Putra Penyihir : Ritual Kemat...

Von Ronny_P

84.6K 9.4K 7.2K

Wattys2020 Winner - Fantasi Peter dan Borin, yang pada awalnya hanyalah dua orang pelayan di sebuah kastel ti... Mehr

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 13
Chuap-Chuap
Putra Penyihir : Fajar Kegelapan
Vote Cover
GIVEAWAY !!!
PENGUMUMAN PRE-ORDER
PO Kedua

Bab 12

2K 441 347
Von Ronny_P

Sementara itu di Kingsfort, Aileen dan Gideon tak dapat lagi tidur. Mereka sangat gelisah karena mengetahui adanya potensi konflik yang kemungkinan akan segera terjadi. Aileen merasa bahwa mereka sebaiknya tidak ikut campur dan kembali ke Fortsouth saja. Namun, Gideon berpendapat lain. Ia berpikir bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk memberitahu sang raja mengenai bahaya yang mengancam putrinya. Apalagi ia dan Agra sudah berteman sejak lama. Tidak memberitahunya dapat dianggap sebagai sebuah pengkhianatan.

Gideon akhirnya memutuskan untuk mengatakan segala yang ia tahu secara pribadi pada Agra. Orang yang paling berkuasa di Ethardos itu pun menjadi sangat murka mendengar berita penangkapan putrinya. "Kurang ajar! Berani sekali dia! Selama bertahun-tahun aku sudah memberikan ijin untuk menyebarkan ajarannya di ibu kota. Bahkan aku bersedia menjadikan kepercayaannya sebagai agama resmi kerajaan!" geram Sang Raja. Wajahnya tampak memerah menahan amarah. "Aku akan memerintahkan pasukan untuk menyerbu kuil!"

"Tunggu dulu, Yang Mulia. Ia memiliki putri Anda. Menyerang secara serampangan hanya akan membahayakan nyawa Isabel," saran Gideon. "Selain itu, menyerang kuil dapat menyebabkan hubungan antara ibu kota dengan wilayah utara merenggang. Hal itu dapat menimbulkan gejolak politik yang tidak perlu. Sebaiknya kita bicarakan dulu dengannya sebelum persidangan."

Karena saran dari kawan lamanya itu, akhirnya sang raja mengurungkan niatnya untuk mengirimkan pasukan. Ia mengajak Gideon beserta beberapa prajurit pergi ke kuil untuk bertemu dengan Karl, sang kepala gerpa. Setelah menunggu beberapa lama, seorang gerpa muda mempersilakan Agra dan Gideon masuk ke dalam sebuah ruangan di sebelah kuil, tempat para gerpa biasa menerima tamu. Karl sudah menunggu di situ.

"Sebuah kehormatan, Sang Raja bersedia mengunjungi kuil sederhana kami." Karl membungkuk hormat lalu berpesan kepada gerpa muda tadi untuk berjaga di luar dan tidak membiarkan siapa pun masuk.

"Langsung saja, apa maksudmu memenjarakan putriku?!" Tanpa basa-basi sang raja langsung mengutarakan niat kedatangannya.

"Dengan segala hormat Paduka Yang Mulia, hamba hanya menjalankan hukum sesuai dengan ajaran agama Herod. Hamba yakin kalau paduka sendiri juga sudah mengetahuinya. Yaitu bahwa melakukan hubungan suami istri di luar ikatan pernikahan adalah sebuah pelanggaran terhadap hukum Tuhan."

"Tapi dia adalah putriku. Kau harus memberikan pengecualian untuknya," sahut sang raja. "Sebenarnya apa yang kau minta?!" tanyanya lagi dengan nada suara yang meninggi.

"Tidak ada Yang Mulia, hamba hanya menjalankan apa yang menjadi kewajiban hamba. Menegakkan hukum secara adil terhadap siapa pun tanpa memandang status."

"Kurang ajar! Berani-beraninya kau!" Raja Agra pun bangkit dari tempat duduknya sambil memukul meja di hadapannya. Mukanya tampak memerah karena menahan marah. Sementara itu, Gideon berusaha menenangkan rajanya. "Kendalikan dirimu, Yang Mulia. Emosi yang tak terkendali bisa membuat masalah menjadi lebih rumit."

Sang raja pun mendengkus kasar. "Aku ingin melihat kondisi Isabel! Antarkan aku padanya!" ujar Agra kemudian.

"Baiklah, Yang Mulia." Karl lalu memerintahkan gerpa muda yang tadi berjaga untuk menunjukkan jalan. Sang Raja pun segera mengikutinya sementara Karl dan Gideon mengekor di belakang.

