Erotomania [Tamat]

Par triviaindriani

171K 22.5K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... Plus

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
19. Sisi Tergelap
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

9. Perjuangan

5.5K 849 56
Par triviaindriani

Mungkin, jika terus menerus digigit, bibir bawah Lova bisa berdarah. Dia dilanda cemas tidak karuan saat ini. Duduk di ruang tamu rumah Arvin sambil menunggu laki-laki itu bersiap-siap. Tidak, mereka bukan mau pergi berkencan atau latihan basket. Tujuan mereka kali ini lebih serius daripada kafe, pusat pembelanjaan, atau lapangan basket sekali pun. Mereka akan bertemu dengan Dokter Saira, psikiater yang selama ini menangani Arvin.

“Enggak perlu tegang kayak gitu, Va. Semuanya akan baik-baik aja, kok.” Untuk kesekian kalinya, Bu Indira berusaha mengurangi kecemasan Lova. Namun, semua seakan tidak berpengaruh. Lova hanya tersenyum singkat, lalu kembali memasang wajah pucat.

Tolong, katakan wajar saja pada sikap Lova kali ini. Dia tidak pernah berurusan dengan terapi kejiwaan selama hidupnya. Boro-boro sakit jiwa, dengan sakit fisik saja Lova jarang berhadapan. Terakhir kali dia berurusan dengan dokter adalah saat berkonsultasi tentang matanya, sekitar setahun yang lalu. Dan sekarang, dia harus bersedia mengantar Arvin terapi.

“Maaf lama, Mi. Tadi Arvin lupa simpan HP.” Hanya sekejap bagi Arvin perlu bertukar pandang dengan maminya. Sekarang dia sibuk mengamati Lova. Tidak ada seragam, yang ada justru pakaian sederhana, yang justru membuat Lova semakin cantik di matanya. “Gue senang lo mau antar gue terapi. Makasih, ya?”

Lova tidak bisa berkata-kata. Dia hanya mengangguk kecil, lalu mengikuti tuan rumah untuk keluar. Bu Indira harus rela mengalah—duduk di samping Pak Ilham—saat Arvin merengek meminta ruang untuk berduaan dengan Lova. Beliau tidak pernah memiliki kekuatan lebih untuk menolak kemauan putra semata wayangnya. Arvin juga seakan tidak malu untuk mempertontonkan sikap romantisnya di depan orang tua. Sengaja menyelipkan jemarinya di jemari kecil Lova.

“Gimana lo minta izin sama ayah?” tanya Arvin sambil terus saja mengamati tautan tangan mereka berdua. Dia senyum-senyum sendiri, merasa begitu bahagia.

“Ya, bilang aja mau ke rumah Kak Arvin. Terus nantinya mau jalan ke luar, ditemenin Bu Indira juga.” Lova tidak bisa berbohong pada orang tuanya. Apalagi kalau di sana ada Vanka sebagai saksi. Bukannya diberi izin, dia malah akan diceramahi berjam-jam. Kemudian, dia bergerak untuk menarik tangannya dari pegangan Arvin. “Kak, lepas tangannya, dong. Aku malu sama Bu Indira, sama Pak Ilham,” bisik Lova, setengah memohon.

“Ck! Kan, gue udah bilang, panggil mami aja. Kan, mami gue mami lo juga. Sama Pppi juga, lo enggak perlu panggil Pak Wisnu terus. Kuping gue gatel dengernya.” Bukannya melakukan apa yang Lova pinta, Arvin justru semakin berulah. Dia menarik tautan itu supaya berada tepat di atas pangkuannya. “Enggak apa-apa kita mesra-mesraan depan Mami. Biarin aja Mami sirik.”

Bu Indira menoleh ke belakang. Beliau tersenyum senang saat melihat wajah putranya yang tampak begitu berseri-seri. Mungkin ini kali pertama tidak akan ada drama Arvin melompat dari mobil atau teriak-teriak minta bertemu Lova. “Iya, deh, yang masih jadi pasangan muda. Bebas mau pegangan tangan sampai pegal juga. Dunia emang terasa milik berdua.”

