Putra Penyihir : Ritual Kemat...

By Ronny_P

84.5K 9.4K 7.2K

Wattys2020 Winner - Fantasi Peter dan Borin, yang pada awalnya hanyalah dua orang pelayan di sebuah kastel ti... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Chuap-Chuap
Putra Penyihir : Fajar Kegelapan
Vote Cover
GIVEAWAY !!!
PENGUMUMAN PRE-ORDER
PO Kedua

Bab 13

2.1K 419 346
By Ronny_P

Borin terbangun dalam sebuah kurungan berteralis besi. Udara dingin dan lembap segera menyapa paru-parunya dalam sebuah tarikan napas yang kasar.

"Ugh ... di mana ini?" Borin bergumam sambil meringis menahan sakit akibat bekas cakaran harimau di punggungnya. Sekuat tenaga, ia berupaya mengangkat kepalanya yang terasa begitu berat. Netranya beredar menyapu sekitar guna mendapatkan informasi mengenai lokasi keberadaannya.

"Tuan Ramos?" Anak itu terkejut melihat seseorang yang dulu dilayaninya setiap hari, kini tampak begitu berbeda. Perawakannya kurus dan penampilannya berantakan.

"Nona Gladys?" Gadis bangsawan yang dulu begitu cantik dan bersih pun kini tampak seperti gelandangan penuh luka memar. Rambut panjangnya yang indah tampak kotor tidak terawat. Tatapannya pun kosong, tanpa semangat. Sepertinya sesuatu yang amat buruk telah menimpa keduanya.

"Apa yang terjadi pada kalian?" tanya Borin dengan mata membulat.

Selama beberapa saat, tak ada jawaban yang ia dapatkan. Hanya kesunyian memekakkan telinga yang membuat Borin merasa amat gelisah.

"Kita semua akan mati," lirih Ramos tiba-tiba. Ia duduk di sudut ruangan sambil memeluk kedua lututnya sendiri. Sorot matanya tampak begitu ketakutan. Sesuatu yang belum pernah Borin lihat dari tuannya. Ia yang dulu sangat arogan seperti tak memiliki rasa takut sedikit pun kini tampak seperti seekor kelinci yang siap diterkam.

"Tidak, Tuan, kita pasti bisa mencari jalan keluar dari sini," ujar Borin berusaha membangkitkan semangat Ramos dan Gladys.

"Tak ada jalan keluar ... hanya kematian," gumam Ramos sambil menunjukkan jari kelingkingnya yang terpotong. "Ia memotongnya ketika aku mencoba meloloskan diri."

"Ia sangat kejam," sahut Gladys dengan suaranya yang terdengar bergetar.

"Tapi aku yakin, Peter dan yang lainnya akan datang untuk menyelamatkan kita," ujar Borin lagi. Ia masih ingin mempercayai kawan-kawannya. Harapan itu masih ada.

"Kalian tak bisa mengalahkannya. Ia bisa menciptakan harimau besar dari udara kosong dan ada banyak sekali monster buaya." Tubuh Ramos yang gelisah bergoyang ke depan dan ke belakang.

"Kami sudah pernah membunuh harimau itu," ungkap Borin dengan bangga. Ia tak mau kehilangan asa. "Kami bisa mengalahkannya lagi."

"Yah, semoga saja mereka bisa tiba tepat pada waktunya," gumam Gladys lirih hampir tak terdengar. Dalam hatinya ia sulit mempercayai kalau dirinya masih bisa keluar dari situ hidup-hidup. Setelah apa yang dilaluinya bersama Ramos.

Borin pun terdiam dan keheningan tak mengenakkan kembali menyeruak menyesakkan dada. Di luar penjara adalah sebuah gua raksasa berdinding batu. Langit-langitnya sangat tinggi hampir mencapai tujuh meter. Di tengah ruangan itu, ada sebuah meja altar yang terbuat dari batu kasar berselimutkan darah para kurban terdahulu yang telah mengering.

Tak lama kemudian, datanglah sesosok pria berpakaian hitam berlengan panjang. Hidungnya bengkok dan rambutnya yang jarang berwarna keperakan. Tampak empat ekor kobold bersamanya. Mereka terlihat saling berkomunikasi dengan mengeluarkan suara-suara layaknya gonggongan anjing yang tak dapat dipahami.