"Ia bisa memberimu uang sebanyak yang kau mau," ungkap Gideon pada Karl. Ia berusaha membujuk sang gerpa untuk memberikan kelonggaran bagi Isabel.

"Bukan uang yang aku inginkan, melainkan keadilan bagi setiap orang. Hukum harus adil bagi semua." Karl menjelaskan idealismenya secara singkat.

"Itu sebuah pemikiran yang baik, tetapi rasanya penerapan dengan cara seperti ini terlalu terburu-buru. Aku merasa, butuh waktu lebih lama untuk mengubah sistem yang sudah lama berjalan." Gideon berharap dapat melunakkan pendirian Karl. Namun, pria tua itu keras kepala. Ia tetap kukuh untuk menjalankan tugasnya tanpa pandang bulu.

Mereka pun berjalan menuruni tangga menuju ke bagian bawah kuil. Di sepanjang lorong yang gelap, terdapat penjara untuk para penjahat kriminal. Di situ sangat mengerikan, beberapa tahanan berteriak minta tolong sementara yang lain berusaha keluar dengan mendorong-dorong pintu besi sekeras-kerasnya, menimbulkan suara bising yang amat mengganggu.

Akhirnya mereka tiba di ujung lorong dan mendapati Isabel di dalamnya. Ia nampak terduduk lesu di salah satu sudut ruangan kecil berbatu. Sementara Bram tampak disekap di sebuah ruangan di seberangnya. "Tolong lepaskan dia." Bram kembali memohon kebebasan untuk kekasihnya. Namun, Karl tak mengacuhkannya.

Setelah si gerpa muda membuka pintu sel Isabel, Raja Agra pun masuk menghampiri putrinya.

"Ayah?" Isabel terkejut menyadari kehadiran ayahnya. "Maafkan aku ...." Ia lalu memeluk ayahnya sambil terisak.

"Tenanglah, Sayang ... Ayah akan membereskan semua ini. Aku akan melakukan segalanya untuk membebaskanmu." Raja Agra berusaha menenangkan putrinya. "Pada saat persidangan nanti, sampaikan bahwa kau tidak mengetahui bahwa perbuatanmu salah. Ketidaktahuanmu mungkin bisa meringankan hukumannya." Isabel pun mengangguk pelan mendengar pesan dari ayahnya.

"Apakah mereka melukaimu? Atau memperlakukanmu dengan buruk? tanya Agra lagi. Isabel menjawab dengan sebuah gelengan pelan. "Tidak, Ayah, mereka tidak melukaiku. A-aku hanya takut," lirih Isabel.

Agra menyeka air mata yang menetes di pipi Isabel, lalu memeluk putrinya itu erat-erat. Ia berharap dapat memberikan sedikit ketenangan baginya. Keduanya pun terdiam selama beberapa waktu.

Setelah menghabiskan beberapa saat bersama putrinya. sang raja mengecup kening Isabel sambil mengelus pucuk kepalanya. Lalu, ia beringsut keluar meninggalkan penjara untuk kembali ke istana. Sebelum berpisah, Karl berpesan bahwa persidangan Isabel akan digelar dalam tiga hari lagi.

Agra, Gideon, beserta beberapa orang prajurit pengawal raja pun menaiki kudanya masing-masing lalu pergi meninggalkan kuil.

"Huh ... para gerpa itu, semakin lama semakin berani," gerutu Sang raja dalam perjalanan.

"Ya, sepertinya wilayah utara tidak menyerahkan kekuasaannya secara cuma-cuma. Mereka berusaha memperbesar pengaruh lewat ajaran agama." Gideon menanggapi.

Pada awalnya, wilayah utara memanglah sebuah kerajaan merdeka. Kakek raja Agra yang berkuasa atas kerajaan Ethardos tergiur akan kekayaan di utara dan memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Penguasa wilayah utara yang tahu bahwa kekuatannya tak sebanding dengan pasukan Ethardos, mengajukan penyerahan diri dengan syarat diijinkan untuk menyebarkan ajaran Herod di ibu kota. Karena menghargai nyawa rakyat jelata di utara, sang raja akhirnya menyetujui syarat itu.

Kini, setelah sekian lama, ajaran Herod telah meluas di ibu kota dan menjadi kepercayaan resmi negara. Nilai-nilainya pun telah diangkat menjadi hukum positif di ibu kota. Meski raja Agra mendapat uang yang tidak sedikit lewat pajak dan hasil bumi yang diberikan, ia merasa tidak nyaman karena kekuasaannya semakin terganggu. Namun, aliansi yang sudah terbentuk sekian lama tidak mungkin dirusak tanpa sebuah alasan yang kuat. Konsekuensinya sama sekali tidak ringan.