Baiklah, Lova menyerah. Lebih memilih untuk tidak mengatakan apa pun atau bergerak melawan Arvin setelah jawaban Bu Indira barusan. Dia setia membisu selama perjalanan, bahkan sampai masuk ruang terapi. Dia hanya menyebutkan nama saat berkenalan dengan Dokter Saira, tersenyum kaku saat beliau tampak terkejut. Dan sekarang, Arvin sudah tidak sadarkan diri, jatuh ke alam bawah sadarnya karena pengaruh hipnoterapi.

“Apa yang kamu lihat sekarang?” tanya Dokter Saira setelah hipnoterapi itu berlangsung sekitar 5 menit yang lalu.

“Lova,” jawab Arvin dengan begitu mantap. Bibirnya bahkan sudah tersenyum lebar sekarang. “Dia di sana, senyum ke arah saya. Melambaikan tangan, meminta saya mendekatinya.”

Dokter Saira tampak menengok ke arah Lova sejenak. Gadis itu terus mengamati terapi Arvin dengan seksama. Berulang kali dia menunduk, mengerutkan kening, atau sekedar membenarkan posisi kacamatanya yang merosot. “Jangan mendekat. Tetap di sana, Arvin. Sekali pun kamu sangat ingin mendekati Lova, jangan selangkah pun mendekatinya.” Dan sekarang, Dokter Saira mendapati gadis itu meliriknya bingung. “Sekarang, kamu bayangkan kalau di belakang kamu ada kedua orang tua kamu. Papi kamu sedang memegang bola basket, sesuatu yang membuat kamu merasa bersinar. Datang ke mereka, Arvin.”

“Enggak mau, Dok. Saya mau ke Lova. Dia menunggu saya!” Sadar atau tidak, Arvin sudah membentak dokternya sendiri. Keringat kecil mulai bermunculan di pelipisnya, Arvin mulai bergerak gelisah. “Lova ... Lova ... jangan tiggalkan gue. Gue sayang sama lo, gue cinta.”

Satu tetes cairan kristal tiba-tiba saja turun membasahi pipi Lova. Namun, cepat-cepat dia menghapus air mata itu, sebelum ada orang yang menyadarinya. Lova tidak menyangka kalau Arvin ternyata menderita di balik semua tingkah menyebalkannya. Arvin kesakitan di balik senyum lembut yang selalu dipersembahkan pada Lova. Arvin kehilangan arah dalam langkah yang selalu mendekatinya. Lova merasa ... iba?

Tanpa aba-aba, Dokter Saira tiba-tiba saja menarik Lova, memintanya untuk duduk tepat di samping Arvin. “Sekarang kamu dengar baik-baik, Arvin. Gadis yang akan bicara sama kamu selanjutnya adalah Lovata Auristela.” Dokter Saira berbisik di telinga Lova, memintanya mengatakan apa pun yang ingin disampaikan pada Arvin. Yang jelas itu hat4us bisa membantu Arvin mendaki jurang yang selama ini mengurungnya.

“Kak Arvin, ini aku, Lova.” Meski ragu, akhirnya Lova buka suara juga. Jika memang ini yang bisa dia lakukan untuk membantu Arvin, maka Lova akan melakukannya. “Kak, makasih udah menyayangi aku dengan begitu besar. Bahkan mungkin udah masuk kategori cinta. Makasih udah dengan begitu dermawan memberikan ketulusan buat aku. Tapi, maaf, aku enggak bisa balas ketulusan itu. Aku enggak bisa balas rasa sayang dan cinta Kak Arvin.”

“Bohong! Lo bohong, Lov! Lo sayang sama gue, lo cinta gue!” Teriakan Arvin semakin menjadi. Bukan lagi keringat kecil, tapi sudah keringat berukuran biji jagung yang membasari hampir semua bagian kepala Arvin. “Lova, gue akan lakukan apa aja, asal lo bilang kalau lo sayang gue. Gue akan lakuin apa aja buat bahagiain lo. But please ... tell me that you love me.

Semakin Arvin histeris, semakin menjadi juga tangisan Lova. Antara mengiba dan tidak tega, Lova merasa dadanya begitu sesak. Dan tidak bisa dipungkiri juga, Lova merasa bersalah di sini. Dia merasa, dialah yang harus bertanggung jawab untuk kondisi Arvin sekarang. Dia yang paling memiliki kewajiban untuk menyembuhkan Arvin.