"Ia datang," desis Ramos ketakutan. Anak muda itu beringsut semakin dalam ke sudut ruangan, seolah berharap tubuhnya bisa terbenam bulat-bulat ke dalam tembok padas di belakangnya.

"Saatnya sudah tiba." Pria tua itu berkata sambil menyeringai dan sesekali menjulurkan lidahnya. "Bawa anak laki-laki itu keluar!" perintahnya pada keempat kobold yang ikut bersamanya. Suara berkelotakan pun terdengar nyaring ketika anak kunci bertemu lubang gembok besar yang tergantung pada rantai besi. Pintu teralis itu pun berayun keluar menimbulkan suara berkeriet yang tidak nyaman. Semua itu terasa bagaikan sebuah simfoni kematian bagi Ramos.

Dengan sigap, para kobold itu kemudian mencengkeram lengan Ramos. "TIDAAK! TOLONG! HENTIKAAAN!" teriak Ramos dengan suara parau. Kakinya menendang-nendang sekuat tenaga. Namun, percuma saja, tubuh lemahnya tak mampu menandingi kekuatan empat kobold yang menyeretnya dengan paksa layaknya sebuah karung beras.

Borin berusaha membantu tuannya dengan mencoba menarik tubuh seekor kobold. Namun, sebuah sabetan keras ekor bersisik menghempaskan tubuh gemuknya terduduk kembali ke tempatnya. "LEPASKAN DIA!" Borin bangkit kembali hanya untuk dihantam dengan keras oleh pintu teralis besi yang dibanting menutup di hadapannya. Anak itu pun hanya bisa mengerang kesakitan sambil memegangi hidungnya yang berdarah.

Ramos terus meronta-ronta ketika para kobold itu mulai membaringkannya ke meja altar di tengah ruangan, lalu mengikat kedua tangan serta kakinya dalam posisi telentang. Ikatan itu begitu kencang sehingga membuat Ramos tak berdaya lagi. Ia hanya bisa menangis ketakutan. "To ... tolong aku ...," lirihnya memelas.

Gladys yang sejak tadi diam meringkuk mulai tampak terisak. Meski hubungannya dengan Ramos kurang baik, tetapi bagaimanapun juga, ia tetaplah seorang kakak yang tumbuh bersamanya sejak kecil. Perangainya memang kasar, tetapi sebenarnya Ramos selalu berusaha melindungi Gladys---dengan caranya sendiri.

Setelah memastikan kurbannya tak dapat bergerak lagi, pria tua itu memerintahkan para kobold pergi. Ia kemudian mengeluarkan sebilah pisau dengan batu ruby merah yang menempel di gagangnya. "Tolong ... jangan ... Ayahku akan memberikan apapun yang kau mau," rintih Ramos sembari berharap benda tajam itu ditarik menjauh dari pandangannya.

"Kau pikir aku menyekapmu selama ini hanya untuk membebaskanmu lagi? Jangan kira aku bodoh," ujar pria itu sambil menyeringai menyeramkan. Lidahnya menjulur-julur layaknya seekor ular. Sementara tangan kanannya menggenggam pisau, telapak kirinya terbuka menghadap ke bawah---sekitar 20 cm di atas dada Ramos.

"Das amorte aksebilli farcies." Ia pun merapal sebaris mantra, dan sebuah bayangan hitam tampak keluar dari telapak kirinya, merasuki tubuh Ramos. Setelah itu, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan pisau terhunus, bersiap menghujamkannya ke jantung Ramos.

"Mohon belas kasihan, Tuan, jangan bunuh dia." Kali ini Borin yang memohon untuk Ramos. Meski tak begitu menyukai sikap Ramos, tetapi ia tak pernah berharap akan kematian tuannya itu. Apalagi setelah ia berupaya untuk berubah.

"Kau benar-benar ingin dia hidup?" tanya pria tua itu sambil menyeringai licik. "Apakah kau mau menggantikannya sebagai kurban?"

