FLAWSOME #PasqueSeries I

By shaanis

1.1M 124K 10K

FLAWSOME "Your flaws are perfect for the heart that is meant to love you." -- Zhao Walker, adalah contoh pria... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25
26
27
28
29
EPILOG
MAS ZHAO

20

35K 3.5K 231
By shaanis


"Rasanya aku enggak percaya..." kata Iris saat Pascal pulang dan menemaninya mengobrol.

Pascal sendiri terkejut saat mengetahui keluarga Zhao datang untuk menjenguk adiknya itu. "Tapi semuanya baik-baik saja kan?"

Iris mengangguk, setelah pembahasan tentang rencana lamaran, mereka beralih menanyakan hal-hal biasa. Seperti makanan, jenis film, jenis musik, sampai membicarakan hal umum tentang keadaan rumah sakit atau politik dalam berita. Saat waktunya makan siang, Iris mendapatkan dukungan Jasmine tentang menu makanan yang tampak tidak menyelerakan. Hoshi tidak banyak berkomentar saat Elina kemudian berkata akan mengirimkan makanan untuk Iris.

"Om Ry ada juga?" tanya Pascal.

"Nggak banyak bicara tapi kelihatan kalau dia baik," jawab Iris lalu melontarkan pertanyaan yang ada dalam benaknya saat mengamati keluarga Zhao. "Mereka itu satu keluarga gennya begitu semua?"

"Gen?" ulang Pascal.

"Mirip banget, Om Ry, dr. Hoshi, Mas Zhao, sampai Jenna..."

"Ohh... iya, memang mirip dan otaknya encer semua."

Iris teringat saat Jenna mengomentari salah satu tanyangan discovery chanel tadi, seperti tanpa berpikir menyebutkan nama ilmiah hewan-hewan laut. "Jenna lebih pintar dari aku, ya?"

Pascal seketika tertawa, "Jelas lah."

Iris menatap lilin aromaterapi yang ada di nakasnya, Elina membawakan itu, bersama pot berisi bibit bunga yang ada di sudut jendela. Itu adalah pot yang dulu Jenna bawa, gadis cilik itu mengatakan bahwa ada bibit bunga yang sudah ditanam dan Iris harus memperhatikannya agar bisa mengetahui jenis bunga apa yang ditanam.

"They're really good people," kata Iris

Pascal mengangguk, "Kan aku sudah bilang padamu."

"Aneh ya, bersama keluarga orang lain terasa lebih menyenangkan dibanding bersama keluarga sendiri," ucap Iris dan mendapati Pascal mengangguk perlahan.

"Aku akan berusaha supaya kamu nggak disangkut-pautkan sama Papi atau Mami lagi."

"Menurutmu kenapa mereka menikah?"

Pascal mengangkat bahu, "Yah, Mami cantik banget waktu muda, Papi pasti tertarik."

"Mami masih cantik sampai sekarang, Papi yang sudah nggak tertarik."

"Emm... entahlah, selain pemikirannya tentang bisnis dan peralatan rumah sakit, aku sulit memahami Papi."

Iris bahkan sama sekali tidak bisa memahami ayahnya, mereka hanya berkomunikasi saat Iris membutuhkan uang atau meminta hadiah. "Mami juga, kenapa kelihatan berat banget cerai dari Papi? Padahal jelas-jelas menderita."

"Itu juga entahlah... "

"Aku pikir, kita nggak bisa cuek lagi sama masalah mereka."

Pascal berdecak lalu menggelengkan kepala, "Aku berusaha menjadi yang terbaik untuk mereka, tapi alih-alih bangga, bagi mereka itu adalah hal yang seharusnya kulakukan." katanya lalu memijat tengkuk perlahan. "Aku memberi mereka hadiah pernikahan beberapa kali, membuat reservasi di hotel tempat mereka berbulan madu, tapi tetap tak berarti... setiap kali skandal-skandal itu terendus media, aku bertanya dan terus bertanya kenapa mereka melakukannya, tapi jawabannya aku tak perlu ikut campur urusan mereka."

Iris tahu itu, bahkan mereka pernah bersama-sama merencanakan hadiah pernikahan. Membuat kue dan memasak makan malam untuk keluarga. Tapi saat sang ayah pulang, langsung berlalu ke ruang kerja dan ibu mereka berkata sedang dalam program diet.

Pascal mengeluh pelan, "Terkadang dibanding berusaha menyatukan, aku merasa lebih mudah membereskan berita skandal mereka... pathetic, isn't it?"

