilas menoleh kepadanya, lalu kembali bekerja lagi. Rafan tahu ayahnya tidak mungkin bisa di ganggu. Jadi dia memilih duduk di samping ibunya yang sedang membaca sebuah buku dengan punggung bersandar di kepala ranjang.

Sejak melihat Rafan masuk kamar, Fiandra sudah tidak tertarik membaca bukunya lagi. Dia tersenyum saat bungsunya itu duduk di dekatnya dengan wajah lusuh, murung dan juga kekesalan yang di tahan-tahan.

"Kenapa bunda melakukan itu?" tanyanya dengan nada kesal.

Fiandra mengedikkan bahu sambil tersneyum lembut seperti biasa. "Kemarin bunda meminta tolong padamu, tapi ternyata kamu tidak mau. Mau bagaimana lagi, terpaksa bunda turun tangan sendiri."

Rafan menghela napas. Yang benar saja. "Jadi, kalau Rafan mau ikutin permintaan bunda, bunda mau keluar besok, kan?" tanyanya memastikan.

"Sudah terlambat. Bunda sudah datang, sudah memperkenalkan diri dan sudah berjanji menggantikan pak Gibran."

Rafan mengerang putus asa.

"Kenapa memang? Bunda sudah bilang kan untuk menyembunyikan hubungan bunda sama kalian bertiga."

Percuma saja, Diya sudah tahu. Rafan berpikir keras untuk menemukan solusi dari masalah ini. alasan dia datang menemui Fiandra bukan untuk merengek protes. Tapi untuk bernegoisasi.

"Kalau seandainya ... seandainya ... Rafan mau mengusut tuntas masalah ini, apa yang akan bunda lakukan?"

Rafan bisa melihat binar kemenangan dari mata Fiandra. Membuatnya kalah namun dia tidak dalam posisi bisa marah. Karena kenyataannya, dia menyerah. Membayangkan ibunya ke sana kemari mengawasi mereka bertiga membuatnya was-was. Itu tidak akan menguntungkan untuk siapapun.

"Tentu saja bunda akan duduk tenang. Bunda tidak akan mencampuri urusan kalian."

"Janji?" tanya Rafan meminta penegasan.

Fiandra semakin menyunggingkan senyum. Dia seakan meledek Rafan yang bersikeras seperti ini. "Kenapa? Takut bunda tahu tentang Diya?"

Saat nama Diya di sebut kefrustasian di wajah Rafan tidak di tutupi lagi. "Untuk apa? Toh Bunda sudah tahu."

Fiandra menggeser duduknya dan mengangguk puas. "Cantik, anak baik-baik, dia juga sepertinya perhatian sekali sama kamu."

Ya, benar. Tapi entah kenapa perhatian Diya padanya sekarang justru menjadi sumber malapetaka. Saking memperhatikannya, Diya seakan tahu kapan Rafan berbohong dan menyembunyikan sesuatu.

"Diya juga bilang begitu." kata Rafan lemas.

"Bilang apa?

"Bunda cantik." Mata Rafan seakan menerawang kosong. Fiandra langsung tahu kalau itu bukan pujian. "Mata kita mirip, hidung kita mirip, dari samping wajah kita mirip."

Fiandra tertawa rendah. Akhirnya dia tahu apa yang membuat Rafan sefrustasi ini. "Benarkah? Jadi sudah ketahuan?"

"Aku ketahuan dan bunda sesenang itu?"

"Itu bukan salah bunda. Salahmu sendiri bersikap sejelas itu."

Wajah Rafan yang frustasi semakin depresi. Dia tahu dirinya salah. Aktingnya jelek sekali karena terlalu terkejut. Namun dia tidak mengharapkan Diya akan tahu secepat itu.

"Lalu apa kamu mengakuinya?" tanya Fiandra penasaran.

Rafan diam sejenak. Dia mengalihkan matanya ke arah lampu di samping tempat tidur yang belum menyala.

"Fan! Kamu jawab apa?" cecar Fiandra lagi.

Anak itu menghela napas panjang sekali. Seakan dia sedang menanggung beban berat yang membuat bahunya patah. "Diya bilang, kalau mau bohong lebih baik diam saja. Jadi ..."

"Kamu memilih diam?" tebak Fiandra tepat sasaran. Karena Rafan diam saja tidak membantah, Fiandra langsung tahu tebakannya benar. Seketika, Fiandra ikut menghela napas panjang.

"Apa terlalu berat untuk jujur padanya?"ucap Fiandra tak habis pikir.

Lagi-lagi Rafan diam saja. Dia menunduk sambil memejamkan mata.

Dia tahu, cepat atau lambat dia harus bicara. Lagi pula Diya sudah tahu semuanya. Percuma juga di tutupi lagi.

Satu-satunya cara adalah Rafan harus jujur. Namun kalau dia jujur, pertanyaan Diya selanjutnya pasti semakin banyak. Diya akan bertanya apa alasan Fiandra mengajar di sana. Kalau Rafan jawab karena kasus Fier Diya pasti akan semakin penasaran. Ada hubungan apa ibunya dengan Fier.

Mau tidak mau dia harus jelaskan satu persatu. Karena semuanya satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Menjelaskan satu hal akan berarti menjelaskan semuanya.

Itu artinya, dia harus melanggar satu lagi kesepakatan yang mereka buat bertiga. Kepalanya mendadak pusing. Kesepakatan yang dia pikir jalan keluar untuk setiap masalahnya.

Kenapa dia yang paling sering melanggarnya? Bagaimana kalau kedua kakaknya tahu dan meminta kesepakatan ini ditiadakan? Bukankah kepalanya akan lebih pusing lagi?

Sekarang ini ... dengan perjanjiannya dengan Fiandra, berarti dia harus mengusut tuntas kasus Fier. Kakaknya pasti akan marah jika tahu hal ini. Dia ikut campur lagi.

Belum lagi masalah Diya. sejak tadi, kepalanya belum berhenti berdenyut. Seperti ada bom yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Tanpa tahu siapa yang memegang detonatornya.


Continue Reading

You'll Also Like

386K 27.4K 26
[JANGAN SALAH LAPAK INI LAPAK BL, HOMOPHOBIA JAUH JAUH SANA] Faren seorang pemuda yang mengalami kecelakaan dan berakhir masuk kedalam buku novel yan...
788K 22.1K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
246K 5.1K 17
Kesepakatan gila yang diberikan Gavriel lalu disetujui penuh oleh Baek Dahyun, secara singkat membuat hidup Dahyun berubah drastis. Keduanya menjalin...
288K 11.1K 40
"bego ini obat perangsang bukan antimo" #lapakbxb Top : gamma Bot : nelv (mpreg) (BxB)