ORKANOIS (END)

By KacangMas

17.5K 1.6K 481

Ini adalah kisah yang 'gila'. Bagaimana tidak? Kisah ini bercerita tentang seorang siswa SMA bernama Maraby... More

-(00)- Prolog Bab 01 (Maraby)
(01) Bully
(02) Menolong
(03) Orkanois
(04) Masa Lalu
(05) Mehdiard
(06) Sayap Putih
(07) Pedang Slaz
(08) Karena
(09) Aku Datang
(10) Mysteries of the Universe
(11) Berita
(12) Pembantai
(13) Galang
(14) Eksekusi
(15) Korup
(16) Kebangkitan
(17) Mencari
(18) Hujan Sang Penipu
(19) Terjun - [[akhir bab Maraby]]
-(00)- Prolog Bab 02 (Orka)
(01) Raja Orma
(02) 12 Kesatria
(03) Kedatangan
(04) Hellios
(05) Kekuatan
(06) Duel Angkasa
(07) Perang Mehdiard
(08) Keruntuhan
(09) Kiamat
(10) Sampai Di Sini (end)
Epilog -Potongan Semesta
(Bonus Cerita - 02) Satu-Satunya Cara
(Bonus Cerita - 03) Misi Mulia

(Bonus Cerita - 01) Lubang Kehidupan

82 10 4
By KacangMas

"Mara, jadi ikut Ayah ke pasar nggak?" ajak Ayah mengenakan jaket kulit cokelat dan celana hitam, tampilan yang cocok untuk orang bertubuh tinggi dengan rambut tipis satu centimeter. Ia menunggu puteranya seraya menyalakan motor matic.

"Bentar, Dede katanya mau ikut," balas Mar kecil berumur sebelas tahun sedang menahan adik perempuannya, Tesya yang berumur enam tahun kala itu menarik-narik jaket biru Mar.

"De, diem di rumah dulu yah? Soalnya kalau ikut, nanti motornya penuh sama barang belanjaan," bujuk Mar kepada adiknya yang termenung seraya menarik ujung rok merah yang ia kenakan.

"Umm ... tapi nanti Aa beliin Dede jus jeluk yah?" tawar Tesya.

"Iya." Mar melihat ke arah Ibu yang sedang memasak di dapur, "Tuh temenin Ibu! Atau nggak main sama kucing." Menunjuk ke arah kucing hitam berumur satu tahun sedang tertidur manja di sofa. "Tadi kucingnya udah dikasih makan belum?"

"Udah, A. Hihii." Tesya mengacungkan telunjuk kecilnya, "Awas ya jangan bohong!"

"Ih, kapan coba Aa bohong?"

"Pelnah, waktu mau ngajak Sya ke sekolah Aa, nggak jadi telus," balas Tesya.

"Hehe, masa?"

"Iiih!" Serangan dari si kecil Tesya telah memojokkan Mar.

"Ahhhaha, geli Dek! Iya, ya ... entar Aa beliin jus jeruk. Tapi, kalau Ibu marah dede pilek ... Aa nggak tanggung jawab loh yah."

Setelah Mar memakai helm, ia menaiki motor sambil memegangi jaket ayahnya dari belakang. Di tangan kirinya terdapat plastik besar untuk wadah belanjaan nanti. Perjalanan yang seharusnya tidak terlalu jauh, malah terasa lama, karena melewati jalan rusak penuh lubang bak kolam ikan setelah diguyur hujan semalam. Berulang kali motor belok kanan-kiri menghindari genangan air, walau usaha itu kadang sia-sia ketika ada motor dari arah berlawanan melaju sangat cepat, membuat cipratan airnya mengenai motor mereka.

"Ayah, kenapa sih jalannya nggak pernah dibenerin? Di sini emang kampung, tapi kan nggak jauh dari sini ada perkotaan yang jalannya bagus," tanya Mar.

"Seharusnya jalan yang kita lewati itu mulus. Nggak usah repot-repot lewat jalan rusak kayak gini, Mar. Biasa, dananya dikorupsi mungkin sama orang-orang serakah," jawab Ayah.

"Dikorupsi itu apa?"

"Oh ya, Ayah lupa kamu itu masih kelas lima SD." Ayah menekan rem demi menghindari benturan dengan polisi tidur. Ayah melanjutkan, "Jadi gini korupsi itu, waktu Ibu nitip uang buat beli buku pelajaran di sekolah, eh malah Mar ambil uangnya buat jajan gitu, beli tamiya. Nah, itu yang namanya korupsi. Uangnya nggak jadi beli buku malah dipake buat sendiri," jelas ayah.

