It (Rafan)

By alvikaDae

263K 28.3K 2.6K

Aku dan kamu adalah kita Banyak kisah kita yang bercerita tentang cinta Tapi kisah ini bukan cerita tentang k... More

----
1. Kemarahan
2. Love at first sight
3. Teka-teki dari pengacau
4. Tiga Saudara
5. Pertengkaran Pertama
6. Rumah
7. Salah paham
8. Kesepakatan bersama
10 - Hari Pertama (2)
11. Hari Pertama (3)
12. Ari
13. Lebih Dekat
14. Fier mengamuk
15. D.O
16. Bunda
17. Tebakan Diya
18. Keputusan
19. Menunggu
20. Mulai Bergerak
21. Oper Permainan
22. Penelusuran
23. Mengubur Rahasia
24. Permintaan Maaf Rafan
25. First Date

9. Hari Pertama

4.3K 615 168
By alvikaDae

Ada yang masih nunggu cerita ini nggak sih? 

maapkan yak, kayaknya aku dah lama banget hiatus. sekarang lagi pingin nulis lagi. Semoga aja bisa lanjut terus sampe tamat. amiiiiiiiin.

----------------------------------------------------------

Sekarang jam sudah menunjuk pukul 05.30. Sudah saatnya sarapan di bawah. Tapi Rafan justru masih mengancingi baju. Menatap dirinya di depan kaca dengan pandangan menerawang. Tangannya pun bergerak sangat lamban. Hingga mengancing satu saja lamanya minta ampun.

Dulu dia ingin sekali waktu berhenti. Atau kalau bisa lompat tiga tahun lebih bagus. Rasanya, membayangkan masa tiga tahunnya bersekolah di tempat yang sama dengan kedua kakaknya membuatnya stres.

Namun setelah percakapan kemarin, Rafan sudah tidak yakin lagi bahwa dia tidak menginginkan sekolah di tempat itu. Rasanya pelan-pelan, sedikit demi sedikit kemarahan itu hilang. Kesepakatan dengan kedua kakaknya membuatnya menyadari mungkin sekolah di sana tidak buruk juga.

Tepat saat tangan Rafan selesai mengancingi baju, dia mendengar suara mobil datang. Halus, tapi telinganya sayup-sayup mendengar. Sepertinya dia kenal suara mobil itu. Namun untuk memastikannya, dia menyeberang kamarnya, mengintip di balik jendela. Beruntung jendela kamarnya menghadap depan rumah. Jadi dia bisa tahu siapa saja yang datang.

Seorang gadis keluar dari mobil dengan senyum lebar.

Kampret! Rafan mengumpat. Satu helaan berat dan panjang akhirnya keluar. Tangannya tergantung di pinggang.

Kenapa cewek itu harus datang sekarang?! Saat jam sarapan, saat dia sedang kelaparan?! Tapi jika boleh memilih, lebih baik dia kelaparan dari pada harus bertemu Shiena.

Kesal campur lapar, Rafan membuka jendela setelah memastikan Shiena dan Om Govin sudah masuk ke dalam rumah. Ada dak-dakan tipis di bawah jendela. Tapi itu sudah cukup untuk dijadikan pijakan kakinya. Empat meter tinggi jendela dari tanah. Tapi itu bukan masalah. Rafan hanya perlu menurunkan tubuhnya lalu kedua tangannnya bertumpu di atas dak. Perlahan dia menurunkan tubuhnya hingga tubuhnya menggantung di bawah. Sisa ketinggian ini membuat Rafan bisa mendarat dengan mudah. Sebisa mungkin dilakukannya tanpa suara.

Wajahnya sudah tertekuk kesal. dia mengendap ke garasi dan mengeluarkan motor barunya dari sana. Karena dia tidak bisa memanaskan motor tanpa ketahuan, mau tidak mau dia harus menuntun motornya hingga keluar gerbang.

Dia menyumpah-nyumpah sepanjang jalan menuju pintu gerbang yang berjarak lima belas meter itu. Mang Karyo yang melihatnya dari arah pos jaga samping gerbang tergopoh-gopoh menghampiri.

"Kenapa Den?" tanyanya.

Rafan hanya menggeleng masih dengan mempertahankan raut kesal itu. Mang Karyo tidak bertanya apa-apa lagi. Hanya mengangguk-angguk paham setelah melihat mobil Govin di halaman. Bukan hal baru bagi Rafan untuk kabur setiap Shiena datang. Mang karyo tidak tahu kenapa, tapi dia berusaha mengerti saja.

Dengan pengertian, mang Karyo menggantikan Rafan menuntun motor hingga ke luar. Sedangkan Rafan buru-buru menutup pintu gerbang. Dia merasa tenang ada di luar. Namun dia juga tahu, masih ada kemungkinan Shiena menyusulnya ke luar.

"Makasih Mang." ucap Rafan. Mang Karyo senyum-senyum senang. Seolah merasa dirinya sudah dimaafkan.

