Mari Jangan Saling Jatuh Cinta

By kiranada

2.8M 265K 21.9K

(Telah tersedia di Gramedia) Nantikan dalam bentuk series di Vidio.com! Pemenang Wattys 2020 "New Adult" - Ad... More

Prakata
ANYA
[ 1 ] Barisan Buku di Atas Terpal
[ 2 ] Luka dan Duka
[ 4 ] Anjing!
[ 5 ] Telanjur Sepakat
CIPTA
[ 6 ] Halah, Kambing
[ 7 ] Rumah Bukan Perkara Tanah
[ 8 ] Dilematis yang Tak Romantis
[ 9 ] Jangan Terkelabu, Cinta Itu Penipu
[ 10 ] Dilematis yang Tak Realistis
[ 11 ] Surat Undangan
[ 12 ] Malam Perpisahan
BAGAS
[ 13 ] - Permaisuri Putih-Abu
[ 14 ] - Namanya Anya, yang Buatku Jatuh Cinta
[ 15 ] - Hari Sumpah Pemuda
[ 16 ] - Masih Hari Ini, dan Kami Jadi
[ 17 ] - Atau Ganti Haluan?
[ 18 ] - Aku Menang
MARI JANGAN SALING JATUH CINTA
[ 19 ] Waktu Pasti Berlalu
[ 20 ] Pertunangan, Pernikahan, dan Perubahan
[ 21 ] Kamu Makannya Apa? Saya Juru Masaknya
[ 22 ] Halo?
[ 23 ] ABRI Bukan Pawang Dedemit
[ 24 ] Cinta Bukan Bisnis
[ 25 ] Sajak Cinta
[ 26 ] Reuni Hati
[ 27 ] Calon Perwira Angkatan Udara
[ 28 ] Pernikahan Sadis
[ 29 ] Reuni Hati, Lagi
DUNIA INI TERLALU SEMPIT 'TUK JADI TEMPAT SEMBUNYI
[ 30 ] Tawa yang Sepi
[ 31 ] Retak, Lalu Patah
[ 32 ] Menabur Garam di Atas Luka
[ 33 ] Pertarungan Arjuna dan Karna
[ 34 ] Kedatangan Rok Merah
[ 35 ] Bencana Hati
[ 36 ] Air yang Membuai
[ 37 ] Puncak yang Pelik
[ 38 ] Rasa yang Semena-Mena
[ 39 ] Dan, Titian Pun Patah
[ 40 ] Pulang
[ 41 ] Kembali
[ 42 ] Semoga Tidak
[ 43 ] Yang Ketiga, Pasti Berbeda
[ 44 ] Sebatas Urusan Keluarga
[ 45 ] Bukan Hantu
[ 46 ] Dunia Fantasi
[ 47 ] Pertanda di Penghujung Hari
[ 48 ] Wanita Adalah
[ 49 ] Seabad Berlalu
[ 50 ] Calon Mempelai yang Kelimpungan
[ 51 ] Hari Pernikahan
[ 52 ] Kula, Dewa, dan Nara
Daftar Putar
Ucapan Terima Kasih
Revisian Kelar!
Cara Pesan MJSJC
Jadi Series di Vidio.com!
Playlist Baru
Informasi Terbaru!

[ 3 ] Perjodohan Lutung Kasarung

90.8K 9.2K 899
By kiranada

"Kalau aku yang menang, kamu traktir es krim," ujar Cipta seraya berancang-ancang siap berlari.

"Tapi kalau aku yang menang, kamu masuk kelas Seni Budaya!" balasku tak ingin kalah, dengan posisi serupa Cipta.

Dua anak kecil dengan seragam SD tengah menaruh kuda-kuda untuk siap berlari. Sepetak sawah membentang di antara kami yang berdiri di atas pematang sawah. Sejauh sepuluh meter ke depan, terdapat tanah lapang berumput yang luas, dengan gawang dari batang bambu di tepi penghujungnya. Siapa yang lebih dulu menyentuh batang gawang, maka dialah pemenangnya.

Aku mengangkat rok yang sudah pendek, menampakkan celana ketat yang melapis seluruh kaki mungil seorang gadis sepuluh tahun, sementara Cipta menenteng sepatu sekolahnya, dan sekarang sudah berdiri dengan kaki telanjang.

"Satu," Cipta memulai aba-aba.

"Dua," Aku melanjutkan. "Tiga!" pekikku tanpa jeda dari hitungan kedua, kemudian lekas memulai pelarian lebih dulu.

"Woi! Curang!" Cipta tak ingin kalah, maka ia segera berlari menyusulku yang telah dua puluh langkah berada di depannya. Lidah laki-laki itu menjulur mengelap bibir bawahnya dengan gemas hendak membalap gadis yang tak ia sangka dapat berlari dengan cepat bersama rok, sepatu, dan celana ketat. Ia tak boleh kalah.

