Kilasan ✓ (SUDAH TERBIT)

Por BlueFlawless

32K 6.2K 33.7K

[SUDAH TERBIT - TEEN FICTION] Menyimpan sebuah kilasan waktu dalam memori, yang tak pernah luruh bersama deti... Más

Kilas 1 : Pembuat Masalah
Kilas 2 : Semestanya Belum Mengizinkan
Kilas 3 : Terjerat Oleh Sebuah Rantai Drama
Kilas 4 : Senja Di Hari Itu
Kilas 5 : Hanyut Bersama Keki Yang Mencekik
Kilas 6 : Kembali Dalam Rengkuhan Sang Pencipta
Kilas 7 : Kalut Yang Dilebur Oleh Angin
Kilas 8 : Dia Pergi, Menghilang, Dan Tenggelam
Kilas 9 : Sebuah Rasa Yang Menggagalkan Semuanya
Kilas 10 : Senja Yang Rumit
Kilas 11 : Lukisan Mega Dan Piano Malam Itu
Kilas 12 : Terowongan Gelap Dan Sepi Di Matamu
Kilas 13 : Suara Semanis Fajar
Kilas 14 : Semesta Menyimpan Rasa
Kilas 16 : Tentang Warna Yang Tak Lebih Indah Dari Kelabu
Kilas 17 : Takdir Yang Mempertemukan Kembali
Kilas 18 : Sisi Tergelap Agatha
Kilas 19 : Mengabadikan Hari Ini
Kilas 20 : Kekhawatiran Semesta
Kilas 21 : Memilih Pergi
Kilas 22 : Disapu Oleh Sesak
Kilas 23 : Diksi Yang Tertolak
Kilas 24 : Tak Bisa Kembali
Kilas 25 : Realita Yang Terkuak
Kilas 26 : Jarak Yang Semakin Jauh
Kilas 27 : Meninggalkan Rasa Yang Semula Ada
Kilas 28 : Menyatukan Rasa Yang Nyaris Kembali
Kilas 29 : Baskara, Sampai Jumpa
Kilas 30 : Yang Menjadi Akhir
Extra Part : Yang Menjadi Awal Dan Akhir

Kilas 15 : Pagi Yang Cerah Namun Terasa Sendu

563 142 1.1K
Por BlueFlawless

***

Mega putih berarak, menuntun monokrom di matanya untuk berlabuh sejenak. Menemani langkah panjang dengan kepulan embun pagi ketika terik siang belum menyerang. Dimi mengembus napas berat, hadapan netranya disambut oleh rumah berdominan putih tulang. Meski sepi kala itu menjelang, tetapi tak membuat Dimi berbalik pulang.

Tempat ini tidak pernah berubah sejak ia menginjakkan kaki di sana semula, alfa sekaligus omega bagi ruang pinta. Namun, mendadak Dimi menghentikan gerakannya yang hendak mengetuk pintu, seolah ada sesuatu yang menahan tangannya di udara.

Banyak pertimbangan yang memenuhi pikiran, tentang risiko yang harus ia hadapi setelahnya, atau tentang penolakan yang siap ia terima. Meski menautkan dua opsi, pilihannya terasa gusar untuk semua hal yang tersumber. Antara mengetuk pintu dan meninggalkan harap yang berlalu.

Belum sempat pilihannya terutarakan, riuh decit pintu yang terbuka disertai hunjaman sang netra dingin lebih dulu menyapa. Tetapi, bukan gadis jangkung dengan paras jelita yang berlabuh di sana, melainkan lelaki tua yang tak tersemogakan.

"Ngapain lo pagi-pagi ke rumah gue?" tanya Aldo tak bersahabat. Netra kelabunya menatap Aldo sengit, lebih tajam dan kelam dibanding milik Agatha. Tanpa sadar membuat jantung Dimi saling bertalu karena intimidasinya.

