Erotomania [Tamat]

Galing kay triviaindriani

171K 22.5K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... Higit pa

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
11. Detak Jantung
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
19. Sisi Tergelap
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

5. Sebuah Pengakuan

7.3K 956 57
Galing kay triviaindriani

Lova hanya bisa menunduk saat ayahnya sedang berada tepat di hadapannya. Jika biasanya mereka cipika-cipiki, membuka sejumlah oleh-oleh bersama, atau bercengkrama panjang lebar menceritakan sejumlah pengalaman unik yang ayahnya alami saat bekerja di luar kota, kali ini justru terasa begitu dingin. Tatapan mata tajam yang sedari tadi tidak pernah lepas sudah Lova dapatkan dari sejak pertama kali muncul di balik gerbang. Biasanya, dia menyambut kedatangan sang ayah dengan piyama gambar Doraemon, kali ini justru Lova terlihat berbeda. Kemeja ungu tua, jelana jeans putih, sepatu kets warna senada, serta tas selempang hitam.

Lova baru saja pulang kencan dengan Arvin.

"Bunda kasih izin Lova pergi?" Suara dingin itu membuat suasana semakin menegangkan. Apalagi Bu Arumi, hampir saja copot jantung ditanya tiba-tiba seperti itu. Namun, pelan-pelan, Bu Arumi hanya bisa mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. "Kan, ayah udah bilang sama kalian semua, enggak boleh ada yang keluar kalau udah mau maghrib. Apalagi sama orang yang enggak ayah kenal. Yang ini, sudah pergi enggak minta izin sama ayah, pergi sama laki-laki yang enggak ayah kenal, pulangnya juga cuma naik taksi. Laki-laki macam apa yang bawa kamu pergi itu, Va?"

Perkenalkan, nama bapak-bapak yang sedang duduk di seberang meja adalah Pak Januardi, ayah kandung Lova dan Vanka yang terkenal lemah lembut tetapi bisa sangat tegas. Seperti sekarang, beliau tidak terima anak bungsunya melanggar aturan tidak tertulis yang beliau tetapkan untuk semua penghuni rumah, tidak ada yang boleh keluar setelah adzan Maghrib, apalagi tanpa izin beliau sebagai kepala keluarga. Beliau semakin marah saat tahu Lova pergi dengan seorang lelaki, tetapi pulangnya hanya naik taksi. Dari gerbang saja cara jalannya sudah mirip maling, mengendap-endap sambil terus memandang pintu utama. Bahunya langsung merosot saat tiba-tiba Pak Janu membuka pintu. Yah, kena sidang, batin Lova saat itu.

Beliau tidak pernah melarang putri-putrinya untuk menyukai lawan jenis, untuk berpacaran pun tidak masalah. Asalkan itu tidak mengganggu tugas utama mereka, yaitu belajar. Beliau juga tidak pernah marah jika nilai ulangan Lova hanya bisa mentok di KKM, yang penting anaknya sudah berusaha. Beliau tidak marah anaknya terus bermain ponsel atau menonton televisi, asal tugas sekolah sudah dikerjakan. Yang paling beliau tekankan dari dulu, memperkenalkan teman-teman kedua putrinya pada beliau, supaya mereka berdua tidak salah kaprah.

"Kenapa enggak diantar sama Mas Arvin, Va?" Bu Arumi bersuara, sedikit kecewa karena pemuda yang beliau sukai itu kali ini justru malah lepas tanggung jawab.

"Pak Wisnu masuk rumah sakit, Bun. Tadi dikasih kabar sama Bu Indira." Lova lebih berani mengangkat kepalanya untuk bicara dengan sang bunda dibandingkan untuk bertukar pandang dengan ayahnya. Jika sudah membuat kesalahan seperti ini, Lova selalu berusaha menjaga jarak, memberi ruang pada ayahnya untuk mendapat ketenangan. "Tadi, sebenarnya Kak Arvin maksa-maksa buat antar aku pulang, katanya dia harus tanggung jawab sama aku. Tapi, aku tetap minta dia buat segera ke rumah sakit, Pak Wisnu lebih butuh dia, anaknya." Lova kembali menunduk. "Aku minta maaf, Yah."

Terdengar suara Pak Janu yang membuang napas panjang. Rasa lelahnya tidak seberapa jika dibandingkam rasa khawatir terhadap putrinya, takut Lova salah jatuh hati, malah pada laki-laki yang tidak bertanggung jawab. "Ya sudah, ayah maafkan kamu. Tapi, untuk ke depannya nanti, kamu harus izin sama ayah kalau pergi. Apalagi ini sama lawan jenis, ayah khawatir."