“Kak, masih ada Bu Indira dan Pak Wisnu yang begitu menyayangi Kak Arvin. Masih ada basket yang lebih bisa membuat Kak Arvin merasa bahagia. Masih ada sahabat, para penggemar Kak Arvin yang pantas untuk dibahagiakan.” Susah payah Lova menjaga suaranya untuk tetap stabil. Namun, dadanya semakin sesak. “Aku enggak cinta sama Kak Arvin.”

“Enggak, Lov! Enggak! Lo sayang sama gue! Lo harus sayang sama gue! Selamanya harus tetap kayak gitu!” Teriakan Arvin semakin menggelegar. Tangan dan kakinya meronta-ronta, kerutan di keningnya semakin jelas terlihat. “Lova! Lovata! Jangan tinggalkan gue!”

Tidak bisa lagi melanjutkan hipnoterapi itu, Dokter Saira langsung mengakhiri semuanya. Hanya dengan sebuah tepukan di bahu, mata Arvin langsung terbuka sempurna. Dia terduduk dengan napas terengah-engah, rambut yang setengah basah, serta pancaran ketakutan yang begitu jelas di matanya. Dan ketika dia mendapati Lova ada di sampingnya, langsung saja dia bergerak merengkuh gadis itu.

“Jangan tinggalkan gue, karena gue sayang sama lo. Gue lebih baik mati daripada lo pergi dari gue.”

Tidak, sikap Arvin yang ini bukan berarti sebuah kegagalan untuk terapi yang baru saja dia jalani. Dia tidak berteriak minta bertemu dengan Lova, tidak memaki Dokter Saira, tidak membanting barang-barang yang ada di sana, itu sudah merupakan progres besar. Namun, tentu saja, perjuangannya masih begitu panjang.

***

“Waduh, masa saya kalah lagi?” Pak Janu menggaruk kepalanya, sambil menatap papan catur dengan penuh frustasi. Sementara di seberang meja, Arvin tampak cekikikan. “Saya enggak pernah kalah telak sampai segininya. Kamu memang hebat!” Mengenyampingkan perbedaan usia yang pantas untuk sepasang ayah dan anak, Pak Janu tidak sungkan untuk memuji kemampuan Arvin.

“Ah, enggak juga, Yah. Mungkin Ayah lagi banyak pikiran masalah pekerjaan, jadi kurang fokus sama caturnya,” timpal Arvin, merendah. Ini hari Minggu, menyiksa diri namanya jika masih memikirkan pekerjaan sekarang. Arvin bergerak untuk kembali menyerang Pak Janu. “Skak!”

Pak Janu langsung membanting punggungnya ke sandaran kursi. Seperti yang beliau katakan, tidak pernah kalah sampai telak seperti ini sebelumnya. Mentok-mentok, Pak Janu harus rela dengan skor imbang. Vanka yang paling sering menjadi lawannya saat di rumah. Namun, tidak ada yang berani melawannya di antara teman kantor. Mereka semua tidak mau dipermalukan hanya karena papan hitam putih sampai titik paling dasar.

Tidak bisa dipungkiri, Pak Janu menyukai Arvin. Dia sangat berani untuk memperkenalkan diri sebagai pacar Lova. Pembawannya ringan tetapi dewasa untuk pertemuan pertama mereka. Bahkan, pemuda itu juga tidak sungkan memanggilnya dengan sebutan 'ayah'. Rasanya, keinginan untuk memiliki seorang putra terobati saat Arvin ada di sini. Di rumah yang awalnya damai, tapi harus gaduh karena perdebatan Lova dan Vanka.

“Tuh! Jadinya udahan, nih! Kakak pake dipindahin segala, sih!” Lova protes. Dia menatap nanar layar televisi yang menampilkan bagian penutup acara kartun yang bisa ditonton hanya seminggu sekali. Beralih pada Vanka yang malah memasang wajah datar, tidak bersalah sama sekali. “Ah, Kak Vanka enggak asik!”

Vanka memutar bola matanya malas. “Minggu depan juga udah pasti ada lagi. Jangan merengek kayak anak kecil gitu. Kamu udah gede.” Tangannya yang memegang remot menunjuk televisi dengan wajah sok. Menunjuk presenter yang sedang membacakan berita. “Nih, ini yang lebih penting. Kita perlu tahu gimana perkembangan politik Indonesia. Jangan cuma jadi rakyat bodoh, tapi juga harus tahu apa yang terjadi di pemerintahan kita.”

