Daddy's Day Out

By renitanozaria

4.1M 569K 327K

(Completed) (Berlanjut ke Get on The Gouws) "The difference between a 'man' and a 'father' is that the forme... More

Meet The Daddy(s)
00
01
02
03
04
05
06
07
TRIVIA: THE GOUWS
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44

31

70.3K 11.1K 3.9K
By renitanozaria

Promise is something you can't take lightly. It either makes something, or breaks everything.
So don't promise me anything. Just stay here.

— Acacia Tredayorka T.

***

Jef masih memeluk erat gulingnya saat pintu kamar dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Salah satu alis Jef terangkat, meski matanya masih terpejam—lalu dia ingat, ini pagi pertamanya di rumah baru dimana dia tidak lagi tinggal sendirian, melainkan bersama Sashi dan Jo.

"Dad, bangun! Ayo, sarapan!"

Jef hanya bergumam tidak jelas sebab setengah kesadarannya masih tertinggal di alam mimpi.

"Dad!"

Jef justru kian kuat mendekap guling dan membiarkan selimut terhampar sampai menutupi sekujur tubuhnya. Dia bisa mendengar suara langkah kaki Sashi mendekati kasurnya, disusul selimut yang tersingkap dari bagian kepalanya.

"Dad!"

Jef membuka matanya sedikit, disambut oleh kamar yang remang sebab hanya diterangi oleh cahaya dari lampu tidur di atas nakas sementara gorden tebal yang menutupi jendela belum digeser sama sekali. Tapi dari celahnya, Jef tahu matahari tengah mulai meninggi di luar, seiring dengan waktu yang merambat menuju siang.

Jef harus mengakui, anak perempuannya terlihat seimut itu di pagi hari. Rambutnya sudah lebih panjang dibanding ketika pertama kali Jef bertemu dengannya, membuat dahinya jadi lebih terlihat dan otomatis, itu bikin Sashi tampak lebih dewasa. Gadis itu telah mengenakan seragam sekolahnya, menguarkan bau parfum floral dengan sedikit sentuhan aroma manis yang lembut menyapa hidung Jef.

"Dad!" Sashi bermaksud mengguncang bahu Jef dengan tangannya, namun lelaki itu justru memegang pergelangan tangan Sashi, menariknya hingga Sashi kehilangan keseimbangan dan tanpa bisa menolak, jatuh begitu saja di atas dada ayahnya. "Ih, apa-apaan sih! Daddy masih bau belek!"

Jef justru mengeratkan dekapannya pada Sashi, membiarkan gadis itu berteriak di lehernya sementara dia mengecup puncak kepala Sashi sebanyak yang dia bisa. "Mwah... mwah... mwah... mwah... mwah..."

"Dad!" Sashi berkacak pinggang ketika Jef akhirnya melepaskannya. Matanya memandang galak, namun Jef justru kembali memejamkan tawa sembari tertawa renyah. Mungkin karena dia baru bangun tidur, suara tawanya terkesan lebih dalam dan berat dari biasanya.

"Wangi bener anak gue..."

"Sarapan, buru!"

"Ogah."

"Kita tuh tinggal bareng biar ada lebih banyak quality time, termasuk bisa sarapan bareng! Nih malah lebih milih tidur! Dad lebih milih kasur apa sarapan sama aku?"

"Kasur."

"Daddy!"

Jef terkekeh, masih merem. "Yaudah, gue sarapan dengan satu syarat."

"Apa?"

"Cium pipi."

"Dih, males! Itu namanya mencari kesempatan di dalam kesempitan!"

"Lah, gue bapak lo! Normal kali anak perempuan cium pipi bapaknya!"

"Males."

"Yaudah."

"Yaudah."

Jef rada kecewa karena Sashi langsung menyerah begitu saja. Dia mendengus, lantas ganti posisi berbaring hingga jadi menyamping dan memunggungi Sashi. Jef juga menarik selimut sampai menutupi kepalanya, kemudian memeluk guling erat-erat sembari cemberut.