"Ih Mar nggak gitu kok, tetep Mar kasih ke bu Nia uangnya. Kalau gitu, sama aja kayak nyuri yah? Terus, uang yang seharusnya buat benerin jalan, malah dicuri? Tapi kok, yang pencurinya nggak ditangkep polisi?"

"Hehe, sering-sering baca berita, Mara. Entar ngerti sendiri. Jangan kebanyakan nonton kartun," sindir ayah.

"Ah, Mara nggak suka lihat berita. Isinya jelek semua. Bunuh-bunuhanlah, kecelakaan, penyiksaan yang kayak gitu ... Mara nggak suka."

"Baguslah," tanggap Ayah dengan wajah datar. Tanggapan Mar tadi begitu kontradiktif dengan apa yang Mar pernah lakukan, terutama ketika ia menggunakan kekuatan misterius itu untuk menyiksa habis-habisan para pembuli kecil di sekolah. Seolah dalam dirinya ada dua kepribadian.

"Mar, buat latihan nanti malem ... kita latihan di tengan sawah," ujar Ayah.

"Haa? Kenapa harus di tengah sawah? Nggak bisa di GOR tempat Ayah kerja aja? Kayak biasanya," tanya heran Mar.

"Ayah udah gak ngelatih lagi judo, taekwondo, sama boxing di sana. Mau fokus aja ke Mar. Ayah juga udah nemu kerjaan lain, ngajar olahraga di sekolah desa sebelah," jawab Ayah.

"Kalau gitu, udah nggak usah latihan aja, hehe."

"Mara ... kamu paham kan latihan ini penting?" tanya Ayah seraya menoleh sedikit ke belakang.

"Ya ya, biar Mara bisa ngendaliin kekuatan Mar ...."

Ayah melanjutkan, "Dan jangan ...."

"Ya, dan jangan pake tangan kanan. Kalau pake tangan kanan lagi, nggak boleh nonton TV seminggu," jawab malas Mar.

"Oke sip. Pasarnya di depan, bentar lagi nyampe."

Setelah menitipkan motor ke tukang parkir, mereka mulai membeli satu persatu kebutuhan sehari-hari, seperti beras, sayur, daging ikan, gulungan benang, dan sebagainya. Setelah terkumpul semua, Mar mengingatkan ayah untuk membeli jus jeruk pesanan Tesya. Ketika hendak membayar, tiba-tiba di dekatnya terjadi keributan besar. Cekcok antara tiga orang preman dan seorang yang dicurigai telah mencuri uang WC tak terhindarkan.

"Mar ayo cepet pulang!" Ayah menarik Mar menjauh dari kerumunan.

"Tunggu, Ayahh! Itu kasihan orangnya dipukulin. Ayah nggak mau nolong? Itu kasihan diinjek-injek, Yah!" tolak Mar yang matanya tak dapat dialihkan.

"Udah kamu masih kecil! Nggak usah ikut campur! Ini bukan berantem-beranteman kayak di sekolah!" bentak Ayah.

Namun, Mar meremas genggaman ayah dengan sekuat tenaga hingga Ayah melepaskannya. Ia bersikukuh untuk melerai perkelahian itu. Dengan sigap ia berlari dan berdiri di depan kerumunan.

"MARA!" teriak Ayah menyusul.

"Hey! Kalian lepasin dia! Gede-gede mainnya keroyokan. Nggak malu? Kalau berani sini lawan aku!" gertak Mar kecil di hadapan kerumunan orang dewasa.

"Njing haha, siapa lagi ini anak?" ledek preman A dengan jaket jeans membalut tubuh penuh tatonya.

"Anak ni maling, mungkin," jawab preman B yang tangannya penuh dengan batu akik.

Kaki berlapis sepatu boot tebal yang menginjak-injak kepala terduga maling, terhenti sejenak. Wajah dari Preman C yang memerah, menghampiri Mar dan seketika melayangkan pukulan serius yang tak kenal lawan, sama sekali tidak ada keraguan dalam serangannya, walau yang di hadapi adalah anak kecil. Tentu Mar sudah bersiap untuk menangkisnya menggunakan tangan kiri. Namun, dengan cepat Ayah menangkap tangan preman itu dan memasang kuda-kuda rendah hingga berhasil memutar badan, lalu mengangkat tubuh preman dan terbantinglah ia, tergeletak di tanah pasar yang becek.

Tak lama, polisi datang ke TKP. Ayah segera kabur membopong Mar meninggalkan kerumunan dan seorang preman yang terus memegangi punggungnya dengan wajah penuh rintih. Tentu polisi akan cepat datang, karena polsek dan pasar tidak terlalu jauh.

"Mara," seru pelan Ayah ketika mereka sudah di atas motor diperjalanan menuju pulang.

"I-iya," jawab pelan Mar.

"Jangan kayak gitu lagi! Ya?"

"Heu-eum."

