Erotomania [Tamat]

By triviaindriani

180K 23.4K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... More

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
19. Sisi Tergelap
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

6. Hadiah Kecil

7K 954 53
By triviaindriani

"Lho, kamu enggak pulang, Va?" tanya Agus sambil menghampiri meja sahabatnya. Seperti biasa, mereka berdua selalu menjadi 2 orang paling terakhir keluar kelas. Dilihat dari gelagatnya, Lova seperti tidak memiliki niatan untuk pulang, masih anteng duduk di kursinya. "Aku tebak, deh, pasti kamu mau pulang sama Kak Arvin. Benar?"

Lova hanya bisa menggaruk kepalanya sambil mengangguk kecil. Terkadang, dia tidak percaya dengan situasi yang tiba-tiba saja menghampiri hidupnya. Dia sudah terbiasa hidup tentram, tenang, tetapi tidak bisa berdamai dengan mata pelajaran sekolah. Dan kedatangan Arvin merupakan sebuah kejutan tidak terduga, ditambah lagi dengan fakta erotomania yang diidapnya. Lova sangat berharap bahwa keputusannya untuk mengikuti kemauan Bu Indira bukanlah sebuah kesalahan.

Ikut berdiam di sana, Agus memutuskan untuk duduk di meja Lova. Rambut klimisnya sudah berantakan sejak jam pelajaran matematika tadi pagi. "Kamu masih hutang penjelasan sama aku, Va, tentang kenapa kamu bisa dekat sama Kak Arvin. Perasaan, kamu selama ini cuma sama aku terus, kenapa tiba-tiba Kak Arvin bisa bilang kalau kalian pacaran?"

Selalu saja begini setiap kali ada yang bertanya tentang asal-usul kedekatannya dengan Arvin, Lova selalu mendadak bungkam. Saat bundanya bertanya, dan sekarang Agus, Lova bingung sendiri harus menjawab bagaimana. Tidak mungkin juga Lova mengatakan kebenarannya, karena itu sama saja membuka aib seseorang. Arvin baik, Lova sangat meyakini itu. Setelah segala perlakuan laki-laki itu, rasanya tidak etis kalau Lova memberi tahu tentang erotomania itu pada orang yang tidak berwenang.

"Aku juga bingung kenapa akhirnya bisa dekat." Perkataan yang sama seperti yang Lova katakan pada bundanya, dia berikan pada Agus sekarang. "Mungkin, emang dunia itu sempit, aku bisa jadi akrab sama Kak Arvin."

"Cuma akrab, atau sampai jadian juga?"

Lova tersenyum kecut. Cepat atau lambat, dia tetap akan mengatakan semuanya pada Agus, tentang hubungan pacarannya dengan Arvin. "Kita pacaran, Gus. Tapi, ini semua enggak seperti yang kamu pikirkan. Gimana aku kenal sama Kak Arvin, kita dekat, terus ujung-ujungnya jadian, semuanya enggak kayak pasangan yang lain." Lova semakin panas dingin saat Agus mengangkat sebelah alisnya, meminta penjelasan lebih lanjut. "Kita enggak ada pendekatan sama sekali. Aku mau jadi pacar Kak Arvin atas permintaan Bu Indira waktu kita belajar fisika itu."

"Jadi, waktu kita ke ruang guru buat minta bantuan Bu Dwi, kalian belum pacaran?" Agus membuang napas panjang saat Lova menggelengkan kepala. Jujur saja, dia kurang mengerti dengan penjelasan Lova barusan, terkesan ada yang disebunyikan. Namun, sebagai sahabat, Agus harus bisa menerima keputusan Lova. "Enggak apa-apa kalau kalian jadian, sih, aku cuma bisa terus dukung kamu di belakang. Tapi, kamu juga tahu kalau Kak Arvin itu banyak yang suka, 'kan? Kenal sama Kak Tamara?"

Mendadak, tubuh Lova membeku. Jelas sekali nama itu tidak asing di kepala Lova. Nama itu yang dia dengar tepat di hari pertama kali dia bertemu Arvin. Tidak bisa disebutkan pertama kali juga, mungkin saja mereka beberapa kali berpapasan, tapi Lova tidak menyadarinya. Intinya, pertemuan saat antre untuk makan siang itulah yang Lova ingat sampai hari ini. Dan gadis bernama Tamara inilah yang menjadi topik pembicaraan Arvin dan sahabatnya.