"Ck, pake ngambek segala." Sashi berdecak, namun malah teringat pada sesuatu yang lain. "Oh ya, Dad, aku punya info soal Tante Jennie."

Jef memejamkan mata, mencoba kembali tidur. "Nggak tertarik."

"Ini ada hubungannya sama Om Theo."

Mata Jef terbuka lagi dalam hitungan sepersekian detik. Dia bersyukur, posisinya sekarang sedang berbaring memunggungi Sashi dengan selimut menutupi kepalanya, jadi anak itu tidak bisa menyaksikan bagaimana ekspresi wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu yang demikian singkat.

"Masih nggak tertarik?"

"Nggak." Jef membalas cuek, meski dari airmukanya, tampak sekali dia sedang memasang telinga baik-baik.

"Tante Jennie nggak ada niat balikan sama Om Theo. Mereka cuma kerja sama, katanya sih mau bikin restoran. Om Theo jadi investor dan Tante Jennie yang ngurusin masalah makanan. Tante Jennie kan udah resign, Dad. Terus katanya dia nggak bakat jadi youtuber. Makanya jadi bikin bisnis bareng sama Om Theo."

Jef agak lega.

"Tapi aku nggak tahu Om Theo ada niat balikan apa nggak sama Tante Jennie. Habisnya aku nggak kenal, jadi belum nanya."

Jef batal lega.

"Tapi sekedar saran aja ya, Dad. Aku nggak tahu kenapa Daddy Jeffrey dan Mami nggak bisa bareng-bareng, juga nggak paham kenapa kalian mesti berjalan sendiri-sendiri. Mungkin karena kalian nggak saling komunikasi, atau karena aku hadir di saat yang nggak tepat. Seandainya alasannya yang kedua, aku minta maaf." Sashi berdeham, merasa aneh karena atmosfer dalam ruangan serasa menebal signifikan secara tiba-tiba. "But to know that in the end, both of you still have feelings for each other, won't it be too hurtful to happen twice?"

Jef membisu, tidak mampu berkata-kata.

"Yaudah kalau Dad nggak mau sarapan. Tapi nanti waktu dinner, tetap harus dinner bareng-bareng." Sashi berniat keluar dari kamar, namun suara Jef yang terdengar tiba-tiba membuatnya berhenti sejenak.

"Kalau gue diberi pilihan mengulang hidup gue, gue akan tetap memilih punya lo sebagai anak gue." Jef menghela napas, sengaja tidak berbalik karena dia akan jadi terlalu melankolis jika dia sampai bertatap muka langsung dengan Sashi. "Jadi semua yang terjadi itu murni salah gue, bukan lo."

Pendingin udara kamar Jef membuat suhu ruangan jadi sejuk, tapi anehnya, kata-kata Jef justru membuat justru mengaliri sekujur tubuh Sashi, seakan-akan dia sedang berdiri di dekat api unggun.

*

Jo sedang mengoleskan pisau roti berbalut mentega pada selembar roti tawar di tangannya saat Sashi muncul lagi di ruang makan. Rumah itu jelas terlalu luas hanya untuk ditinggali oleh tiga orang. Jujur, Jo lebih menyukai rumahnya, tempat di mana setiap sudutnya menyimpan kenangan akan Tris. Namun dia mencoba menyamankan diri di rumah ini, untuk Sashi.

"Dia nggak sarapan?"

"Nggak lapar kayaknya. Nggak tahu deh, mungkin chef punya jadwal makan yang berbeda." Sashi mengedikkan bahu seraya duduk di kursi makannya yang berada tidak jauh dari kursi Jo.

Beberapa lama, keduanya tidak bicara. Jo sibuk beralih pada jar berisi selai stroberi, sedangkan Sashi cukup puas memakan rotinya hanya dengan tetesan kental manis rasa cokelat. Terkadang, dia sering penasaran seperti apa rasanya makan roti pakai selai kacang atau pakai Nutella yang kata orang-orang enak banget itu. Namun apa daya, alerginya membuatnya hanya punya pilihan yang terbatas buat menikmati roti tawar di pagi hari.

