FLAWSOME #PasqueSeries I

By shaanis

1.1M 128K 10.1K

FLAWSOME "Your flaws are perfect for the heart that is meant to love you." -- Zhao Walker, adalah contoh pria... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
EPILOG
MAS ZHAO

13

29.8K 3.8K 192
By shaanis


Jasmine menoleh pada suaminya, "What was that?" tanyanya.

Hoshi mengangkat bahu dan memilih untuk mengambil sumpit kembali, Jasmine menghalangi dengan sumpitnya sendiri. "Jasmine," kata Hoshi, tidak ingin menjelaskan apapun.

"Hoshi." kali ini Ryura yang bersuara, panggilan itu terdengar seperti teguran halus.

"Ada sesuatu kan?" tanya Jasmine lalu tersenyum pada putrinya yang mulai penasaran. "Jenna, panggil Uncle Zah lagi dong... belum selesai makan."

"Oke." Jenna segera turun dari kursi dan beranjak ke tangga, memanggil penuh semangat, "Uncle Zahhh..."

"Apa yang terjadi?" tanya Jasmine mengamati kursi kosong Zhao, sekaligus mangkuk nasi yang masih tersisa setengah bagian. "Kalian pernah berdebat hebat tentang siapa pemain terbaik Liverpool sepanjang masa, kalian juga pernah berdebat tentang pilihan presiden, pilihan wallpaper dinding, kursi bayi sampai peralatan baru untuk HW-Hospital. Semuanya itu melibatkan adu urat dan walau komentarmu menyebalkan, Zhao selalu bisa menerimanya... tapi kali ini... it's different."

"Mungkin pikiran Zhao sedang penuh," kata Hoshi

"Diantara kalian berdua, kamulah yang dominan dengan pikiran dan Zhao dengan perasaan." Ryura membuat putra sulungnya itu seketika menundukkan kepala.

"Kenapa sama Iris?" tebak Jasmine.

"Enggak ada, mungkin salahku karena sembarangan berkomentar tadi," kata Hoshi

Elina menatap Hoshi, "Apa Iris pasien yang sulit?"

"Semua orang menjadi sulit dalam posisi seperti itu."

"Terus kenapa Zhao sampai bereaksi begitu? Kamu pasti galak, iya 'kan?" tuduh Jasmine

Hoshi geleng kepala, "Aku begini dari dulu, kalau menurut Iris atau siapapun itu jadi galak ya terserah... aku melakukan hal yang harus dilakukan untuk membuatnya sembuh."

"Tapi ya kamu memang harus pengertian, tahu sendiri keadaan—"

"Keadaan itu enggak lantas membuatnya harus diistimewakan." Hoshi mendengus dan menatap sang istri. "Pasien ya pasien, semua diperlakukan sama."

"Zhao peduli pada Iris." Elina menyadari itu dan kini putra sulungnya kembali terdiam. "Apakah hal itu menganggumu? kalau Zhao peduli pada Iris?"

Jasmine menarik sebelah alisnya, menatap sang suami dengan raut penasaran. Ryura juga melakukan hal yang sama. Suasana ruang makan mendadak hening karena menanti jawaban Hoshi.

"Aku ingin mereka bersikap sewajarnya, Rumah Sakit tidak mengistimewakan siapapun dan terkait dengan gencarnya penawaran dari Pasque Techno, aku tidak ingin mereka berpikir aku mengambil keputusan karena melihat kedekatan Zhao dengan kakak beradik itu." kata Hoshi lalu meraih gelas minumnya. "Dan lagi, aku ingin Zhao mulai berpikir serius tentang dirinya sendiri, sudah saatnya dia mencari seseorang."

"Zhao akan melakukannya saat waktunya tepat." Ryura berujar yakin.

"Ini waktu yang tepat," ujar Hoshi lalu menatap istrinya lekat. "Bantu aku mengatur pertemuan makan siang, biarkan Zhao mengenal Rashi."

Jasmine ganti menatap ibu mertuanya. "Ee... menurut Mama gimana?"

Elina meletakkan sumpit makannya, "Kalau Zhao mau datang, silakan saja... tapi jika Zhao enggak ingin datang, jangan dipaksa."