"Maaf."

Tidak tega melihat putrinya terus menunduk, Pak Janu langsung berdiri dan bergerak merengkuh tubuh Lova. Beliau mencium puncak kepala Lova untuk menuntaskan rindu selama seminggu tinggal di kota orang. "Kamu berharga untuk ayah." Pak Janu menatap Vanka dan Bu Arumi. "Kamu, Vanka, Bunda, kalian semua sangat berharga untuk ayah. Ayah enggak bisa jaga kalian terus menerus, memastikan kalian semua aman. Maka dari itu, ayah perlu tahu kalian pergi ke mana, dengan siapa, pulang kapan, ayah perlu memastikan bahwa orang-orang yang berharga dalam hidup ayah akan kembali pulang setelah pergi dari rumah."

"Berpelukaaan!" seru Vanka sambil menarik bundanya dan bergabung dengan Lova dan ayahnya. "Kangen banget sama Ayah kita, tuh. Kangen aroma kopi buatan Bunda untuk Ayah, kangen senyum Ayah, kangen petuah Ayah. Tapi, enggak kangen sama wajah serem Ayah yang tadi. Kita takut! Hehe ...."

Pak Janu tergelak, semakin memgeratkan pelukannya pada tiga perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya. Beliau tidak pulanya orang tua, hanya keluarga kecil inilah yang menjadi arah pulangnya. "Ayah minta maaf udah bikin kalian takut. Ayah cuma khawatir sama anak ayah yang satu ini." Pak Janu menggoyang-goyangkan tubuh Lova. Lalu beliau melerai pelukan itu saat teringat sesuatu. "Pada mau buka oleh-oleh, enggak?"

"Mauuu!" jawab semua orang dengan penuh semangat. Lalu semuanya bergegas beranjak, memburu koper Pak Janu yang ada di dekat lemari.

Beginilah keluarga Lova, sederhana, tetapi bisa menjadi luar biasa saat bersama. Mengadakan sidang darurat karena dua anak yang terkadang melanggar aturan, lumayan sering terjadi. Pulang telat, mengerjakan tugas mepet deadline, atau karena Lova dan Vanka yang terlibat percekcokan yang berasal dari gurauan. Namun, setelah itu, semuanya akan baik-baik saja. Diakhiri dengan pelukan hangat, lalu berlanjut dengan tawa riang yang membahana ke seluruh sudut rumah.

Hanya saja, kenapa terasa kosong dada Lova? Tidak mungkin dia sedang mengkhawatirkan Arvin, bukan?

"Jadi, ada hubungan apa kamu sama laki-laki itu?"

Pergerakan tangan Lova langsung terhenti saat mendengar pertanyaan ayahnya. Dia menyimpan keinginan untuk membuka bungkusan kue mente. Berpikir keras tentang jawaban seperti apa yang akan dia jawab. Belum sempat Lova menemukan jawaban, Vanka sudah mendahului.

"Pacarnya, Yah," jawab Vanka dengan enteng. Wajahnya santainya tampak menyebalkan di mata Lova, apalagi sambil mengunyah kerupuk udang. "Kalah kakak, nih, Lova udah sold out duluan. Mana dia anaknya kepala sekolah lagi."

Lova langsung melotot, meminta Vanka untuk berhenti bicara hanya sampai di sana. Jangan sampai bagian paling penting-paling rahasia-sampai terungkap ke permukaan. Apalagi di sini ada bundanya, yang sedang tersenyum penuh arti. Lova langsung menggeleng, mengetahui arti tatapan itu. "Enggak, Bun! Bukan pacar, kok!" kilah Lova. Ingin rasanya dia melempar bungkus kue mente di tangannya ke wajah Vanka. Setelah mengatakan itu, Lova terdiam sendiri.

Keadaan akan buruk jika orang tuanya mendengar kabar tak benar itu dari Arvin. Pasti Arvin akan dengan sangat senang hati memberi tahu bahwa mereka berpacaran, mengingat dia begitu antusias minta diperkenalkan kepada ayah Lova. Mereka memang berpacaran, semenjak Lova menerima permohonan Bu Indira, mereka memang resmi berpacaran. Namun, semua itu tidak seperti yang akan orang lain pikirkan. Lova terpaksa, demi kemanusiaan. Dan sebuah kemustahilan besar untuk Lova mengatakan yang sebenarnya, karena itu akan membuat orang tuanya cemas.