"Oh ya, soal yang semalam, Papi kenapa?" Sashi baru menelan gigitan pertama rotinya kala dia teringat pada ekspresi aneh Jo waktu menutup pintu kamarnya semalam.

"Nggak apa-apa."

Semesta seakan tidak berpihak pada Jo. Jawaban Jo terbantahkan ketika detik berikutnya, pisau roti terlepas dari tangan pria itu, lalu jatuh ke lantai. Suara pisau yang beradu dengan lantai memecah keheningan. Sashi menyipitkan mata, merasa curiga waktu Jo malah terdiam, bukannya merunduk untuk memungut pisau yang jatuh.

"Papi?"

Jo masih diam, baru bereaksi waktu Sashi menggeser kursi dan berniat beranjak dari duduk.

"Papi nggak apa-apa."

Sashi mengabaikan ucapan Jo, tetap bergerak menghampiri ayahnya. Otaknya berpikir cepat, menerka apa yang mungkin terjadi pada Jo. Lantas begitu saja, dia memegang tangan kanan Jo yang tadinya memegang pisau. Telapak tangan lelaki itu terbuka. Sashi menempatkan jari-jarinya di atas telapak tangan Jo.

"Papi cuma kesemutan aja."

"Genggam tangan aku." Sashi berujar, masih tidak peduli pada apa yang Jo katakan.

"Acacia—"

"Sekarang, Pi."

"Tangan Papi kesemutan." Ucap Jo, suaranya jadi lebih pelan dan serak dari sebelumnya. "Nanti kalau udah nggak kesemutan, mungkin bisa—" Jo tidak sanggup melanjutkan kata-katanya tatkala dia tersadar pada bagaimana cara Sashi memandangnya sekarang. Sorot mata anak itu sangat tajam, seperti ingin mengulitinya, meneliti apakah ada kebohongan yang dia sembunyikan di balik ekspresi wajahnya.

"Sore ini, habis aku pulang dari sekolah, aku ke kantor Papi. Kita ke dokter."

"Kamu berlebihan—"

Sashi sudah keburu memotong. "Please?"

Jo menghela napas, tidak punya pilihan selain mengiakan. "Oke."

*

Saat jam istirahat tiba, Dery menyuruh Sashi pergi ke kantin lebih dulu karena dia mesti menghadap ke kantor kepala sekolah. Entah ada perkara apa—boleh jadi, kedua orang tuanya lagi-lagi melakukan kesalahan transfer nominal uang bulanan sekolah, meski sepertinya tidak mungkin mengingat Tedra paling alergi punya hutang, jadi bisa ditebak, dia pasti sudah melunasi uang bulanan sekolah Dery hingga anak itu lulus nanti. Sashi setuju, walau ujung-ujungnya, dia tidak pergi ke kantin dan malah berbelok ke lapangan basket indoor yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari kantin.

Bukan apa-apa, apa yang terjadi tadi pagi membuat Sashi tidak lagi merasa lapar. Pikirannya jauh lebih menyita perhatiannya. Dia butuh tempat untuk merenung—atau lebih tepatnya melamun—sepuas yang dia inginkan. Kantin jelas tempat yang tidak kondusif sebab terlalu ramai. Belum lagi, Sashi pasti akan berjumpa dengan Felix dan Tamara di sana.

Sashi tahu Felix dan Tamara itu baik, hanya saja, mereka sering terlalu berisik.

Lapangan indoor yang dimaksud adalah satu dari banyak venue olahraga yang dimiliki sekolah Sashi. Gara-gara kebanyakan duit, tiap tahun pasti selalu ada gedung baru. Imbasnya, lapangan indoor itu jadi jarang terpakai. Padahal tempatnya luas, lebih mirip stadion. Pihak sekolah sengaja menyebutnya lapangan indoor biar tidak mengundang kejulidan netizen yang merasa kemiskinan membuat mereka tidak diperlakukan setara—padahal mah ya, hidup di dunia ya apa-apa mesti butuh duit. Jaman sekarang tinggal tunggu waktu kentut berbayar.