“Tapi ini bisa dilihat di acara berita nanti malam, Kak. Kalau kartun barusan cuma seminggu sekali.” Lova menatap kakaknya malas. Boro-boro masalah politik satu Indonesia, politik sekolah saja Lova tidak mau tahu. Otaknya sudah terkuras dengan segala mata pelajaran yang tidak ada habisnya menyiksa. Belum lagi dengan perkara Arvin. “Pokoknya, minggu depan aku yang pegang remot!” cetusnya sambil berjalan menuju halaman samping.

Sementara itu, Pak Janu hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat perdebatan kedua putrinya. Beralih pada Arvin yang tampak bengong, mengikuti arah pergi Lova. “Kaget lihat sisi Lova yang satu ini, ya?” Beliau terkekeh saat Arvin mengangguk, disertai wajah bodohnya. “Di sekolah mungkin dia agak pendiam, tidak pandai bergaul. Tapi, kalau udah di rumah, dia sama saja dengan anak bungsu yang lain. Berisik, manja, pemarah. Pertengkaran kayak gini setiap hari harus saja terjadi. Apalagi kalau hari Minggu, udah pasti ramai sama teriakan mereka.”

Arvin memang mendengarkan apa yang diucapkan Pak Janu, tetapi fokusnya masih pada pintu di mana tubuh Lova menghilang. Gadis itu pergi dengan bibir cemberut, lengkap dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan. Kalau bisa, Arvin ingin sekali protes pada Vanka. Bertanya padanya, mengapa tidak membiarkan Lova menonton kartun sebentar? Namun, siapa dia? Hanya tamu dadakan yang sempat menciptakan kebingungan semua orang.

“Yah, saya susul Lova dulu,” pamit Arvin. Dia beranjak saat menerima izin Pak Janu. Berjalan mengikuti arah Lova tadi. Dan dia langsung bertemu dengan taman cantik saat melewati pintu. Bunga warna-warni, berbagai pohon buah, serta ayunan kayu yang ada di sudut taman. Dia segera bergabung dengan Lova yang sedang bicara pada kucing. Ya, kucing abu-abu yang ditemukan di kafe tempo hari dibawa pulang oleh Lova.

Dengan wajah jengkel, Lova mencurahkan semuanya pada kucing itu. “Padahal tinggal 10 menit lagi, tapi Kak Vanka malah pindahin salurannya. Gimana enggak kesel coba, Cing?” Lova mencebikkan bibirnya. Kembali kesal dengan wajah tanpa dosa Vanka beberapa saat yang lalu. “Pokoknya, kamu hati-hati sama dia. Dia itu jahat! Tapi kalau bisa, kamu cakar juga kakinya!”

Ada hiburan yang lebih lucu dari ini? Arvin rasa, tidak ada. Dia memutuskan untuk mendaratkan bokongnya di samping Lova setelah mengotak-atik ponselnya beberapa saat. “Udah, jangan kesel lagi. Nanti gue makin gemes sama lo,” cetusnya tanpa permisi. Arvin bisa merasakan kekagetan Lova saat tubuh mereka tidak sengaja bersentuhan. Namun, kembali rileks dan sibuk dengan kucing di pangkuannya. “Lo yang tanam semua bunga ini?”

“Aku cuma bantu bunda aja, enggak banyak berperan.” Lova mengedarkan pandangannya. Taman ini sangat penuh dengan warna. Udara yang menyegarkan setidaknya bisa membantu Lova untuk meredakan emosi. “Di sini, tempat terbaik untuk menjernihkan pikiran. Kalau hujan, wangi tanah basahnya bisa bikin kita tenang.”

“Kalau lo ketakutan, lo juga bakalan lari ke sini?”

Senyum di wajah Lova luntur seketika. Matanya tidak lagi berpusat pada bunga-bunga segar yang cantik, tetapi pada netra hitam legam Arvin yang mampu membuatnya bisu. Laki-laki itu juga melakukan hal yang sama, menatap Lova lekat-lekat. Terus menyelami mata cokelat Lova yang begitu cantik. Memang sulit, tetapi Arvin perlu memeriksa sesuatu.

“Gimana gue teriak, gue kayak orang gila tadi, itu bikin lo takut atau enggak?” Yang pertama menarik matanya adalah Lova. Sementara Arvin masih setia. “Gue sakit, Lov. Kejiwaan gue terganggu. Gue gila. Gue pasti bikin lo takut, 'kan?”