"Emm ...." Lova melirik orang tuanya secara bergantian, berakhir pada Vanka yang tersenyum jahil ke arahnya. Jika di sana tidak ada orang tua mereka, sudah pasti Lova akan menyerang Vanka secara membabi buta. "Iya, dia pacar Lova."

"Tuh, kan! Pacarnya, Bun. Tadi aja bilangnya bukan, sekarang ngaku juga." Vanka malah bahagia sendiri melihat wajah kusut adiknya. Dia hanya membantu, karena akan menjadi masalah besar kalau ayah dan bunda mereka tahu hubungan aneh itu dari Arvin, bukan dari putri mereka. "Cuma gitu, Lova belum ada rasa apa-apa sama Arvin. Cowoknya aja yang ngebet banget sama Lova, sampai mau-mau aja pacaran sama orang yang enggak ada perasaan sama dia. Vanka intip-intip, dia kayaknya orang baik, tapi tetep aja kita harus waspada, 'kan?"

Bu Arumi langsung bergerak mendekati putri bungsunya dan merangkul bahu Lova. "Kenapa enggak bilang sama bunda kalau kalian pacaran? Tahu gitu, bunda enggak perlu menebak-nebak, 'kan?"

"Malu aja, Bun. Takut Bunda bilang enggak boleh juga," cicit Lova.

"Ayah enggak pernah larang kalian berdua buat punya hubungan istimewa sama lawan jenis, asalkan hubungan itu hubungan yang sehat. Kalian bisa saling dukung sama pasangan kalian, tahu mana yang jadi prioritas, dan yang paling penting kalian harus bahagia menjalani hubungan itu." Pak Janu bersuara. Beliau kaget, jujur saja. Namun, memiliki hubungan dengan laki-laki bernama Arvin itu sudah menjadi keputusan Lova. Beliau harus menghargainya, serta memantau anaknya dengan laki-laki itu.

Tapi, Lova enggak bahagia, Yah.

***

Lova terperanjat saat mendapati seseorang sedang berdiri di pintu masuk toilet. Itu toilet wanita, tetapi orang yang berdiri di sana adalah seorang laki-laki dengan perawakan sempurna. Badannya tinggi, bahu lebar, dada bidang, punggung tegap, tangan dengan urat-urat yang menonjol, serta wajahnya yang ... sangat tampan. Lova mengakui, untuk beberapa saat dia bisa dengan mudah terpesona dengan senyum Arvin. Tapi jika dia mengingat tentang kondisi psikologis laki-laki itu, buyar sudah pesonanya. Tergantikan dengan kengerian, serta prihatin.

"Hai!" sapa Arvin dengan begitu ceria. Seperti tidak terjadi sesuatu saja semalam, dia tersenyum lebar pada Lova sampai matanya menyipit. "Gue ke sini mau minta maaf karena enggak bisa jemput lo tadi pagi. Dan sebagai permintaan maaf gue, ini buat lo."

Secara refleks saja Lova menunduk, mendapati sebuah keresek putih kecil sedang menggantung di tangan Arvin. Dari luar saja Lova bisa tahu kalau itu adalah jus tomat, minuman favoritnya. Dan perlahan tapi pasti, tangan Lova terulur untuk menerima keresek itu. "Gak usah minta maaf, tadi aku juga ke sini naik ojek online, kok. Kak Arvin juga enggak perlu sampai bikin jus buat aku kayak gini segala, jadi repot sendiri, 'kan?"

Arvin berdecak. Melipat kedua tangannya di depan dada, lalu menyandarkan punggungnya ke punggung tembok toilet. Mereka tidak sadar tempat, seakan tidak masalah jika ada siswa yang memergoki kebersamaan mereka. "Gue enggak suka lo bilang repot-repot kayak gitu, ya. Gue itu cowok lo, udah seharusnya gue bikin lo bahagia. Apalagi jelas-jelas di sini gue bikin salah, harus usaha buat dapat maaf lo."

"Iya, iya, aku maafin." Lova memilih untuk mengalah. Jika biasanya dia bisa langsung tersenyum saat berhadapan dengan orang yang senyum padanya, itu sama sekali tidak berlaku untuk Arvin. Apalagi saat ini suasananya terasa aneh. "Gimana keadaan Pak Wisnu?"