Perasaan lega memenuhi rasa. Penampilan Ayah tadi terlihat begitu memukau di mata orang, menyelamatkan anak kecil dari pukulan. Namun, sebenarnya bukan itu tujuan Ayah. Ia justru lebih mengkhawatirkan jika Mar sendiri yang memukul preman. Akan sangat merepotkan jika publik tahu akan kekuatan Mar yang untungnya tidak jadi diperlihatkan di hadapan umum.

Plastik besar yang penuh akan belanjaan disimpan di ujung depan jok motor, tangan Mar kini hanya menenteng plastik berisi jus jeruk, Perjalanan pulang menjadi canggung, tak ada perbincangan mengiringi. Hanya ada sedikit terpaan angin membelai wajah hingga jarak seratus meter lagi tiba di depan rumah.

"Yah, itu di jalan kucing kita kan?" tanya Mar melihat kucing hitam sedang menyebrang jalan dengan santai.

"Mana?" tanya Ayah mensipitkan mata. "Lah, iya."

Lembaran daun pohon terhempaskan, kala tiba-tiba dari arah depan berjarak 150 m, melaju dengan sangat cepat kendaraan truk pasir melewati banyak lubang di sepanjang jalurnya, hingga sebagian muatan berjatuhan.

Siapa yang menduga, ternyata ketika Ibu sedang sibuk memasak di dapur, Tesya mengejar kucingnya yang pergi ke jalan. Ibu telat menyadari jika anaknya telah lepas dari pengawasan. Truk yang melaju kencang tersebut melewati lubang besar hingga oleng dan karena bebannya tidak bisa ditahan, kendaraan besar bermuatan pasir itu pun terguling dan menimpa kucing serta anak kecil yang mengejarnya, kemudian terseret kencang hingga 10 m. Kejadian yang membekukan waktu dari keluarga Mar pun, terjadi di depan mata.

Mar hanya berdiri, terdiam mematung dengan jus jeruk yang masih ia genggam dengan sangat erat, ia hanya menampilkan raut wajah tercengang, dengan mata yang terbelalak lebar, dan mulut gemetar. Sedangkan Ayah langsung berlari dan berusaha mendorong truk terguling itu, walau tahu usahanya sia-sia. Tubuh anak perempuannya sudah hancur dan sudah tidak bisa diselamatkan. Tangis sedih di wajahnya tergambar jelas menyayat hati. Sedangkan Ibu seketika pingsan, dan warga sekitar menggotongnya ke dalam rumah.

"Kenapa? Tesya ... kok bisa, padahal Aa udah bawain jus jeruk kesukaan kamu," ungkap Mar pelan.

Seolah kakinya membeku di tengah gaduhnya suasana sekitar, warga mulai mengerumuni lokasi kejadian, bahkan ada yang mengeroyok supir truk, seolah ia hakim yang berhak menghukum. Pandangan pun membeku, ditambah pikirannya kosong.

Sekilas, terasa suara dalam diri mulai menyelimuti hati dengan pertanyaan. "Malang sekali. Kau pasti berpikir, mengapa harus adikmu? Kenapa bukan orang lain?"

"Ya," jawab Mar yang matanya belum berkedip.

"Bukankah, sudah saatnya kau menyalahkan manusia?"

"Nggak. Menyalahkan mereka nggak bakal bisa balikin semua yang udah terjadi."

"Naif. Apa kau tidak merasa kesal? Tidak merasa dendam? Apa kau masih saja merasa kasihan dan sayang terhadap manusia?"

"Ya."

"Akan tetapi, dunia adalah tempat yang kejam untuk bangsamu? Kau hanya akan terus bersedih ... dan terus bersedih menyaksikan penderitaan manusia. Tidak ada yang bisa mengakhirinya, kecuali ...."

"Ya, aku tahu."

"Aku beri tahu, semua kesedihan, rasa kehilangan, penderitaan, kesengsaraan bisa dirasakan oleh siapa saja. Baik itu kaya atau miskin, jelek atau rupawan, orang besar atau kecil, rakyat atau pemerintah."

"Lalu?"

"Sebenarnya ... kau ingin mengakhiri penderitaan mereka, bukan?"

"Ya."

"Maka, hanya kematian satu-satunya cara yang paling efektif untuk mengakhiri semuanya."

Setelah terdiam cukup lama, serta matanya sudah kembali berkedip, perlahan langkah demi langkah Mar berjalan menghampiri truk, dengan air mata yang berlinang di wajah, dengan senyum lebar menyeringai, ia berkata, "Kalian semua, manusia ... akan aku percepat kiamat buat kalian."

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
724K 67.6K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
533K 87.7K 30
βœ’ λ…Έλ―Ό [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
30.4M 1.7M 65
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...