"Iya Den, sama-sama." Mang Karyo menyerahkan motor itu ke Rafan kembali. Setelah menaiki motor, Rafan menyalakannya. Cowok itu mengambil HP sambil menunggu motornya panas. Mengutak atik nomor kontak.

"Ck," Dia lupa kalau tidak punya kontak Diya.

Rafan tidak terlalu lama memanaskan motor. Bukan hanya takut Shiena keluar menyusulnya tapi juga takut terlambat menjemput Diya. "Bilang aja nanti sama Ayah, Rafan udah berangkat Mang."

Satu jempol Mang karyo mengacung mantap.

"Siap Den." sahutnya.

Rafan nyengir lebar. Meskipun tidak selalu dipihaknya, Mang karyo selalu tahu yang diinginkannya. Saat ini itu sudah cukup. Rafan sangat bersyukur, setelah sepanjang hidupnya menghindari Shiena, dia lolos lagi kali ini.

"Berangkat dulu Mang." pamitnya.

Tanpa menunggu jawaban, Rafan mengegas motornya meninggalkan gerbang. Melaju di jalanan dengan kecepatan sedang dan perut keroncongan.

---

Rafan menghela napas lega melihat mobil ayah Diya masih terparkir di carport. Dia masih belum terlambat. Dia mematikan motornya lalu diam menunggu.

Senyumnya mengembang waktu mengingat kata-kata ayah Diya malam itu. Bahwa dia tidak menyukai sikapnya dan menyuruhnya jauh-jauh dari putrinya.

Waktu itu Rafan memilih diam mendengarkan tanpa menyela sedikitpun. Sejujurnya, dia beberapa kali berpikir untuk backstreet. Namun dipikir-pikir lagi Rafan sama sekali tidak menyukainya.

Gaya kesukaannya adalah gaya bebas. Tabrak, lindas, masalah akibat bisa dipikirkan belakangan. Namun dia juga tahu, dia tidak mungkin melakukan itu di depan ayah Diya. Ayah Diya akan semakin tidak menyukainya, bahkan mungkin akan menolaknya mentah-mentah, dengan terang-terangan.

Jadi dia memutuskan menggunakan gaya katak. Menyelam diam-diam, lalu muncul ke permukaan pelan-pelan.

Lamunan Rafan terhenti saat mendengar suara Diya. Rafan menoleh dan tersenyum saat melihat Diya akhirnya keluar rumah. Tentu saja bersama ayah dan adik laki-lakinya.

Cewek itu langsung sadar atas keberadaan Rafan. Cowok itu duduk di atas motornya tepat di depan pintu gerbang. Diya menelan ludah susah payah. Melirik ayahnya yang sudah kaku dengan wajah mengeras tidak suka.

Seakan belum cukup buruk, Rafan justru turun dari motornya lalu tersenyum ramah pada ayahnya.

"Pagi, Om."

Diya mengaduh pelan. Buru-buru dia berlari kecil dari teras ke arah Rafan. Dia membuka kait pintu teralis lalu mendorongnya. "Ngapain lo di sini?" tanya Diya panik.

"Jemput lo," jawab Rafan santai.

Mulut Diya terbuka. Dia tidak tahu Rafan masih datang kemari setelah ayahnya memperingatkannya malam itu. Wajah Diya sudah merah, kuning, hijau tidak jelas. Yang pasti dia gemas. Dia mencengkeram lengan kemeja Rafan, berniat menyeret cowok itu untuk kembali duduk di motornya. Menyuruh Rafan untuk cepat-cepat pergi. Tapi sayangnya, Rafan tidak bergerak sedikitpun. Tatapan Rafan hanya pada satu titik. Saat Diya mengikuti arah pandangan Rafan, Diya tahu Rafan sedang menatap ayahnya.

"Kalau boleh." lanjut Rafan lagi.

Rafan sedang meminta ijin pada ayah Diya dengan berani tanpa sedikitpun takut. Larangan itu Rafan pasti mengingatnya, tapi cowok itu tetap mencoba. Diya menurunkan tangan yang mencengkeram lengan kemeja Rafan. Lalu ikut menunggu jawaban ayahnya.

Sayangnya, jawaban ayahnyapun sudah sangat jelas dari ketegangan wajah yang tidak mengendur sedikitpun.

"Malam itu saya sudah mengatakan dengan jelas. Saya tidak suka kalau anak saya pacaran. Bukan hanya dengan kamu, tapi dengan siapapun!"

"Saya tahu."

"Kalau tahu, kenapa masih di sini?!" Lama-lama ayah Diya ikut emosi.

Rafan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung mau menjawab apa.

"Motor kamu menghalangi mobil saya keluar. Pindahkan!"

"Iya Yah." Rafan langsung menurut. Buru-buru memindahkan motornya. Meninggalkan ayah Diya dan Diya yang mematung kaget.

"Tadi dia panggil ayah apa?" bisik ayah Diya tidak yakin.