Sashi duduk di salah satu kursi, melamun sampai tidak menyadari situasi di sekelilingnya, termasuk ketika Ojun melangkah masuk dengan gitar di tangan. Ojun sempat tersentak kaget, tidak menduga akan bertemu Sashi di sana. Ojun juga suka mengunjungi lapangan indoor itu buat alasan yang sama. Tempatnya sepi, jadi cocok jika Ojun mau gitaran sendirian.

Semula, Ojun duduk agak jauh dari Sashi. Dia memetik gitarnya, sesekali melirik Sashi. Sashi masih termenung, tenggelam begitu dalam di pikirannya sendiri. Akhirnya, Ojun menghela napas, lantas memutuskan beranjak dan berjalan menndekati Sashi.

"Sashi?"

Sashi tidak menjawab, masih saja menatap kosong jauh ke depan.

"Acacia?" Ojun mengulangi, kali ini sembari menyentuh lembut bahu Sashi. Tindakannya membuat Sashi gelagapan.

"O—Ojun?!"

"Lagi mikirin sesuatu ya?"

Sashi menelan ludah, tadinya ingin membantah tapi kemudian dia tahu itu tidak ada gunanya. "Iya."

Ojun duduk di sebelah Sashi. "Gue bisa dengerin, kalau lo butuh didengarkan."

Sashi sempat ragu, menunduk dan memasang ekspresi muram. Dia perlu menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk memastikan dia tidak akan menangis sewaktu dia mulai bicara. "Mikirin bokap gue."

"Bokap yang mana?"

Sashi jadi batal sedih, malah ingin tertawa bercampur kesal. "Kenapa sih semua orang yang gue kenal langsung nanya gini kalau gue udah ngomongin bokap gue?"

"Habisnya ada dua." Ojun tersenyum, tipis saja tapi manisnya bisa bikin diabetes.

"Papi gue kayaknya sakit."

"Sakit?"

"Nggak tahu, kayaknya sakit punggung. Tapi tadi pagi, tiba-tiba pisau yang dia pegang jatuh. Terus Papi nggak bisa genggam tangan gue. Katanya kesemutan." Sashi membalas sedih. "Gue takut Papi kenapa-napa."

Ojun belum bicara, masih menyimak dan memandang pada Sashi dengan penuh perhatian.

"Papi bilang dia nggak apa-apa dan gue nggak mesti khawatir. Maunya gue gitu. Tapi dulu, waktu pertama kali didiagnosis sakit, kata-kata Mami pun nggak jauh berbeda. Dia bilang dia nggak apa-apa. Mami bakal sembuh, jadi gue nggak harus takut dan sampai kepikiran. Gue cuma perlu bantu doa dan nggak ngejadiin sakitnya Mami sebagai beban pikiran." Sashi bercerita tanpa jeda. "But in the end, she lied. Mami nggak sembuh. Mami justru pergi ninggalin gue. Gue nggak tahu harus ngapain. Gue mau percaya Papi, tapi gue nggak bisa percaya. Gue nggak mau percaya."

"Gue ngerti kenapa lo mikir gitu." Ojun berujar hati-hati, suaranya terkesan lembut dan penuh pengertian. "Tapi di dunia ini, ada banyak kemungkinan, Sashi. Bukan berarti bokap lo akan mengingkari janjinya sama kayak nyokap lo, kan? Satu-satunya yang bisa lo lakukan adalah bersabar dan tetap kuat. Bokap lo pasti sedih dan nggak mau lo berpikir buruk duluan. Lo belum tahu pendapat medis soal sakit yang mungkin bokap lo punya."

"Belum. Baru sore ini gue mau paksa Papi ke dokter."