Borin terdiam mendengar pertanyaan dari orang itu. Meski ia berharap Ramos bisa tetap hidup, tetapi untuk menukarnya dengan nyawanya sendiri? Anak itu merasa bahwa hidupnya masih lebih berharga.

"Hahaha ...." Pria tua pun itu terbahak. "Begini saja, aku punya satu pertanyaan. Kau harus menjawabnya dengan jujur dan aku akan membiarkannya hidup. Aku akan tahu jika kau berbohong."

"Baiklah," sahut Borin. Ia melihat secercah harapan.

"Kau memiliki seorang teman penyihir yang bisa menyembuhkan bukan? Apakah ia juga bisa menghidupkan orang yang sudah mati?" tanya Orang tua itu dengan wajah serius.

Borin pun kebingungan. Meski tahu bahwa yang dimaksud orang itu pastilah Anna, tetapi ia sendiri tak tahu sampai mana batas kemampuan perempuan itu. Ia juga heran, bagaimana bisa orang itu tahu bahwa dirinya berteman dengan seorang penyihir penyembuh.

"Aku tidak tahu," jawab Borin dengan jujur sesuai syarat yang diajukan oleh sang pria tua berambut perak itu.

"Hahaha ...." Orang itu tertawa lagi lalu berkata "Kalau begitu, ayo kita cari tahu." Usai mengucap jawabnya, ia langsung mengangkat tangannya dan menghujamkan pisaunya tepat ke jantung Ramos.

Anak itu tak sempat bereaksi apa pun seketika belati itu menembus rongga dadanya. Tubuhnya hanya sedikit tersentak---diiringi suara degukan pelan dan darah yang mengalir lewat mulutnya---Ramos pun mengembuskan napas terakhirnya. Matanya memutih lalu menutup dengan sendirinya.

Seketika itu juga, darah merembes memenuhi meja altar dan menetes ke tanah. Batu ruby yang menempel pada gagang pisau itu pun secara ajaib menyala terang, menandakan bahwa ia telah berhasil memperoleh kurbannya. Sesosok bayangan hitam keluar dari tubuh Ramos, dan seperti terhisap, merasuk melalui hidung sang penyihir.

Gladys yang melihat kakaknya dibunuh dengan begitu keji, berteriak sejadi-jadinya lalu jatuh pingsan. Sementara itu, Borin menggoncang-goncangkan pintu teralis besi sambil berteriak-teriak dengan suara parau "TIDAAAK! JANGAN! KAU BOHONG! DASAR PEMBOHONG!!"

"Ups ... Maaf, aku lupa sudah berjanji padamu. Begini saja, aku akan pergi mencari teman penyihirmu dan mengajaknya kemari. Aku benar-benar ingin tahu apakah ia bisa membangkitkan orang mati. Kau ingin tahu juga bukan?" ujar pria itu sambil menyeringai menyebalkan. Ia menjilati darah yang menempel di pisaunya. Sangat menjijikkan.

Borin pun terduduk lesu di tempatnya. "Siapa sebenarnya kau ini? Mengapa harus begitu jahat dengan membunuh orang lain?"

"Kau ingin tahu siapa aku? Akan kuberitahu kau anak gendut. Namaku Victor Aldren dan aku adalah seorang penyihir. Aku membutuhkan kurban manusia untuk menjalankan ritual kehidupan abadi," jelasnya dengan mata melotot dan lidah menjulur-julur.

"Kau begitu egois! Kau mengurbankan orang lain hanya untuk kepentingan pribadimu!"

"Hahaha .... Ya aku memang sudah terlalu lama hidup menyendiri sampai tidak lagi memikirkan kepentingan orang lain. Tapi, asal kau tahu saja, sebenarnya aku juga tidak ingin terus-menerus melakukan ritual seperti ini. Seandainya saja aku bisa mendapatkan teman penyihirmu sebagai kurban." Victor menyeringai lagi sambil melirik licik kepada Borin.

"Jika bisa mendapatkannya, aku akan menjadi manusia abadi dan pasukanku akan semakin kuat. Setelah itu, aku akan menyerang desa dan menguasai Ethardos." Victor tertawa terkekeh membayangkan dirinya duduk di tahta sebagai raja.