"Rashi cukup potensial secara pribadi atau latar belakang," kata Hoshi.

"Rashi memang baik, tapi siapa tahu Zhao sukanya sama yang agak nakal sedikit?" tanya Jasmine mencoba bercanda, tapi tatapan mata suaminya langsung menghentikan tawa.

"Aku akan memeriksa pekerjaan." Hoshi merasa sudah menyampaikan maksudnya lalu beranjak dari ruang makan.

Jasmine menatap punggung suaminya yang menghilang di koridor menuju ruang keluarga. Setelah suara langkah Hoshi tak terdengar, Jasmine kembali menatap ibu mertuanya, "Ada sesuatu..."

"Mereka terlalu mudah dibaca." Ryura mengangguk setuju.

"Rashi itu, memangnya berminat dengan acara pertemuan begitu?" tanya Elina

Jasmine mengangguk, "Sudah agak lama sebenarnya, Rashi minta nomor ponsel Zhao... tapi katanya malu mau kontak duluan."

"Kenapa tanya soal itu? Apakah minat Rashi mempengaruhimu?" tanya Ryura dan sang istri justru menggeleng perlahan.

"Enggak papa, tapi entah kenapa rasanya Zhao yang nggak berminat."

== [flawsome] ==

"Uncle Zah, marah sama Papa?" tanya Jenna saat menyusul Zhao ke kamar.

Zhao tersenyum melihat keponakannya itu langsung mendekat dan duduk di sampingnya. Mereka berbagi tempat duduk sederhana di depan jendela, dekat dengan rak buku di dinding sebelah kanan.

"Kalau Uncle marah sama Papa, Jenna bela siapa?" tanya Zhao

Jenna mendongak dengan tatapan serius, "Papa."

"Ouch!" Zhao langsung memasang mimik wajah sedih. "Jenna nggak sayang Uncle."

Gadis kecil di samping Zhao justru tertawa, "Jenna sayang Uncle Zah, Papa juga sayang Uncle Zah," katanya lalu menatap foto Zhao dan Hoshi yang ada di dinding kamar. "Kata Mama, saudara itu saling sayang."

Zhao tersenyum, "Kalau Uncle minta peluk, dikasih enggak?"

Jenna beralih melingkarkan tangan dan memeluk tubuh Zhao yang jauh lebih besar. Zhao tersenyum lalu menunduk untuk mencium kepala keponakannya itu.

Ttok tokk...

Zhao mendongak menatap pintu berayun membuka, Hoshi berdiri di sana dan tersenyum, "Tadi disuruh apa sama Mama?"

Seketika itu juga Jenna melepaskan pelukannya, "Oh iya, belum selesai makan."

"Nanti Uncle nyusul ya..." kata Zhao membiarkan Jenna beranjak.

"Kalau lama-lama nanti enokinya aku yang habiskan ya..." kata Jenna sembari tertawa saat beralih mendekap Hoshi. "Papa sudah makannya?"

"Iya, mau cek pekerjaan sebentar." Hoshi merapikan anakan rambut putrinya dan mengulas senyum sayang. "Nanti kita baca buku"

Jenna menggeleng, "Nanti mau baca sama Uncle Zah, tadi sudah janji..." katanya dan teralihkan karena panggilan Jasmine. "Jenna makan dulu..."

Begitu Jenna berlalu pergi, senyum Hoshi digantikan wajah serius menatap Zhao. "Mungkin memang kita sebaiknya enggak membicarakan pekerjaan di rumah."

"Yeah." Zhao setuju, bagaimanapun memang rasanya tidak nyaman berselisih dengan kakaknya di depan keluarga.

"Soal adik temanmu..." kata Hoshi lalu menatap foto yang Zhao pajang di dekat komputer, itu foto Pascal dan Zhao saat kelulusan dulu, keduanya berangkulan memamerkan toga. "Selama ia berada dalam status perawatan, aku akan selalu menganggapnya sebagai pasien dan tidak akan lebih dari itu."

Zhao bersidekap, memandang sosok yang selama dua puluh delapan tahun dipanggilnya Kakak. "Aku peduli pada Iris, bukan sekadar karena dia pasien, tapi juga adik sahabatku... Iris berarti untuk Pascal dan selama apapun ia berada dalam status perawatan, aku ingin ada untuk membantunya."