"Gue nyari Agatha," balas Dimi tenang. Menempatkan diri untuk tidak mengeluarkan emosi. Meski ia tahu, bahwa Aldo terlihat waspada seakan-akan Dimi membawa hal-hal buruk padanya.

"Ada di dalam. Kenapa nyari adek gue?" Lelaki itu mengangkat alis, garis bibirnya tak menampikkan ekspresi apapun. Tidak ada keramahan, apalagi senyuman. Yang terpamer hanyalah bagaimana ia memandangnya setajam kulit durian.

Pintu dibuka semakin lebar, namun bukan untuk menyilakan. Aldo memindahkan seluruh bagain tubuhnya ke luar persil rumah, sebelum ia menutup kembali dengan debuman yang tersisa.

"Kemarin jaket Agatha ketinggalan, Bang. Ini pengen gue balikin, sekalian mau bawa dia keluar bentaran." Kalimat penuh permohonan itu terurai tanpa keraguan. "Gue boleh masuk?"

"Masuk aja. Dia lagi sarapan. But as you know, Agatha nggak semudah itu buat ketemu orang. Jadi gue nggak akan bantu kalau dia ngusir lo tiba-tiba." Aldo mengangkat dagu rangah. "Lagipula, gue mau cabut sekarang."

Tanpa menoleh barang sedikit ke arahnya. Sorot kelabu itu seolah-olah menyentak tajam. Namun, bagaimana cara ia memberi kata laksanakan versi tak berbicara, Dimi tidak perlu banyak tanya.

Ah, mereka terlalu banyak bersandiwara. Dengan topeng tanpa warna yang luruh menjadi anila tak berperasa.

Lelaki itu terdiam, panas di tubuhnya tak sudah terselesaikan. Usai menelan mentah-mentah egonya yang terlupakan, kata gengsi seolah teredam jauh dan tak hinggap di permukaan. Lalu Dimi kembali membuka suara. "Makasih banyak, Bang."

Sialan, ego yang sudah ia kubur dalam-dalam hanya mendapat pengabaian, juga sebuah persembahan pagi berupa kepergian. Berpegangan dengan kata begitu saja tak terbatas, Aldo beranjak meninggalkan pelataran dan melepas, tanpa menoleh serta mengakui keberadaan hati yang bergetas. Benar-benar menyebalkan.

"Cuih. Sombong banget jadi cowok, ganteng aja kagak," Dimi menggerutu sinis. Kalau Aldo bukanlah sang Kakak dari seorang Agatha, mungkin Dimi tak segan membuat Aldo harus berkirim salam pisah pada dunia.

Ia mendorong perlahan daun pintu yang—menurut Dimi—masih berdiri angkuh di hadapan. Hingga kemudian disusul dentum keras usai ia menutupnya dengan kasar, menganggap pintu tersebut adalah seulas wajah penuh lagak milik Aldo.

Detik berjalan, untuk tersadar bahwa rumah yang ia pijaki seperti mengungkap kejujuran. Kata fana tak mampu meleburkan, sepi menyelimuti selama ia melepas kerumunan. Ada kasih yang tak kuasa diutarakan.

Gadis itu ada, namun tertutupi oleh perisai tak kasatmata, seakan nyaman pada apa yang Agatha terima. Walau Dimi berani bersumpah di atas potret Sang Pencipta, kalau saja gadis itu mempunyai banyak kata, Agatha tidak akan rapot-repot menderita. Secepat mungkin ia menyuarakan gaduh keinginan untuk keluar dari bejana kesendirian yang terasa. Namun, sayang Agatha adalah rahasia.

Lagi. Agatha tak pernah terlihat nyata bagi Dimi. Yang memilih kehadirannya terlupakan seiring waktu mengikis.

Langkah pasti membimbing Dimi agar segera datang, melihat bagaimana si empunya kelabu yang meredup di tengah ingar bingar kesepian.