"Jangan berani-beraninya kau menyakiti dia!" teriak Borin putus asa. Meski mengetahui niat jahat sang penyihir, ia tak bisa berbuat apa-apa.

"Sebaiknya kau diam atau kujadikan makanan para kobold! Lihat saja, aku akan menangkap teman penyihirmu." Pria tua itu pun duduk bersila di lantai ruangan lalu memejamkan matanya. Ia meletakkan kedua telapak tangannya terbuka di atas lutut dan merapal sebuah kalimat mantra "preature amae." Tiba-tiba muncul sebuah keajaiban yang lain. Sebuah lidah api berwarna kebiruan tampak keluar dari dadanya, dan sejurus kemudian, melayang keluar menembus tembok, meninggalkan tubuh Victor yang diam mematung.

***

Sementara itu, Susan kembali ke rumah bersama Pogna. Semenjak kepergian neneknya, Susan hidup sebatang kara. Ibunya wafat saat melahirkannya, sementara ayahnya menghilang enam belas tahun yang lalu. Beruntung, kedua orang tua Pogna, Abe dan Sara sangat baik. Mereka telah menganggap Susan seperti anaknya sendiri.

Pogna sendiri tak pernah menceritakan rencananya untuk menghentikan upacara kurban karena takut orang tuanya tak setuju. Ia hanya beralasan pergi berburu sejak pagi. Beruntung, ayah ibunya sedang tidak sehat ketika upacara kurban, sehingga keduanya tidur lebih awal dan tidak menyadari anaknya menghilang bersama Susan.

Jika mau jujur, ia sendiri pun sebenarnya tak memiliki ambisi untuk mengakhiri upacara kurban. Ia hanya mengikuti keinginan Susan, perempuan yang disayanginya. Namun, setelah melewati bahaya di hutan terlarang, hatinya mulai bimbang. Apakah perjuangan yang ia lakukan sepadan dengan risikonya.

Keluarga Pogna tinggal di sebuah rumah kayu yang sederhana. Tak ada perabotan apapun di situ. Mereka semua terbiasa makan dan tidur di tanah beralaskan tikar. Malam itu, usai santap malam bersama, Susan dan Pogna berencana mengunjungi Peter dan Anna di gua. Malam hari, setelah semuanya terlelap---adalah waktu yang paling tepat untuk pergi tanpa menimbulkan kecurigaan.

Baru beberapa meter melangkah meninggalkan rumah, Susan melihat sesuatu yang aneh. Sebuah lidah api berwarna kebiruan tampak melayang-layang di udara. Anak perempuan itu pun menarik lengan Pogna untuk bersembunyi di balik semak. "Itu wujud sang dewa yang dilihat oleh tetua adat," bisik Susan. Mereka berdua pun berjalan berjingkat-jingkat mengikuti fenomena ganjil itu.

Lidah api itu melayang menembus dinding gubuk sang tetua adat. Susan dan Pogna berjongkok di bawah jendela sambil mengintip ke dalam rumah melalui celah-celah papan. Tak lama kemudian terdengar suara. "Temukan seorang remaja perempuan berkulit pucat dan berambut cokelat sebahu! Jadikan ia sebagai kurban."

"Sang dewa menginginkan Anna," lirih Susan.

"Tapi kami baru saja mengirimkan dua orang kurban kemarin." Terdengar suara si kakek menjawab permintaan sang lidah api.

"Dia orang yang spesial. Jika kau bisa mendapatkan perempuan itu, kau tak perlu mengirimkan kurban lagi untuk selamanya," jawab sang dewa. Lidah api itu kemudian melayang menembus dinding papan dan pergi meninggalkan desa.

Setelah terdiam sejenak untuk mencerna apa yang baru saja didengarnya, Susan pun bertanya pada Pogna "Kau tak mungkin berpikir untuk menyerahkan Anna bukan?"

"Emm ... ti ... tidak. Aku hanya sedang mempertimbangkannya." Pogna berusaha mengelak. "Tapi, tawarannya cukup adil menurutku. Dengan begitu, seluruh warga desa yang lain tidak perlu khawatir menjadi kurban lagi."