"Bagaimana jika dia tidak membutuhkan bantuanmu?" tanya Hoshi membuat Zhao teringat ucapan Iris pada Pascal. "Dalam keadaannya sekarang, dia tidak membutuhkan zona abu-abu, dan perhatian yang tidak tepat hanya akan menyusahkan."

Zhao mengerutkan kening, "Apa maksudnya?"

"Kondisi emosionalnya sedang tidak stabil, saat-saat seperti itu, gadis manja sepertinya akan mudah menggantungkan diri pada orang yang bersimpati." Hoshi menatap adiknya serius. "Dan sangat mungkin dia salah menganggap kebaikanmu."

Zhao terdiam memikirkan hal itu, ia ragu untuk menanggapi, "Tapi..."

"Aku harus memeriksa pekerjaan," kata Hoshi sengaja menyudahi pembicaraan tentang Iris. "Buku apa yang Jenna inginkan?"

"Something about Environmental Protection," jawab Zhao lalu teringat saran Jasmine tadi. "Tapi Kak Jassy bersikeras untuk membaca tentang little mermaid."

Hoshi terkekeh, "Dia membacakannya minggu lalu dan Jenna bertanya, bagaimana sihir bekerja, apakah itu semacam transfer energi atau sebuah anomali yang berhasil dikuasai."

"Kak Jassy jawab apa?" tanya Zhao penasaran.

"Jassy balik bertanya, kenapa Jenna tidak bisa terpesona saja dan menganggap ceritanya menarik." kata Hoshi dan Zhao seketika tertawa.

== [flawsome] ==

Pascal tidak bisa berbuat banyak saat esok harinya mendapati segerombolan gadis mengunjungi adiknya. Mereka cukup riuh dan Pascal merasa mereka semua berbicara bersamaan, membuatnya pusing saat mencoba mendengarkan. Tapi hanya dua kata yang berulang kali disebutkan, party dan shopping. Iris memang ratu pesta dan ratu belanja, setiap bulan tagihan kartunya selalu mencapai batas. Baju, tas, make up dan puluhan pasang sepatu selalu terlihat menumpuk saat Pascal memasuki kamar adiknya itu.

"Ris, aku harus meeting." kata Pascal membuat kehebohan itu sejenak terhenti.

"Oke." kata Iris, melambaikan tangan dari tempat tidurnya.

Pascal mendekat untuk mengecup keningnya tapi Iris geleng kepala, "Don't do that... just bye." katanya membuat Pascal akhirnya mengubah arah menuju pintu.

"Suster, tolong Iris diawasi ya? kalau ada apa-apa telepon saya." pinta Pascal.

"Baik, Pak." kata Suster Aida yang duduk mengawasi di kursi sudut.

== [flawsome] ==

Pascal Pasque
I'm sorry, about what Iris said yesterday.

Zhao mendapati pesan itu muncul di ponselnya, ia baru sempat menyalakannya siang ini. Sejak pagi sudah sibuk dengan rentetan jadwal terapi. Pascal mengirimkan pesan itu sekitar dua jam yang lalu.

Zhao Walker
It's oke, bisa jadi itu salahku juga... dia mungkin enggak nyaman denganku.

Pesan balasan tersebut tidak langsung terkirim dan merasa perlu segera meluruskan masalah, Zhao mencoba menelepon. Lebih dari tiga kali mencoba, panggilan telepon itu tidak juga diangkat.

Telepon di meja kerja Zhao yang justru berdering nyaring, ia segera beralih untuk mengangkatnya, "Zhao Walker, Fisioterapi 1."

"Dok, ini saya, suster Aida," kata suara di seberang sana.

"Ya, Sus."

"Anu... Pak Pascal tidak bisa dihubungi dan Mbak Eiris, ini... duh."

Zhao terkesiap seketika, "Iris kenapa?"

"Anu... ruang rawat sebelah komplain karena Mbak Eiris dan teman-temannya ini gaduh sekali, mereka menyalakan musik, terdengar sampai luar."

Seketika Zhao mengerutkan kening, "Apakah dr. Hoshi ada di tempat?"