Diya tersenyum canggung sambil menggeleng. "Nggak denger Yah." jawab Diya cepat. Jantungnya sudah berdebar-debar gugup.

"Udah Yah." seru Rafan.

Diya melirik Rafan kesal, menyuruhnya diam. Sedangkan ayah Diya yang sekarang sudah yakin tidak salah dengar melotot. "Siapa yang barusan kamu panggil Ayah?" tanyanya kesal.

Rafan menunjuk ayah Diya. Namun pelototan beliau membuat Rafan menurunkan tangannya.

"Yah, cepetan. Bisa telat nih."

Adik Diya yang sedari tadi sudah masuk ke mobil memanggil tak sabar.

Ayah Diya menahan diri. Dia menoleh ke Diya. "Masuk."

Diya tidak punya pilihan lain untuk masuk ke dalam mobil. Diya menoleh ke arah Refan. Menatapnya dengan permohonan maaf karena tidak bisa berangkat bersama Rafan ke sekolah.

Karena lama, ayah Diya membukakan pintu depan untuk Diya. Cewek itu masih berat melepaskan pandangan dari Rafan. Cowok itu sudah jauh-jauh menjemputnya. Dia tidak tega kalau membiarkan Rafan berangkat sendirian.

Ayahnya mendorong pelan Diya agar masuk ke dalam mobil, namun Diya menahan tangannya menolak masuk.

"Yah, sekali iniiiiii aja. Diya berangkat sama Rafan ya?" pinta Diya memelas.

"No!"

"Yaaah-"

Ayah Diya sudah mulai kehilangan kesabaran. Beliau melirik motor sport Rafan dan makin tidak suka. Bisa dibayangkan posisi anaknya saat duduk di belakang. Mereka berdua akan menempel ketat. Membayangkannya saja kepalanya sudah berdenyut tidak karuan.

Dia menoleh ke arah Rafan. "Berapa umurmu?"

"16."

"Kamu berani bawa motor memang sudah punya SIM?"

"Punya."

Buru-buru Rafan mengambil dompet di saku celana belakang dan menunjukkan SIM C miliknya.

Bibir ayah Diya berkedut geram. Baru 16 tahun dan sudah punya SIM. Dia tidak peduli bagaimana cara Rafan mendapatkannya. Kenyataannya Rafan mempunyai SIM membuatnya tambah kesal!

Namun kemudian dia menyadari tidak ada helm tambahan selain satu helm besar di sana. "Bawa helm berapa?"

"Hah?"

Rafan menoleh ke arah helm miliknya. Dia memeriksa ke sisi lain motor, helm itu tetap ada satu. Dia lupa.

Senyum ayah Diya tidak disembunyikan lagi. "Nah, besok-besok kalau mau jemput, jangan lupa bawa helm dua."

Senang karena menang. Kini Diya tidak punya alasan lagi untuk ikut naik ke motor Rafan.

---

Mulut Diya terkatup rapat. Berusaha mengalihkan perhatian ke arah luar jendela. Hawa di dalam mobil benar-benar membuatnya mulas. Disampingnya, ayahnya sedang menggeretakkan giginya kesal. Senyum kemenangan ayahnya tidak bertahan lama ternyata.

Karena setelah itu, Rafan bukannya menyerah tapi justru semakin nekat. Rafan mengikuti belakang mobilnya dengan ketat. Tak masalah kalau Rafan mengikuti ke sekolah, karena memang tujuan mereka sama.

Tapi nyatanya, Rafan ikut berbelok ke sekolah Ari, adik Diya. Ikut berhenti saat mobil Diya berhenti. Ikut menunggu hingga ayah Diya mengantar Ari sampai depan gerbang sekolah. Lalu ikut jalan ketika mobil Diya jalan.

"Itu anak ngapain ngikutin kita?" tanya ayah Diya berusaha menahan sabar.

Diya meringis gugup. "Nggak tahu jalan kayaknya Yah. Makanya ngikutin kita."

Diya tahu ayahnya tidak percaya. Namun karena ayahnya tidak mengatakan apa-apa Diya pun memilih diam saja. Menggigiti kuku-kukunya gelisah. Matanya melirik spion, melihat Rafan yang melaju santai tanpa beban. Sedangkan di sini dia ketar-ketir tidak karuan.

Diya melirik ayahnya yang juga melirik spion atas. Sorot matanya tajam. cengkeraman tangan di kemudi juga mengetat. Pagi ini Rafan sukses besar. Sukses membuat ayah Diya kesal.


Continue Reading

You'll Also Like

797K 22.2K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
157K 128 27
warning! Cerita khusus 21+ bocil dilarang mendekat!! Akun kedua dari vpussyy Sekumpulan tentang one shoot yang langsung tamat! Gak suka skip! Jangan...
3.3M 207K 45
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
109K 12.2K 17
Bukan BL Arkanna dan Arkansa itu kembar. Tapi mereka sudah terpisah semenjak masih bayi. Dulu, orangtua mereka menyerahkan Arkanna kepada saudara yan...