Mendengar penuturan Pogna, Susan membelalak tak percaya. "Jadi dugaanku benar? Kau ingin menyerahkan Anna? Ia sudah menyelamatkan nyawaku dan merawat luka-luka kita! Bagaimana bisa kau masih bisa berpikir untuk mengurbankan dia? Ternyata selama ini aku salah menilaimu," sahut Susan dengan suara tertahan agar tak menimbulkan keributan. Susan jelas kecewa terhadap kawannya itu. Tangannya mencengkeram erat kerah baju Pogna, menatapnya tajam.

"Aku harus memberitahu Peter dan Anna sekarang juga." Susan mendengkus kasar lalu bergegas pergi meninggalkan Pogna yang masih duduk terdiam.

Sejujurnya, Pogna juga tak ingin mengurbankan Anna. Namun, jika itu berarti tak perlu ada kurban lagi, bukankah selama ini itulah tujuan perjuangan mereka? Setelah beberapa saat merenung dan tak juga mendapatkan pencerahan, ia pun memilih untuk pulang ke rumah dengan hati yang kalut.

Dengan tergesa, Susan berjalan cukup jauh ke dalam hutan untuk mencapai gua tempat Peter dan Anna bersembunyi. Setibanya di sana, ia mendapati kedua kawannya itu sudah tertidur.

"Bangun ...." Susan berbisik sambil menggoncang-goncangkan tubuh Peter.

"Ugh ... ada apa?" Peter tampak berjuang keras untuk membuka matanya.

"Ada yang perlu aku sampaikan." Susan berbicara cepat.

"Tunggu sebentar." Peter pun duduk bersandar pada dinding gua sambil mengusap-usap matanya.

"Besok, para warga suku akan mulai mencarinya." Susan menoleh kepada Anna yang masih terlelap. Warna kulitnya telah kembali merona dibandingkan kemarin saat ia kehabisan energi.

"Oh ya? Bagaimana mereka bisa tahu?" Peter merasa yakin tak ada orang suku yang mengetahui keberadaannya bersama Anna. "Tempat ini aman, tak ada yang pernah kemari selain kau dan Pogna."

"Sang dewa mengetahuinya. Ia tahu bahwa Anna memiliki kekuatan penyembuhan. Maka dari itu, ia memerintahkan warga suku untuk mencarinya dan menjadikannya kurban. Jika ia berhasil mendapatkannya, maka tak perlu ada upacara kurban lagi untuk selamanya." Susan menjelaskan apa yang baru saja ia dengar. "Kurasa harimau besar yang kita bunuh kemarin adalah ciptaannya. Ia melihat ketika Anna menyembuhkan lukaku," sambungnya lagi.

"Tidak ... aku tidak mungkin menyerahkannya. Lebih baik aku mati daripada mengurbankan Anna." Peter sama sekali tidak setuju.

"Ya, aku pun tidak mau menyerahkannya. Kau ingat? Aku berhutang nyawa padanya. Tapi Pogna ..." Susan terdiam tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Maksudmu Pogna ingin menyerahkan Anna?" Peter terkejut mendengar penjelasan yang baru saja didengarnya. Ia menuntut penyelesaian kalimat Susan.

"Ya ... sepertinya begitu." Susan mengangguk perlahan.

"Ini gila! Kita sudah kehilangan Borin dan sekarang Pogna mengkhianati kita!" Peter tak sanggup menahan luapan emosinya.

"Ada apa ini ribut-ribut?" Rupanya Anna terbangun karena suara keras Peter. "Susan? Kau di sini rupanya." Ia pun tersenyum kecil kepada sang perempuan suku.

"Sepertinya kita harus segera pergi dari sini. Gua ini sudah tak aman lagi." Susan menyampaikan kekhawatirannya. Jika sampai Pogna memberitahukan tempat persembunyian mereka, sudah pasti para warga suku akan menangkap Anna dengan mudah.

"Mengapa mereka menginginkanku?" Anna yang tadi belum mendengar penjelasan dengan lengkap, bertanya lagi. Susan pun menceritakan kembali informasi yang ia dapatkan bahwa jika sang dewa mendapatkannya, warga suku tak perlu lagi melakukan kurban.