"Kata Laila, dr. Hoshi ada seminar sampai jam tiga nanti." Suster Aida bersuara semakin lirih saat menyampaikan, "Wali pasien di ruang rawat sebelah menuntut nota complain, Mbak Nina dari PR juga enggak bisa berbuat banyak..."

"Coba telepon dr. Elyas dulu, beliau mungkin bisa memberi—"

"Sedang ada operasi, dok... dr. Martha dan dr. Hartanu juga menangani operasi, setengah jam yang lalu ada code blue."

Nama-nama yang disebutkan itu adalah dokter yang paling berwenang di bagian penanganan bedah, Zhao bukannya tidak ingin datang untuk membantu mengatasi, tapi ada sistem yang berjalan di bagian manajerial, tidak bisa sembarangan bertindak.

"Saya akan ke sana," kata Zhao, merasa tidak punya pilihan.

Ketika sampai di koridor menuju ruang rawat Iris, Zhao melihat pasangan orang tua yang bersidekap kaku menatap Laila. Sekretaris Hoshi itu menunduk dalam-dalam, sementara wanita paruh baya menunjuk-nunjuk ruangan Iris.

"Anak saya baru berumur sepuluh tahun, dan pasien di sebelah terlalu gaduh, sangat menganggu!" katanya lalu menunjuk nota complain yang sudah terisi. "Saya mau ruang rawat baru atau nota complain ini saya serahkan ke dewan pengawas, ini sudah tindakan pembiaran karena sudah sejak pagi saya menelepon dan hingga sekarang tidak ada tindakan untuk pasien tidak tahu diri di ruangan sebelah."

"Maaf, Ibu... kami sudah berusaha untuk menangani situasinya, tetapi tidak ada ruangan kosong lagi untuk pemindahan," ujar Nina dengan wajah tertekan, jelas tidak bisa sembarangan mengusir Iris karena keluarga Pasque termasuk pasien VVIP. "Saya akan berusaha memberitahu kembali agar—"

"Pasien di sebelah itu tidak tahu diri, tidak bisa diberitahu!"

"Maaf, Ibu... kami akan berusaha melakukan yang terbaik, mohon untuk—"

"Dari tadi sudah begitu! tapi tidak ada perubahan, justru semakin gaduh!"

Laila sudah hampir menangis karena tidak bisa lagi memberi pengertian. Zhao juga menghela napas saat mendengar suara musik dari ruang rawat Iris. Itu jenis musik yang seharusnya hanya diputar dalam ruangan berperedam suara khusus.

"Selamat siang," sapa Zhao dan seketika Laila mendongak dengan wajah sedikit lega. "Saya Zhao, selain sebagai dokter, saya juga wali sementara pasien di ruangan tersebut..."

"Nah! Anda bisa dengar sendiri betapa mengerikannya suara-suara itu."

"Saya tahu dan saya menyesal karena hal tersebut menganggu kenyamanan di ruang perawatan putra Ibu." Zhao menatap nota complain yang dibawa-bawa dan mengambil alihnya, "Saya akan menerima nota complain tersebut, sekaligus membantu pengurusan agar bisa mencairkan ganti rugi yang sesuai dengan ketidaknyamanan yang Ibu terima."

Laila menajamkan mata, "Tapi, dok... kalau sampai..."

Zhao menggeleng, tanda mereka harus mengikuti keputusannya. "Saat ini, di lantai ini memang tidak tersedia kamar rawat yang kosong untuk pemindahan, karena itu saya akan berusaha untuk mengendalikan situasinya terlebih dahulu." Zhao berujar lembut dan sebelum wanita paruh baya ini kembali memprotes, segera menambahkan. "Jika dalam tiga puluh menit, saya tidak bisa mengendalikan situasi, kami akan sediakan helicopter ambulance untuk memindahkan putra Ibu ke rumah sakit cabang di Bandung, semua fasilitas perawatan dan akomodasi, kami yang tanggung."

Laila melongo mendengar itu, tapi berusaha menunjukkan wajah lega saat orang tua wali mengangguk dan memilih duduk menunggu.