"Kalau gitu, jangan berpikir negatif dulu. Katanya, kita menarik apa yang kita pikirkan. Kalau kita berpikir positif, maka sesuatu yang positif akan tertarik dan mendekat ke kita. Sebaliknya, kalau kita berpikir negatif, sesuatu yang negatif yang malah bakal mendekat ke kita."

Sashi menghela napas. "Makasih, Ojun."

"Anytime." Ojun terkekeh. "Karena lo kelihatannya lagi butuh sumber semangat, berminat mendengar permainan gitar gue?"

"Boleh?"

"Boleh banget. Tapi kalau jelek, jangan dihujat ya."

Sashi tertawa. "Oke, gue janji akan tetap tepuk tangan sekalipun permainan lo mengecewakan."

Ojun tertawa, lalu mulai memetik gitarnya, memainkan intro dari lagu yang Sashi kenali sebagai salah satu lagu milik Justin Bieber. Judulnya Be Alright. Jari-jari Ojun tangkas bergerak dari kunci ke kunci. Jujur saja, melihat Ojun memainkan gitar itu terasa menyenangkan.

Across the ocean, across the sea
Starting to forget the way you look at me now
Over the mountains, across the sky
Need to see your face, I need to look in your eyes
Thru the storm and thru the clouds
Bumps on the road and upside down now
I know it's hard, babe, to sleep at night

Pipi Sashi menghangat sebab ketika mengucapkan kata 'babe', Ojun mengangkat wajah dan menatap lurus padanya, membuat perasaan Sashi serasa terbang melayang.

Don't you worry
Cause everything's gonna be alright, ai-ai-ai-aight
Be alright, ai-ai-ai-aight

Sashi mengira permainan gitar Ojun bakal berhenti hanya sampai di sana. Ternyata tidak. Ojun justru mengganti melodi yang dia mainkan, beralih memainkan lagu milik Bruno Mars. Sashi jadi salah tingkah, sebab selama menyanyikan lirik lagu itu, mata Ojun tak lepas darinya.

Oh, her eyes, her eyes make the stars look like they're not shinin'
Her hair, her hair falls perfectly without her trying
She's so beautiful and I tell her everyday
Yeah, I know, I know when I compliment her she won't believe me

And it's so, it's so sad to think that she don't see what I see
But every time she asks me "do I look okay?"

I say

When I see your face
There's not a thing that I would change
Cause you're amazing, just the way you are

And when you smile

The whole world stops and stares for a while
Cause girl you're amazing, just the way you are

Begitu lagu Ojun berakhir, Sashi tertawa seraya bertepuk tangan keras-keras. Ojun berdiri dan berpura-pura membungkuk dengan gaya dramatis layaknya penyanyi yang memberi hormat pada hadirin di akhir penampilannya sebelum kembali duduk. Tawanya renyah, enak didengar.

"Cie, udah ketawa."

"Permainan lo bagus. Gue nggak bohong!"

"Percaya, kok!" Ojun mengangkat salah satu telapak tangannya ke udara, yang Sashi tangkap sebagai maksud untuk mengajaknya melakukan tos. Maka tanpa ragu, Sashi balas mengangkat telapak tangannya dan menghantamkannya ke atas telapak tangan Ojun.

Namun di luar tebakannya, Ojun justru menyelipkan jemarinya di ruang kosong yang berada diantara jari-jari Sashi. Tangan mereka malah bertaut. Ojun meremasnya pelan, tidak langsung melepasnya.

"Ojun—"

"Ketawa dulu, baru gue lepas."

Wajah Sashi merona ketika dia tertawa. Ojun ikut tersenyum sembari melepaskan genggaman tangannya pada tangan Sashi. Mereka saling fokus pada satu sama lain, tidak menyadari kehadiran Dery yang diam-diam menyaksikan semuanya dari ambang pintu ruangan besar tersebut.

Dery menarik napas, merasakan bagaimana udara seperti bertransformasi jadi benda solid tajam yang terasa melukai paru-parunya. Dia buru-buru berjalan keluar sebelum Sashi atau Ojun menyadari kehadirannya. Dia bersandar di tembok, bertanya-tanya apa yang tengah terjadi pada hatinya.

