Merengkuh Liku

By Nijinoyoru

7.8K 1.7K 2.7K

(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri... More

Prolog
Aku
Dia
Alasan
Aku dan Masa Lalu
Keanehannya
Di Balik Topengnya
Demi Siapa?
Tentangnya
Pembelaan
Tentangnya (2)
Siang dan Malam
Kembali Sadar
Pilihan
Dua Sisi
Pura-Pura
Pembicaraan Malam
Prinsip Karateka
Sudah Semestinya
Perkara Cinta
Analisis
Pendirian dan Prinsip
Yang Dirindukan
Pahit
Pulang
Rasanya Sakit
Bolehkah?
Epilog

Alien

297 88 154
By Nijinoyoru

Maria Sara Hanifa

Napasku tersenggal ketika mata mulai terbuka. Aku sedikit terengah. Kuusap wajah yang terasa kebas, lalu melirik jam dinding. Pukul 03.45 WIB. Pantas saja alaram belum ribut. Aku beranjak turun dari ranjang, berjalan mengarah menuju balkon.

Dulu aku paling senang menatap bintang bersama Ayah. Dulu, aku selalu suka mengukir gambar dengan asal menarik garis dari satu titik ke titik lain dari beribu gugusan walau akhirnya tidak mengerti gambarnya, lain dengan Ayah yang memang memahami rasi bintang. Sabuk Orion, Betelgeus, Al-Debaran, Pleiades.

Dulu bahkan Ayah sempat mengajarkan tentang Rasi Waluku. Ya, rasi yang digunakan orang zaman dahulu untuk menunjukkan musim. Jika mengahadap ke timur, pertanda musim penghujan dan arah sebaliknya menujukkan musim kemarau. Dulu, aku juga sangat bersemangat menghitung jumlah tiga warna bintang yang berbeda. Merah, kuning, biru. Selalu menyenangkan walau terkesan absurd.

Ah, kenapa aku malah suka dengan kata dulu?

"Karena masa lalu itu adalah sejarah, Sara. Meskipun kamu kurang menyukainya, kamu enggak pantas buat melupakannya. Karena sejarah yang membuat kita ada."

Perkataan Ibu terngiang di telinga. Senyumnya dengan elusan lembut di rambut saat kutanyakan perihal masa lalu seakan terbayang di pelupukku.

Tidak. Meski tak pantas membenci, aku tetap akan menjadi orang pertama yang membenci. Hei, aku memiliki hak pasti.

"Enggak ada yang berhak dibenci, Sayang. Enggak ada yang perlu disalahkan. Tugas kita bukan untuk membenci, tapi mencoba untuk toleransi. Itu saja."

"Tapi, Bu, Sara punya hak membenci."

"Orang yang Sara benci, punyakah haknya untuk dibenci? Bukannya ayah sudah sering mengingatkanmu supaya peka dan peduli? Bukannya ayah sudah memperingatkan kamu untuk enggak jadi anak perempuan yang egois, hm?"

"Bu, kalau Sara-"

"Sara punya hak, Sayang. Fine, tapi, mau, enggak, Sara tau solusi terbaik daripada membenci?"

"Apa?"

"Berdamai."

Ah! Percakapanku dengan Ibu setahun lalu terngiang lagi. Hendak menolak pun, aku sepakat dengan pendapat Ibu, tapi apa salahnya kali ini tetap keras kepala? Toh, tidak akan ada yang terkena dampaknya. Bukankah aku lebih berhak atas diriku sendiri?

Aku menyeka kasar air mata yang meleleh. Nyatanya, setiap berusaha membenci, menutup mata, dan menulikan telinga, aku tetap menyayanginya dan itu tidak berubah hingga saat ini. Apa usahaku untuk terlihat membenci adalah suatu dusta?

Sayup-sayup tapi pasti, aku mendengar lantun panggilan azan. Terima kasih untuk azan yang mengingatkan untuk membuyarkan kenangan. Kuputuskan untuk segera berlalu, membiarkan bintang perlahan pudar dan langit perlahan ceria.