"Sepertinya aku harus meminta bantuannya," celetuk Agra tiba-tiba.

"Apakah yang kau maksud Ronald? Si penyihir itu?" tebak Gideon. Pertanyaan Gideon itu dibalas dengan anggukan kepala sang raja.

Gideon terdiam selama beberapa saat sebelum menyahut, "Ya, kurasa ia satu-satunya harapan kita saat ini. Ia bisa menyelamatkan sang putri tanpa menimbulkan korban yang tidak perlu."

Keduanya pun memisahkan diri dari para prajurit yang terus berjalan menuju istana, lalu memacu kudanya keluar dari gerbang kota. Para penjaga pintu gerbang pun segera menunduk hormat melihat rajanya.

Selepas dari gerbang kota, keduanya bergerak menuju ke sisi hutan sebelah selatan. Suasana di situ sangat sepi. Tak ada lagi suara keramaian. Semuanya tergantikan oleh hijaunya vegetasi serta kicauan burung bersahut-sahutan yang menyenangkan hati. Perasaan sang Raja yang sebelumnya gusar pun berangsur membaik.

"Terkadang aku merasa tinggal di hutan seperti ini cukup nyaman," ungkap Agra pada Gideon dari atas kudanya yang berjalan pelan.

"Kau benar, kadang kala aku juga ingin menyendiri tanpa harus memikirkan segala kebutuhan rakyat," tanggap Gideon.

"Kau benar-benar pemimpin yang baik," puji Agra. Mereka pun memilih diam sambil menikmati kesegaran udara hutan.

Setelah berjalan cukup jauh, tiba-tiba tercium aroma sedap daging panggang yang menguar menyapa penciuman. "Kita pasti sudah dekat," simpul Sang raja. Ia sudah lama mengenal orang yang dicarinya ini sebagai seorang penggemar daging panggang.

Benar saja, tak lama kemudian, tampaklah sebuah pondok kayu sederhana. Agra dan Gideon pun menambatkan kudanya pada sebatang pohon lalu berjalan mendekat. Seseorang berkepala plontos dan berjanggut putih nampak duduk di halaman dekat perapian sedang menunggu daging panggangnya matang.

"Ronald Alane!" Sang Raja memanggil nama teman lamanya itu.

"Agra Alderman dan Gideon Fernir!" Pria botak itu pun bangkit lalu memeluk kedua tamunya. "Duduklah, kita akan menikmati daging panggang ini bersama-sama," ujarnya sambil menyodorkan sepotong daging yang baru saja matang itu.

Sembari menikmati santapan, sang raja pun mengutarakan niatnya menemui Ronald. "Kami membutuhkan bantuanmu untuk menyelamatkan putriku."

"Apa yang terjadi pada Isabel?" Ronald berhenti makan untuk menaruh perhatian lebih.

"Para gerpa itu menyekapnya," sahut Gideon menjawab pertanyaan Ronald.

"Dasar tak tau diuntung! Beraninya mereka melakukan tindakan keji seperti itu. Ia hanya seorang anak perempuan polos." Ronald tampak geram. "Tentu saja aku akan membantumu," sahutnya mantap.

"Persidangannya akan dilangsungkan tiga hari lagi," tambah Gideon.

"Baiklah, aku akan hadir di sana."

"Terima kasih, Kawan." Agra dan Ronald memang sudah saling mengenal satu sama lain sejak lama. Ronald Alane adalah penyihir yang sudah bersumpah setia kepada raja. Ia menjadi pembela utama Agra ketika terjadi pemberontakan penyihir enam belas tahun yang lalu. Ia berhasil mengalahkan Stevan Alderman, pemimpin pemberontakan, yang tidak lain adalah adik raja Agra sendiri.

Akibat pemberontakan tersebut, rusaklah kepercayaan antara manusia dan penyihir. Raja Agra pun mengeluarkan perintah yang melarang para penyihir tinggal di kota untuk menghindari konflik horisontal. Beberapa penyihir yang tersisa akhirnya hidup menyingkir di hutan-hutan, termasuk Ronald sendiri. Meski Raja Agra menginginkan Ronald agar tinggal di kastel bersamanya, sang ratu tidak menyetujuinya. Untuk menghindari konflik serta menjaga rasa keadilan di masyarakat, akhirnya Ronald memilih untuk hidup menyendiri di hutan.