"Biasa, asam uratnya kambuh. Ketahuan makan daging merah, deh. Sampai dijewer-jewer sama mami, seneng gue lihatnya." Arvin malah tertawa membayangkan bagaimana lucunya papinya yang pasrah direcoki sang istri. Dia tidak tahu saja kalau Lova sampai cemas memikirkan kondisi Pak Wisnu, kepala sekolah sekaligus ayah dari laki-laki di hadapannya. "Mau balik ke kelas, 'kan? Gue antar, yuk!"

Belum sempat Lova menjawab, Arvin sudah menarik pergelangan tangannya, meninggalkan toilet wanita sambil berjalan beriringan. Koridor di sana masih sepi, karena para siswa sudah kembali ke kelas masing-masing untuk menyambut pelajaran selanjutnya. Mungkin, ada sebagian juga yang masih betah di kantin, baru kembali saat bel berbunyi. Sementara Lova, dia sedang berjalan menulusuri koridor dengan laki-laki yang saat ini berstatuskan sebagai pacarnya.

Lova sama sekali tidak pernah membayangkan akan memiliki pacar saat dia masih duduk di bangku SMA. Hampir semua orang berkata bahwa masa putih abu adalah masa yang menyenangkan. Cinta pada masa ini merupakan cinta yang akan selamanya membekas, bahkan saat nanti sudah memiliki pasangan sah sekalipun. Namun, yang menjadi fokus Lova selama ini hanya belajar segiat mungkin. Dia sadar diri, otaknya pas-pasan, Lova harus belajar berulang kali untuk bisa mendapatkan nilai ulangan yang melebihi KKM. Saat banyak siswa SMA yang membayangkan indahnya dunia perkuliahan, justru Lova membayangkan pelajaran dengan tingkat kesulitan lebih tinggi siap menyiksanya setiap hari.

Dan kenyataannya, Lova sekarang memiliki hubungan dengan Arvin.

"Ayah lo pulang nanti siang?"

"Hah?" Lova terperanjat. Dia seketika teringat tentang kebohongannya kemarin siang. "Oh itu? Ayah bikin surprise ternyata. Kemarin bohong bilang kehabisan tiket, tuh. Pas pulang semalam, ternyata udah ada di rumah aja."

"Jadi, gue boleh main ke rumah lo nanti, sekalian kenalan sama ayah lo?"

Langkah Lova langsung terhenti saat itu juga. Begitu membara semangat Arvin untuk bisa berkenalan dengan ayahnya. Dengan delusi menyebalkan yang membuat Arvin berpikir bahwa selama ini mereka menjalani hubungan diam-diam, Lova harus bisa putar otak di momen-momen tertentu. Seperti sekarang contohnya, dia tidak tahu harus mejawab ucapan Arvin seperti apa. Apalagi, sekarang sudah ada dua siswi kelas 12 yang berjalan berlawanan arah dengan mereka. Keduanya langsung berbisik-bisik saat mendapati Arvin sedang berjalan dengan Lova.

"Gue enggak masalah kalau lo mau backstreet dari orang-orang sekolah. Tapi, masa mau backstreet juga dari keluarga kita?"

Allahuakbar!

Yang Lova bisa lakukan hanya tersenyum kikuk pada 2 kakak kelasnya yang menatap ke arahnya dengan penuh penilaian. Iya, Lova tahu, dia memang tidak pantas bersanding dengan Arvin secara fisik. Lihat hasilnya? Arvin yang tergila-gila pada Lova sampai menciptakan delusinya sendiri.

Kenapa sekarang Lova malah bangga dengan fakta itu, ya?

"Kak." Lova menggelengkan kepalanya, meminta Arvin untuk berhenti bicara. Sialnya, Arvin malah tidak mengerti. Dan setelah mendapati Arvin membuka mulutnya, hendak kembali angkat suara, Lova yang bergegas menarik tangan Arvin untuk keluar dari koridor toilet. "Kak, aku udah bilang buat jangan ngomong masalah hubungan kita di sekolah. Aku enggak mau jadi bahan omongan orang lain," cerca Lova begitu mereka sudah jauh dari toilet. Dia juga sudah melepaskan tangannya dari pegangan Arvin.