Sepertinya, ada luka sedang tumbuh di sana.

*

Berbekal informasi dari informan rahasia yang tidak rahasia-rahasia amat alias putri tercinta, Jef nekat menyambangi apartemen Jennie. Dia tidak tahu apakah Jennie masih murka padanya setelah dia mencium perempuan itu di dapur kemarin, atau apakah Jennie telah berada dalam fase pendinginan dan memutuskan menganggap eksistensi seorang Jeffrey Gouw tidak pernah ada. Mana pun, Jef tidak peduli.

Lelaki itu baru tiba di lobi apartemen saat Jennie muncul dari koridor yang menghubungkan lobi dengan lift. Jef ternganga melihat dandanan Jennie siang ini. Dia tampak rapi, meski hanya dengan atasan putih dan celana jeans. Rambutnya dibiarkan tergerai, memberikan kesan feminin namun elegan di saat yang bersamaan. Jef mengerutkan dahi, menatap curiga sedangkan Jennie kontan melengos ketika menyadari kehadirannya.

"Ngapain lo ke sini?"

"Mau ketemu lo."

"Gue sibuk."

"Mau ketemu Theo?"

Jennie mendengus, berjalan melewati Jef dan memilih bergerak menuju parkir basement tempat di mana mobilnya berada. Jef tidak menyerah, tetap ngotot mengekorinya.

"Jen, kita harus ngomong."

"Ngomong melulu. Capek."

"Kali ini serius."

"Ogah."

"Jen!"

Jennie mengabaikan Jef, merogoh ke dalam tas tangan yang dia bawa untuk mengeluarkan kunci mobil. Tetapi bukannya kunci mobil yang tertarik keluar, yang tergenggam di tangan Jennie malah kunci lemari. Jennie menutup matanya sambil berdiri di dekat mobilnya, memunggungi Jef. Dalam hati, dia mengutuki ketololannya sendiri.

"Loh, nggak jadi cabut?" Jef malah heran.

Jennie berbalik, berlagak memasang ekspresi songong. "Gue kasih lo kesempatan. Sekarang, katakan apa yang lo mau!"

"Back then, we shared a dream together when we were still in Melbourne. Let's make it come true.

"..."

"You and me, let's open a restaurant together."

Jennie menelan ludah, jelas ini bukan sesuatu yang dia duga.

*

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir Sashi menyambangi kantor Jo. Sepulang sekolah, dia sengaja langsung bertolak dari sekolah ke sana. Dia menolak tawaran Paklik James—yang siang ini kebagian jatah menjemput Tamara dan Felix—juga enggan diantar oleh Dery dan Om Kun. Sashi memilih naik taksi, menghabiskan sepanjang perjalanan hanya untuk melamun hingga dia tiba di tempat tujuan.

Orang-orang kantor telah mengenalnya, menyambutnya ramah saat Sashi tiba. Salah satu dari mereka menemani Sashi naik dari lobi menuju ruangan pribadi Jo. Rata-rata menanyakan kabar atau memuji Sashi, walau Sashi tahu, diam-diam mereka berbisik di belakangnya. Selain memuji tampangnya yang menurut mereka mirip Tris, mereka juga menggosipkan kabar burung tentang Sashi yang katanya bukan anak kandung Jo.

Awalnya, itu terasa mengganggu bagi Sashi. Tapi sekarang tidak. Sebabnya, dia sudah tahu apa pun yang orang-orang katakan, itu tidak akan mengubah kenyataan. Dia bukan hanya anak Jo, tapi juga anak Jef. Dan Sashi bersyukur untuk itu.

"Kita naik taksi aja." Sashi langsung memutuskan begitu dia bertemu Jo dan mereka bergerak menuju lift untuk turun ke lantai bawah. Jo menuruti keinginan anak perempuannya, mencoba memecah kesunyian dengan bertanya soal apa yang Sashi lakukan di sekolah hari ini, namun agaknya Sashi tidak sedang dalam mood untuk bicara banyak.

