Unrequited Feelings | ✓

By molyueh

6K 1K 478

"And in the back of my mind I always thought I would end up with you." Sore itu, dada Tami seperti letupan ke... More

01| Tami
02| Haza
04| Haza
05| Tami
06| Haza
07| Tami
08| Haza
09| Tami

03| Tami

569 107 51
By molyueh

‣ Ruth B. • Dandelions

——

"Tam. Tami!"

"Eh, iya, apa?" suara Haura menyentakkanku dari lamunan.

"Punya siapa sih emang?"

Pertanyaan darinya serta-merta membuatku mengerutkan kening. Aku nggak menyimak apa yang sedari tadi dibicarakan oleh perempuan berkucir satu itu. "Apanya?"

Haura menghela napas. Ia menahan kesal mengetahui aku hanya mengabaikan ocehannya sejak tadi. "Lo pinjem payung punya siapa ini?"

Telunjuknya mengarah pada payung lipat biru di genggaman tangan kananku. Pemilik payung tersebutlah yang merupakan alasan mengapa aku kurang memperhatikan Haura.

Tadi saat aku mengantar Haura ke toilet pada jam kedua, kami berpapasan dengan tiga murid kelas duabelas. Di antaranya ada Haza, bersama kedua teman laki-lakinya yang sama-sama berpakaian olah raga menaiki tangga tepat saat kami sedang menuruninya. Mereka bertiga tertawa entah apa yang dibahas.

Sejujurnya, aku nggak tau harus bersikap bagaimana. Haruskah melengos saja pura-pura nggak kenal atau melempar senyum super canggung? Tapi kalau aku bersikap pura-pura nggak kenal, aku terlihat seperti manusia nggak tahu diri setelah ia berbaik hati dengan memayungi dan meminjamkan payungnya padaku. Karena kalau dipikir-pikir, seharusnya bisa saja Haza bersikap masa bodoh kepadaku, membiarkanku basah kuyup kehujanan dan besoknya terserang demam. Tapi, Haza nggak bersikap demikian. Ia memilih untuk menolong.

Jadi, kupikir melempar senyum sopan dan ramah adalah opsi yang tepat. Lagipula, mereka semua kakak kelas dan nggak ada salahnya bersikap ramah dan sopan. Walaupun nantinya senyumku super canggung.

Sayangnya, aku terlalu sibuk bergulat dengan pikiran sampai nggak sadar Haza dan teman-temannya sudah berjarak dekat denganku dan Haura. Belum sempat untuk melempar senyum, Haza melewatiku begitu saja. Benar-benar nggak melirik sedikitpun. Padahal di tangga itu hanya ada kami, jadi nggak mungkin dia nggak melihatku dan Haura.

Ya ..., memang sih, kami nggak saling kenal. Tapi, masa ia lupa dengan orang yang ia pinjami payungnya? Atau mungkin memang dia nggak menyadari eksistensiku di sekitarnya? Entahlah.

"Ditanya malah diem lagi. Capek gue ngomong sama lo." Haura membalikkan badannya berniat meninggalkanku.

Dengan sigap aku menahan pergelangannya. "Eh, lo mau ke mana? Temenin gue balikin payung dong, nanti juga tau ini payung punya siapa."

Haura melepas genggamanku dari pergelangannya. "Nggak ah, males gue dikacangin mulu dari tadi. Mending gue makan bakso di kantin. Bye! gue duluan keburu makin rame nanti."

Perempuan itu mengibaskan rambut panjangnya yang dikucir hingga ujungnya menampar kulit wajahku sedikit. Aku berdecak melihat tingkahnya.

"Tolong pesenin gue juga sekalian jangan lupa, Ra!" teriakku seiring langkah kaki Haura yang semakin menjauh kemudian berbelok menuruni tangga.

Sedangkan aku kembali meneruskan langkah di koridor lantai dua hingga sampai tujuanku. Sebuah pintu bercat abu-abu yang terbuka lebar dengan gantungan di atasnya bertuliskan XII IPS 2.

Seorang perempuan berkerudung yang kebetulan hendak keluar mendapatiku di depan pintu melongok ke dalam mencari-cari seseorang.

"Cari siapa, Dek?" tanya perempuan bernama Bunga Lily yang ku ketahui dari name tag di dada kanannya. Namanya unik.

"Cari kak Haza, Kak."

"Oooh, bentar," ujarnya seraya menoleh ke belakang dan berkata dengan suara cukup lantang. "Spaghetti La Haza ada yang nyariin lo nih!"

Aku hampir tertawa mendengar panggilan untuk Haza yang diberikan oleh temannya. Aku dapat mendengar balasan Haza kepada Kak Bunga dengan suara yang sama lantangnya. "Siapa?"

"Lagi makan dia, tuh." Kak Bunga menunjuk Haza yang duduk di baris ketiga deret paling belakang. Laki-laki itu nampak sedang menutup kotak makannya yang berwarna ungu, kemudian bangkit dan berjalan ke arahku.