Memang, dan dibanding urusan orangtua, ada banyak hal yang selama ini menyita perhatian Pascal. Iris tahu bahwa kakaknya itu berusaha keras mencapai posisinya sekarang, Pascal harus berusaha lebih keras lagi agar bisa mengambil alih Pasque Techno sepenuhnya. Pascal mungkin menyesal menjadi putra Byakta Pasque, tapi memiliki Pasque Techno adalah pengecualian.

"Bagaimana perusahaan? sudah stabil?" tanya Iris mengubah topik.

"Hospital Expo memang langkah tercepat untuk mengamankan produksi," jawab Pascal sembari mengangguk. "Aku masih membutuhkan setidaknya sepuluh atau lima belas kontrak kerjasama lagi untuk mengamankan program kerjaku."

"Itu bukan jumlah yang sedikit."

"Memang, dan penting sekali menjaga kepercayaan dari klien-klien utama kita."

Iris mengedarkan pandangan ke ruang rawatnya, "Apakah HW-Hospital masih menjadi klien utama kita?"

"Ada banyak produk baru yang sudah kami tawarkan, aku sendiri sudah mengajukan dua proposal, jawaban terbaik yang kuterima adalah dr. Hoshi sedang mempertimbangkannya kembali."

"Skandalnya Mami pasti..."

Pascal enggan mengingat betapa kesal ia dengan situasi yang disebabkan ibunya itu. "Sudahlah, biar urusan Pasque Techno aku yang memikirkan."

"Haruskah aku meminta bantuan Mas Zhao untuk meneken kerja sama itu?" tanya Iris, ia ingin membantu jika bisa.

Pascal menggeleng, "Zhao sendiri tidak bisa berbuat banyak jika dr. Hoshi sudah memutuskan."

"Dia pewaris kedua, bagian sahamnya nomor dua terbanyak."

"Memang, tapi Zhao mempercayai dr. Hoshi sepenuhnya tentang kepemimpinan sekaligus pengelolaan rumah sakit." Pascal tersenyum lalu menyentuh kening adiknya dengan jari telunjuk. "Hubungan kalian enggak ada sangkut pautnya dengan bisnis, biarkan kami para anak sulung yang berurusan tentang hal itu."

Iris menatap Pascal, "Aku tidak apa-apa dimanfaatkan, jika itu perlu."

Pascal menggeleng, "Aku terlahir untuk Pasque Techno, apapun keadaannya aku akan berusaha membuatnya tetap berdiri."

"Mas Zhao tampaknya cukup mudah dipengaruhi." Iris masih berusaha.

"Jangan menyalahgunakan kebaikan seseorang, Ris..." ucap Pascal lalu menangkup wajah adiknya. "Jangan lihat Zhao sebagai pewaris kedua, menantu impian semua orangtua, apalagi sarana untuk memuluskan kerjasama... dia layak dipandang sebagimana dia yang sebenarnya."

Iris menghela napas, "Aku kan cuma berusaha bantu."

"Kalau kamu mau bantu aku, kamu harus semangat terapi, terus buat kemajuan untuk keadaan ini, terima lamaran Zhao, lalu menikah dan berusaha hidup bahagia."

Iris tersenyum, begitu saja merentangkan tangan dan Pascal beralih memeluknya. "Thank you, Big Brother."

== [flawsome] ==

Zhao mengerutkan kening saat mendapati Pascal sudah berada di luar ruang rawat Iris. Saat ini baru pukul lima pagi dan seharusnya Pascal masih berada di dalam untuk menjaga adiknya.

"Pascal," panggil Zhao.

Pascal mengangkat tangan sebagai jawaban, "Shift malam?" tanyanya karena mendapati Zhao masih mengenakan seragam terapis.

"Yap, Allen Forst diterbangkan semalam," kata Zhao menyebut nama pebasket terkenal asal Australia.

"Wah, memang beda kelas," komentar Pascal, kagum sekaligus mengakui bahwa Zhao memang terapis yang kompeten. Saat-saat mereka bermain futsal bersama, setiap kram dan terkilir selalu tertangani dengan baik.

Zhao menatap ke pintu, "Kenapa keluar jam segini?"

"Emm... Iris harus dibersihkan lebih pagi," jawab Pascal lalu wajahnya berubah sendu.

"Dia baik-baik saja bukan?"

Pascal menggeleng tak yakin, "Dia berusaha tapi aku selalu melihatnya tampak sedih saat-saat seperti ini, dia tidak nyaman dengan situasinya, orang lain membantunya membersihkan diri."

"Bagi seorang gadis, keadaan itu memang mengerikan."