🌠

Aku memarkirkan matic kesayangan. Sekolah masih tampak sepi. Aku berjalan gontai, menyusuri koridor dan kelas demi kelas. Tak ada yang menarik. Belum terlalu banyak siswa yang berlalu-lalang. Masih pukul 06.15 WIB. Tidak ada siswa terlalu rajin hanya untuk cepat menghuni kelas kecuali aku-khusus pagi ini.

"Maria?"

Ralat. Sapaan barusan berasal dari Dev. Aku mengangguk membalas sapaannya, hanya sebagai formalitas. Kemudian kulangkahkan kaki menuju kursi tanpa memedulikannya.

Rasanya mataku sangat berat pagi ini, padahal semalam tidak tidur larut. Ya, tidak tidur larut, tetapi bangun terlalu pagi. Mumpung bel masih cukup lama berdering, kuputuskan saja untuk tidur. Dua puluh menit kurasa cukup untuk mengisi kembali energiku.

"Hei, Ra! Tumben datang pagi!" Aya menginterupsi tidurku. Kutolehkan kepala ke arahnya.

"Ya kali gue datang siang," ceplosku, lalu kembali membenamkan wajah di antara tanganku yang terlipat.

"Eh, Ra, seingat gue, hari ini kita bakalan ulangan fisika, deh. Bener enggak, sih?" Aya masih mengoceh.

"Gue salut kalau lo ingat," balasku tanpa mengalihkan kepala. Takutnya nanti ia malah akan mengajakku kembali melanjutkan bicara.

"Pelajaran pertama, Ra!"

"Hm ...." Aku tahu itu.

"Lo enggak mau belajar, Ra? Dev aja belajar, tuh," cetusnya.

"Biarin aja, kali." Aku membalas tanpa minat. Tidak bisakah Aya berhenti bicara? Aku benar-benar mengantuk saat ini.

"Oh, kalau lo enggak belajar, gue sih maklum aja. Eh, lo sakit? Kayaknya gue ganggu lo tidur, ya? Tidur deh, lanjutin. Entar kalau udah bel, gue bangunin. Jangan nyesal karena enggak mau belajar," oceh Aya tanpa henti. Aku mengangguk samar. Akhirnya bisa kembali melanjutkan tidur.

🌠

Aya menepuk pundakku, mengisyaratkan untuk mengumpulkan kesadaran karena ulangan fisika akan dimulai. Benar saja, saat mataku sempurna terbuka, di atas meja tahu-tahu sudah ada lembaran soal dan jawaban.

Dengan mata yang masih enggan diajak mengerjakan soal, kujawab semua yang ditanyakan. Selesai tepat lima belas menit sebelum waktu habis. Langsung saja kukumpulkan kertas ulangan, agar sisa waktunya masih bisa kumafaatkan untuk tidur.

Baru saja lima belas menit terpejam, kehadiran Bu Lani membuat Aya membangunkanku. Ia tak ingin bertanggung jawab jika guru muda penuh potensi dan tergolong galak itu memarahinya karena teman sebangkunya malah enak-enakan tidur di mata pelajarannya.

Mengerti sejarah, bukan? Pelajarannya, maksudku. Seru? Atau membosankan? Selama satu jam setengah, Bu Lani mengulang-ulang materi tentang KTT. Para murid yang tengah terangguk-angguk tanpa sengaja karena mengantuk, melenguh ketika bel peringatan istirahat berbunyi tapi malah diabaikan guru muda itu. Karena aksi sindir-menyindir mereka yang tertangkap pendengaran Bu Lani-untung saja guru itu peka-ia memutuskan keluar lima menit kemudian

"Gue mau ke kantin. Laper. Pagi tadi enggak sarapan. Lo ikut?" tanyaku sekaligus memberi keterangan pada Aya.

"Gila! Tadi tidur, sekarang lapar," komentarnya.

"Aelah, Ya. Gue, kan, manusia biasa. Tadi gue ngantuk banget, makanya tidur. Lo, kan, ngerti gue yang teralu rajin belajar malam," kekehku, bergurau garing.