Dengan kepala yang penuh pemikiran negatif, Lova mendekatkan duduknya pada Agus. "Dia siapanya Kak Arvin, Gus?"

Agus geleng-geleng kepala, tidak menyangka kalau Lova bisa se-kudet ini. "Kak Tamara itu ketua tim cheerleader yang selama 2 tahun ini kejar-kejar Kak Arvin. Aku dengar-dengar, mereka juga pernah jadian waktu masih SMP. Jadi, Kak Tamara mau balikan lagi sama Kak Arvin gitu, tapi selalu ditolak." Dari sudut matanya, Agus bisa tahu kalau Lova sedang manggut-manggut. "Yang aku dengar juga, dia lumayan kejam buat menyisihkan saingannya."

Susah payah Lova menelan ludahnya. Tidak cukup hanya menghadapi segala tingkah Arvin yang selalu berhasil membuatnya panas dingin mendadak, sekarang Lova juga harus berhadapan dengan Tamara, gadis yang menyukai Arvin. Dengan semua pengorbanan ini, Lova sangat yakin bahwa derajatnya sudah diangkat tinggi-tinggi oleh Sang Maha Penyayang.

"Ahaha ...." Lova tertawa bodoh. "Kamu tenang aja, Gus, Kak Arvin bisa jaga aku dengan baik kok." Padahal dalam hati, Lova sedang mengkhawatirkan keselamatan hidupnya. Kemudian, dia bergerak bangkit dari duduknya."Udah 10 menit, aku pulang duluan, ya? Kamu hati-hati di jalan. Jangan lupa tugas matematika sama puisinya."

Begitu keluar dari kelas, Lova membuang napasnya kasar. Dia merasa baru saja keluar dari tempat aman, sementara luar kelasnya adalah tempat berbahaya yang bisa membuatnya celaka kapan saja. Dengan gerakan tanpa semangat, Lova melangkah menuju parkiran. Arvin memintanya untuk datang ke sana tepat 10 menit setelah bel berbunyi. Entah ada urusan apa dulu, Lova hanya bisa menuruti perkataannya. Dia juga berencana meminta bantuan Arvin untuk menyelesaikan tugas matematika.

Langkah Lova langsung terhenti saat dia mendapati kebersamaan Arvin dengan seorang gadis. Meskipun pada beberapa momen tubuh jangkung Arvin menghalangi, Lova bisa sangat yakin bahwa gadis itu begitu cantik. Rambut bergelombang terurai dengan indah, kulitnya putih terawat, matanya indah, hidung mancung, serta bibir tipisnya yang tampak begitu seksi, jemari tangannya yang lentik, lengkap dengan kuku yang berkilauan. Satu yang disayangkan Lova, dia memakai riasan terlalu tebal untuk ukuran siswa SMA.

"Aku yakin, itu cuma akal-akalan kamu aja buat tolak aku. Buktinya, selama ini aku enggak pernah tahu siapa pacar yang kamu sebut!" Gadis itu bersuara dengan nada tinggi, membuat Lova langsung beringsut menyembunyikan tubuhnya di balik mobil guru. "Lagian, aku kurang apa lagi, sih, Vin? Aku udah melakukan semuanya cuma buat kamu."

"Kurang lo cuma satu, Ra. Gak bisa bikin gue jatuh cinta kayak gue jatuh buat cewek gue," jawab Arvin dengan kejam. "Lagian, perlu gue kasih tahu siapa cewek gue sama lo? Emang lo siapa? Mendingan sekarang, lo pergi dari sini. Bentar lagi cewek gue datang. Gue enggak mau dia lihat kita. She doesn't deserve pain caused by you."

"Vin, please ...," mohon gadis itu dengan wajah memelas.

Namub, rupanya, Arvin tidak main-main dengan perkataannya. Dia mendorong gadis itu kuat-kuat, sampai hampir tersungkur. Jika tidak berpegangan pada motor yang ada di sana, pasti kaki dan tangannya sudah luka. Dengan wajah bengis, Arvin menunjuk jalan, meminta gadis itu pergi dari hadapannya. "Gue bilang pergi, ya pergi! Lo mau gue seret, hah?!"