Lova kembali bertukar pandang dengan Arvin. Sedikit terkejut dengan penuturannya. “Jadi, Kak Arvin tahu?”

“Haha ....” Arvin tertawa. Bukan tawa renyah karena menganggap pertanyaan Lova bodoh atau ekspresi gadis itu yang lucu. Arvin sedang menertawakan dirinya. “Enggak mungkin gue enggak tahu, sementara setiap Minggu gue harus terapi. Gue juga rutin minum obat yang seharusnya bisa mengurangi delusi gue.” Arvin mengalihkan pandangannya. Birunya langit malah membuat dada Arvin sesak. “Tapi, lo tahu apa yang paling menyedihkan? Gue tetap enggak bisa sembuh. Delusi lo semakin nyata setiap harinya, enggak peduli berapa botol clozapine yang gue habiskan. Untuk beberapa saat, gue menganggap tingkah gue normal, gue sehat.”

Lova terdiam. Dia bisa membayangkan betapa menyiksanya berada di posisi Arvin. Dia yakin, Arvin sangat ingin bisa sembuh, bebas dari jurang delusi yang selama ini mengurungnya. Hanya saja, Arvin belum menemukan cara memanjat dari kegelapan itu. Ya, hanya belum. Lova percaya, suatu hari nanti Arvin akan bebas. Dia akan menyayangi seseorang sebagai laki-laki normal. Meskipun gadis yang dia sayangi nanti bukan Lova.

“Kak Arvin,” panggil Lova, membuat laki-laki jangkung yang ada di sampingnya menoleh. “Aku cuma mau bilang, kalau aku yang duduk di samping Kak Arvin saat ini bukan datang dari kegelapan. Kita lewati semuanya bareng-bareng. Aku mungkin akan ketakutan di beberapa momen, tapi aku percaya, Kak Arvin enggak akan sakiti aku. Kak Arvin orang yang baik.”

Tangan Arvin bergerak menggenggam tangan Lova. “Lo harus janji, kalau suatu hari nanti gue lepas kontrol sampai bisa menyakiti lo, lo harus teriak sekencang mungkin, minta tolong sama orang lain. Gue tahu, kadang gue enggak bisa membedakan antara kenyataan dan delusi. Tapi, satu yang perlu lo tahu, rasa sayang gue ke lo bukan cuma delusi. Dia nyata hadir di hati gue.”

Kepala Lova mengangguk. Dia juga tahu, langkah mereka untuk ke depannya tidak akan mudah. Kemungkinan Arvin untuk lepas kendali dan menyakitinya juga bisa saja sedang menunggu waktu yang tepat. Namun, Lova sudah memutuskan untuk tetap bersama Arvin. Bukan sebagai tindakan menepati janji pada Bu Indira. Dia melakukan ini untuk mengikuti kata hatinya.

“Lo punya laptop?” tanya Arvin tiba-tiba. Lova mengangguk dengan wajah bingung. “Gue baru aja download kartun yang tadi. Mau nonton di HP gue atau di laptop?”

Lova benar, bukan? Arvin adalah orang baik.

*
*
*
Hipnoterapi : teknik psikoterapi yang memanfaatkan hipnosis untuk membantu pasien agar bisa mengendalikan perilaku, emosi, atau pola pikirnya dengan lebih baik.

Clozapine : obat yang digunakan untuk mengurangi gejala psikosis. Psikosis adalah kondisi di mana penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dengan khayalan.

Di sini ada yang belajar psikologis?

Bini Ceye,
19 Maret 2020
Repost : 12 Oktober 2020

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

945K 45.8K 66
Brigitta terkejut bukan main saat ia terbangun dalam pelukan seorang laki-laki asing dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Apa orang patah hati se...
6.7K 771 25
Lea merasa hidupnya semakin kacau ketika Sajune mulai memperlihatkan sikap obsesifnya begitu saja, persahabatan yang mereka jalin setelah sekian lama...
ALZELVIN Par Diazepam

Roman pour Adolescents

5.6M 311K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
Homescapes Par auguastlue

Roman pour Adolescents

4.9K 706 28
Haru tak pernah menyangka seseorang yang disukainya sejak lama akan berakhir satu atap dengannya. Jika saja waktu bisa diputar, ia akan menentang aca...