Woles World Legend: Alpha

Von dirgita

788 0 0

Tiba-tiba, Tuan Mahrus ingin terjun ke bisnis pengembangan game. Ia minta sekretaris pribadinya untuk menyiap... Mehr

01 - mulai
02 - tester
03 - Ronit
04 - hubus
05 - limiter
06 - fragma
07 - rembesan
08 - rehatsasi
09 - destinasi
10 - akselerasi
11 - tanda
12 - G4
13 - drit
14 - ede
15 - eXP
16 - eye
17 - dream
19 - berat
20 - kabar
21 - kaget
22 - pamit
23 - maaf
24 - ikut
25 - kontrak
26 - aib
27 - request
28 - pasrah
29 - kontak
30 - cancel

18 - experience

29 0 0
Von dirgita

"Jangan tanya-tanya lagi aku serius atau tidak!" Julia mengomel sembari memutar-mutar cangkir. "Ikuti saja kata-kataku. Semua akan beres."

"Tapi, Julia. Produser sekaligus kepala departemen? Itu posisi strategis. Perlu orang yang berpengalaman dan profesional di bidangnya."

"Aku tahu."

"Lalu, kenapa? Kupikir kau hanya akan menjadikanku koordinator tim atau sejenisnya. Pengalamanku cuma di situ."

"Bukannya kau dan timmu pernah mengembangan testing game?" Julia mengungkit-ungkit proyek yang menjadi bagian pengembangan G4 tersebut.

"Mengembangkan game untuk keperluan internal dengan mengembangkan game untuk dijual itu jelas berbeda."

"Ah, sama saja!" Julia menyangkal.

"Eh? Tapi...!" Bayu bingung memilih kata-kata. Ia yakin Julia paham akan perbedaan itu, tetapi sepertinya lebih memilih tak mau ambil pusing. Jadi, Bayu bimbang melanjutkan ucapannya. Takut berakhir adu jotos.

Julia sendiri lanjut berucap, "Sudah kubilang, kan? Kau akan naik jabatan. Kau tak bisa menolak!"

"Lalu, nasib timku di sini? G4 bagaimana?"

"Tentu saja akan ada yang menggantikanmu. G4 akan terus dikembangkan. Hanya saja, proyek game ini prioritasnya lebih tinggi. Harus cepat selesai."

"Kapan tenggat waktunya?" Meski tak terang-terangan, Bayu menyerah. Ia sudah tak mau adu mulut. Ia beralih mode dari menentang menjadi mengumpulkan informasi.

Julia memegangi kepala. "Aku masih negosiasi dengan Tuan Mahrus." Ia lalu mendorong cangkirnya yang kerontang. "Isi lagi cangkirku!"

Bayu menyorot cangkir yang disodor.

"Kau sudah minum banyak," tegurnya pula. Seingatnya, ia sudah tiga kali menuang teh untuk wanita di depannya itu. Ia mulai khawatir bahwa Julia sebenarnya lebih memerlukan air putih ketimbang minum teh.

"Tidak bisakah kau ikuti saja semua kata-kataku hari ini?"

Bayu menangkap rasa putus asa dari kalimat yang terlontar. Ia akhirnya menjemput cangkir milik Julia dan membawanya ke pojok ruangan. Saat ia mulai menuang teh dari teko listrik, Julia mulai bercerita. Terdengar lirih dan letih.

"Semua kekhawatiranku terbukti, Bay. Rival bisnis Tuan Mahrus sudah bergerak, bahkan sebelum aku tahu soal wawancara itu." Jika bukan karena informasi dari Bianca, Julia takkan tahu. Ia tengah berjibaku dengan masalah perusahaan cabang di Balikpapan. Kabar dari Bianca membuatnya segera terbang ke Jakarta.

"Profesional?" lanjut Julia. "Aku dan timku sudah jungkir balik untuk bisa dapat orang-orang yang kompeten. Tapi, tidak membuahkan hasil. Produser, sutradara, programmer, concept artist, hingga writer, semua orang profesional di bidangnya sudah dikontrak oleh perusahaan lain."

Bayu meletakkan cangkir yang sudah kembali penuh, mengepulkan uapnya dengan aroma teh yang khas.