Sashi tidak perlu menunggu lama untuk bertemu dokter, karena dia sudah meminta tolong pada Dery. Bisa dipastikan, bucin akut yang satu itu bakal langsung menghubungi Yang Dipertuan Agung Tedra Sunggana untuk menggunakan kekuasaannya. Sebagai pemilik rumah sakit, titah Tedra Sunggana ibarat titah paduka. Bukan pasien yang menunggu dokter available untuk konsultasi, malah dokternya yang menunggu pasien tiba.

Sashi menerangkan apa yang terjadi di ruang makan pagi ini, berikut insiden lift yang mereka alami di Jepang. Jo diam saja, tidak membantah dan kalaupun dia berniat menyela, Sashi buru-buru mengambil alih pembicaraan, tak memberinya kesempatan untuk beralasan apalagi berkata jika dia tidak kenapa-napa. Dokter manggut-manggut pada penjelasan Sashi dan mereka berpindah ke ruang periksa. Di sana, dokter itu menyuruh Jo membuka kemeja untuk memeriksa punggungnya.

Sashi bergeming, berkeras tetap ada di ruangan meski Jo berkata dia bisa menunggu di luar. Napas gadis itu tertahan kala dia mendapati ada jejak memar besar yang mulai memudar di punggung ayahnya. Saat jemari dokter menekannya, Jo meringis. Usai pemeriksaan singkat, dokter mulai memberi penjelasan.

"Ada kemungkinan terjadi cedera saraf tulang belakang. Cedera ini biasanya muncul karena ada kerusakan pada jaringan, bantalan, tulang atau saraf tulang belakang itu sendiri. Dugaan sementara saya, cedera ini tergolong traumatis karena disebabkan kecelakaan dalam lift. Untuk lebih jelasnya, setelah ini bisa dilakukan foto rontgent dan CT scan untuk mengetahui separah apa tingkat cedera yang dialami."

"Seberapa berbahaya cedera saraf tulang belakang ini, Dok?" Sashi memburu, melontarkan pertanyaan yang sedari tadi dia simpan.

"Tergantung kepada tingkat keparahan cedera dan bagian mana yang mengalami kerusakan. Terdapat gejala yang menyeluruh dan tidak menyeluruh. Gejala menyeluruh dapat menimbulkan kelumpuhan total yang dapat berdampak pada otot dada hingga pasien kesulitan bernapas dan membutuhkan alat bantu napas. Dapat juga terjadi kelumpuhan pada setengah tubuh bagian bawah atau hanya pada satu lengan." Dokter tersebut menjelaskan dengan nada yang terkontrol, tapi tetap mampu bikin perut Sashi serasa baru ditonjok. "Gejala awal dapat berupa kehilangan kemampuan mengendalikan gerak, kehilangan indera peraba, sakit kepala hingga kesemutan."

"Lantas untuk pengobatannya gimana?"

"Masih tergantung kepada tingkat keparahan cedera. Ada yang cukup dengan pemberian obat. Ada yang perlu pembedahan, terutama jika terjadi keretakan. Jika parah, mungkin perlu adanya terapi pasca pembedahan. Jika saraf yang bermasalah, dapat terjadi kelumpuhan total yang—"

"I think that's enough." Jo memotong saat menyadari bagaimana ekspresi wajah Sashi sudah tidak karuan dan terlihat seperti tangis gadis itu bisa pecah sewaktu-waktu. "Jadi untuk foto rontgent dan CT scan bisa dilakukan hari ini, Dok?"

"Lebih baik hari ini. Hasilnya bisa langsung didapatkan dua hari lagi."

"Oke, kalau begitu." Jo meletakkan telapak tangannya di atas punggung tangan Sashi, mengusapnya pelan. "Don't be so gloomy, baby girl. Itu hanya kemungkinan terburuk. Belum tentu cedera Papi separah itu, kan?"

Sashi diam saja, sibuk menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.