Bukan hanya gadis itu yang terlonjak karena bentakan Arvin, Lova juga berpikir bahwa jantungnya hampir meloncat keluar menembus tulang rusuk. Apalagi melihat mata Arvin melotot seperti sekarang, Lova mendadak menyesal memenuhi permintaan laki-laki itu untuk ikut menjemput Pak Wisnu. Dia hanya bisa berdiri di sana, menatap kepergian gadis itu dengan pandangan sendu. Dan ketika sudah benar-benar pergi, barulah Lova berani keluar dari persembunyiannya.

"Kak Arvin," panggil Lova.

Laki-laki itu berbalik. Tidak ada lagi wajah sangar, tidak ada lagi mata yang setengah mencuat keluar. Yang hadir di wajah rupawan itu justru sebuah senyum lebar, lengkap dengan pandangan lembutnya. "Hai, Sayang." Arvin berjalan mendekati Lova, lalu menggandeng tangannya mesra. Karena memang tidak ada siapa-siapa di sana. "Yuk, kita jalan."

"Cewek barusan siapa?" Pertanyaan Lova berhasil membuat langkah Arvin berhenti saat itu juga. Wajah laki-laki itu kembali berubah, sudah mirip seorang kekasih yang baru saja ketahuan bermain di belakang. Pandangan lembutnya sudah berubah menjadi penuh perasaan bersalah. Tapi itu juga yang hinggap di hati Lova, merasa kehadirannya membuat sedih perempuan lain. "Kak Tamara, ya?"

"Lov, gue bisa jelaskan semuanya. Jangan langsung marah, ya? Gue enggak ada apa-apa sama dia, kok. Gue cuma sayang sama lo."

Lova tidak bisa senang dengan semua perubahan Arvin yang bisa dihitung detik ini. Merasa bersalah dan takut bercambur menjadi satu di dadanya.

***

"Jadi, Lova ini pacarnya Arvin?"

"Iya, Bu. Lova ini memang pacar saya."

Sungguh, cobaan masih terus datang menghujani kehidupan Lova semenjak bertemu dengan Arvin. Seperti sekarang ini. Dia hanya bisa berusaha menarik sudut bibirnya, di saat dia sangat ingin memaki. Dia hanya bisa mengangguk saat banyak pasang mata secara bergantian menatapnya tak percaya. Dia hanya bisa menunduk saat malu sudah tidak bisa lagi dibendung wajahnya.

Harusnya Lova tidak lupa bahwa papi Arvin-Pak Wisnu-juga merupakan kepala sekolah. Di mana ketika beliau sakit, para guru SMA Nusa Bangsa akan berbondong-bondong menjenguknya. Lova tahu, sel-sel otaknya tidak sebrilian milik Albert Einstein, tapi tidak perlu sebodoh ini. Dan sekarang, dia harus berhadapan dengan para guru yang memandangnya tidak percaya. Bagaimana tidak, dengan penuh rasa bangga, Arvin memperkenalkan Lova sebagai pacarnya.

"Ya ampun, kalau kayak gitu, kenapa kamu malah minta Ibu yang ajarkan termodinamika? Padahal sama Arvin langsung aja." Bu Dwi bersuara. Entah perasaan saja atau bukan, beliau terlihat senyum tulus, seperti gembira mengetahui hubungan Arvin dengan Lova. "Enggak cuma fisika, kamu bisa minta diajarkan pelajaran apa aja sama Arvin. Kayak yang Ibu bilang, enggak cuma di lapangan, Arvin juga pintar di bidang akademik."

"Kamu minta diajarkan termodinamika sama Bu Dwi, Lova?"

Senyum menahan malu Lova langsung luntur saat mendengar suara Pak Randi. Apalagi saat melihat ekspresi tak suka di wajahnya, perasaan Lova semakin tidak karuan. "Emm ... anu, Pak ... itu ...."

"Penjelasan dari Pak Randi kurang dimengerti, Pak." Tiba-tiba saja Arvin bergabung ke dalam pembicaraan itu. Dia seakan tidak peduli dengan karakter Pak Randi yang mudah tersulut emosi, malah mengatakan kebenaran yang selama ini menjadi rahasia para siswa. "Penyelesaian soal yang Bapak tulis tertutup sama badan Bapak sendiri. Selain itu, Bapak juga tidak pernah bertanya apakan para murid mengerti atau tidak. Memutuskan ulangan tanpa mau peduli kalau-kalau materinya tidak dicerna baik oleh murid. Karena Bapak terkenal mudah marah, jadi-"

Dengan cepat, Lova menarik ujung seragam bagian belakang Arvin, meminta laki-laki itu tidak melanjutkan kalimatnya. Memang, dia adalah anak kepala sekolah, anak emas yang dibangga-banggakan para guru, baik di kelas maupun lapangan. Namun, tetap saja, bukan begitu caranya memberikan kritik pada seorang guru. Dan untungnya, Arvin mengerti maksud Lova. Dia berhenti bicara saat itu juga.