"Jika memang begitu, aku bersedia berkorban." Jawaban Anna itu sungguh mengagetkan Peter dan Susan.

"Tidak ... Aku tak akan membiarkanmu!" Peter segera bereaksi keras.

"Aku juga tak akan menyerahkanmu! Aku masih berhutang nyawa padamu. Lagipula kita tak bisa yakin betul kalau dewa itu akan menepati janjinya." Susan sepakat dengan Peter.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Anna balik.

"Aku akan membawa kalian kembali ke sungai. Jika tetap di sini, cepat atau lambat, kita akan ditemukan dan dijadikan kurban. Jika begitu, situasinya akan semakin menyulitkan." Susan mengingatkan kedua kawannya pada Ramos dan Gladys yang dikirim ke hutan terlarang dengan tubuh terikat.

"Tapi apakah kau sudah cukup kuat untuk berjalan?" Peter bertanya pada Anna. Ia tak yakin perempuan itu telah pulih sepenuhnya.

"Ya kurasa aku sudah lebih baik. Terima kasih, semua berkat perawatanmu." Anna tersenyum pada Peter lalu berdiri untuk meyakinkan kawan-kawannya. "Ayo kita pergi," ujarnya mantap.

Malam itu juga, Peter, Anna dan Susan berjalan kembali ke sungai. Mereka harus berhati-hati karena hari sudah gelap. Sinar lembut sang rembulan yang terpancar membentuk siluet-siluet pepohonan membuat suasana terasa cukup mencekam. Beruntung, Susan yang sudah amat mengenal kondisi hutan dapat memimpin teman-temannya. Ia memberikan peringatan-peringatan kepada Anna dan Peter jika ada dahan yang rendah atau akar yang mungkin dapat mengganjal kaki mereka.

Pada tengah malam, mereka akhirnya tiba di sungai. "Kita harus menyeberang sekarang." Susan melompat masuk ke dalam perahu lalu membantu Peter dan Anna naik. Kali ini, Peter sebagai satu-satunya lelaki, mengambil inisiatif mendayung. Perahu itu pun meluncur perlahan di atas air. Langit malam tampak cerah bertabur bintang.

Kala itu, Peter merasa hatinya teramat masygul. Sepertinya begitu banyak rintangan yang datang bertubi-tubi dalam hidupnya. Ketika satu kesulitan belum dapat teratasi, malah muncul halangan lain yang semakin berat. Ketika niatnya untuk membantu Anna menyelamatkan Gladys belum juga terwujud, Borin, sahabatnya, justru tertangkap. Ditambah lagi pengkhianatan Pogna yang membuat harapannya pergi meninggalkan pulau dengan selamat semakin mengecil. Kini tak ada tempat yang benar-benar aman bagi mereka. Musuh ada di kedua sisi sungai.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di sisi hutan terlarang. "Kurasa sebaiknya kita beristirahat dulu." Peter merasa lelah karena sejak kemarin belum beristirahat cukup. Ia harus mencari makanan serta merawat Anna yang sedang lemah.

"Baiklah, sepertinya di sini cukup aman. Warga suku tak akan berani menyeberang, sementara pemukiman kobold itu masihjauh di sana." Susan sepakat dengan Peter. Mereka pun melemaskan otot dengan berbaring bersandar pada sebuah pohon dan terlelap sejenak kemudian.

Continue Reading

You'll Also Like

15.9K 1.9K 8
(Underground Bullet Case:00) Underground Bullet atau yang sering disebut sebagai 'para peluru dari bawah tanah' adalah sekelompok remaja dengan latar...
109K 12.8K 34
[Proses Revisi] Tumbangnya listrik malam itu menjadi pengawal petaka. Mesin waktu yang dicuri membuat para petinggi negara resah akan keamanan masa l...
850K 62.3K 40
[Pemenang Wattys Award 2016 Kategori Cerita Sosial] (Sudah terbit dan tersedia di toko buku sehingga konten cerita di sini sudah dihapus) Marvelous...
28.8K 2.8K 14
(Underground Bullet case:01) Elena Grimm sudah sebulan tinggal di underground bersama para member UB. Tapi tetap saja dia tak bisa membaur dengan Ron...