"Sara yang gue kenal itu enggak suka tidur kelewat malam cuma buat belajar. Lagian, tadi lo bisa jawab, sih. Ya, enggak apa-apa," gerutu Aya. Aku nyengir.

"Ikut ke kantin?"

Aya menggeleng lesu. "Gue senggugut, Ra. Lagi dapet."

"Pantas muka lo pucat. Mau gue antar ke UKS?"

"Gue enggak mau ke UKS. Bau obat-obatan bisa bikin gue muntah. Entar gue malah tambah sakit," lanjutnya.

Aku mengedikkan bahu. Karena tidak ingin kuantarkan ke UKS, aku pamit saja. Perut ini memang tak bisa diajak kompromi.

Kususuri koridor yang tengah ramai.

"Kak Maria!" Aku menghentikan langkah ketika mendengar suara memanggil. Aku menoleh lalu mendapati empat orang adik kelas yang setengah berlari mengampiri.

"Gue bilang juga apa? Pasti Kak Maria noleh ke kita!" kata salah seorang dari mereka yang memakai bandana abu.

"Ada apa?" tanyaku setenang dan sedatar mungkin. Seketika mereka memekik kecil. Aku mengernyit. Aku seperti merasa mereka seakan kaum bendera pelangi yang menyukai sesama jenis. Bulu halus tengkukku meremang membayangkannya.

"Kakak mau ke mana?"

"Kantin," sahutku. "Kalian habis dari kantin, enggak? Makanannya masih ada? Atau udah habis?" Sengaja kulontarkan kode keras pada mereka. Salahkan perutku yang terus meronta dengan keroncong yang tak henti. Adik-adik kelas itu saling lirik.

"Eh, kita enggak dari kantin, Kak. Em, eh, kami nungguin Kak Maria," jawab seseorang dengan rambut ponytail yang manis.

"Buat apa tunggu gue?"

"Eh, ini Kak-buat Kakak." Salah seorang yang kurasa merupakan bos dari komplotan mereka-aku tak tahu namanya dan tidak peduli dengan nametag-nya-memberiku sebungkus besar cokelat dengan merek yang tidak kukenali. Made in Swiss di pojok kemasan cukup memberiku keterangan yang jelas.

"Thanks. Gue duluan." Tanpa menghiraukan ceracau mereka, aku berjalan cepat.

Kantin tidak terlalu ramai ternyata. Tadi kelasku juga agak lama keluar. Bu Lani memberi penjelasan lebih lama perihal KTT. Di samping itu, para adik kelas tadi sedikit menghambatku membeli bakso Pak Bowo.

Dengan mudah aku langsung saja menyusup ke antrian pertama dan langsung mendapatkan pesanan. Semangkuk mie bakso tanpa ayam dengan enam sendok cabai, saos yang entah seberapa dan kecap racikan Pak Bowo. Masa bodo dengan seruan-seruan kecewa mereka yang antriannya kupotong.

Aku menatap sekeliling. Meja nomor empat penuh dengan anak cheerleader. Bukan tempatku. Meja nomor sembilan penuh dengan lelaki berpeluh dengan seragam olahraga. Meja nomor enam diisi anak-anak berkulit putih dengan kacamata yang membingkai sipitnya, kudengar sedang membahas tentang larutan penyangga. Ew, apa rasanya duduk di sana? Meja dua belas ... tidak, semuanya tukang gosip.

"Halo, Maria," sapa suara bariton dari balik tubuhku. Aku mendengkus ketika mendapati Toni-orang yang baru dua minggu lalu kutolak-memanggilku. "Meja pada penuh. Bareng kita aja, yuk!"

"Enggak. Makasih," tolakku mentah-mentah. Bisa-bisa aku bakal terseret masalah jika bergabung dengan mereka. FYI, mereka terkenal sebagai pembuat masalah seantero sekolah. Aku tidak takut jika diajak berkelahi, tapi tentu aku tidak ingin mengambil risiko jika ibu terpaksa harus menghadap guru BK karena ulahku.