Lelaki itu meringis, menyadari sesuatu sampai kekeh kecil tercipta. "Anjir, gue udah kayak maling diem-diem masuk rumah kosong."

Celetuk tanpa pembuka itu agak membuat Agatha terperanjat. Meski tak berlangsung lama, sebab ia berkuasa dalam menetralisir keterkejutannya. Dengan meneguk susu hangat di genggaman, seraya mengerut alis heran. "Kok lo bisa di sini?"

"Kan gue punya bakat ngerampok."

Balasan asal Dimi berhadiah dengusan. Gadis itu memperhatikan gelas susunya sebelum kembali menandaskan. Ada jeda panjang yang menggelar, menemani sunyi yang tak pernah usai.

"Harusnya gue datang lebih awal lagi, biar kita bisa sarapan bareng di restoran mahal pagi-pagi." Sejenak, Dimi menyeringai tipis sebelum melanjutkan, "Kebetulan kemarin bokap transfer duit satu juta buat gue. Tapi karena jempol doi kepeleset, bokap nggak sengaja nambahin tiga angka nol di sana."

Agatha merotasi bola kelabu di netranya seraya menyuapkan sepotong melon ke dalam mulut. "Lo kalau mau sombong jangan ke gue, deh!"

Seketika, Dimi tergelak mendengar ketus yang terasa merdu di telinganya. "Jaket lo ada di mobil gue. Gue balikin, sekalian mau ngajak lo nge-gym. Udah lama 'kan nggak ke sana?"

"Ah, males." Agatha melengos enggan, sebelum perkataan Dimi setelah itu membuat kedua pupil netranya membulat lebar.

"Males udah jadi kebiasaan, ya? Pantas badan lo lurus kayak talenan."

Kurang ajar.

Dada Agatha seperti diremas dengan darah yang kian mendidih. Namun, kalimat Dimi selanjutnya berefek baik untuk menahan dosa, semua umpatan yang berlabuh sekejap Agatha halau di ujung lidah. Demi segenap reputasi dan menolak dosa yang datang, gadis itu mengangguk ditemani sebuah keterpaksaan.

"Gue ambil baju dulu," putusnya mengalah.

***

Netra Dimi membelalak lebar, sembari ia tersusah payah menelan saliva yang mendadak terasa pahit. Tilik lurusnya menghunjam ke arah gadis itu, dimana beberapa detik lalu Agatha mengganti pakaiannya dengan setelah sport bra dan legging hitam. Tanpa sadar, bola hitam di mata Dimi nyaris terjatuh dari tempat ia bersinggah jika saja Agatha tak lebih dulu mendelik.

"Biasa aja ngeliatnya!" ketus Agatha membuat lelaki itu sekejap meringis diam-diam.

Cakrawala fitness milik keluarga Dimi tampak sepi pagi ini. Lengang, seolah sengaja membiarkan mereka berdua berada dalam renggangnya ruang kosong tak terpijak. Dimi mengulurkan tangan, menuntut sebuah tautan yang menyambut pada genggaman hampa.

Tetapi Agatha tanpa acuh beranjak, sengaja mengabaikan kode yang Dimi sampaikan. Dalam beberapa saat, euforia yang lelaki itu harapkan hanyut seketika. Menyisakan tangan dinginnya melayang di udara, sebelum akhirnya terkepal menahan malu sekaligus geram.

Sementara Agatha sudah melakukan pemanasan di sudut ruang dan lelaki itu menyimak. Hingga denting jam selanjutnya pun terdengar, mendorong Dimi agar segera menyusul setelah letup di dadanya tuntas.

"Gue udah lama nggak nge-gym. Terakhir dua bulan lalu, itu pun bareng lo," ucap Agatha. Memecahkan keheningan panjang yang mereka cipta sendiri. Lantas mendung di mata Dimi mengamati netra kelabu yang mengintimidasi. "Bantuin gue lagi, Dim."

