Unrequited Feelings | ✓

By molyueh

6K 1K 478

"And in the back of my mind I always thought I would end up with you." Sore itu, dada Tami seperti letupan ke... More

01| Tami
02| Haza
03| Tami
05| Tami
06| Haza
07| Tami
08| Haza
09| Tami

04| Haza

493 103 45
By molyueh

James TW When You Love Someone

——

Ketika mendengar kata spesial, apa yang ada di benak lo?

Nasi goreng? Mi goreng? Atau martabak?

Saat Nara mengucapkan kata spesial barusan, merujuk ke sebuah paper bag bekas coffee shop ternama di tangannya. Sedangkan gue ketika mendengar kata tersebut pikiran gue langsung mengarah ke seorang yang berdiri di samping meja gue sekarang.

Orang yang sampai saat ini masih berdampingan dengan gue sejak taman kanak-kanak. Orang yang membuat gue nggak perlu menyembunyikan segala sifat buruk gue. Orang yang membuat gue nggak perlu repot-repot menjaga image buat ngupil, kentut, ngorok ataupun teriak histeris saat melihat kecoak terbang. Orang yang ngoceh panjang lebar kalo gue repotin tapi ujung-ujungnya bakal tetap membantu gue. Orang yang bisa membuat gue memutar kedua bola mata malas lalu tersenyum setelahnya. Orang yang menemani gue menghadapi masa terburuk, ketika orang tua gue memilih untuk berpisah.

My parents got divorced when I was thirteen.

Semuanya masih terekam jelas teriakan argumentasi penuh emosi mereka yang gue dengar dari kamar gue setiap malam walau sedikit teredam. Serta ketika Mama menangis duduk di sofa depan televisi dengan Papa di sampingnya yang gue dapati ketika pulang sekolah. Mama bilang saat itu dia habis nangis menonton film sedih sama Papa. Padahal, gue sudah tau ada masalah di antara Mama dan Papa, ada sesuatu yang berubah dengan keluarga gue.

Tanpa mereka tau, gue juga menangis setiap kali mendengar perdebatan mereka di balik dinding kamar. Hingga puncaknya, ketika gue nggak mampu lagi menahan, kemudian akhirnya menumpahkan segala yang gue rasakan di hadapan kedua orang tua gue. Akhirnya, Mama dan Papa menjelaskan apa yang terjadi antara mereka kepada gue. Then we were crying on the couch.

I feel broken, betrayed, angry, and empty. Tapi, itu sudah beberapa tahun lalu. Life is moving so am I. Pada akhirnya, gue harus menerima. It's all for the best. Lukanya memang belum sepenuhnya mengering, it takes time. But it's okay. We gonna hurt sometimes to learn, to heal.

Gue bersyukur bisa melewati masa tersebut dan tentunya bukan berkat diri gue sendiri. Ada satu orang yang menemani gue. Orang yang pertama kali terlintas di kepala gue ketika mendengar kata spesial tadi yang menjadi salah satunya.

Exactly. Orang itu adalah Nara.

Nara dengan caranya sendiri menghibur dan menguatkan gue di saat itu. Dia orang yang berdiri di samping gue ketika semesta nggak sedang berpihak kepada gue. Gue nggak tau harus bersyukur atau justru insecure karena merasa I don't deserve her saat Tuhan memberi gue seorang sahabat seperti Nara. She's too precious.

Ketika gue merasa Kafka Sabrian adalah the lucky bastard karena bisa menjadi pacar Nara, yang sesungguhnya the real luckiest bastard here is me, Norion La Haza.

"Wei, ngeliatin gue segitunya banget? Terpesona lo?" Nara menggerakan telapak tangannya ke atas dan ke bawah di depan mata gue.

"Idih najis, sok badai banget."

"Idih, emang iya gue badai," balas Nara membalikkan kata-kata gue tempo hari sambil mengibas rambut panjangnya.

"Itu tadi apaan kata lo yang spesial?"

"Nasi goreng."

"Buat gue? Aduh jadi enak nih gue kalo lo sering-sering gini."

"Sembarangan. Buat Kafka nih makanya spesial. Orangnya ke mana?"

"Toilet."

Apa gue bilang. Si Kafkampret ini bener-bener lucky bastard. Dulu, Nara juga sering bawain gue makanan. Walaupun gue yang paksa dia buat masakin gue. Karena selain menggambar, Nara juga berbakat dalam memasak.

Kalo Kafka, apa dia juga yang minta Nara buat masakin? Atau inisiatif Nara sendiri? Pertanyaan yang gue lontarkan kepada diri sendiri itu sedikit mengusik perasaan gue. Perasaan nggak rela karena merasa ... tersisihkan.

"Ini tolong kasih Kafka, ya." Nara mengeluarkan kotak makan hitam beserta sendoknya dari paper bag.

"Hm," balas gue singkat.

Lalu kemudian Nara kembali mengeluarkan kotak makan yang persis seperti milik Kafka namun kali ini berwarna ungu. "Nih, buat lo."