Sementara aku terus berlari di depannya sambil tertawa mengejek dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang, memastikan Cipta tak membalap langkahku. Sampai tiba-tiba saja tak kusadari bahwa tanah di bawah kakiku berceruk, dan sepatu baruku menginjak lubang licin tersebut. Tanpa bisa dihindari, aku terpeleset dan memekik nyaring sebelum tercebur ke dalam sawah berlumpur.

Cipta terhenti dari larinya, menyaksikan persis bagaimana aku terjatuh. Lalu ia tertawa sedemikian lantang; mengakak. "Anya kualat! Mampus!" teriaknya.

Aku yang telah duduk dari posisi terjerembap, mendapati kain sepanjang seragamku terlumuri air cokelat, rambut dan kepalaku lengket oleh lumpur pekat, satu sepatuku terlepas, terpental entah ke mana. Sementara sepatu yang masih di kaki terjebak oleh tanah tanaman padi yang terlalu dalam. Aku menoleh ke arah Cipta dan mendengar bocah laki-laki itu tertawa sedemikian keras, berbahagia penuh atas diriku yang tekena musibah.

Tiba-tiba saja aku dirundung panik dan malu, lalu wajahku memberengut seketika. Aku menangis. Mencoba menarik-narik kaki yang terjebak, dan tak bisa ditarik, maka pecah lebih keraslah tangisku.

Tawa Cipta menyusut perlahan, ia lantas celingukan ke kanan dan kiri, apakah ada orang memperhatikan. Mendengar tangisanku yang semakin keras, mau tak mau, Cipta menghampiri dan melihat keadaanku.

"Udah, jangan nangis!" rayu Cipta yang lebih seperti membentak.

Aku masih menangis dengan tangan berusaha menarik-narik kaki dari tanah dalam.

Cipta melihat dan memahami bahwa kakiku terjebak. Ia lalu meletakkan sepatunya di atas tanah yang tak basah, kemudian mencemplungkan kedua kaki telanjangnya ke dalam tanah padi. "Mana kakinya?"

Aku masih menangis dan berusaha menarik.

"Udah dulu nangisnya, Anya!"

Aku mengamuk dan melempari Cipta lumpur-lumpur di bawah tubuhnya dengan sadis, tanpa ampun, hingga seragam Cipta turut kotor dan lemparan lumpur terakhir mengenai wajahnya sampai ia jatuh terduduk. Kini seragam kami sama-sama penuh lumpur dan bau kotoran kerbau.

Barangkali Cipta teringat akan ibunya, lalu membayangkan akan semarah apa ibunya mendapati ia pulang dengan baju sekotor tahi kerbau itu sendiri. Sebagai akibatnya, ia ikut marah dan turut melempariku dengan lumpur baru. Melempari kepalaku sampai sehelai rumput padi ikut menancap di sela-sela rambutku.

Aku berteriak, menangis semakin keras dan bangkit dari dudukku untuk mendorong Cipta hingga anak laki-laki itu nyaris telentang di genangan berlumpur jika tidak tertahan oleh sikunya. Ternyata Cipta mendorongku lebih kuat dan menjauhkanku dengan tendangan pada kakiku. Aku lepas kendali, maka kujambak rambut Cipta dan memukul-mukul wajahnya. Cipta kesakitan, maka ia mulai memekik-mekik seraya berusaha kabur daripada harus lawan memukul, karena temannya itu adalah perempuan. Maka ia memelorotkan rokku sampai tersisa celana ketatku! Tak cukup, ia mencubit lenganku sampai biru. Aku memekik teramat lantang dan menonjok pelipis Cipta.

Kepala Cipta doyong. Ia kesakitan dan terdiam, lalu menangis.

Kami berdua kini menangis di tengah ladang sawah yang luas, sambil saling mencaci dan melempar lumpur, beradu jotos dan menjambak rambut. Sampai teriakan dan tangisan kami memanggil para petani petang hari mendekat dan meleraikan kedua anak kelas 5 SD yang bertengkar dengan sengit. Kami masih berkelojot dan saling meneriaki dalam tangis sampai akhirnya benar-benar berpisah dan diantar pulang oleh warga sekitar.

Akan tetapi, anak-anak tetaplah anak-anak. Keesokan harinya, kami kembali bersekolah—dengan seragam baru—dan kembali bermain bersama. Aku memberikan Cipta es krim sebagai upeti perdamaian, dan Cipta akan masuk kelas Seni Budaya pukul dua siang pada hari itu sebagai penerimaan perdamaian.

***

Suatu hari aku termenung sambil berjongkok di ujung jalan, dengan seragam putih merah. Cipta di sebelahku sama melongonya melihat Papa menurunkan kaca jendela mobil Ford Explorer hitam, ia selalu duduk di kursi baris kedua sebelah kiri. "Anya ...? Kamu sedang apa?" tanyanya dingin.