"Dan dia marah setiap kali aku ingin membantunya, sekadar menggantikan selimut juga membuatnya benar-benar marah."

Zhao beralih duduk di samping Pascal, "Dia butuh waktu, Pas."

"Kamu enggak keberatan dengan semua itu?" tanya Pascal, menoleh pada sahabatnya. "Iris mungkin akan semakin bersikap defensif, mungkin juga akan memberimu batas dan—"

"Dia sudah menanyakannya padaku, tentang jenis pernikahan apa yang kuinginkan."

Pascal hanya diam, menunggu Zhao melanjutkan kalimatnya.

"Aku tahu dia berusaha membuat batas, dia juga sangat berhati-hati saat bersikap di depan keluargaku," lanjut Zhao teringat sikap gadis itu kemarin. "Tapi semua memang membutuhkan waktu, dan karena kami akan bersama untuk waktu yang lama, aku bisa bersabar."

"Orang tuaku masih sulit diajak bekerjasama."

Seketika Zhao teringat apa yang Iris katakan kemarin, "Iris bilang kamu mengajukan syarat?"

"Ya, aku meminta mereka bercerai."

"Pascal..."

Pascal mengangkat bahu, "Kami sudah terlalu tua untuk bermain rumah-rumahan dan jika mereka benar berpisah, mereka bebas membuat skandal sendiri tanpa disangkutkan lebih jauh lagi, aku ingin Iris benar-benar memiliki hidup yang baru bersamamu."

"Sekalipun kami memulai hidup baru, tapi orangtuamu akan tetap menjadi—"

"Bisakah kamu membuat klausul perubahan nama keluarga untuk Iris," sela Pascal membuat Zhao menarik sebelah alisnya, "Aku rasa itu cara terbaik, agar Iris benar-benar terlepas dari mereka."

"Aku tidak yakin Iris akan setuju."

"Aku akan membujuknya."

"Iris menjadi Pasque bukan hanya karena dia anak orangtuamu, tapi juga karena dia adikmu."

"Aku tak ingin skandal orangtuaku menyusahkan kalian di masa depan," kata Pascal dengan raut serius. "Sejujurnya aku merasa tak layak jika—"

"Don't say that." Zhao memperingatkan.

Tapi Pascal menggeleng, "Sudah cukup berat untuk Iris memasuki keluargamu dengan latar belakangnya, di masa mendatang nanti aku tak ingin hidupnya menjadi lebih berat karena masih tersangkut dengan pemberitaan tentang orangtuaku."

"Tapi meski begitu, memutuskan hubungan keluarga..." Zhao menatap tidak yakin.

"Percaya padaku, orang tuaku memang tidak tertolong lagi." Pascal tampak tegar saat mengakui hal itu. Zhao memilih mendiamkannya, ia memang tidak pernah berkomentar banyak terkait keluarga sahabatnya itu.

"Apakah ada persyaratan juga dari keluargamu?" tanya Pascal untuk memastikan.

"Oh!" Zhao mengangguk, "Kak Hoshi berharap Iris bisa menyayangi keluargaku dan memahami prinsip kepantasan yang kami anut."

Pascal mengangguk meski wajahnya ragu, "Apa menurutmu... Kak Hoshi..."

"Jangan khawatir... kamu tahu bagaimana Kakakku jika berada di lingkungan keluarga."

"Tapi terkadang Iris bisa benar-benar manja dan dia menyebalkan saat sifat kekanakannya kambuh," ucap Pascal seperti memperingatkan Zhao.

Alih-alih keberatan, Zhao justru tersenyum, "Dia bisa manja padaku, dan aku akan mencoba menangani sifat kekanakannya."

Pascal memperhatikan sahabatnya lalu ikut tersenyum, ia menatap lukisan yang terpajang di dinding koridor. "Jika suatu hari, Iris benar-benar tidak bisa ditangani atau kau tidak punya pilihan selain menyerah, aku akan menjemputnya."

"Iris mungkin akan meneleponmu, mengadukan sikapku yang membuatnya kesal, membicarakan sifatku yang menurutnya aneh atau situasi dalam keluargaku yang membuatnya asing." kata Zhao ikut memandang lukisan yang sama. "Aku harap saat itu terjadi, kau membantuku menenangkannya dan membuatnya mengerti bahwa aku hanya berusaha membuatnya bahagia."

Pascal mengangguk perlahan, "Anw, dia bertanya padaku tentang Prenuptial Agreement."

"Dia sudah menunjukkan draft kasarnya padaku."