"Tunggu dulu. Semua? Tidak hanya produser? Tidak hanya kepala departemen?"

Julia mengangguk pelan. Jemarinya mengulur pelan menarik cangkir. Ia mulai menyeruput teh.

"Khusus manajemen perusahaan seperti direktur, kepala departemen, hingga staf, aku berhasil mengumpulkan orang-orang dari internal Mahsed Group. Tapi, aku gagal mengumpulkan profesional untuk tim produksi. Aku terpaksa merekrut orang-orang yang tak pernah mengerjakan proyek game."

Bayu tak tega melihat gurat sendu di wajah sahabatnya. Ia kembali ke kursi seberang.

"Aku lupa bertanya. Game untuk platform apa yang akan kalian buat?"

"Tentu saja eXP. Memangnya apa lagi?"

"Apa?" Bayu padahal baru duduk, punggungnya kembali menegak. "Itu game mahal!"

Julia menempelkan cangkir pada bibirnya. Menyeruput teh pelan-pelan. Setelahnya, ia berujar, "Kau tak perlu pikirkan itu. Kau bantu saja aku menyelesaikan proyek ini. Detailnya akan aku kirim nanti malam."

Cangkir diletak. Julia menghela.

"Aku sadar sudah banyak merepotkanmu sejak kuliah. Sekarang pun aku akan merepotkanmu lagi. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Proyek ini sangat menguras tenagaku. Bianca saja sampai jatuh sakit. Oleh karenanya, aku perlu seseorang yang sangat aku kenal untuk membantuku. Andaikan kau berada di luar grup ini, aku akan tetap menyeretmu masuk."

Usai kaget mendengar mereka akan mengembangkan game eXP, Bayu tak lagi bisa duduk. Ia berpindah mendekati Julia. Kini, ia berdiri tepat di sebelah wanita itu.

"Sekalipun aku tak punya pengalaman?" tanyanya.

"Sekalipun kau tak punya pengalaman," jawab Julia. Lalu, ia menyandar dan memiringkan wajahnya ke arah Bayu. "Setidaknya, aku bisa mengendalikanmu dengan mudah."

"Eh? Hei!" Bayu kaget. Lekas ia menurunkan tangan kirinya yang sedari tadi menggantung di atas punggung Julia. "Kau pikir aku boneka?"

Julia tiba-tiba terkekeh. Punggungnya lalu menjauhi sandaran kursi. Dari dekat, Bayu menyaksikan sahabatnya itu kembali menghirup teh.

Sembari bibirnya mengecup bibir cangkir, Julia kemudian berucap, "Kau mau apa tadi?"

Bayu gelagapan. "Ti..., tidak. Hanya jaga-jaga kalau kau menangis."

Sekelebat Julia ingat saat putus cinta semasa kuliah. Ia dobrak kamar kos Bayu tengah malam buta dan menangis di sana usai ditegur penghuni lain karena menangis di kamarnya sendiri. Bayu menepuk-nepuk punggungnya bermaksud menenangkan padahal ia sendiri tengah mengantuk. Pemuda itu sesekali terpejam dan nyaris tersungkur. Julia akhirnya berhenti menangis, karena jengkel.

"Aku tak secengeng dulu," ucap Julia kemudian.

"Ah, iya juga." Bayu pun teringat. Ingat bahwa Julia kini bukan lagi adik tingkatnya yang tiba-tiba menerobos masuk kamar kos hanya untuk singgah buang air mata—gara-gara itu mereka berdua sering ditegur pemilik kos. Gadis yang dulu sering mencarinya di kampus untuk dijadikan tempat curhat itu kini sudah berubah jadi wanita tahan banting. Jika tidak, Julia mungkin sudah lama hengkang sebagai sekretaris pribadi Tuan Mahrus.

Julia menghela panjang. Kedua tangannya merentang ke depan. "Leganyaaa...! Rasanya, sekarang aku bisa tidur."

Cangkir digeser ke samping. Julia merebahkan wajah di meja. Kedua tangan kemudian melingkari kepalanya.

"Bayu, jaga pintu...!"

"Eh, apa?" Bayu kebingungan. "Julia, masih ada yang ingin aku tanyakan."