"Duluan, ya," kata Kak Bunga tersenyum ramah dan berjalan melewatiku.

"Makasih, Kak." Aku membalas senyumnya tak kalah ramah, dia mengangguk.

Detik berikutnya seorang laki-laki bertubuh menjulang itu telah berdiri di hadapanku, tepat ketika aku kembali menengok ke dalam kelas setelah mengalihkan pandangan dari Kak Bunga yang berjalan semakin menjauh. Aku hampir terlonjak sebab terkejut. Lalu, dadaku kembali berdebar cepat. Aku nggak tau pasti yang mana menjadi penyebabnya antara presensi Haza di hadapanku atau tatapannya yang menelusuri wajahku.

"Oh, elo. Pasti mau balikin payung, ya?" Haza membuka suara terlebih dahulu kala pandangannya beralih ke payung miliknya di tanganku

Kami berdua bergeser ke kanan sedikit agar tidak memblokade pintu.

Aku mengangguk dan tanpa banyak basa-basi segera mengangsurkan payung biru tersebut padanya. "Makasih banyak, Kak. Sorry, kemaren ngerepotin dan sorry juga ganggu lagi makan," ucapku sambil menyengir kecil canggung.

"Santai aja. Lagian, gue naik ojol kok kemaren. Abangnya bawa jas hujan. Ngapain banget gue make payung? Kayak orang bener aja. Mending gue pinjemin ke lo," jelasnya seraya mengedikkan bahu mengisyaratkan hal itu bukan masalah besar.

Aku mengangguk-anggukan kepala.

Haza berkata lagi. "Walaupun cuacanya cerah, bawa payung aja buat jaga-jaga. Udah mau masuk musim hujan soalnya."

Lagi-lagi aku hanya mengangguk bingung membalas apa. Aku berdecak dalam hati. Ck, ngomong kek, Tam. Kenapa jadi kayak pajangan dashboard mobil sih agguk-angguk aja.

"Eh, tapi, lo hari ini bawa payung nggak? Kalo nggak, nih, simpen dulu aja. Gampang balikinnya mah," tambahnya.

Kali ini aku mengangguk cepat. "Bawa kok. Tenang aja, kalo tiba-tiba ujan dan lupa bawa payung lagi, gue tau kok harus kemana. Rental payung Kak Haza," candaku.

Haza tertawa kecil membuatku cukup termangu beberapa saat. Aku ikut terkekeh bersamanya.

"Gue pamit dulu deh kalo gitu," kataku kemudian karena merasa canggung. Meskipun sejujurnya aku masih mau mengobrol dengan Haza sedikit lebih lama lagi karena interaksi semacam ini adalah pertama kalinya untukku. Lagipula sebenarnya berlama-lama dekat Haza nggak bagus juga untuk kerja jantungku.

"Oke. Lain kali jangan lupa bawa payung, Khintami."

Lagi-lagi aku termangu ketika Haza melafalkan namaku dari bibirnya. Dari mana dia tau–

"Khintami R. Lazuardi, R-nya apa?" tanyanya melirik ke arah name tag di seragamku seolah mengerti kebingunganku.

–ah, iya, tentu saja dari name tag. Memangnya apa yang aku harapkan?

"Riv."

"Jadi, Khintami Riv Lazuardi dipanggilnya apa?"

"Tami."

Ia tersenyum dan lagi-lagi membuatku terpaku melihatnya. "Oke, Tami."

Haza memberi jeda sebentar.

"See you then, Tamigotchi," katanya kali ini disertai cengiran lucu.

Bukannya marah, aku justru terkekeh geli mendengar panggilan yang ia berikan padaku.

"See you," balasku.

Aku membalik badan seraya merapatkan bibir menahan senyum juga perasaan bahagia itu agar tidak terlalu membuncah berlebihan.

Well, Tamigotchi sounds cute!

——

Maybe it's the way you say my name.

——

Note:

Jangan geer kamu, Tami. Itu si Kafka sama Nara juga punya nama panggilan dari Haza alias tuh bocah emang demen plesetin nama orang.

BTW, kalo kamu nggak tau tamigotchi apa, tamigotchi adalah plesetan dari tamagotchi. Dan tamagotchi adalah mainan jaman dulu bentuknya kayak telur, jadi kita punya peliharaan virtual yg harus dirawat. Kalo sekarang tuh kayak game pou gitu deh. hehe.

Continue Reading

You'll Also Like

707 86 10
This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia ( Undang - undang Hak Cipta Republik Indonesia No. 28 Tahun 2014 ) =====...
107 53 22
Zaini tak menduga, kehidupannya sebagai penampung penumpang yang tak berumah membuatnya harus mengindahkan permintaan anak-anak kuliahan yang berasal...
637 392 37
[FOLLOW SEBELUM BACA!] Banyak plot wistnya guys 😃❤️ {Pesan cinta dariku} - El Ini cerita pertamaku, sebuah perjalanan yang penuh warna dan pelajaran...
853K 8.4K 29
Hanya cerita hayalan🙏