***

Sementara itu, di Desa Peteonia, kondisi kesehatan Eric sudah membaik setelah beberapa hari dirawat oleh Egelina. Ia mengisi kesehariannya dengan mengikuti kegiatan para penduduk desa yang sebagian besar adalah petani. Pada pagi hari, ia akan mengikuti Egelina pergi ke ladang dan membantunya menanam jagung. Sementara pada petang hari, mereka akan duduk-duduk di teras rumah untuk menikmati teh hangat sambil menyaksikan keindahan matahari terbenam. Sebuah kehidupan penuh damai yang selama ini hanya ada dalam mimpi Eric. Sebagai seorang kesatria, hidupnya lebih sering diisi oleh peperangan demi peperangan.

Pada suatu kesempatan, Eric sedang bekerja bersama Egelina di ladang. Tiba-tiba langit yang semula cerah berangsur mendung dan tak lama kemudian, hujan turun membasahi bumi. Egelina pun mengajak Eric segera pulang ke rumah untuk berteduh. Mereka berlari-lari kecil meninggalkan ladang.

Tiba-tiba, Eric yang kurang hati-hati, jatuh terpeleset karena menginjak tanah berlumpur. Egelina pun mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Namun, karena Eric bertubuh lebih besar, Egelina tidak kuat menarik pria yang lima belas tahun lebih tua darinya itu. Ia justru terpeleset dan malah ikut jatuh terjerembab ke tanah berlumpur.

"Oh tidak ...." Egelina meratapi pakaiannya yang kotor. Ini berarti sebuah tambahan pekerjaan.

"Tenanglah, kali ini biar aku yang mencuci pakaianmu." Eric menatap mata Egelina sambil tersenyum ramah. Sebuah perasaan hangat membuncah dalam hati keduanya. Egelina tersipu. Secara spontan, seulas senyum balasan terbit di bibirnya ketika Eric yang sudah berdiri ganti membantunya keluar dari kubangan lumpur.

Detik itu juga, Eric menyadari bahwa cintanya telah tertambat pada Egelina. Keceriaan dan semangat gadis itu selalu membuatnya tersenyum. Hal itu pula yang mungkin membantunya pulih lebih cepat.

Namun, semakin lama ia tinggal di Desa Peteonia, perasaan bersalah karena meninggalkan Ramos dan Gladys kini terasa semakin besar. Hingga akhirnya, ia bertekad bahwa semua ini harus segera diakhiri atau ia tak akan pernah punya kekuatan lagi untuk meninggalkan desa kecil yang indah itu.

Malam itu, Elise menyiapkan jagung rebus untuk mereka bertiga makan. Aromanya yang sedap menguar memenuhi seisi rumah dan membangkitkan selera. Mereka bertiga pun duduk mengitari meja makan dan mulai menikmati hidangan dengan lahap.

"Terima kasih telah membantuku mencuci tadi." Egelina tersenyum memamerkan sebiji jagung yang terselip di antara giginya.

"Tak masalah. Aku yang seharusnya berterima kasih karena kebaikan kalian." Eric menyahut. "Kini aku sudah sehat. Kurasa besok aku akan mulai melanjutkan perjalanan ke ibu kota."

Mendengar perkataan Eric itu, Elise dan Egelina terdiam sejenak. Tampak jelas gurat kesedihan dalam wajah mereka. "Tapi kau tak punya kuda dan senjata. Tinggallah saja di sini bersama kami." Elise memberi jawaban yang membuat hati Eric semakin galau.

"Aku tahu kalian saling mencintai. Jika perlu, aku akan menikahkannya denganmu." Kalimat ibunya itu membuat wajah Egelina seketika memerah karena malu.

Eric pun terdiam. Kini hatinya benar-benar bingung. Ia tak bisa memutuskan apa yang harus dilakukan. Di satu sisi ia menyayangi Egelina dan keramahan para penduduk desa, tetapi di sisi lain, ia masih memiliki beban tanggung jawab yang berat untuk menyelamatkan Ramos dan Gladys. Dalam kegamangannya, tiba-tiba terdengar suara teriakan minta tolong dari luar rumah.

Eric, Elise dan Egelina segera bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi. Lima orang berpakaian hitam berpenutup wajah sedang membuat onar dengan mengambil barang-barang milik warga. Rupanya para perampok yang sebelumnya hanya beroperasi di luar desa, kini mulai berani masuk ke dalam. Eric dapat mengenali seekor kuda yang ditunggangi dan pedang yang digunakan perampok itu adalah miliknya.