Dia masih tidak berkata apa-apa, sibuk melamun sambil menata perasaan ketika kemudian Jo meninggalkannya untuk pengambilan foto rontgent dan untuk mengikuti prosedur CT scan. Sashi tidak tahu berapa lama dia duduk merenung sendirian di kursi ruang tunggu rumah sakit tanpa berganti posisi—tapi sekujur tubuhnya terasa sakit saat Jo keluar dari ruangan. Lelaki itu mencoba tersenyum, walau dari wajahnya, Sashi tahu Jo sedang menahan lelah. Kemeja putihnya tidak lagi dimasukkan, keluar begitu saja dan tampak kontras dengan celana panjang hitam yang Jo pakai.

"Let's eat something delicious, okay?"

Sashi mengangguk, tapi kemudian buru-buru berujar lirih. "Aku mau ke toilet dulu. Papi tunggu di sini ya."

"You okay?"

Sashi mengangguk, buru-buru berlari menjauhi Jo menuju toilet perempuan terdekat. Dia lega saat mendapati toilet itu kosong. Bau antiseptik tetap kuat, seperti dinding toilet selalu dibersihkan menggunakan kloroform setiap hari. Sashi masuk ke salah satu kubikel, mengunci pintu rapat-rapat sebelum mulai menangis.

Gadis itu membekap mulutnya kuat-kuat dengan telapak tangan, berupaya keras agar tidak ada suara yang keluar. Dadanya sakit. Perasaannya berbadai. Dia benci tempat ini. Dia benci mendengar dokter berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk dengan wajah datar seolah-olah itu bukan masalah besar.

Sashi menghabiskan hampir setengah jam di dalam toilet. Maka sudah bisa dipastikan, itu membuat Jo khawatir. Lelaki itu sudah menunggu di luar toilet waktu Sashi keluar dengan mata merah dan pipi sembab.

"Tadi aku sakit perut." Sashi berbohong.

Jo tidak menyahut, malah menghampiri Sashi dan setelah mereka cukup dekat, laki-laki itu meraih Sashi ke dalam pelukannya. Didekap mendadak membuat pertahanan Sashi luruh seluruhnya. Tangisnya kembali pecah di dada Jo. Jo tidak mengatakan apa-apa, hanya mendekap Sashi kian erat sambil tangannya mengusap punggung dan mengelus rambut Sashi.

"Papi janji, semuanya akan baik-baik saja."

Namun Sashi menggeleng keras-keras. Dia tidak menginginkan Jo berjanji. Tris berjanji tidak akan pernah pergi dan janji itu tidak terpenuhi.

Dia tidak perlu janji.

Dia hanya menginginkan Jo untuk tetap di dekatnya, tidak pernah pergi. 






to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

apakah ini waktunya untuk mempersiapkan hati dan air mata? 

ehe. 

telat ya? maaf tadi ujan 

((loh apa hubungannya)) 

aku nggak tau mau ngomong apa habisnya pusing mikirin 127 mau comeback

btw, btw pada nonton the dream show enggaaaaaaa? 

wkwkwk 

udah kali ya itu aja. 

karena aku baik, kita kasih target biasa aja untuk next chapter 2,4K votes dan 2,3K comments for next chapter. 

dah sekian, semoga kita selamat melalui badai ini. 

ciao. 



bonus para dads

Pangkuan Johnny, February 12th 2020 

00.25

Continue Reading

You'll Also Like

18K 2.3K 10
Ini cuma sedikit peristiwa cukup penting dalam hidup Romeo Adnan dan Julia Anadhira. Bukan kisah cinta tragis tapi romantis milik Romeo dan Juliet.
227K 52.4K 23
This works is protected under copyright laws of Indonesia. =============================== "Jadilah pantai ku, kelilingi aku, tetaplah di samping ku...
4.3M 258K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
9.7K 1.4K 24
Sembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyimpan memori tentang seseorang. Aku punya mantan, aku pernah hampir bertunangan, aku pernah di-pdk...