"Yang santai aja kalau gitu. Maybe, treadmill?" tanya Dimi seraya mendekati alat tersebut. Sedang, jemari kokohnya menyentuh dengan satu alis terangkat, menatap Agatha yang bergeming di tempat.

"To be honest, gue cukup malas kalau disuruh lari. Tapi, boleh juga."

Langkah kecil dari sang gadis berkucir kuda itu datang menghampir, meski ragu menyela di antara yakin yang hadir. Agatha terdiam, memberi ruang jeda untuk Dimi mengatur alat itu sesempurna mungkin.

"Pelan dulu, jalan santai aja." Untuk kedua kali tangan Dimi terulur dan Agatha membalas genggamannya. Lelaki itu menuntun Agatha naik ke atas alat yang melaju perlahan dengan satu tangan yang terengkuh oleh euforia yang Agatha beri, sebelum pijakan gadis itu mulai menyesuaikan.

"Calm down, Tha."

Gadis itu mendengkus halus, tetapi lupa jika takdir tak selalu bergulir mulus. Ketika saat itu keseimbangan memang memeluknya, sementara ketidaksengajaan mendatangkan puing kejadian sial yang terasa nyata.

Entah bagaimana, satu tangannya yang terbebas tanpa sadar menekan kecepatan sedikit lebih cepat. Membuat Agatha yang tak siap memekik ketika kakinya tak mampu menyeimbangi dan Dewi Fortuna yang lengah, melenyapkan kata beruntung dalam diri.

Agatha terjatuh ... tetapi rasanya berbeda. Seperti melayang di atas kapas beraroma mint, lalu menghantarkan Agatha pada rasa nyaman. Kepalanya mendadak berat, terjerat dan tak mau lepas. Aneh, untuk membuka mata pun gadis itu seolah tak ingin. Ia merasa ditumpahkan sejuta ketenangan dan keamanan pada sekejap mata.

Sampai sebuah suara menginterupsi. "Lo nggak apa-apa, Tha?"

Agatha mengerjap. Satu kesadaran menghantam, kata segera menjauhkan Agatha dari tubuh Dimi yang terkena imbas. "Sorry. Kayaknya gue harus ganti alat."

"Ganti leg press aja, ya?" Lelaki itu tersenyum tipis. Senyuman yang terkesan tulus, sekaligus hangat di waktu bersamaan.

Agatha mengangguk pasrah, seperti anak ayam yang menurut mengikuti induknya. Di detik setelah itu, tatap mereka bertemu. Sebuah gerakan tanpa ucap memandu Agatha bergerak, ketika lelaki dengan kaus tanpa lengan menarik Agatha untuk bersandar pada sisi alat.

"Coba sekarang angkat kaki lo sedikit ditekuk ke atas. Sedangkan telapak kaki lo ditempel ke—iya, di situ," jelas Dimi memberi pengarahan singkat. Bantuan-bantuan lain tertata ketika Agatha kesulitan, dan Si-Penurut-Dimi menolong walau sedikit kualahan. "Gue nggak akan atur beban berat-berat, kok. Takut lo gepeng."

"Sialan!" Agatha mencibir jengkel, yang dibalas oleh gelak kecil tak tertahan.

Gadis itu menghela napas panjang, memusatkan perhatian pada alat yang sebentar lagi membuat Si-Malas-Agatha keletihan. Sayangnya, terpaksa Agatha lakukan. Tatapan dinginnya seolah mengatakan sederet makian, namun tidak bisa ia utarakan.

Sejenak, permadani waktu menggelar, usai keterangan singkat terlontar dari bibir Dimi. Agatha mulai menggerakkan kakinya dengan pola berirama, naik-turun seakan teringat membosankan setelah beberapa menit terlewati asa. Bibir jengkelnya mengerut, hingga tak sadar bahwa sejak lima menit terakhir jarak keduanya tak menyusut.