Aku menyapu pandangan ke sekitar. Berusaha sebisa mungkin mencari kursi kosong. Dapat. Hanya Dev yang duduk di sana.

"Lo mau gabung sama kutu buku itu? Cih," olok Toni ketika memandang meja Dev skeptis. Aku mencelus.

"Gue lagi ada tugas kelompok sama Dev, dan lo ...." Aku menunjuknya. "Enggak usah ikutin gue."

"Maria, come on." Toni memasang mode wajah memelas.

"Apa? Masih penasaran sama tinju gue?"

Toni mencebik. "Apa, sih, kurangnya gue buat lo?"

Aku mengedikkan bahu. "Banyak. Bad boy, pemalas, tukang berantem, trouble maker. Kayak Dev, dong. Rajin," tuturku asal.

"Demi dedemit! Lo barusan bandingin gue sama cupu itu?

"Suka-suka gue, lah."

"Heh, gue enggak suka ya, kalau lo-"

"Enggak usah ngatur gue, mending lo sadar sama posisi lo. Eh, lima menit lagi. Laper banget gue. Bye." Aku melangkah pasti ke arah meja Dev.

🌠

Aadidev Valdezi

Lihatlah mataku. Sudah seperti mata panda saja. Alien itu membuatku tidak tidur semalam suntuk. Aku menatap pantulan diri di hadapan cermin. Di sana terpampang seorang Aadidev yang kusut, aneh, kurang tidur, awut-awutan, dan terasa sangat malang nasibnya karena merasa telah menjadi budak alien itu.

Bosan memandang wajah malang, aku melangkah ke kamar mandi. Barangkali dengan mengenggelamkan diri di bathub selama 45 detik-aku dapat menahan napas hanya selama itu-bisa merelaksasikan penat tubuh yang titandai dengan lingkar mata. Eh? Ya, mungkin saja bisa.

Memutuskan tak lama-lama di kamar mandi, aku melenggang menuju ruang makan.

"Pagi," sapaku ringan. Wanita yang sangat kucintai itu tengah mengolesi roti bakar dengan selai kacang. Langsung kudaratkan saja bokongku pada kursi dihadapannya.

"Pagi juga. Cepat banget siapnya?" Mama meletakkan piring lalu menyodorkannya padaku. Aku tersenyum saja. Aku bahkan hampir tidak tidur sama sekali malah.

"Tadi alaramnya kecepetan bunyi," jawabku asal. Mama terkekeh saja.

Kumulai kunyahan setelah berdoa agar diberkahi oleh Tuhan. Hening. Sepi.

"Oh iya, gimana belajarnya?" tanya Mama di sela kunyahannya. Aku mengangkat pandangan.

"Agak sulit. Eh, enggak. Lumayan." Cepat, aku meralat jawabanku. Wanita ini benar-benar tak suka kata-kata pesimis seperti sulit, sukar, susah, tak bisa, whatever.

"Yah, namanya aja baru pertama kali belajar, tapi Mama seneng, sih, kamu jadi suka belajar geografi," ucap Mama.

"Siapa bilang Dev suka geografi?"

Mama mencebik, "Kan tadi Mama bilang, kamu 'suka belajar geografi', bukan 'kamu suka geografi', Dev. Sensi amat, sih."

"Eh, iya, sih." Aku mengusap tengkuk.

"Eh, siapa itu namanya, Dev? Yang nyuruh kamu ikutan lomba geografi? Mama lupa." Mama mengerling ke arahku. Hatiku mencelos. Ciri ibu yang sedang menggoda anak remajanya, ya, begini.

"Maria," sebutku sekenanya.

"Wah, kayaknya Mama harus berterima kasih, nih. Jadinya sekarang kamu dan Mama punya kesamaan. Enggak sempurna mirip Papa," ujar Mama lalu tergelak renyah.

Seperti yang barusan dikatakan, diriku memang sempurna mirip papa. Garis wajah, hobi, sampai sifat pun sangat mirip.