"Yang dengar cuma mereka berdua, kok, enggak apa-apa kali." Arvin malah bersikap santai. "Gue juga masih bingung, kenapa lo enggak mau go public sama gue? Kenapa lo betah banget sama hubungan backstreet kayak gini?" Arvin menunduk, menyipitkan matanya saat bertukar pandang dengan Lova. "Lo enggak menyesal udah jadian sama gue, 'kan?"

Aku terima perasaan Kak Arvin aja cuma di delusi! Lova berteriak dalam hati. Hanya dalam hati, dia tidak bisa meneriakkannya secara langsung. Karena setiap ada keinginan untuk marah pada Arvin, wajah memelas Bu Indira suka secara tiba-tiba saja terbayang. "Enggak gitu, Kak. Aku cuma enggak mau aja jadi bahan gunjingan orang-orang. Lagian juga, Kak Arvin aneh, sih, malah suka sama cewek kayak aku."

"What do you mean with 'cewek kayak aku' here?" Nada bicara Arvin berubah seketika, menjadi rendah. Jelas sekali dia tidak suka dengan ucapan Lova. "Hey, dengerin gue." Tangan Arvin bergerak menyelipkan rambut Lova ke balik daun telinganya. Dia merapikan poni Lova yang sedikit berantakan karena telah berlari barusan. "Lo cantik. Lebih dari sekedar cantik untuk bikin gue tergila-gila sama lo. Lo cantik dengan apa adanya diri lo, dengan semua kelebihan serta kekurangan lo."

Lova menepis tangan Arvin yang sibuk dengan rambut miliknya. "Cih, katanya tergila-gila, tapi masih bisa bilang aku punya kekurangan!"

Sontak saja Arvin tertawa kencang saat itu juga. Dia menyayangkan sikap menggemaskan Lova ini justru kembali di tunjukkan di area sekolah, saat mereka masing menggunakan seragam. Jika seandainya Lova bisa bersikap semenggemaskan ini saat mereka berkencan semalam, Arvin pasti akan membawa Lova ke rumah sakit saja. Menyimpannya seorang diri, dan tidak membaginya dengan orang lain. Baiklah, cukup. Dia sudah mirip psikopat.

"Iya, iya, lo sempurna buat gue." Arvin tersenyum manis sambil memandangi wajah Lova. Saat sedang cemberut pun, Lova akan selalu cantik di matanya. "Gue enggak kenal logika kalau udah urusannya sama lo, deh. Disebut gila juga gue terima lapang dada."

Emang udah gila! dengkus Lova, masih dalam hatinya. "Ya udah, aku masuk kelas dulu. Makasih buat jus tomatnya." Lova mengangkat kantong plastik di tangannya, lalu berjalan meninggalkan Arvin.

"Lov!" panggil Arvin saat Lova baru mengambil langkah ke-tiga. Dia menoleh, lengkap dengan alis yang terangkat di balik kaca mata tebalnya. "Mau temenin gue ke rumah sakit, enggak? Papi keluar sore nanti. Bisa?"

Lova tampak berpikir. Dia tidak memiliki kesibukan apa-apa sore ini. Lagipula, dia juga perlu memastikan kabar Pak Wisnu, selaku siswa dari SMA Nusa Bangsa yang dipimpin beliau. Meskipun tidak mengenalnya secara pribadi, tetapi Lova juga mengidolakan Pak Wisnu. Beliau dikenal bijaksana, tidak sungkan untuk menyapa para siswa, bahkan tidak keberatan harus menyapu halaman sekolah supaya tetap bersih. Sebagai seorang siswa dan seorang gadis yang mengidolakan beliau, tidak ada salahnya Lova ikut Arvin.

"Iya, boleh. Nanti tunggu aja di tempat parkir."

*
*
*
Pada akhirnya, Lova mengakui Arvin pacarnya juga. Mwehehe...

Lanjut?

Bini Ceye,
03 Maret 2020
Repost : 09 Oktober 2020

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

4.9K 744 31
Haru tak pernah menyangka seseorang yang disukainya sejak lama akan berakhir satu atap dengannya. Jika saja waktu bisa diputar, ia akan menentang aca...
358K 11.3K 16
[16+] - COMPLETED Sonya Ayudia Prameswari baru saja selesai tersandung kasus obat-obatan terlarang yang diduga dikonsumsinya tanpa seizin dokter, na...
1.6M 113K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
3.8K 749 33
Ren Walters, seorang vokalis dari band mendunia yang tak sengaja bertemu dengan seorang perempuan di jalanan dan menyelamatkannya dari dua orang prem...