"Nanti malam saja...!"

Bayu pun terpaksa mem-booking ruang rapat untuk satu jam ke depan.

***

Dina merentang di atas kasur. Menatap langit-langit kamar untuk beberapa saat, kemudian meraih ponsel yang tergolek di dekat pinggang.

"Mid, aku kepikiran Karin. Apa dia baik-baik saja, ya?"

Kejadian tadi pagi masih terngiang. Dina tak bisa lupa siswi bernama Karin Wulandari itu menangis di pelukannya. Bahkan, rangkulan Karin di sekitar pinggang seolah masih terasa. Air matanya tumpah usai Hamid mencoba hubus miliknya.

Hubus berbentuk kacamata itu tak lagi berfungsi karena rusak. Hamid merasa bersalah dan segera meminta maaf. Ia juga berjanji akan mengganti hubus tersebut.

Karin justru memeluk Dina kian erat. Punggungnya bergejolak. Isakannya bertambah perih. Suara tangisnya memang bagai diredam sehingga tak terdengar ke mana-mana. Namun, air matanya tumpah ruah seolah dituang.

Pada akhirnya, Karin berhasil mengendalikan tangis tatkala bel tanda masuk terdengar. Ia berusaha tersenyum sembari sesekali terisak dengan mata yang sembab. Ia meminta maaf karena sudah mengganggu keduanya dan meminta mereka segera kembali ke kelas.

Ia juga menyangkal kesalahan Hamid. Hubusnya rusak bukan karena tabrakan itu, melainkan rusak ketika berada di tempat lain. Ia pada saat itu tengah berusaha kembali ke kelas dengan hanya meraba-raba dan mendengar suara-suara. Hingga kemudian, ia menabrak Hamid. Ia sudah berusaha menghindar, tetapi gagal memperkirakan jarak.

Dengan hubus yang telah rusak, Karin mengaku tak dapat mengikuti pelajaran. Ia akan pulang. Hamid dan Dina inisiatif melaporkannya pada guru piket. Karin kemudian diantar pulang.

"Besok aku tanya Jeand," begitu Hamid kemudian membalas.

"Jangan lupa kabari aku!"

"Siap, Bu!"

Dina kembali merentang dan menatap langit-langit.

"Masih setengah sembilan. Mau main, tapi lagi nggak mood. Takut juga nanti susah tidur lagi." Ia melirik ke atas meja belajar. Ada Bando di sana. "Apa aku mainnya di hari libur saja, ya?"

***

Semilir angin berembus di taman penuh pohon sakura. Kelopak-kelopak bunganya bergoyang. Beberapa lepas dari tangkai dan luruh ke tanah. Beberapa yang lain hinggap di pangkuan seorang gadis bergaun putih.

Ia duduk seorang diri di bawah sebatang pohon sakura. Mengenakan topi besar berwarna putih. Rambut panjangnya nan pekat sesekali berurai dimainkan angin.

"Julia?" Seorang pemuda bersetelan jas biru tua menghampirinya dari samping. Gadis itu menoleh dan tersenyum. Senyum yang sama saat menyambut Dina di pesawat tempo hari.

"Tak kusangka kau akan pakai avatar anak muda. Lebih muda dari avatarku malah." Julia berdiri lalu menepuk-nepuk gaunnya. Kelopak sakura yang sempat hinggap di pangkuan akhirnya jejak di tanah.

"Kau tiba-tiba mengajakku bertemu di sini. Aku jadi asal pilih karakter. Ini pertama kalinya aku main Travellillo." Pemuda itu garuk-garuk kepala.

"Idih, siapa juga yang mengajakmu kemari?" Julia menaut alis, tetapi bibirnya tersenyum.

"Eh? Apa?" Pemuda itu linglung. "Bukannya di email-mu...?"

"Hayo, aku nulis apa?"

Pemuda itu kemudian menepuk kening usai mengingat-ingat. "Aduh!"

Sesuai janji, menjelang pukul sembilan malam, Bayu menerima surel dari Julia dengan setumpuk lampiran. Dalam badan surat tersebut juga tercantum sebaris pesan, "Jika masih ada yang ingin ditanyakan, temui aku di Showa Memorial Park."