"Serius?" tanya Pascal, ia pikir adiknya akan lebih dulu bicara padanya,

"Yap, dia meminta pemisahan dan pembatasan harta, itu idemu?"

"Kamu tahu apa yang diharapkan ayahku dengan pernikahan kalian."

"Semua keputusan ada di tangan Kak Hoshi, Pas... dengan lebih dulu meminta pendapat para direktur atau pemegang saham yang lain, aku enggak begitu banyak berperan."

"Tapi tetap saja, tanpa pemisahan dan batasan yang jelas, itu beresiko."

"Tapi aku mungkin hanya akan memiliki Iris, karena itu jika terjadi sesuatu padaku, dia yang berhak mendapatkan segalanya dariku."

Pascal menggeleng, "Jika itu terjadi, ayahku akan mulai ikut campur," ucapnya, tidak sulit menebak kemungkinan itu. "Setujui saja perkara pemisahan dan pembatasan harta itu, dan tambahkan klausul tentang perubahan nama belakang."

"Aku sudah berjanji untuk mendiskusikannya dengan pengacara keluarga dan tentang klausul itu, aku akan bicara pada Iris lebih dulu."

"Apakah dia mengajukan klausul perceraian juga? Batas waktu tertentu?"

Zhao menatap sahabatnya, "Jangan bilang itu idemu juga?"

"Aku enggak memberikan ide apapun, tapi dia bertanya apakah normal menyebutkan tentang itu dalam perjanjian pra nikah, aku memberinya beberapa referensi."

"Referensimu pasti mengerikan."

Pascal meringis dengan raut meminta maaf, "Apa yang Iris tulis?"

Zhao mengingat-ingat, ia langsung kesal saat membaca bagian itu. "Dia menulis klausul perceraian terjadi jika dalam waktu tiga tahun keadaannya tidak membaik, jika aku menghendaki keberadaan pewaris dan dia terbukti secara medis dalam cara apapun tidak mampu memberikannya."

"Yah, itu tidak sepenuhnya—"

"Hanya kematian yang akan memisahkan, seperti itu jenis pernikahan yang aku mau." sela Zhao dan menatap sahabatnya lekat, "Apakah kamu masih meragukanku?"

"Tentu saja tidak, aku percaya padamu dan aku yakin kau akan melakukan yang terbaik untuk Iris..." ucap Pascal sembari memijat tengkuknya. "Tapi... aku dan Iris menjalani kehidupan dalam keluarga yang tidak bisa diharapkan, hal itu menyisakan banyak kekhawatiran."

"Aku tahu kau khawatir, aku sendiri pun khawatir, tapi aku yakin pada apa yang selama ini keluargaku tanamkan dalam diriku." kata Zhao menoleh pada pintu ruang rawat Iris. "Hidup akan selalu memberikan ujian, tapi aku dan Iris bersama-sama akan menemukan cara menghadapinya, aku yakin itu."

== [flawsome] ==

"Aaa..." Iris berteriak setelah dua menit berusaha untuk mempertahankan posisi duduknya. Rasanya sangat aneh sekaligus menyakitkan.

Kedua lengan Zhao terulur menahan pundak Iris."Take a deep breath... and release."

Iris memejamkan mata, membuat sudutnya berair seketika.

"I know you can do this, just stay still... in two minutes more," pinta Zhao lembut dan saat Iris membuka mata, ia kembali memberi instruksi. "Take a deep breath..."

Iris melakukannya beberapa kali, berusaha menahan diri saat perlahan Zhao melepaskan tangan.

"Aku pasti akan langsung jatuh terbaring seperti biasanya." Iris memperingatkan.

"No, this time you can stay still," kata Zhao lalu tersenyum. "Aku tahu rasanya tubuhmu tak lagi seimbang, tidak ada berat dari bagian bawah yang menahan, tapi coba fokuskan dirimu hanya untuk bertahan pada posisi ini."

"How?" tanya Iris, ia merasa tubuhnya sangat berat saat ini, sangat tidak seimbang.

"Perut, punggung, dada, lengan, bahkan kepala... kamu bisa merasakan semua itu, buat mereka mendukung keinginanmu untuk tetap duduk."

"Korset menyebalkan ini membuatku sesak."

"Korset mengamankan tulang belakangmu, trust your body, your whole... you can do this."

Iris menghela napas sekali lagi, "Jangan lepas sebelum aku minta."

"Oke," kata Zhao dan menunggu.

Iris menelan ludah, lalu seperti yang Zhao minta, ia berusaha menahan posisinya. Sejenak ia menahan napas karena rasa sakit dan berat yang terasa akan menumbangkannya.