Kebisingan jalan raya dan kerumunan orang yang tengah melihat-lihat tumpukan buku Cipta di atas terpal mendadak mengisi telingaku. "Papa," sapaku tanpa menjawab Wisnu Candradinata, atau yang lebih dikenal publik sebgai Wisnu Candra. Aktor layar lebar yang pamornya belum pernah turun selama satu dekade ke belakang, bahkan lebih.

"Masuk," titahnya untuk kemudian menutup kaca mobil. Perintah tanpa kompromi.

Tiba-tiba serangan panik melanda jantungku. Aku dibuat takut akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Aku memandang Cipta hanya dengan pandangan yang seolah mengatakan: aku pulang dulu ya. Cipta mengangguk bersama pandangan yang mengiringi langkahku sampai ke balik pintu mobil dan duduk di samping Papa.

Aku menunggu Papa berbuat sesuatu, tetapi ternyata selama perjalanan menuju rumah ia hanya diam seraya memandang ke luar jendela, mendinginkanku seolah pendingin mobil tak cukup membuatku menggigil oleh sikapnya yang lebih mirip batu es.

Kami tiba di rumah.

"Duduk di sana," titah Papa lagi. Tanpa mampu mengelak, aku pun duduk seperti anak anjing yang patuh.

Tak lama setelah Papa melepas jas dan sepatu kulit mengilapnya, ia kembali ke ruang tamu bersama Mama yang terlihat sedang bereksperimen dengan kue-kue kering, sebab rambut kepirangannya disanggul dan celemek kota-kotak masih menempel di tubuhnya. Dengan pandangan bingung, wanita usia pertengahan 30-an yang lebih dikenal publik dengan nama May Ave itu memandang suaminya. "Kenapa, Mas?"

Papa duduk dan memandangku. "Aku melihat Anya di trotoar jalan raya, duduk di samping gelandangan yang jualan buku."

Aku sontak marah mendengar Cipta disebut gelandangan. "Cipta bukan gelandangan!"

Wajah kedua orangtuaku terjkejut seketika. Entah oleh pemberontakan putri kecilnya atau kenyataan bahwa aku mengenal laki-laki yang mereka anggap gelandangan. Pada waktu itu, aku sudah menginjak kelas 6 SD, dan telah mengenal Cipta paling tidak selama setahun, dan ternyata aku kembali sekelas dengannya. Jadi, terhitung sejak saat itu, aku sudah menganggapnya teman baik. "Lagipula kalau gelandangan pasti enggak punya rumah dan pekerjaan, apalagi bersekolah," timpalku seraya bersedekap. Wisnu dan May semakin tertohok menyaksikannya.

"Kamu kenal?!" kali ini Papa bertanya. Lebih kepada tersentak daripada membentak. "Astaga Kanya ...." Papa mengusap wajah seolah aku telah berbuat dosa besar.

Aku masih memandang mereka heran, sementara Mama berusaha lebih tenang dan mengusap lututku lembut. "Kamu kenal di mana, Sayang?"

"Dia teman sekolahku, Ma. Namanya Pakubuan Cipta."

Papa kembali dilanda keterkejutan yang kini tumpang tindih. Ia mengusap-usap wajah seakan tsunami besar tengah menimpa sanak saudaranya. Aku mulai paham. Papa tidak suka melihatku yang dikenal sebagai putri semata wayang pasangan suami-istri aktor dan aktris kelas atas berteman dengan seorang anak keluarga miskin yang lusuh. Ia pasti khawatir berita tersebut menyebar dan ia tak bisa bilang: itu semua adalah hoaks.

Mama masih tersenyum padaku. "Ya sudah. Sekarang istirahat dulu, nanti sore Papa yang antar ke tempat bimbingan belajar."

Tanpa curiga lebih jauh, aku berjalan ke kamar di lantai dua tanpa memedulikan Papa yang tengah memijit-mijit pelipisnya.

"Mas, jangan begitu. Kita kan menamainya Purbasari agar tetap rendah hati meski putri raja yang kaya dan cantik."

"Ya, iya. Tapi bukan berarti harus berjodoh sama Lutung Kasarung juga!"

"SST!" Wanita bernama asli Kenanga Dwi Maya itu menepak pantat suaminya keras-keras, berharap suaminya bisa tutup mulut agar tak terdengar putrinya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

5.3K 296 38
Setiap orang dapat mengubah karier ketika mereka berusia delapan belas tahun! Pada tahap akhir kanker malas, Lin Mo berganti pekerjaan dan menjadi ma...
Randa Tapak By Alnira

General Fiction

1.3M 64.6K 9
Gue tahu nggak enaknya nggak diacuhkan, nggak enaknya nggak punya temen, nggak enaknya nggak punya kawan buat cerita. Gue mungkin salah satu dari ora...
2.6M 298K 41
[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Untukmu, yang berani singgah namun tak pernah sungguh. T...
1.1M 84.4K 35
[BACA SEBELUM DI PRIVATE] Adult Story preview _______________________________ Dia adalah pria yang terkenal akan kesombongan dan juga angkuh. Pria...