"Saya minta maaf, Pak," ucap Arvin kemudian. Sungguh, jika tidak ada Lova di sana, sudah pasti Arvin akan menjabarkan semuanya di hadapan guru yang lain. "Kita ke belakang dulu, Pak, Bu." Arvin menggenggam tangan Lova. "Pi, Arvin ke belakang," lanjutnya berpamitan pada papinya. Laki-laki paruh baya itu hanya mengangguk.

Sementara itu, Lova hanya bisa mengikuti ke mana Arvin membawanya. Dan sudah bisa ditebak, Arvin membawanya ke kamar. Sebuah ruangan di mana kebenaran hadirnya delusi akhirnya bisa Lova ketahui. Masih sama seperti dulu, segala ornamen yang berhubungan dengan Lova masih setia pada tempatnya. Dan Lova juga hanya bisa menurut saat Arvin memintanya menunggu, sementara dia kembali keluar untuk mempersiapkan minuman.

Mata Lova bergerak menikmati sisi lain Arvin yang menurutnya liar. Dan lihatlah itu, ternyata foto mereka berdua yang diambil saat kencan kemarin malam sudah terpasang di atas nakas samping ranjang, lengkap dengan figura hati berwarna merah muda.

"Lo suka muffin?" tanya Arvin sekembalinya dari dapur. Dia meletakkan dua gelas jus tomat serta satu piring muffin keju di atas meja belajar. Lalu, dia berbalik, memandang Lova lekat-lekat. "Gue enggak tahu informasi lo tentang muffin. Jadi, suka atau enggak?" Dia mendapati Lova hanya mengangguk sebagai jawaban. "Suka banget atau biasa aja?"

"Enggak terlalu, sih." Lova mengangkat bahunya. Dia berpikir sejenak, mengingat kue apa yang paling dia sukai. "Aku lebih suka kue mente, kayaknya."

"Tapi gue yakin, lo lebih suka gue daripada kue mente," celetuk Arvin. Dia tergelak saat Lova memutar bola matanya malas. Dia menulis 'kue mente' di selembar sticky notes, lalu menempelkannya di daun pintu lemari, bergabung dengan sticky notes lain yang sudab menempel lebih dulu. Sementara Lova setia memperhatikan pergerakannya, sampai laki-laki itu duduk di sampingnya. "Kenapa lo mau jadi pacar gue, Lov?"

Lova langsung terbatuk saat ditanya demikian. Arvin adalah makhluk paling random yang pernah Lova kenal dalam hidupnya. Mereka sedang membahas tentang kue, malah berbelok jauh ke alasan Lova mau menjadi pacarnya. Lova yakin, alasan yang Arvin maksud di sini adalah alasan Lova menerimanya di hari kemerdekaan RI, saat kacamatanya diikat tali rapia. "Enggak bisa lebih random lagi pertanyaannya, Kak?" tanya Lova setelah batuknya reda dengan bantuan jus tomat buatan Arvin. Kenapa jusnya bisa seenak ini sih?

"Apa yang paling lo suka dari gue?"

Lova memandang Arvin malas, tetapi laki-laki itu malah tersenyum. Manis, Lova akui. Hanya saja, Lova tidak bisa terpesona karena senyum itu. Atau mungkin ... belum? "Waktu itu, aku berpikir enggak ada salahnya mencoba. Enggak ada salahnya aku melangkah maju untuk sesuatu yang belum pernah aku lakukan. Kak Arvin butuh aku." Tentu saja, kejadian di kamar inilah yang sedang Lova bayangkan, saat Bu Indira memohon-mohon padanya.

"Iya, lo bener, Lov. Gue butuh lo. Banget."