"Pascal will really happy..." ucap Zhao dan membuat Iris mendongak menatapnya. "Pikirkan seperti apa Pascal saat pulang dan melihatmu duduk tanpa sandaran."

Rasanya seperti tersengat air mata dan ada perasaan ringan karena menyadari seperti apa kakaknya itu melihatnya membuat kemajuan. "He may cry like a baby," komentar Iris meledek.

"Mari kita buktikan itu dalam dua minggu," kata Zhao dan mendapati Iris kembali berusaha, tapi kali ini tubuh gadis itu sudah lebih tenang. Tidak terlalu tegang atau kaku.

Iris selalu memejamkan mata saat ia kesakitan, tapi Zhao tahu bahwa gadis itu akhirnya akan mengatasi ini. Ia melepaskan pegangan dari pundak Iris.

Zhao mulai menghitung dalam hati dan pada detik ke tiga puluh, sepasang mata sewarna laut mediterania memandangnya. "Aku belum bilang lepas..."

"Aku tahu kamu bisa, bertahanlah sembilan puluh detik lagi."

"Rasanya hanya bisa tiga puluh detik lagi." Iris menyuarakan pikirannya.

"Mau menghitungnya bersamaku?" tanya Zhao dan terkekeh menatap sepasang mata biru yang melotot padanya. "Jangan fokus pada rasa sakit dan hanya berusaha bertahan, fokus pada sesuatu yang membantumu mengatasinya."

"Empat puluh!" seru Iris dan terus menghitung hingga tujuh puluh.

Zhao melanjutkan hingga mendekati detik terakhir, "Delapan puluh enam, delapan puluh tujuh, delapan puluh delapan, delapan puluh sem—"

Tiba-tiba tangan Iris terulur meraih bagian depan baju Zhao, membuatnya tertarik ke arah Iris yang kembali rebah pada bidang sandaran. Zhao bisa mendengar helaan napas yang memburu, berikut suara lirih, "Sembilan puluh."

Zhao tersenyum, "Sesi berikutnya kita coba tiga menit, lalu lima menit...sampai kamu terbiasa."

Sebenarnya situasi ini terasa menyesakkan, tubuh Zhao terasa begitu berat, begitu pula sesi terapi yang disampaikan pria itu. Tapi Iris merasa lega, seakan kepercayaan dirinya kembali, dan semua itu karena seseorang yang bertahan dalam pelukannya ini.

Iris mengerjapkan mata saat ia mencium wangi strawberry di rambut Zhao. "Strawberry?"

Mendengar pertanyaan itu, Zhao mengangkat tubuhnya seketika, "Ya?"

"Rambutnya Mas Zhao, bau strawberry..."

"Oh..." Zhao meringis sembari menyisir rambutnya dengan jari. "Jenna punya mainan salon rambut, karena weekend dia boleh tidur larut... dia memaksaku keramas lalu merapikan rambutku."

Iris masih terdiam dan Zhao kembali berbicara, "Shamponya Jenna memang beraroma strawberry, aku tidak berpikir untuk keramas lagi karena—"

"Mas Zhao suka anak-anak, atau hanya karena sayang sama Jenna?" tanya Iris lalu menarik tangannya. "Seperti Mas Zhao tahu, aku nggak bisa punya anak..."

[tbc.]

Q & A

Q: Kalau dipikir-pikir, Iris nakalnya B aja ya kak, masih layak lah buat Zhao
A: katanya sih, kalau jodoh kita orang yang menjaga diri, kitapun bisa jadi juga dijaga melalui doa, ceila~

Q: Pas tahu kalau cast Pascal itu Ben Barnes, kayak enggak cocok sama Zhao yang castnya Song Wei Long
A: affahhh iyyahh???

Continue Reading

You'll Also Like

352 253 7
Memoria Utami Praditya harus pasrah ketika sang ayah memutuskan untuk memasukannya ke sekolah asrama. Seperti mendapat karma karna dulu sering membu...
633K 17.6K 9
Kriteria project #SpeakUpYourWorld. 1. Sekalipun sakit kepala meradang, editor harus mencari naskah dengan views di atas satu juta. Jangan lupakan em...
4K 557 38
Setelah 4 tahun bekerja sebagai budak perusahaan, Jovita Grizelle dengan statusnya yang masih lajang memutuskan untuk berhenti dan mencari dunia baru...
27.3K 3.5K 6
Bersahabat dan masih sama-sama sendiri hingga usia nyaris menyentuh kepala tiga, membuat orang tua Gaven dan Adel gemas sampai akhirnya mereka memutu...