"Na, tolong nota complain ini diterima dan segera diurus, setelah ada keputusan minta Bu Tirza selaku kepala Humas untuk menemui Bapak dan Ibu..." Zhao menarik sebelah alisnya karena lupa tidak berkenalan.

"Saya Maudy Koestomo, suami saya Halim Koestomo," katanya mengenalkan diri,

Zhao mengangguk, "Na ... minta Bu Tirza menemui Bapak dan Ibu Koestomo, dan Laila... minta dokter anak untuk mendampingi putra mereka di ruangan."

"Baik, dok."

Segera setelah itu, Zhao beranjak ke ruangan Iris. Seperti yang sudah ia duga, bahwa pintunya tertahan sesuatu dari dalam.

"Sepertinya kursi saya, dipakai menahan pintu," kata Suster Aida.

Zhao mengangguk, ia belum pernah sekalipun bertindak sekasar ini tapi bagaimanapun, pada situasi sekaranh tidak punya pilihan. Zhao mengambil jarak, mendorong pintu dengan bahunya, terdengar seruan terkejut bersama dengan bunyi kursi berdebum. Zhao mendorong pintu terbuka lebar dan masuk.

Lima pasang mata perempuan menatapnya, Zhao hanya menatap Iris yang langsung mendengus dan membuang muka.

Sumber suara itu berasal dari ponsel, dua ponsel di atas meja tamu. "Matikan!" perintah Zhao dan pemilik ponsel langsung terkesiap mematikannya.

Zhao mengerutkan kening karena kemudian yang terdengar suara desahan dalam. Saat menoleh, Zhao mendapati layar plasma televisi menampilkan adegan tidak senonoh, persetubuhan seorang lelaki dan perempuan, tanpa sensor. Zhao melangkah cepat dan mematikan televisi, kembali menatap satu per satu gadis yang berada dalam ruangan, mereka justru terkikik.

"It's not even funny." kata Zhao dengan serius. "Dalam hitungan ke tiga, jika kalian tidak keluar dari ruangan ini, security akan melakukan tugasnya."

"Mereka tamu-tamuku." Iris menyergah cepat.

"Keberadaan mereka mengganggu ketenangan yang harus didapatkan semua pasien di rumah sakit ini." Zhao menatap empat pasang mata yang saling pandang kebingungan. "Satu!" mulainya.

"Eng, Ris... kami—"

Iris berdecak, "Nggak! Bodo amat, gue bayar kok, gue berhak—"

"Dua!"

Iris melotot ke arah Zhao, "Gue butuh hiburan ta—"

"Tiga!" kata Zhao dan beralih ke meja telepon, teman-teman Iris menunjukkan wajah ragu namun memutuskan beranjak, mereka menggumamkan 'Sorry' sembari memberskan barang dan berlalu keluar ruangan.

"Sebentar lagi, akan ada empat gadis keluar dari area VIP, tolong mereka didata dan dimasukkan dalam daftar hitam pengunjung," pinta Zhao.

"Heh!" teriak Iris, tidak terima.

Zhao menutup teleponnya lalu mengamati kaleng-kaleng bir yang ada di area nakas, kotak pizza yang tersisa sebagian. Satu bucket es krim yang kosong di kursi tunggu. Zhao bisa membayangkan betapa murkanya Hoshi dan betapa stressnya Pascal jika mendapati situasi ini.

Zhao mengambil tempat sampah di sudut ruangan, dalam diam segera memunguti sampah-sampah itu.

"Suster, tolong baju Iris diganti sementara saya buang sampah," ujar Zhao saat selesai membersihkan sebagian besar sampah makanan di ruangan Iris.

"Baik." kata suster Aida lalu mengangguk.

Saat Zhao kembali, suster Aida masih duduk di sudut ruangan, menatap tidak enak, "Mbak Eiris tidak mau ganti baju."

Zhao mengamati adik sahabatnya yang kini memasang wajah kaku di tempat tidur. "Suster sudah makan siang?"

"Belum, saya tunggu Pak Pascal datang dulu."

"Suster makan aja, saya yang tunggu Iris."

Suster Aida mengangguk dan berlalu keluar ruangan. Zhao beranjak ke lemari dan mengeluarkan gaun pasien baru. Iris terkesiap saat Zhao mendekat ke tempat tidurnya.