Dan sekarang, Lova kembali bungkam seribu bahasa. Matanya bisa membaca dengan jelas seberapa besar Arvin membutuhkannya. Karena di mata itu ada putus asa yang begitu besar, serta kasih sayang yang jauh lebih besar lagi. Terkadang Lova berpikir, mungkin Tuhan sedang ingin memberi tahunya, bahwa Lova juga bisa menjadi makhluk yang berguna untuk manusia lain. Dia tidak menonjol di akademik, tidak tahu bakatnya sampai sekarang, tidak ada bidang olahraga yang dikuasai. Namun, Lova bisa begitu berarti untuk manusia di hadapannya, Arvin Zachary.

"Dan tentang cewek yang tadi ngobrol sama gue, dia bukan siapa-siapa. Dia cuma cewek gak tahu malu yang terus aja kejar gue, padahal udah gue tolak berulang kali. Lo harus percaya sama gue, cuma lo yang gue sayang, Lov. Cuma lo yang ada di hati gue," jelas Arvin panjang lebar, sambil menggenggam tangan Lova kuat-kuat. Dia bertingkah seakan-akan Lova adalah tipe pacar pencemburu yang akan marah besar hanya karena melihat kekasihnya bicara dengan gadis lain. Ayolah, Lova saja tidak tahu bagaimana rasanya cemburu, karena dia tidak pernah menyimpan hati pada lawan jenis.

Bibir Lova mengukir senyum, berusaha meyakinkan Arvin bahwa dia tidak masalah dengan kejadian tadi. "Iya, aku percaya sama Kak Arvin. Lagian, aku juga tahu kalau Kak Tamara cuma mantan Kak Arvin, enggak lebih. Iya, 'kan?" Arvin mengangguk penuh kemantapan, membenarkan ucapan Lova. Karena pada faktanya, cuma aku yang ada di delusi Kak Arvin.

"Oh iya, gue punya sesuatu buat lo." Arvin melepaskan pegangan tangannya, bergerak mengambil sebuah kotak yang tersimpan di dalam laci nakas. Kotak itu berwarna kuning, lengkap dengan pita lucu bermotif polkadot. "Maaf gue baru bisa kasih ini sekarang. Ini juga gue minta bantuan sama temen, soalnya enggak ngerti kalau harus beli sendiri. Semoga lo suka," ucapnya sambil meletakkan kotak itu di atas pangkuan Lova.

Meskipun ragu, Lova tetap bergerak membuka kotak itu. Karena mustahil Arvin memberikan sesuatu yang akan membuatnya menjerit ketakutan. Dan ternyata benar, isinya memang sesuatu yang akan sangat Lova sukai. Sebuah lighstick, album, poster, photocard, bahkan kipas bergambar anggota boyband idolanya. Lova senang, bahkan sudah masuk kategori bahagia. Terlalu bahagia sampai jantungnya bergerak 2 kali lipat.

"Kak, ini ...." Lova tidak bisa berkata-kata. Selama ini, dia selalu ingin membeli segala bentuk merchandise yang ada di kotak itu. Namun, belum bisa karena ayahnya tidak suka jika Lova membeli barang-barang yang tidak bermanfaat. Secara otomatis saja Lova tersenyum lebar pada Arvin. Mungkin ini senyum tulus pertama yang dia berikan untuk laki-laki itu. "Makasih banyak, Kak."

"Don't say thank you. I will do anything to make you happy. And I also happy because I was the reason of your beautiful smile."

Dan ternyata, tidak terlalu buruk untuk menjadi pacar laki-laki yang sakit erotomania.

*
*
*
Hehehe, bahagia juga ya Lova sama Arvin.

Jadiii, updatenya digilir sama cerita Ares-Odit yaa...

Bini Ceye,
05 Maret 2020
Repost : 10 Oktober 2020

Continue Reading

You'll Also Like

753 95 40
Kisah ini bukan hanya menceritakan tentang percintaan yang rumit, tapi juga soal hubungan persahabatan yang rumit. Tentunya ini akan menjadi kisah ya...
1.8M 191K 51
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
10.3K 1.1K 14
Anda saja Beomgyu mengetahui semuanya dari awal, penyesalan tak berujung ini mungkin tak akan ia rasakan. Choi Beomgyu x Choi Yeonjun Top/Dom Beomgyu...
105K 13.2K 34
"Rockstar" -(n) a famous and successful singer or performer of rock music. Bintang rock yang menjadi kebanggaan negara Inggris itu bernama Nathaniel...