Bayu langsung mencari tempat yang dimaksud dengan bantuan mesin pencari. Setelah menemukan lokasi tempat itu berada, segera ia mengirim chat, "Yang bener aja! Masak aku harus ke Jepang cuma untuk tanya-tanya?"

Dan begitulah, Bayu akhirnya sadar bahwa tempat yang dimaksud bukan di lokasi aslinya. Melainkan versi duplikat dalam permainan komputer Travellillo. Ia pun mendaftar untuk pertama kali dan sembarang pilih avatar. Ia namai Josh.

Akan tetapi, Julia tetap memanggilnya Bayu.

"Travellillo sudah ada lebih dari lima tahun, kau baru main sekarang? Kau membuatku kecewa." Mereka berjalan beriringan di taman. Seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan.

"Aku lebih senang ke tempatnya langsung. Kau sendiri kenapa malam-malam begini main Travellillo? Bukannya kau juga sering pergi ke berbagai tempat? Yang asli, bukan yang semu seperti ini."

"Hanya di sini aku bisa bersantai. Yah, bisa dibilang sekaligus mencoba keberuntungan."

"Mencoba keberuntungan?"

"Aku bertemu seseorang kemarin. Karena dia, aku jadi bisa sedikit menghibur diri. Aku pikir dengan jalan-jalan lagi di Jepang, mungkin aku akan berjumpa lagi dengannya. Tapi, kelihatannya mustahil."

"Laki-laki?" terka Bayu.

"Kenapa? Kau cemburu?"

"Pakai avatar itu, kok, kepribadianmu jadi berubah, ya?"

Julia tertawa kecil.

"Kan?" Bayu bergidik. "Kamu beneran Julia?"

Julia mencubit punggung tangan kiri avatar Bayu. Meski tidak ada rasa sakit di Travellillo, sensasi tarikan kulit yang cukup kuat serta dilancarkan mendadak membuat Bayu tersentak kaget. Ia mengaduh.

"Jangan tanya aku serius atau tidak, ya!" ucap Julia mengingatkan.

Bayu mengelus-elus bagian yang dicubit. "Iya, iya. Aku yakin sekarang!"

"Bagus...!"

Mereka tiba di sebuah kursi taman. Julia duduk lebih dulu.

"Jadi, kau akhirnya kemari. Apa yang ingin kau tanyakan?" Ia silakan Bayu duduk di sebelahnya.

"Aku masih kepikiran. Game ini pasti ber-budget besar. Tapi, tim yang kau kumpulkan malah amatiran. Aku khawatir hasilnya tak sesuai harapan Tuan Mahrus. Kami hanya akan buang-buang uang."

"Sudah kubilang kau tak usah gundah soal itu. Itu urusanku. Tuan Mahrus juga sudah tahu kondisinya. Itu juga, kan, karena salah beliau yang seenaknya bicara. Lagi pula, Tuan Mahrus tak ambil pusing siapa yang akan mengerjakan proyek game ini. Yang penting, game impiannya selesai dan bisa dimainkan. Hanya saja, beliau sudah menetapkan rambu-rambu. Bisa kau baca di lampiran."

"Aku sudah lihat sekilas. Lumayan panjang."

Julia tertawa.

"Jadi, aku benar-benar sudah tidak bisa menolak?"

Julia melirik tajam, tetapi bibirnya masih menggores senyum tipis. "Kau mau kita lanjut berdebat di sini?"

Terdengar Bayu dengan avatarnya yang bernama Josh itu mendesah. "Tidak."

"Anak pintar."

Bayu mengernyit. Selain karena tingkah Julia barusan, ia juga akhirnya sadar bahwa kelakuan dan ucapan mereka sedari awal berjumpa di Travellillo bagai drama televisi. Bisa dibilang, mereka terbawa suasana. Sungguh efek game eXP yang mengerikan.

Beruntung, Bayu masih ingat tujuan utamanya datang kemari.

"Kalau begitu, Julia. Apa bisa aku minta sesuatu?"

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

419K 36.4K 56
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
785K 24.4K 72
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
618K 22.6K 31
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...