Hening. Tatap mereka bertemu, lebih intens di antara sorot semu. Tetapi satu hal yang tidak Agatha tahu, bahwa jarak yang mereka patahkan berpengaruh bagi pacuan jantung Dimi dalam irama tak menentu.

Agatha menahan napas, begitupun dengan Dimi. Kejadian di kepala mereka seketika luruh, hilang dibawa debu dan lupa telah menjadi abu. Detak di dada mereka mengalun merdu, apakah keduanya saling tak acuh dan memilih berlalu?

Namun, detak dalam dada Agatha terasa berbeda. Lebih pahit dan lebih—percaya atau tidak, ini lebih mengkhawatirkan. Seperti ada beban berat yang mengganjal di rongga dada, dan rantai ilusi yang mengikat kuat hingga membuatnya terdesak.

"Lo ... cantik."

Mengapa semua kalimat Dimi terasa seperti perpisahan? Dan Agatha tak menyukainya.

Kemudian dering ponsel terdengar, memecahkan segala pikiran yang telah Agatha rangkai dalam benak. Di sampingnya, Dimi berdeham singkat, seraya membantu Agatha turun dari alat sialan tersebut.

"Gue angkat telepon dulu," ujar Agatha memecahkan situasi canggung yang membeku sekejap. Ia bergegas menjauh, meraih ponselnya yang mendekam di dalam tas.

Nama Biru tertampil pada layar, menuntun kernyit bingung yang terpahat di keningnya. Melengos, Agatha menekan tombol hijau sampai panggilan terhubung sekejap.

"Halo, Ru?" Agatha mengawali, tanpa menutupi nada terganggu di sela kalimat.

"Sorry kalau gue ganggu, Tha. Gue cuma mau kasih info buat jam sepuluh nanti, kita bakal latihan pensi di rumah gue untuk ngurus properti dan segala macam keperluan."

"Well, nanti gue datang."

"Makasih, Tha."

"Ya," jawab Agatha singkat, sebelum panggilan terputus seketika.

Kelabu temaramnya menghunus ke arah Dimi yang menunggu tanpa banyak pinta, disusul hela pendek yang tersisa. "Gue cabut duluan, Dim. Ada urusan di rumah Biru."

"Perlu gue anter?"

"Lo bahkan belum nge-gym sama sekali."

"Nggak apa-apa. Ini masih pagi, bahaya kalau lo pergi sendiri." Dimi tersenyum tipis, tarikan pendek yang juga manis dalam satu waktu. "Gue anter, ya?"

Agatha melirik arloji di pergelangannya, menghitung berapa lama waktu diperlukan meroda. Lima belas menit, dan sekarang kata tidak sempat melitasi. Lalu sebuah keputusan menanti.

"Hm, boleh."

Ada perasaan aneh yang menjalar tiba-tiba. Seperti kekhawatiran dan ketakutan yang bergelayut mendekapnya. Namun, Agatha hanya bisa berharap, jika mayapada menjadi reksa, hingga tak ada hal buruk yang datang setelahnya.

***

Sabtu, 25 April 2020

Revisi: Sabtu, 12 Desember 2020

Seguir leyendo

También te gustarán

2.2M 130K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
89.6K 12.3K 48
[Revisi Sebagian] Tentang sebuah kisah yang menyuguhkan perasaan campur aduk antara suka, duka yang sulit untuk diungkapkan, serta dijelaskan. Tentan...
983 221 30
*BLUM DI REVISI* HARAP MAKLUMI🙏🏻 Mengungkapkan rasa cinta kepada seseorang yang kita sukai itu berat banget. Seperti Dinara memperjuangkan cintanya...
351K 44.5K 47
(SUDAH DI BUKUKAN) "𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘱𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘦𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘴𝘢𝘵𝘶𝘬𝘢𝘯"- 𝘊𝘳𝘪𝘴𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘋𝘢𝘮𝘢𝘳 𝘓𝘢𝘶𝘸 "...