Alis kanan gue terangkat mendengarnya. "Lah, gue juga dapet, nih?"

Nara berdecak dan memutar kedua bola matanya. "Nggak mau? Ya udah gue kasih yang mau aja."

Sebelum Nara kembali memasukkan kotak makannya, gue menyambar dari tangannya secepat kilat. "Enak aja. Yang bilang nggak mau siapa? Gue 'kan cuma mau memastikan."

"Inget, yang item punya Kafka. Spesial tuh pokoknya. Jangan lo tuker-tuker awas aja!"

Gue mencibir. "Alah paling juga yang punya Kafka lo kasih pelet biar dia makin demen sama lo."

Sebuah tepukan keras mendarat di lengan gue membuat gue mengaduh.  "Sembarangan banget sih lo. Mulutnya dijaga ya jangan kayak nggak pernah dididik."

"Lo pikir mulut gue gawang perlu dijagain? Aneh banget lo."

"Ngomong sana sama sendok. Gue mau balik ke kelas."

Kemudian Nara membalikkan badannya, berjalan menjauh. Saat dia sudah mencapai pintu, gue berseru. "Makasih, Nyet!"

Sepeninggalan Nara, gue langsung membuka kotak makan. Seperti yang dikatakan Nara tadi, dia bawain nasi goreng ayam lengkap dengan selada, tomat, tiga nugget dan sosis sapi yang dipotong berbentuk gurita.

Melihat isi bekal gue yang menggiurkan, gue jadi penasaran punya Kafka. Nara bilang punya dia spesial. Which means lauknya lebih bervariasi dari gue kayaknya sih. Intip dikit nggak apa-apalah.

Ketika membuka tutup kotak makan Kafka, hal pertama yang menyambut gue adalah telur mata sapi yang membuat gue bergidik, lalu sosis ayam yang bentuknya sama kayak sosis sapi milik gue. Kemudian gue melihat udang-udang di nasi goreng Kafka yang membuat gue segera menutup kotak makan dia. Secara keseluruhan, bekal milik Kafka adalah makanan-makanan yang nggak bisa gue makan.

Gue alergi udang. Gue suka semua olahan telur kecuali telur mata sapi dan telur rebus karena rasanya aneh banget. Dan tentang sosis ayam, bukannya gue nggak suka atau alergi. Cuma menurut gue kalo ada sosis sapi, kenapa harus sosis ayam? Intinya gue prefer sosis sapi.

Oke, kayaknya gue paham maksud Nara. Yang buat nasi goreng Kafka spesial itu karena ada telurnya. That's it. Atau sebenernya yang spesial itu nasi goreng gue soalnya Nara menjauhkan gue dari makanan yang gue hindari.

Masa bodoh lah. Yang penting gue dapet makan gratis plus dari Nara. Baru aja gue mau suap makanan ke mulut, salah satu teman sekelas gue manggil dari depan pintu.

"Spaghetti La Haza ada yang nyariin lo nih!"

Kampret banget nih Bunga bangke manggil gue begitu.

"Siapa?" balas gue sambil menutup kotak bekal dan terpaksa beranjak.

Ketika gue sampai di pintu, seorang perempuan yang wajahnya nggak asing berdiri di depan gue. Gue memperhatikan wajahnya lekat mengingat-ingat siapa dia. Nggak sampai sepuluh detik, ingatan gue terlempar pada kemarin sore ketika gue meminjamkan payung kepada seseorang. Dan perempuan ini orangnya.

Namanya siapa, ya? Gue nggak nanya, sih, kemarin. Gue lirik sekilas name tag-nya.

Khintami R. Lazuardi.

"Oh, elo. Pasti mau balikin payung, ya?" tembak gue langsung sambil memikirkan kira-kira siapa nama tengahnya.

Well, I think her name is kinda cute and unique tho.

——

Sometimes moms and dads
are fall out of love

Sometimes two homes
are better than one

Some things you can't tell you sister
cause she's still too young

You'll understand
when you love someone

——

Continue Reading

You'll Also Like

14.2K 1.3K 15
[Part of RI 1 Series] Sebuah perjalanan menguak tragedi berisi aksi keji dalam menggugat takdir ilahi. Batas-batas moral dan religius telah hilang t...
538 192 27
[ Cerita ini diikutsertakan dalam Festival Menulis Fiksi Rasi ] Kehidupan itu rumit. Terkadang, apa yang terlihat oleh mata tidak sepenuhnya dapat di...
718 164 29
Kamu bisa mencari kenyamanan, baik sementara atau lekang selamanya. Tetapi, bagaimana jika yang dicari adalah ketenangan, serupa penerimaan? Apa pula...
6.2K 1K 16
[SELESAI] Pernahkah kau berpikir ada sesuatu yang tidak beres saat kau terjebak dalam suatu jajaran puluhan mobil di jalanan? Terjebak kemacetan di...