Ia mengambil sebilah pisau arit yang biasa digunakan untuk memotong rumput, lalu melemparkannya mengenai punggung seorang perampok yang menunggangi kudanya. Sang Penjahat itu pun seketika jatuh terjerembab ke tanah. Melihat pemimpinnya dikalahkan, keempat penjahat yang lain menjadi gentar. Mereka pun segera berlarian pergi meninggalkan desa.

Seorang kakek berlari mendekati Eric dan tiba-tiba berlutut di hadapannya, "Terima kasih, Tuan," ujarnya. Rupanya ia yang tadi berteriak karena para penjahat menyerbu rumahnya.

"Tidak perlu sungkan. Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai ungkapan terima kasih pada kalian yang telah menolongku di saat aku terluka." Eric pun membantu pria tua di hadapannya untuk bangkit.

Namun, tiba-tiba Elise dan Egelina ikut berlutut. "Kumohon, tetaplah di sini bersama kami. Para penjahat itu pasti akan kembali jika kau pergi." Elise menegaskan kembali keinginannya untuk menahan kepergian sang kesatria.

Mengetahui niat Eric untuk pergi meninggalkan desa, sang kakek yang tadi sudah berdiri pun kembali berlutut ikut memohon. Tindakan itu kemudian diikuti satu persatu penduduk desa yang berkumpul di situ. Semuanya memiliki kekhawatiran yang sama akan kembalinya para perampok. Hal ini membuat Eric kian terpojok. Di satu sisi, ia sudah mendapatkan kuda dan pedangnya kembali, tetapi keselamatan para penduduk desa terancam jika ia pergi.

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Eric berujar, "Baiklah, aku tidak akan meninggalkan desa ini. Setidaknya sampai aku melatih kalian cara menggunakan senjata." Eric merasa bahwa keputusannya ini adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya sekarang.

"Terima kasih." Si kakek pun berdiri diikuti oleh semua warga yang lain. Mereka berangsur-angsur kembali ke kediaman masing-masing, termasuk Eric, Elise, dan Egelina.

Setibanya di rumah, Eric lebih memilih menghabiskan waktu di teras. Ia duduk sambil menghela napas panjang dan memandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Pandangannya kosong, sementara hatinya gamang. Apakah keputusanku ini sudah tepat? tanyanya pada diri sendiri. Ramos dan Gladys mungkin sedang dalam bahaya, tetapi ia justru memilih menunda keberangkatannya. Namun, segera pergi juga akan membahayakan nyawa para penduduk desa yang telah menyelamatkannya. Ia pun mengeratkan genggamannya lalu mendengkus gusar.

"Jadi, kau tetap berniat pergi dan tak akan menikahiku?" Suara lembut Egelina seketika itu membuyarkan lamunan Eric.

Ada jeda sejenak sebelum Eric menjawab. "Maafkan aku karena belum bisa menjanjikan hal itu." Kesatria itu memegang tangan Egelina dengan lembut. Jauh dalam lubuk hatinya, ia sebenarnya berharap dapat memberikan jawaban yang lain.

Egelina terdiam sesaat sebelum menanggapi, "Baiklah, aku akan berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Selama waktu yang tersisa." Senyum Egelina terkembang dengan terpaksa. Ekspresinya lebih memancarkan kekecewaan alih-alih kebahagiaan.

"Terima kasih." Eric merangkul perempuan yang disayanginya itu dengan lembut. Keduanya kini tenggelam dalam ironi rasa yang menyeruak getir dari dasar kalbu. Eric pun berjanji pada dirinya sendiri, akan kembali lagi ketika nanti tugasnya telah selesai.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

135K 11.6K 38
[Sudah Terbit dan Tersedia di Toko Buku] [15+] Ini adalah Nusantara di penghujung abad 22, ketika semua yang terjadi tidak seperti yang teramati...
444K 43.9K 35
Buku Kedua dari empat buku dalam seri T.A.C.T. (Fantasy - Romance) Apa yang akan kamu lakukan saat mencuri dengar seorang penyusup sedang menantang m...
DADELARD (END) Von ussw

Jugendliteratur

202K 8.1K 61
"Denger ya! Apapun yang gue inginkan itu hak gue dan itu adalah kewajiban lo buat menuhin perintah gue!" tegas Adelard. "Harus?" tanya Dasha. "Harus...
15.9K 1.9K 8
(Underground Bullet Case:00) Underground Bullet atau yang sering disebut sebagai 'para peluru dari bawah tanah' adalah sekelompok remaja dengan latar...