"Lebay. Lagian ini Dev lagi dibikin repot sama dia. Ya kali, disuruh ngikutin dua cabang olimliade sekaligus. Pelajaran yang enggak pernah Dev pelajari pula-"

"Jangan kebanyakan ngomong, Dev. Kayak anak perempuan, ih." Mama tergelak lagi. Aku mencibir, melengos kemudian.

"Pokonya enggak usah ketemu dia." Aku masih bersikeras. Mama berhenti mengunyah dan menatapku intens.

"Kenapa?"

"I told you, you won't like her."

"Hm?" Mama menggumam, manik matanya masih menyorot mataku. Aku mendesah berat.

"Dia itu alien, Ma."

"Oh ya? Masa sih?" Kembali untuk kesekian kalinya mama mengerling, semakin gencar menggoda. Menggodaku dengan alien itu? Yang benar saja? Bakalan kebalik dunia ini.

"Dev hampir telat," ujarku lalu buru-buru bangkit.

"Hati-hati, loh. Entar ketemu alien beneran!" ucap Mama. Aku hanya tersenyum kecil. Yah, mungkin aku hanya tak harus terlalu menanggapi guyonannya.

"Dev pergi dulu," pamitku.

"Hati-hati," pesan Mama.

"Doain Dev biar nggak jumpa."

"Jumpa apa?" Mama masih saja gencar bergurau. Aku berbalik.

"Alien."

🌠

Lihatlah dia. Mengapa terlalu cepat mengumpulkan kertas jawaban ulangannya? Waktu masih tersisa dua puluh menit lagi dan bahkan kelihatannya sedari tadi ia terlalu asyik bermimpi dan tidak menyentuh buku sama sekali. Bahkan diriku yang dari tadi teliti belajar masih mengerjakan sembilan dari keseluruhan dua belas soal.

"Woi! Nggak ada kerjaan liatin Maria terus? Time flies, Bro!" Al, teman sebangkuku mengumpulkan kesadaran. Aku tergagap sebentar untuk kemudian langsung memfokuskan perhatian pada soal. Kulirik Maria sebentar. Apa yang ia lakukan setelah mengumpulkan lembar jawabannya? Aku tersenyum kecut ketika melihatnya anteng melanjutkan tidur. Ah, apa peduliku?

"Waktu tinggal lima belas menit lagi!"

Damn! Dalam lima menit seharusnya aku dapat mengerjakan satu soal ini. Ayolah, Dev. Tak sadarkah kamu baru saja membuang lima menit yang berharga?

Fokus, Dev! Fokus!


🌠

Hari ini, energiku seperti banyak terkuras. Soal fisika yang gagal kujawab dengan benar salah satunya, ditambahkan dengan penjelasan membosankan dari guru sejarah yang seperti pura-pura lupa waktu tiap kali mengajar. Aku yang telat tidur semalam sontak saja merasakan kantuk luar biasa, tapi demi menjaga nama baik, aku berkali seakan terlihat paling bersemangat ketika guru itu mengajar.

Berpura-pura itu butuh energi.

Jadi sekarang kuputuskan saja untuk menuju kantin. Ramai, dan aku tidak menyukai keramaian. Untung saja ada kursi kosong di pojok kantin. Lokasi yang sempurna untukku.

Setelah mendapatkan semangkuk tekwan, langsung saja kutempati lokasi itu sambil sesekali membuka catatan kecil biologiku.

"Permisi. Gue mau duduk di sini. Terima atau enggak, bukan urusan gue karena kantin ini milik umum." Aku tersentak, lantas kualihkan pandangan dari kertas rangkuman sistem koordinasi tubuh.

Alien itu. Sedang apa dia di sini?

Terserah padanya sajalah. Aku tidak peduli.

🌠🌠🌠

Heyyoo

Bantu nemuin typo, ya. Krisarnya juga boleh banget. Comment aja, nggak usah takut. Yoru nggak makan orang, soalnya😆

Thx for reading😘

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

4.2M 249K 54
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 68.5K 34
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
2.1M 97.5K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
8.6M 526K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...