"Mau apa?" tanya Iris galak.

"Bagian depan bajumu kotor," kata Zhao mendapati noda dibaju Iris, sekaligus tahu bahwa itu akibat terkena lelehan saus pizza atau tumpahan bir. Baunya campur aduk dan hampir membuat Zhao pusing. "Aku siapkan baju ini, setelah suster Aida kembali, kamu akan ganti."

"Jangan sok ngatur-atur gue."

Zhao menatap gadis itu lekat-lekat, "Aku hanya berusaha membantu, dan—"

"Karena gue adiknya Pascal atau karena gue pesakitan yang butuh dikasihani?"

"Kamu memang butuh bantuan dan bagaimanapun caranya, aku akan membantumu."

"Siapa bilang? jangan sok—"

"Apa terjadi sesuatu? ada kata atau tindakanku yang membuatmu tak lagi mempercayaiku?" tanya Zhao lalu beralih duduk di kursi tunggu.

Iris terkesiap dan membuang muka. "Well, sejak awal memang enggak ada orang dewasa yang bisa dipercaya."

"Kamu cukup dewasa untuk bisa mempercayai diri sendiri." Zhao membahas hal yang membuatnya berada di tempatnya sekarang. "Kamu tahu bahwa suara musik itu bisa sangat menganggu."

"Banyak suara yang mengganggu selain suara musik," tandas Iris.

"Memang," kata Zhao setuju, membuat Iris menoleh dengan kening berkerut. "Suara tangisan anak di sebelah juga enggak terdengar indah."

Iris menatap Zhao dalam diam.

"Aku nggak hanya sehari dua hari menunggu di sini, aku dengar anak itu menangis, bahkan kadang bisa semalaman." kata Zhao lalu mengingat data pasien yang dibacanya kemarin. "Dia cedera di bagian kepala dan efeknya membuat dia belum bisa melihat, kehilangan indra penglihatan di usia semuda itu memang sangat mengerikan."

Iris menggigit bagian dalam mulutnya, tidak tahu tentang hal itu.

"Orang tuanya cukup stress dengan apa yang terjadi pada putra mereka, karena itu menjadi sangat sensitif." Zhao beralih menatap jendela yang tertutup rapat. "Aku tahu kadang omelan mereka juga terdengar sampai sini dan itu juga mengganggu."

"Kenapa?" tanya Iris.

Zhao yang tadinya ingin bangkit dari duduk, mengurungkan niat. "Ya?"

"Kenapa bicara panjang lebar, menjelaskan seperti itu, padahal—"

"Aku melakukannya, karena tahu kamu terganggu, tapi lain kali bicaralah pada seseorang untuk mengatasi itu, dan bukannya melakukan pembalasan seperti hari ini."

"Aku nggak melakukan pembalasan." Iris justru menatap layar plasma yang dimatikan. "Aku hanya menyamarkan suara-suara dari film porno yang kutonton."

Zhao menyipitkan mata, "Kamu tahu itu bukan jenis tontonan yang patut untuk—"

"I don't feel anything." kata Iris, kali inimenatap Zhao lekat-lekat. "Apakah selain mandul, aku juga tidak bisa melakukannya? Berhubungan seks."

[tbc.]

Continue Reading

You'll Also Like

7.3K 682 65
(UPDATE SETIAP HARI) Kaluna sepenuhnya tidak lagi memikirkan pernikahan. Dengan terang-terangan dia mengatakan jika tidak ada laki-laki yang bisa dia...
419K 26.7K 38
Aleonazka El. Salah satu anak panti yang baru saja diadopsi saat usianya 10 tahun. Menjadi seorang tuan muda kecil di sebuah keluarga. Sayangnya, ti...
14.7K 2.4K 27
Katanya, pertemanan antara lawan jenis itu tidak mungkin murni hanya berteman. Sebab katanya, salah satu dari mereka pasti ada yang menyimpan rasa. N...
19.3K 3.6K 39
[COMPLETED] "Connection your internet. Lemot banget sih. Internet aja 4G, masa lo enggak." Aku bungkam. Menatap sosok yang ingin aku kubur hidup-hid...